Teruntuk,
(Alm.
Chairil Anwar)
Sore binatang jalang. Aku membayangkan menulis surat ini pada tanggal 28 April
1949, sehari sebelum kematianmu. Entah supaya apa, mungkin biar kelihatan keren
saja. Seorang yang menggemari puisi-puisimu dengan gila, menulis surat tepat
sehari sebelum kematianmu. Membayangkan aku memiliki insting seorang penggemar
hardcore.
Abang
Chairil, tak apalah aku memanggilmu begini. Kalau aku sudah lahir waktu itu
(read: 1922) pun mungkin aku akan memanggilmu begitu. Kita terlahir di Medan,
kota yang sama, namun di masa yang berbeda. Aku ingin menyampaikan dua harapan dalam surat ini. Pertama adalah, aku ingin di dunia paralel sana kita bertemu dalam keadaan apapun, aku ingin menjadi saksi atas kelahiran puisi-puisimu, tentang apa saja yang menginspirasi dan apa saja yang sedang terjadi. Kedua adalah, aku berharap bisa sedikit saja
punya otak sehebat kau bang, hebat membuat puisi. Cukup dalam inginku sehebat itu. Agar kau tau saja bang, sekarang
ini, orang hebat itu cuma yang lolos penilaian satu juri, padahal standar yang
dipakai itu pande-pandean, dibikin-bikin sendiri. Tidak jarang kami khilaf
melupakan kalau mata juri bukannya banyak, sama-sama cuma dua. Masih akan ada
banyak mata lagi yang menganggap kami hebat dengan cara sendiri-sendiri. Sama,
seperti aku memandangmu bang.
Surat
ini adalah tentang nostalgia. Begini, dari semalam tiba-tiba aku mengingat
seorang anak kelas dua SMP yang menulis puisi pertamanya karenamu bang, dia
yang jadi paham setelah membaca sebuah puisi berjudul Derai-derai Cemara kala
itu bahwa sebuah depresi bisa menjelma puisi, ia tersenyum lebar saat menemukan
angin sejuk bersemilir dalam hatinya hanya karena membaca sebuah puisi. Ia
menemukan hasratnya pada puisi. Persetan dengan apa yang dikatakan orang-orang
tentang cengengnya penulis puisi, tentang melankolisnya penulis puisi. Ia berjanji dalam
hatinya akan terus menulis puisi. Ia pun tak peduli dengan kemampuan orang lain
yang meremehkan dan mengatakan apa yang ia buat tak punya isi. Biar, katanya.
Toh ia memang tak pintar, tak punya otak cukup cerdas untuk merangkai kata-kata
dengan keindahan selangit, dengan pengetahuan tingkat dewa. Biar, katanya. Ia
akan terus menulis puisi. Dengan kata-kata sesederhana yang ia mampu,
sesederhana inginnya, agar apa yang ia rasa, setidaknya menjelma jadi puisi,
hasrat yang menyejukkan hatinya. Terima kasih karena telah menjadi inspirasi
buat anak itu (dan akan terus).
Derai-derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Salam,
..........
p.s: (Derai-derai Cemara adalah puisi terfavoritku sepanjang masa. Kau
tau bang, anak itu sebenarnya aku. Haha. Cuma tidak berani saja aku
membilangkannya di awal.)