Selamat pagi Bali.
Di bawah biru langit dan kebetapaan menyengatnya
cuaca. Tuntun aku menujumu Jimbaran, ajak aku menyusuri
lengkung bibir itu, tenggelam di kedalaman mata itu, dengan tetap menggenggam
rindu sebagai nyawa.
Atau, bimbing aku melukis wujudmu berkanvaskan
langit biru, Ubud, memahat lekuk demi lekuk tubuh yang denganku dulu pernah
dengan hangatnya saling memeluk.
Demi sebuah nama. Yang tak pernah kalah bertarung menghadapi bajingan
bernama jarak
Selamat siang Bali.
Mari, ceritakan padaku kisahmu. Berapa banyak penyair yang lahir dari rahimmu?
Umbu Landu Paranggi. Pra Umbu, Periode Umbu (I), Periode Umbu (II)? Berpuluh.
Sebab betapapun menyengatnya cuacamu.
Suara-suara kera dari kecak. Desir angin yang tak putus. Deru ombak tinggi-tinggi. Kursi-kursi tidur dan bule-bule berjemur di
sepanjang pesisir. Ketukan si pemahat, gesekan kuas di atas kanvas si
pelukis. Anak-anak subak yang dialiri air pematang sawah.
Indahmu mampu membuat imaji mereka liar-liar,
kata-kata jinak di tangan mereka. Kemudian dalam teduh rahimmu, Bali, lahirlah
bayi-bayi mungil bernama puisi
Selamat sore Bali.
Kini aku sampai Kuta. Hendak merengkuh senja bulat-bulat. Berharap jingganya mampu benamkan airmata yang jatuh. Karena satu dari berpuluh anak-anakmu. Tak jua tiba di hadapanku.
Selamat malam Bali.
Dengan segenap keindahan yang kau sodorkan di depan
mataku.
Pantaimu, budayamu, senimu, kau bungkus rapih dengan
pita warna biru. Sampai-sampai aku haru. Bukan, bukan karena telah dicemarkan seperti kata
W.S Rendra. Bukan.
Hanya, anakmu yang satu itu, penyair yang telah
mengenalkan aku pada puisi dan berjanji untuk bertemu disini. Membiarkan aku merengkuh senja sendirian, lalu ia
merengkuh tubuh asing bulat-bulat
Sungguh, Bali. Anakmu itu, lebih bajingan dari jarak.
23.47. Jumat, 26 Juli 2013
(Selamat ulang tahun untuk sang binatang jalang, Chairil Anwar. Memperingati hari puisi nasional, sajak ini akan saya musikalisasikan di Soundcloud :) )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar