Aku sedang menunggu.
Aku menunggu dia yang tahu kalau aku cengeng, tapi tetap mencintaiku. Sehingga
berusaha agar aku tidak menangis, kalaupun cengengku kumat, dia adalah orang pertama
yang menghancurkan airmata ku dengan punggung tangannya.
Dia yang terima aku
kalah cantik dari perempuan lain. Dia yang biasa saja, yang punya naluri lelaki
dalam mengagumi keindahan perempuan. Tanpa kupaksakan menanggapku yang tercantik
di matanya. Karna aku tahu itu tak mungkin. Tapi ia tetap mencintaiku.
Aku sedang menunggu.
Aku menunggu dia yang menjadikanku rumah untuknya pulang. Dia yang marah-marah
membuang kekesalannya sebab harus mendorong motor yang mogok sepanjang satu
kilometer untuk menambal ban, kemudian menutup keluhnya dengan tersenyum dan
kata terima kasih yang manis. Dia yang jika tak berkabar seharian kemudian pada
malam hari meneleponku untuk bertanya ‘Bagaimana harimu?” dan mengantarkanku
tidur dengan sekadar kata selamat tidur.
Dia yang saat ditanya
apakah ia percaya dengan kata-kata ‘Dibalik laki-laki hebat terdapat perempuan
lebih hebat pula” menganggukkan kepala sambil menunjuk ke arahku. Dia, yang
menginginkan ketenangan bahkan dengan hanya duduk di sampingku tanpa berkata
apa-apa.
Dia yang biasa saja,
tanpa menginginkan lebih apapun.
Dia yang biasa, tak
romantis, namun ia tahu aku butuh didengarkan.
Dia yang berdebat lalu
mengalah membiarkanku menang hanya untuk melihat aku tersenyum. Karna dari
senyumku ia mendapatkan kemenangan.
Dia yang akan kutemani
mendaki mimpi-mimpinya. Mimpi untuk dirinya sendiri, orang tua, saudara. Dan mimpi
untuk aku.
Dia yang dipersiapkan
Tuhan. Dia yang mungkin pernah aku temui atau dia yang belum kukenal. Dia yang
ada di dekatku atau dia yang berpuluh kilometer jauhnya dari aku.
Aku menunggu dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar