Langit mulai bersiap. Di tubuhnya ada awan yang masih enggan bergumpal dengan bentuk yang namanya tak kupahami. Ada matahari yang masih malu-malu dipandang. Padahal komando langit sudah jelas agar mereka bersiap tampil.
Di Balangan bibir-bibir
kering pantai rindu akan kecupan senja. Yang mengulum lidahnya dalam-dalam pada
ombak yang menjadi jingga.
Di Balangan sebuah tebing
berdiri kokoh, dengan lapang dada menjadi kursi-kursi penonton gratis.
Angin berdesir-desir di
telinga karang, bagai peluru, melesat tak terjangkau pandangan pun pendengaran.
Sembunyi-sembunyi mencoba menyampaikan pesan langit bahwa pertunjukan dimulai.
Ranting-ranting
menyerupai pohon tanpa daun membiaskan cahaya senja yang jadi pembuka. Membuat
bayang-bayang jadi lebih nyata, penonton berubah jadi siluet-siluet jika diabadikan.
Dentaman laut pada karang,
gesekan senar pesisir, dan dirijen dari ujung langit bersatu menciptakan orkestra
yang meriah.
Gumpalan awan indahnya sudah
luar biasa walau namanya entah apa. Matahari kini percaya diri walau langit
perintahkan ia untuk segera sembunyi.
Sementara dari ujung
tebing, seorang penonton berteriak-teriak, “Lagi! Lagi!” Padahal komando langit
sudah bermaksud lekas usai. Ia bilang ini senja pertamanya.
Langit menyadari bahwa
pertunjukan kali ini terlalu singkat. “Datanglah lain hari dan ingatlah, selamanya,
pertunjukan ini tetap gratis untukmu.” Pertunjukan selesai.
Sesungguhnya ia tak
ingin pulang, tak ingin selesai, dan tak tahu kapan akan kembali. Selepas pertunjukan
senja di Balangan kala itu, ia hidup dengan janji langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar