-Ibu
Kami, anaknya. Apalah arti kami di matanya saat ini, bahkan sesuap nasi yang fadhu menjadi penyambung hidupnya pun sudah tak tersentuh olehnya. Kami pasrah, gemetar, berbaur dengan kelu. Apalah arti kami di matanya? Dulu aku selalu memeluknya, hanya untuk menyadarkanku bahwa tak semua pria bajingan. Bagiku, ia jauh dari itu. Seorang tulang punggung yang teramat hebat. Dulu badannya kekar, sekarang tulang dibalut kulit tipis. Hitam legam. Aku menderita, sesak melihat keadaannya saat ini. Kadang kepelikkan datang padaku, ambillah saja ia Tuhan, aku telah siap.
6 Desember, Ibu sedang berada di samping kakek, yang sedang tertidur. Pulas sekali, deritanya telah usai, sebentar lagi tanah akan kembali menyambut jasad yang dicipta. Sudah dua hari ibu disini, di kota tempat kakek berada. Samalam kata bunda, adik ibuku, kakek sedang berada pada kondisi ‘terminal’. Ya, aku mengerti maksud dari istilah kedokteran tersebut, di kotaku bunda mengatakannya, air mataku jatuh.
-Ayah
Waktu itu ia mengajakku memancing. Sehari sebelum aku akan membawa anak gadis pertamanya ke kotaku, waktu itu sehari setelah pernikahan. Tiga ikan telah takluk pada umpan di mata pancingnya, tetapi tak juga selesai satu kisah yang ia ceritakan. Katanya, ia benci padaku. Saat itu aku hanya bisa tertawa, bagaimana seorang mertua bisa membenci menantunya yang baru berusia sehari ini? Ternyata ia membenci aku yang akan mengambil anak gadisnya itu. Sungguh naif, pikirku. Setelahnya, mengalir perjuangan, kisah tak terperi mengenai masa lalunya. Tulang-tulangnya bagai besi, ia umpamakan, telah berkarat, perjuangannya hampir berakhir, tapi belum. Bagaimana saat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 menggerogoti pikirannya selalu akan rumah yang ia gadaikan, akan sekolah anak-anaknya yang terancam, dan bagaimana ia tersenyum pada istrinya setiap pulang bekerja. “Istrimu teman hidupmu, meski begitu, jangan kau bebankan padanya bebanmu yang terlalu berat, sebab menyiapkan piring-piring di rumah saja menguras otaknya. Saling berbagilah.” katanya dari bibir yang tergurat keriput dan keringat. Sekarang guratan itu telah kembali, menyatu dengan tanah.
6 Desember, Ayah, aku dan adikku baru tiba di kota kakek. Ayah melihat kakek, kakek yang dalam pigura tua di ruang tamu bergorden kuning dari rumah kecilnya. Jasadnya telah kembali ke bumi.
-Nenek
Dulu...
“Tawa geli juga tangis cucu. Itu yang selalu ada di pikiranmu.” ini dariku.
“Demi mencintaimu, gigi dan usiaku pun rela berguguran.” darimu sambil tersenyum, terlihat gigi putih bersih berjejer, masih utuh semua.
Disini aku duduk di teras depan rumah kecil kita, rumah impian yang senantiasa kita gantungkan dalam tiap sujud. Katamu, di teras itu nanti akan ada dua kursi kayu untuk menopang tubuh keropos kita, ada meja kecil di tengah untuk menopang teh tawar kesukaanku dan kopi pahit kesukaanmu. Kita bisa melihat tawa geli anak-anak kita yang memapah cucu-cucu kita berjalan, menangis. Tak kau harap mereka mengunjungi kita dengan sering. Sebab sekali saja melihat mereka mungkin dapat meredam kerinduanmu setahun. Menghabiskan masa tua denganku adalah impianmu. Aku pikir indah.
Kini...
Drastis, kau ini mau jadi apa? Dalam hitungan bulan tubuh yang dulu selalu melindungiku, kekar, kini tak ubahnya tulang belulang berlapis kulit. Makan pun kau susah, emosimu saat melihat cucu kita menyalakan televisi dengan volume yang sedikit berlebihan meledak begitu mudah. Dalam hitungan bulan kau menjadi seperti ini. Tak jarang aku menangisimu tengah malam, saat nasi yang telah kusiapkan untukmu terpajang bisu tak tersentuh di samping tempat tidurmu. Kau sakit, aku lebih sakit. Aku sakit melihatmu menyakiti dirimu sendiri seperti ini, alangkah baiknya berakhir. “Demi mencintaimu, gigi dan usiaku pun rela berguguran.” Inikah arti kalimatmu dulu itu?
6 Desember, aku melihat nenek duduk di depan teras, kakek telah dikebumikan, matanya jauh menerawang. Rumah kecilnya ramai, tapi jiwanya sendiri. Kucium pipinya, ia tersenyum.
-Aku
72 tahun. Dia veteran, bukan? Katanya kasih sayang seorang kakek terkadang melebihi rasa sayangnya pada anak-anaknya sendiri. Benar, dia mencintaiku, aku mencintainya, seorang kakek yang teramat hebat di mataku. Bagaimana ibu menceritakan dulu ia dididik dengan semangat seorang veteran oleh kakek, yang sedikit lebih sempat memberikan itu padaku. Entahlah, banyak yang ingin terungkap, kenangan, tapi tertahan. Saat ini aku rapuh dan lemah seperti tubuhnya, cobaan tak henti-henti datang padaku, Kek. Yang aku ingat, terakhir sebelum kepergiannya, ia sempat memakan masakanku.
6 Desember, aku sedang menghadapi ujian semester hari kedua, sakit gigi, alergi antibiotik, demam, orang-orang yang kusayangi seakan menjauhiku, menemaniku melewati ini semua. Di dalam aula yang ramai, aku menerima telfon. Setelahnya aku membanting HP ku, dan refleks menangis detik itu juga, aku pulang, dengan tubuh lemas, gemetar, air mata. Ke kota Kakek.
(Tulisan ini dibuat tanggal 6 Desember 2011, 20.26. Di perjalanan pulang dari Pangkalan Brandan menuju Medan. Selamat jalan, Kakek.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar