Teruntuk,
seorang
guru bersuara unik.
Surat
ini akan berisi sedikit cerita yang pikiranku tuangkan secara random dan
tiba-tiba tadi pagi.
Waktu
itu tahun 2009, aku duduk di bangku kelas sepuluh SMK. Roster menunjukan bahwa
setiap Sabtu kami harus berhadapan dengan pelajaran Elektronika Digital. Jujur,
meskipun bersekolah di SMK dengan jurusan teknik komputer dan jaringan tapi aku
tidak pernah suka dengan pelajaran alat-alat listrik, seperti resistor,
transformator, merakit flip-flop dan sebagainya. Pernah saat SMP aku belajar
Elektronika, dapat nilai enam puluh lima yang merupakan nilai standar agar
tidak remedial saja aku sudah harus menepati nazarku. Aku masih kelas sepuluh
saat itu jadi mau tidak mau harus menghadapi pelajaran yang paling dasar ini.
Kelas
dibagi menjadi dua gelombang, satu gelombang masuk ke laboratorium digital dan
gelombang lain ke laboratorium analog. Aku masuk gelombang pertama. Di dalam
sudah ada seseorang yang duduk menunggu kedatangan kami, anak-anak murid
barunya. Rambut dua sisirnya rapi, tak sedikit uban yang terlihat di antara
rambutnya yang hitam pekat. Dia tidak seperti kebanyakan yang hanya memakai
baju kemeja rapi yang dimasukan kedalam celana lengkap dengan tali pinggang
hitam, ia dengan bangga memakai jas putih sepanjang lutut yang kancingnya
dibiarkan terbuka untuk memperlihatkan baju kemeja yang tersembunyi didalamnya.
Sepatu pantovel hitamnya mengkilap. Sorot mata tuanya teduh tertutup kacamata
yang membantu penglihatannya yang sudah tidak sempurna, dahi serta rahangnya
menunjukan kelembutan serta ketegasan dalam waktu yang sama. Tapi tidak dapat
ditutupi ia begitu lelah. Entah karna hidup yang begitu kejam atau... Entahlah
aku tak berani menduga-duga. Dia guruku, guru yang akan mengajarkan mata
pelajaran Elektonika Digital selama satu tahun hingga kelas sepuluh berakhir. Guru yang bernama Pak
Ngadimin.
Ada
satu hal yang membuat hatiku miris, yaitu warna suara unik yang dimiliki Pak
Ngadimin. Saat ia berbicara, terdengar seperti menutup kedua lubang hidung lalu
berbicara pada saat bersamaan, terdengar mendengung. Suara itu yang membuat Pak
Ngadimin sontak ditertawakan seisi kelas pada saat pertama kali memperkenalkan
diri. Saat itu aku masih begitu labil, dengan bodohnya juga ikut tertawa
bersama teman-teman. Suaranya lah yang tidak pernah luput dari ejekan seluruh
murid di sekolah ini. Caranya mendiamkan kelas kami yang tidak pernah duduk tenang
saat ia mengajar, ya bukan kami saja, bahkan seluruh murid di sekolah kami begitu, sangat tidak
mempan. Di balik segala keunikannya Pak Ngadimin merupakan guru yang cerdas bagiku,
caranya mengajar juga lumayan cepat kuterima, tapi entah apa yang membuat
suasana dalam laboratorium waktu itu tidak pernah tenang. Dan Pak Ngadimin selalu sabar
menghadapi kami, nampaknya Bapak sudah terbiasa.
Sekian
hari Sabtu telah kami lewati dan harus dengan sangat terpaksa masuk ke
laboratorium yang ku anggap sangat suram itu. Satu hari saat kami semua telah
masuk kedalam kelas, Pak Ngadimin hanya duduk diam di mejanya, sibuk dengan
kertas-kertas yang ada di hadapannya. Lima menit berlalu ia masih diam saja,
awalnya hal itu menjadi surga bagi kami semua, karna kami dapat ngobrol dan
bermain handphone sesuka hati tanpa ada sedikitpun gubrisan dari Pak Ngadimin.
Lima menit kemudian Pak Ngadimin merapikan kertas-kertas yang ada di hadapannya
lalu berdiri memandangi kami semua.
Sekejap
kami ketakutan dan mengira ia akan menyeramahi kami. Namun nyatanya....
“Yak, selamat pagi semua.” Sapanya
seperti biasa.
“Pagi paak..” Sahut kami juga
seperti biasa, satu dua orang masih betah saja menutup hidung mereka sehingga
suara yang mereka timbulkan percis Pak Ngadimin, tentu saja untuk mengejek.
Dan Pak Ngadimin pun memulai pelajaran, seperti hari Sabtu biasa lainnya yang telah kami lalui.
Dan Pak Ngadimin pun memulai pelajaran, seperti hari Sabtu biasa lainnya yang telah kami lalui.
Teruntuk,
Pak Ngadimin. Begitulah, sedikit cerita yang tertuang dari pikiran randomku
tadi pagi. Tentang kepingan kecil kenangan masa SMK dahulu yang diisi oleh
Bapak, guru yang tak akan mungkin kami lupakan. Kalau ada meriam yang bisa
menembakkan surat ini langsung menuju Bapak, akan kupinjam pada siapapun
pemiliknya, agar saat membacanya Bapak tersenyum dan memaklumi segala kebejatan
kami (walau mungkin Bapak sudah tau) dengan tenang di atas sana :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar