Saat
Ujian Tengah Semester 4 lalu dalam mata kuliah Cultural Studies saya diharuskan
menulis artikel tentang Dekonstruksi. Kecintaan saya terhadap musik membuat saya
langsung ingin menulis tentang musik underground, kutub lain terhadap musik mainstream.
Yang saya tahu mengenai penikmat kutub underground itu berupa sekelompok
orang-orang yang hadir di gig sebuah band musik yang tidak terkenal tapi ‘ada’
juga yang suka. Dan mereka ini kemudian menamai diri sebagai ‘anti’mainstream.
Memberontak.
Menurut saya dekonstruksi istilah kasarnya begitu. dan pelaku-pelakunya adalah
si pemberontak. Para pelaku dekonstruksi mencoba melakukan enlightment atau
pencerahan, bahwa ini lho yang dikejar-kejar orang saat ini dan ini lho kita
punya yang lebih keren dan lebih bisa membuatmu menjadi orang keren. Suatu
alternatif. Hollywood, kini tak lagi menampilkan sosok wanita berkulit hitam
sebagai golongan terbelakang dan tak penting saja kini, malah mereka kini
menjadikan sosok wanita berkulit hitam sebagai pemeran utama yang notabene-nya
harus cantik, dan kita tahu definisi cantik bagi Amerika adalah berkulit putih,
tubuh semampai, berambut panjang dan pirang. Lupita Nyong O adalah salah satunya,
ia berasal dari Kenya dan tahun 2014 adalah tahunnya, ia dipuja dan kebanjiran
penghargaan.
Kembali
ke musik underground, saya menempatkan aktor-aktor dibalik musik ini sebagai pemberontak
dan para penikmatnya adalah orang-orang yang tercerahkan.
Pernah
mendengar tentang band Koil? Koil adalah band beraliran rock yang
berasal dari Bandung, berdiri pada tahun 1993, dengan formasi Otong (vokal),
Doni (gitar), Imo (Bass) dan Leon (Drum). Sejak awal berdiri saja mereka
sudah melakukan hal-hal tidak lazim pada masa itu, sebut saja memasukkan unsur
sampling dalam musik mereka seperti suara-suara yang ada di sekitar kita, suara
aliran air, besi yang dipukul, dan sebagainya, lirik-lirik yang lugas
menunjukkan kegelapan dan kekosongan hati serta lirik berbahasa Indonesia yang jarang
digunakan dalam musik rock, memasukkan unsur tarian dan fashion dalam aksi
anggungnya, serta yang paling ‘underground’ sekali tingkahnya adalah mendistribusikan
album mereka lewat jaringan
distro-distro di Jakarta dan Bandung , pemesanan lewat pos, dan beberapa toko
kaset.
Ya,
menjadi rebel itu menjual.
Buktinya
Koil dipuja saat itu, gig mereka selalu padat oleh penggemarnya (dan kita tahu
konser band underground itu padatnya seberapa? Intinya kita masih bisa bernapas
di lautan penonton itu.) Sampai pada akhirnya penggemar mereka meluas, label
rekaman besar pun mereka dapatkan. Dan tak perlu terkejut, kutub underground
menjadi usang pada nama mereka. Koil menjadi band musik mainstream.
Namun,
ada yang menarik dalam band dengan lirik-lirik lagu lugas ini. Saya pernah
membaca dalam kolom komentar blog bernama Music Blur dengan artikel berjudul
Pemberontakan Musik Sudah Mati, satu hari mereka tampil di Bandung Berisik, hari
lainnya dengan congkak tampil di Dahsyat. Iya, Dahsyat. Acara musik super
mainstream dengan segala kealayan yang ada didalamnya. Mereka tanpa ragu, hanya
bermain. Dan kemudian dalam salah satu interview dengan cuek Otong sang vokalis
berkata, “Idealisme kami hanya sebatas Nominal”.
Ketika
antimainstream menjadi mainstream. Adalah bahwa Koil tetaplah Koil, band
underground yang usang dimakan jaman dan segala tuntutan untuk bertahan di
dalamnya. Bahwa untuk menjadi pemberontak tidaklah mudah, dekonstruksi tetaplah
sebuah alternatif, yang hanya disinggahi sepintas lalu.
Ini
adalah semua pikiran yang ada di kepala saya sesaat setelah dosen saya memberi
tugas UTS ini kepada kami. Hasil dari pernyataan bahwa saya mencintai musik,
mengobak-abik Google mendalami musik underground, hingga akhirnya ‘mengenal’
Koil dari artikel-artikel berita dan musik.
Namun
pada akhirnya, saya tidak jadi menuliskannya. Kenapa? Saya takut salah, padahal
sudah konsultasi dengan dosen tersebut. Saya hanya harus mencari subjek lebih
jelas untuk dibahas dalam tulisan itu. Tapi karena teman-teman saya tidak ada
yang membahas subjek dekonstruksi yang mirip seperti apa yang sudah saya pikirkan. Pada
akhirnya saya berpikir lagi, daripada salah, mendingan saya ngikut yang banyak
dibahas aja dan sudah pasti benar seperti yang teman-teman saya lakukan.
Akhirnya saya menulis dekonstruksi untuk mencerahkan pemikiran tentang logat
Medok yang dianggap mempengaruhi kemegapolitanan suatu kota.
Memang,
lagi-lagi mengikuti arus itu yang paling aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar