Aku tak pernah merasa seburuk ini, dua hari ini keningku
terasa panas, otakku mengeras, demam ini semakin ganas. Selepas kelas aku
mengabaikan semua basa basi teman-teman, rundingan tentang tugas kuacuhkan, dan
aku langsung berjalan keluar kampus menuju halte yang jaraknya mungkin akan
membuatku pingsan. Dengan bodohnya kuacuhkan juga sebab akibat itu, aku hanya
ingin pulang, sakit ini tampaknya mengajakku bertarung satu lawan satu. Aku
juga hanya ingin mencari dia. Harusnya dia yang mengantarku pulang. Tapi dia,
si siluman itu daritadi malam tak ada kabarnya hingga hari ini yang sudah
berjalan setengah. Rasanya tidak akan ada yang spesial. Ah, sudahlah aku ini
kemaruk sekali.
Angin bertiup cukup kencang dan menerbangkan semua sampah
yang berserakan di parkiran kampus. Langit abu-abu, mungkin sebentar lagi ia
tak mampu membendung rasa berkabung melihat di bawah naungannya, ada makhluk
sekecil aku yang mengenaskan. Untung saja aku mengaplikasikan peribahasa sedia
payung sebelum hujan, dengan gagah berani aku berjalan menantang mendung.
Syukur saja kepala ini sudah berkurang denyutnya, namun keningku masih panas.
Aku berjalan perlahan, kemudian mempercepat langkah.
Bunyi klakson kendaraan menderu-deru dan pejalan kaki terburu-buru, mereka takut kehujanan nampaknya. Belum hujan juga, mendung masih menggantung hingga aku sampai di halte dan melihat sesosok laki-laki memakai jaket yang tak asing bagiku. Si siluman itu! Demi angin yang hampir menggoyahkan tubuhku berjalan aku mencari-carinya setengah hari ini, tak begitu kuhiraukan sakit ini namun aku menghiraukan keberadaannya. Dan kini sesederhana konspirasi semesta aku menemukannya sedang duduk santai disana dengan headset putih tertancap di telinga, sambil memandang langit. Dasar laki-laki melankolis. Aku duduk tanpa menyapa, dua jengkal jarak yang kuambil dari posisi duduknya. Ia menoleh sadar akan kehadiranku tanpa ekspresi sama sekali, wajahnya datar. Aku mencoba memecah keheningan dengan sedikit terbatuk-batuk, bukan hanya itu, aku ingin memberitahunya bahwa sakitku semakin parah dari kemarin. Bahwa ia menyebalkan, bahwa ia melupakan hari ini, bahwa aku mengkhawatirkannya lebih dari sakit ini. Ia melepas headset putih yang selalu ia bawa itu sambil tetap memandang langit yang masih membendung hujan.
Bunyi klakson kendaraan menderu-deru dan pejalan kaki terburu-buru, mereka takut kehujanan nampaknya. Belum hujan juga, mendung masih menggantung hingga aku sampai di halte dan melihat sesosok laki-laki memakai jaket yang tak asing bagiku. Si siluman itu! Demi angin yang hampir menggoyahkan tubuhku berjalan aku mencari-carinya setengah hari ini, tak begitu kuhiraukan sakit ini namun aku menghiraukan keberadaannya. Dan kini sesederhana konspirasi semesta aku menemukannya sedang duduk santai disana dengan headset putih tertancap di telinga, sambil memandang langit. Dasar laki-laki melankolis. Aku duduk tanpa menyapa, dua jengkal jarak yang kuambil dari posisi duduknya. Ia menoleh sadar akan kehadiranku tanpa ekspresi sama sekali, wajahnya datar. Aku mencoba memecah keheningan dengan sedikit terbatuk-batuk, bukan hanya itu, aku ingin memberitahunya bahwa sakitku semakin parah dari kemarin. Bahwa ia menyebalkan, bahwa ia melupakan hari ini, bahwa aku mengkhawatirkannya lebih dari sakit ini. Ia melepas headset putih yang selalu ia bawa itu sambil tetap memandang langit yang masih membendung hujan.
“Aku akan selalu
menerima hadirnya hujan memang. Tapi soal mendung, jujur aku nggak pernah suka.”
Ia tiba-tiba berkata sambil melipat kedua tangannya di dada.
Baiklah, aku sudah
menemukannya dan mendapat hadiah seorang dia yang tiba-tiba jadi pujangga.
“Tapi mendung yang
menggantung itu keren. Menyimpan hujan untuk melindungi seseorang yang sedang
lemah. Semesta peduli akan seorang itu dan menunjukkan wajah berkabungnya
dengan langit abu-abu.”
Aku tak mau kalah, laki-laki
melankolis ini harus disadarkan.
Dia memandangku lalu
tersenyum tipis, “Langit biru itu jauh lebih keren, cerah dan bikin semangat.”
Sudah? Hanya itu
reaksinya? Itupun tak pantas disebut senyum, Tuan. Gerimis. Langit sebentar
lagi akan tumpah.
“Tahu apa yang paling
keren?” Suaraku sedikit mengeras sebab suasana sekitar pun sudah ricuh dengan
kombinasi klakson, angin, dan gerimis. Ia memandang wajahku, menunggu aku
menjawab pertanyaanku sendiri. Ah, mata teduh itu, aku selalu tenggelam di
dalamnya. “Langit-langit kamar. Tempat nempelnya cicak setiap malam buat jagain
tidur. Simbol kesetiaan.” Aku mengangkat dagu, menantangnya dalam perang kata-kata
yang entah mengapa mengenai langit.
Ia tertawa kecil sambil
menunduk, memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung jaket. Ia saja yang tak
sakit sudah kedinginan, nah aku? Aku sudah lupa pada demam, pada keinginanku
untuk pulang. Karna aku sudah menemukannya. Sungguh, yang kubutuhkan memang
hanya tawa itu dan dia disampingku.
“Hem langit senja itu
syahdu ya. Padahal warnanya seperti ingin membakar dirinya sendiri. Merah
menyala, jingga, kuning keemasan. Tapi tetap aja ngeliatnya bikin senang dan
tenang.” Kali ini ia berkata sambil terus memandangku dan aku tak berani
menatap matanya lebih lama lagi. Kualihkan pandangan pada langit, gerimis sudah
berubah jadi rintik-rintik hujan. Sekarang bukan hanya keningku yang
panas, mataku pun panas. Aku hampir menangis, entah kenapa.
“Kalau langit
malam gimana?” Aku sudah kehabisan kata-kata, hari ini sudah berjalan
setengahnya, hampir malam, namun belum ada tanda-tanda kalau ia ingat akan
sesuatu di hari ini. Lagi-lagi, aku kemaruk sekali.
“Langit malam indah, banyak bintang. Tapi sekarang bintangnya udah jarang keliatan.” Ia ikut memandang langit.
Ia seperti sedang
memikirkan sesuatu, aku diam.
“Untung masih ada satu
yang paling terang, sinarnya kelihatan terus walaupun bukan di langit malam.
Aku cuma bisa berdoa semoga dia nggak meredup dalam keadaan apapun. Sekalipun
dia lagi sakit. Soalnya masih ada langit biru yang bikin semangat, dengan
semangat, apapun nggak pernah jadi begitu buruk kok. Boleh hujan buat ringanin
beban yang dibendung, tapi jangan terlalu memuja langit abu-abu, beneran deh,
mendung itu nggak enak dilihat. Lebih menyenangkan ngelihat merah menyala
walaupun itu artinya marah, jingga walaupun itu artinya merajuk, dan kuning
keemasan walaupun itu artinya ingin ini ingin itu.” Aku menatap wajahnya, ia
berhenti berkata-kata kemudian mengeluarkan kotak kecil dari kantung jaketnya.
Disodorkannya kotak merah muda berpita biru itu padaku.
Aku mengambilnya, “Boleh
aku buka?” Hanya itu yang mampu ku katakan. Ia mengangguk. Aku menarik pita
biru dan membuka tutup kotak. Ada sebuah benda yang sudah pernah kulihat, bros perak
dengan hiasan berbentuk cicak.
“Ini kan yang dijual di
pasar malam waktu itu?”
“Iya tadi malam aku
kesana, inget aja gimana autisnya muka kamu ngeliat bros itu. Kenapa nggak
dibeli aja sih waktu itu?”
“Ya kalo aku beli waktu
itu kan kamu nggak beliin sekarang. Lumayan kan dapet gratis.” Aku tertawa.
“Dasar maunya yang
gratisan.” Dia menyikutku pelan. “Maap ya tadi malam ketiduran. Nyariin ya?
Haha untung ketemu disini.”
Ternyata dia mengingat hari ini. Aku hanya bisa
melihatnya tertawa, “Makasih ya.”
“Sama-sama. Selamat
untuk hari ini yang entah berapa bulan ya, aku males ngitung nih, biarin aja
berjalan diam-diam merayap kaya cicak yang setiap malam nemenin tidur di langit kamar. Cepat sembuh.” Dia
mengacak-acak rambutku dan tersenyum. Mata teduh itu... Aku. Sudah. Sembuh.
Hujan deras. Lucu.
Bagaimana seorang laki-laki melankolis yang tiba-tiba menjelma jadi pujangga
bersama seorang perempuan sakit demam menyedihkan bisa duduk berdua di halte di
tengah hujan dan pembicaraan sinting ini. Di hari yang spesial bagi mereka
berdua.