Image from Google
Kupu-kupu tak pernah
jadi seindah itu tanpa melawan waktu. Dari seekor ulat buruk rupa, merayap di
dahan dan dedaunan. Hidupnya akan berakhir di perut burung atau serangga
pemangsanya jika tak beruntung. Mencari tempat yang aman dan berubah jadi
kepompong. Hingga terbujur kaku menggantung di dahan dan dedaunan. Tak peduli
walau siang terik menyengat dan malam dingin menusuk. Semua akan indah pada
waktunya. Katamu kala itu saat dimana kita melihat segumpal coklat menyerupai
daun kering membungkus sesuatu di dalamnya bergerak-gerak menggantung di daun. Kau
tahu aku hanya bergurau namun kau cepat-cepat menggenggam tanganku dan mencegah
aku membantu si calon kupu-kupu untuk keluar. Lalu kita hanya saling diam
berpuluh menit untuk menyaksikan proses paling indah di dunia sore itu.
Bagaimana aku menyebutnya tak indah? Ada kamu dan si calon kupu-kupu.
Kakinya mengoyak-ngoyak
lapisan kepompong, kaki-kaki kecilnya bermunculan, lalu kepalanya mulai
mengintip. Selamat datang di dunia, kupu-kupu, kini kau sudah resmi
menanggalkan kata ‘calon’. Hingga kemudian sayap itu perlahan menyembul. Apa kau masih ingat warna
sayapnya? Corak bundar coklat melekat pada bagian dekat tubuhnya, biru terang
mewarnai keseluruhan, dan bulatan-bulatan jingga sebagai pemanis. Sayap itu
indah. Indah sekali. Aku bertepuk tangan namun kau masih memperhatikan
kupu-kupu itu. Ia masih diam melekat
pada daun, mencoba mengepakkan sayap namun sebentar, ia melompat ke batang
lain yang jaraknya tak jauh, hinggap, melompat lagi, hinggap, dan tak
bergerak lagi. Kupu-kupu itu diam. Hanya diam. Lama sekali. Ada apa dengan si
kupu-kupu? Bukankah harusnya ia terbang jauh, memamerkan sayap indahnya pada
dunia. Aku masih berharap ia mencoba mengepak lagi. Namun wajahmu terlihat
kecewa dan berkata, kupu-kupu itu tak
bisa terbang.
Semua akan indah pada
waktunya, huh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar