Menengadah menatap awan. Perempuan berkacamata itu menatap hujan, tak masalah sebab lensa telah melindungi matanya dari rintik.
“Ya Allah, bolehkah aku minta satu hal? Boleh aku bertanya satu hal juga?” lirihnya, petir semakin menggelegar, jilbab biru tuanya sudah menjelma hitam karna kelebas dengan air hujan.
Seolah mendapat izin, ia melanjutkan.
“Aku ingin tersenyum lagi, senyum yang tulus seperti dulu, Ya Allah, maafkan aku yang masih hidup di bawah kendali masa lalu, ampuni aku yang terlalu banyak meminta dan tak pernah bersyukur ini. Ya Allah, kenapa aku ini bodoh sekali?”
Setelahnya, perempuan itu hanya bisa terpaku di pinggir jalan yang lenggang itu, tak ada seorang pun disana. Yang ada hanya ia, hujan dan petrichor.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!” teriaknya sambil membuka kacamatanya dan membantingnya, pecah bersama hujan.
(Ini bukan cerpen atau sajak. Hanya coretan kacau yang terinspirasi dari kacamata saya yang pecah 20 hari yang lalu.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar