Aku sedang berdiri di
hadapan cermin dalam kamar berpenerangan sempurna, udara sejuk, dan melihat raga
yang tanpa cacat. Namun otakku kosong dan rasanya lelah sekali untuk melangkah.
Bayangan dari cermin
berontak, ia memaksa dirinya melawan bayangan nyata yang harusnya ia ikuti.
“Kau ratapilah senja
sampai bertekuk lutut, malam akan tetap larut. Percuma.” Ia tiba-tiba
berbicara.
Aku, si bayangan nyata
itu terkejut. “Berhentilah mengeluh mulutmu itu. Tidakkah kau tahu di belahan
bumi sana, mereka; manusia seperti kau bahkan anak kecil yang ringkih tubuhnya,
lebih menderita darimu. Disini tiap pagi sanggup kau hirup udara segar dengan
bebas sedang disana bernapas pun ditahan-tahan. Berkoar dan pecicilan disini
seenaknya, disana kau jadi orang gagu. Pokoknya sebut saja apa yang sedih-sedih,
semua ada disana. Bapak Ibu mati di depan matamu, dikhianati, ditinggalkan, diabaikan seolah-olah (dan
memang) sekali sentil kau langsung mati, perutmu membesar kelaparan, buta
matamu, buntung tangan dan kakimu, cacat. Apalagi?“
Ia melanjutkan, “Jadi
masih pantas kau malas? Masih pantas kau mengeluh? Jadilah sebaik-baiknya
manusia dengan selalu bersyukur dan jangan pernah hilang harapanmu.”
Bayangan itu kembali
mengikutiku dalam sekejap.
*
Sesungguhnya musuh
paling besar saat ini adalah rasa malas. Ya Allah tolong kuatkan
tubuh ini untuk terus melangkah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar