Hidupku datar, lebih
datar dari TV flat yang tidak benar-benar datar. Menjadi seorang editor adalah
pekerjaan yang menyenangkan, namun setelah selama 3 tahun aku berada di balik
meja dan diatas kursi yang sama ini aku merasa semuanya jadi membosankan. Aku
jadi membenci hal bernama ‘kebiasaan’. Kemarin, hari ini, besok yang kuhadapi
hanyalah naskah, kamus, dan buku-buku yang menyangkut pendalaman ilmu tentang
naskah yang sedang kutangani. Yang membuatku senang hanyalah saat aku
menghadapi penulis pintar, yang punya ide tak tumpang tindih dan bahasa yang
bagus, namun aku hanya bisa menghembuskan napas saat penulis ‘kejam’ datang,
aku tetap harus tersenyum dan menghadapi tugasku sebaik-baiknya. Saat jam makan
siang, aku enggan makan di luar, kantin kantor adalah pilihan tetapku, sebab
Rani, layouter kantor yang kusukai dan merupakan perempuan paling ayu di kantor
selalu makan disana. Semua pria yang ada di kantor menyukainya. Aku sering mendekati
dan mengajaknya ngobrol di kantin namun tak pernah berani mengatakan
perasaanku, aku grogi dan ragu karena dia juga sepertinya cuek dan menganggapku
tak lebih dari sekedar rekan kerja. Dan belakangan ini aku lebih memilih
melihatnya dari meja seberang saja.
Jam pulang kantor
adalah saat aku mau tak mau menonton Gara, si preman pasar dan kawan-kawannya
memalak pedagang dan tukang becak karena kosanku berada di belakang pasar, aku
harus berjalan melewati pasar terlebih dahulu dan melihat orang-orang tidak
berani melawan Gara dan kawan-kawannya itu sebelum pulang setiap hari. Malam-malamku selalu diisi dengan imajinasi
seandainya Rani menyukaiku juga dan hidupku menjadi lebih menyenangkan. Selalu.
Ah, kebiasaan lagi.
*
Rasanya tidurku panjang
sekali, benar saja, sekarang pukul setengah 9 pagi dan aku harus tiba di kantor
pukul 9, sedangkan perjalanan memakan waktu lebih dari setengah jam. Ah, aku
pasti terlambat. Badanku sedikit demam pagi ini, aku meminum obat demam
seadanya yang kumiliki. Dan bersiap-siap dengan terburu-buru. Sesampainya di kantor,
benar saja ini pukul setengah 10. Aku terlambat.
Mbak Dwi sedang
berjalan menuju ruangan Fahri, rekan editor yang ada di sebelahku, saat
melihatku ia terheran.
“Maaf, Mbak. Hari ini
aku telat.”
“Loh, ya bagus. Harusnya yang lain selalu
datang terlambat seperti kamu Vin.” Mbak Dwi menepuk pundakku kemudian ia
langsung berlalu.
Aku terheran
mendengarnya apa mungkin karna Mbak Dwi marah padaku sehingga ia marah dengan
menyindir seperti itu. Aneh sekali. Aku segera duduk di bangkuku, penulis yang
hari ini janji merombak naskahnya denganku belum datang. Sambil menunggu aku
menyalakan laptop dan menonton video random di Youtube, kepalaku pusing dan
badanku sedikit lebih panas dari tadi pagi.
“Pagi Vino.” Sapa Rani
sembari duduk di depan mejaku.
“Eh, pagi r r Rani.”
Aku gelagapan, Rani tiba-tiba ada di ruanganku, sepertinya aku terlalu asik
menonton sehingga menghiraukannya yang masuk ke ruanganku.
“Vin, ntar makan siang
diluar yuk!”
Hah? Aku tak
menyangka. Mimpi apa aku semalam tiba-tiba saja perempuan yang kusukai mengajakku
makan siang bersamanya. Aku langsung mengiyakan ajakannya.
“Yaudah nanti aku
kesini lagi ya tempatnya terserah kamu deh.” Rani tersenyum kemudian beranjak
pergi.
Ini aneh sekali, pertama
Mbak Dwi memujiku karena terlambat, kini Rani yang biasanya cuek dan selalu
makan di kantin kantor mengajakku makan diluar. Namun keanehan kali ini
membuatku senang, sangat senang.
*
Jam 12, sudah waktunya
makan siang. Aku sudah sedari tadi bersiap menyambut Rani di ruangan, akhirnya
ia datang juga.
“Yuk Vin.” Katanya.
“Yuk. Kita ke warung
bakso di tempat langgananku ya, kamu harus cobain. Enak banget.”
“Ohya? Boleh-boleh.”
Kami beranjak pergi.
Kami mengobrol banyak
hal, Rani bercerita tentang hal-hal kesukaannya, dan bertanya banyak tentang
aku. Dia sama sekali tidak cuek terhadapku. Aku ingin mengatakan padanya
kalau aku menyukainya.
“Vin, menurut kamu yang
paling cantik di kantor siapa?” Tiba-tiba ia bertanya.
Ha, ini kesempatan
bagus untuk aku mulai mengatakan kalau aku menyukainya. Kebetulan sekali.
Terimakasih Tuhan.
“Hem kalo menurut aku
ya kamu Ran.“ Aku mencoba menahan grogi.
“Ahahaha kamu bercanda?
Jangan fitnah deh. Semua cowok di kantor tuh pada suka sama Jani. Aku pengen
deh cantik kaya dia. Kamu pasti suka kan.”
Di bayanganku langsung
terpapar sosok Jani yang bertubuh kecil, di wajahnya penuh bekas jerawat, dan
hidung yang jauh dari bangir.
“Ran, kaya Jani kamu
bilang cantik? Terus yang jelek kaya gimana?”
“Ya gausah jauh-jauh
deh, aku. Aku aja ngajak kamu keluar gini takut kamu ngerasa malu sama yang
lain.”
“Hah? Eng, engga kok.”
Rani tertawa. Aku
tersenyum tipis. Kami melanjutkan makan siang ini. Selesai makan aku hendak
membayar, “Berapa Bang?” Tanyaku pada Bang Udin.
“24 ribu Mas Vin.
Bentar ya.” Bang Udin mengambil uang dari laci penyimpanan uangnya. Belum
sempat aku menyodorkan uang yang kuambil dari dompet, Bang Udin menyerahkan
uang 24 ribu padaku.
“Nih Mas. Makasih ya.”
Aku terkejut. Apa-apaan lagi ini?
“Lo kok abang yang
ngasih uang ke saya, harusnya saya toh yang ngasih sebagai pembeli.” Aku
menyodorkan 24 ribu yang ada di tanganku.
“Lho Mas Vino ini
apa-apaan, walaupun langganan mas harusnya nerima duit dari aku toh.” Wajah
Bang Udin tiba-tiba terlihat kesal.
Aku semakin terkejut.
Aku tidak mau malu di depan Rani jadi aku mengalah, aku terima saja uang dari
Bang Udin. Kemudian kembali ke kantor bersama Rani.
Di jalan aku berpikir,
bagaimana bisa yang seharusnya memberi malah menerima? Seperti wakil rakyat
sekarang ini saja, bukannya memberi jasa pada rakyat malah menerima uang haram
yang harusnya untuk rakyat. Semuanya, berbalik. Alisku menyatu sedari pagi.
Mataku membelalak sedari pagi. Mulutku lupa mengatup sedari pagi. Ada yang aneh
dari hari ini.
Aku dan Rani akan
kembali ke meja masing-masing, senang sekali rasanya hari ini walaupun aku
tidak jadi mengungkapkan perasaanku.
“PLAK!” Tiba-tiba Rani menampar pipiku.
Jantungku seketika berdetak kencang, salah apa aku ini?
“Ran, kenapa kamu
nampar aku?”
“Makasih ya Vin udah mau makan siang sama aku.
Aku kira kamu malu keluar sama aku.” Rani tersenyum manis sekali.
“Tapi kenapa tadi?...”
“Yaudah aku balik ke
meja ya.” Belum sempat aku bertanya lagi Rani sudah berlalu.
Aku begitu penasaran
kenapa tiba-tiba Rani menamparku kemudian berterimakasih. Saat aku berjalan
menuju ruangan, aku mendapati Fahri ditampar di kedua pipi oleh Jani, kemudian
Jani pergi meninggalkan Fahri.
“Eh Ri kenapa si Jani
nampar kamu?” Aku bertanya dengan rasa penasaran yang semakin menjadi.
“Ya jelaslah kita kan
udah jadian. Akhirnya Vin aku bisa jadi pacar Jani, cewek idola sekantor
hahaha” Fahri tertawa.
“Lho terus kenapa malah nampar?”
“Kamu ini sok lugu banget ya Vin. Namanya juga
orang sayang, ya nunjukinnya dengan nampar.”
“Bukannya cium?”
“Itu sih kalo benci,
baru dicium. Lugunya kelewatan nih orang. Udah ah aku ke meja dulu Vin.”
Jawaban Fahri membuat
pikiranku campur aduk. Sekarang yang aneh ini siapa? Namun aku tiba-tiba sadar mengapa
Rani menamparku tadi, itu karna Rani menyukaiku. Ah, aku senang sekali.
Akhirnya imajinasiku setiap malam menjadi nyata.
*
Dunia ini sudah
terbalik, sangat-sangat berbalik. Di perjalanan pulang seperti biasa aku
melihat Gara, si preman pasar itu dan kawan-kawannya memalak lagi. Sepertinya
hanya ini kebiasaan normal yang tersisa hari ini.
Tunggu, kali ini
orang-orang seperti menonton aksi mereka, tidak ada yang berusaha menghindar
atau pura-pura tidak tahu. Aku melihat seksama pada Gara, ia menarik kerah baju
si pedagang lalu memberikannya uang 20 ribu dengan paksa. Si pedagang menerima
dengan takut-takut. Kemudian semua orang di pasar bertepuk tangan seakan salut
pada tindakan mereka.
Aku melangkahkan kakiku
lebih cepat. Sungguh aku lelah dengan semua keanehan ini.
*
Di depan gang kulihat
seorang wanita tak sengaja menjatuhkan tas jinjing yang dibawanya. Aku hanya melihatnya
karna kurasa ia sadar sudah menjatuhkannya, namun ia tetap terus berjalan.
Segera kuambil tas ini dan berlari menyusul wanita itu.
“Bu, bu.” aku menepuk
pelan pundak wanita tua itu.
Ia berbalik badan.
“Ya?”
“Ini tadi tas ibu
jatuh.” aku masih tereengah-engah.
Wanita itu membuka isi
tasnya dan melihat isinya masih lengkap, namun seketika ia panik dan langsung
berteriak, “Copet!!!” Apa-apaan? Bukannya bilang terimakasih karena aku telah
mengembalikan tasnya aku malah dituduh copet?
Entah datangnya
darimana 5 warga berlari ke arahku, aku benar-benar syok yang kupikirkan
hanyalah lari, mereka berusaha mengejarku. Namun apa daya aku tertangkap sebab
warga dari arah berlainan datang mengejarku juga.
Apa aku harus dihukum
karena kejahatan yang sama sekali tidak kulakukan. Aku dengan jujur
mengembalikan tas tadi, biasanya jujur adalah hal yang benar. Biasanya. Ah aku
lupa kini duniaku berbalik, yang biasanya kini tak lagi biasa. Aku memang
membenci kebiasaan tapi tidak juga harus jadi begini. Yang benar menjadi salah.
Tunggu, sepertinya...
Aku dibawa ke rumah Pak
RT. Dan berharap apa yang ada dalam pikiranku benar.
“Ini, silahkan berlibur
bersama orang yang kamu sayangi dengan sebebas-bebasnya.” Pak RT memberikan
paket liburan ke Bali bagi 2 orang padaku.
Pikiranku tadi benar. Harusnya
aku dikurung di dalam penjara namun di duniaku kini, aku dibebaskan sebebas-bebasnya.
Siapa lagi orang yang akan kuajak menikmati kebebasan ini? Aku membayangkan
betapa indahnya pergi liburan bersama perempuan yang kusukai. Ah...
“Mas Vino? Hei!” Cindi
melayang-layangkan telapak tangannya di depan wajahku yang melamun. Aku
memandangi video di Youtube dengan tatapan kosong sehingga aku menghiraukan
kehadiran Cindi si penulis yang sedang aku tunggu tadi.
Alisku menyatu, mataku
membelalak, mulutku menganga. Ada yang aneh dari hari ini. Aku memegangi
keningku sendiri, masih panas. Mungkin ini efek obat demam yang kuminum
sehingga khayalanku jadi aneh sekali.
-selesai-