Revenge and The Wedding

Ilustrated by: kenwendyad

Lama aku mematut diri didepan kaca. Mengagumi sosok yang dipantulkan cermin usang ini. Sosok seorang gadis berumur 20 tahun, mengenakan gaun pengantin putih bersih yang berenda di pergelangan tangan, dan menjulang panjang terseret pada bagian belakang. Baru hari ini aku memakai make up setebal ini – dengan blush on dan mascara—paling banter aku memakai bedak padat bekas pemberian Maria, seorang pelacur yang tinggal disebelah rumahku. Maria memang pelacur, tapi dia lah wanita yang memberikan jasa besar dalam hidupku yang melarat ini. Bukan, dia bukan mengajakku mengikuti jejaknya. Dia juga tidak menginginkan menjadi seorang pelacur, lagi-lagi hidup melaratlah yang membuat setan menghembuskan godaan menyesatkan pada ibunya, untuk memaksa Maria seperti itu setelah lulus SMA. Apa mau dikata, setelah ibunya meninggal, Maria telah terbiasa dan menikmati pekerjaan ini. Sifatnya yang realistis menuntun aku menghadapi hidup yang bagaikan sebuah lintasan olimpiade cabang lari jarak jauh, aku seorang pelari yang kakinya tidak sengaja terkena lem setan dengan sebuah batu bata. Entah bagaimana ceritanya, aku harus berjuang mencapai garis finish tanpa perlawanan. Jika berusaha mencabut batu bata itu, bisa-bisa menguliti diri sendiri. Maria mengambil peran sebagai kakak yang tak pernah aku punya dalam skenario hidup yang Tuhan ciptakan untukku.

Tok, tok, tok. Terdengar bunyi pintu kamarku diketuk dari luar. Heran, sejak kapan ada yang mengetuk dulu sebelum masuk. Bapak tidak pernah melakukannya, Bapak sesuka hatinya saja masuk kedalam kamar ini, lebih tepatnya karena kamar ini dimiliki oleh kami berdua. Hanya ada satu kamar dirumah ku yang sangat sederhana ini. Meskipun aku anaknya, adalah tidak mungkin aku tidur bersama Bapak. Sebagai anak yang baik, aku harus berusaha menyamankan diri tidur diluar, di sofa bewarna putih lusuh yang dulu saat masih baru bewarna peach lembut. Untuk urusan berganti pakaian aku lakukan dikamar mandi. Tidak ada privasi, tidak ada waktu untuk mengunci pintu kamar dan bermesraan dengan pacar di telepon, tidak pula untuk melamun dan berangan-angan sendirian di kamar. Kalau Bapak masuk, bisa-bisa dikira orang gila. Dilihatnya anak gadis sematang wayangnya ini senyum-senyum sendiri, bermimpi satu goni emas turun dari langit.

“Masuk,” aku mengatakannya dengan canggung.

“Haihai. Raisaa, gila, cantik bener ni anak,” Maria masuk dengan senyum yang menarik bibir tipisnya dan mata yang berseri-seri. Umur Maria tiga puluh lima, tapi jika sedang berjalan bersama, kami seperti dua anak remaja yang hang out dengan penampilan necis. Muka babyface tidak sepadan dengan usianya. “Nggak salah deh aku pilih mbak Dewi yang dandanin kamu. Beneran cantik deh,” mbak Dewi adalah pemilik salon langganan Maria.

Aku tersenyum, “Eh kesambet apa mbak, masuk pake ketok dulu. Biasa juga nyosor aja.”

“Ya nggak papa kali, biar agak formal di hari bahagia gitu, hihihi,” Maria cekikan.

“Mbak, deg-degan...”

“Relax, Sa. Namanya juga mau nikah, wajar kok deg-degan.” Maria menepuk-nepuk hidungku yang dipenuhi bulir-bulir keringat dengan tissue. “Udah yuk, Bapak udah siap diluar tuh. Mobil juga udah dateng.”

Aku mengangguk. Bapak sejenak memandangiku, mungkin ia terharu, atau juga bimbang? Bapak, seorang sosok yang begitu aku sayangi. Bapak yang memiliki cinta yang begitu besar pada Ibu, yang terenggut nyawanya karena penyakit asma akut saat aku berumur delapan tahun. Bapak menggenapkan cintanya pada Ibu dengan membesarkanku sepenuh hati, tidak dengan mencari pengganti Ibu. Akhirnya kami bertiga masuk ke dalam mobil dengan supir yang telah siap didalamnya, lalu melaju menuju masjid tempat akad akan berlangsung.

*

“Sah?” “Sah.” “Alhamdulillah,” Al Fatihah berkumandang. Semuanya terdengar bagaikan gesekan biola yang melantunkan melodi Beethoven – Fur Elise di telingaku. Hari yang kunantikan akhirnya tiba, aku menikah di umur yang masih begitu muda. Disaat anak muda lain menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang di bangku kuliah, aku dengan mantap memilih Fernand Warren. Pria indo, keturunan Italia yang lebih tua sepuluh tahun dariku, pria yang menjabat sebagai direktur utama di Warren Group, sebuah ‘kerajaan’ perusahaan kosmetik terkenal di Indonesia. Bagaimana mungkin aku yang upik abu ini, yang seorang anak yatim, tinggal di rumah yang hanya memiliki satu kamar, dengan Bapak yang bekerja sebagai seorang satpam menikah dengan lelaki yang bahkan kulitnya hampir tak pernah terpapar sinar matahari? Hanya Tuhan yang tahu.

Setelah akad, kami langsung menuju ke tempat resepsi, salah satu hotel berbintang lima di kota Medan. Hatiku kosong, sampai laba-laba pun mampu membangun jaring didalamnya. Berdebu, ingatanku kembali melayang pada waktu silam. Waktu dimana pertama kalinya aku membenci sosok-sosok manusia.

*

Tepat dua tahun lalu. Yang kuingat waktu itu aku sedang berada dalam mobil yang melaju pelan menyusuri jalan panjang dipenuhi pepohonan hijau di kanan dan kirinya, aku melihat sekeliling, inikah yang namanya boulevard itu? Indah sekali, tidak terlihat satu sampahpun yang tercecer di sudut jalan, asri dan sejuk.

“Buka jendela ya?” Tanyaku pada Leon Anarkali, yang sedang menyetir didepan.

“Yaampun yaudah buka aja.” Leon tersenyum, dengan senyum tipisnya yang mampu meluluhkan hati ribuan wanita, tidak terkecuali aku. “Hmmm..” Aku bergumam menikmati angin yang menampar wajahku. Aku mencuri pandang kearah Bapak yang duduk didepan bersama Leon. Wajahnya datar, tapi tidak dapat ditutupi raut mukanya yang juga menikmati jalan yang kusebut boulevard ini.

“Mama kamu itu kaya gimana sih Yon? Aku bertanya lagi.”

“Gimana ya. Mama itu udah tua tapi penampilan nomor satu buat dia. Perfeksionis.”

Hening. Perfeksionis? Mendengar kata itu membuat aku bergidik ngeri. Apa iya aku akan direstui menjadi pasangan hidup Leon? Besok adalah hari ulang tahun mama Leon, Leon mengundang aku dan Bapak datang ke acara besar-besaran di vila mereka, pesta semalam suntuk katanya. Seluruh rekan bisnis Anarkali Pharmaeutichals, perusahaan keluarga Anarkali, yang bergerak dibidang obat-obatan dan kosmetik, diundang. Aku yakin pesta ini akan sangat meriah, namun ada sedikit rasa minder yang merasuk didadaku. Leon ingin memperkenalkan aku dan Bapak pada mamanya yang saat ini memimpin perusahaan, yang sebentar lagi akan jatuh ke tangan Leon.

Betapa beruntungnya aku. Leon pernah bilang kalau aku membikinnya tergila-gila karena wajahku yang manis dan keintelektualanku. Aku memang hanya tamatan SMA, tapi aku mampu berpartisipasi di kantor pusat partai Demokrat untuk berkampanye melanjutkan pemerintahan SBY. Bertemu dengan Leon yang  juga senang politik adalah satu dari sekian banyak probabilitas indah yang terjadi di dunia ini untukku. Kami menjadi dekat disana, tentunya Leon menduduki jabatan yang lebih penting karena saat ini dia telah memperoleh gelar S.H dibelakang namanya— jauh dari takdirnya yang sudah pasti akan menjadi pebisnis. Usia yang empat tahun lebih tua membuat aku merasa dia mampu melindungiku. Leon membagi masyarakat Indonesia menjadi dua bagian: mereka yang mendukung SBY dan yang tidak.

"Aku cerita sama Mama kalau kamu pintar." Leon tersenyum.

Bapak masih diam saja.

“Pak?” Aku memecah keheningan. Bapak menoleh.

“Kok diem aja?”

“Nggak enak hati.”

“Kenapa Pak? Kalo Bapak nggak mau ikut ya bilang.”

“Nggak, nggak papa kok.” Bapak tersenyum. Ada yang ganjil pada senyum Bapak. Apa Bapak juga merasakan hal yang sama? Takut tidak diterima keluarga Leon?

Kami sampai di vila. Dua pilar bercat putih berdiri anggun di depan pintu besar. Persis seperti rumah orang kaya yang sering kutonton di sinetron. “Ini sih bukan vila, istana ini!” Batinku. Aku menenteng tas berisi pakaian aku dan Bapak yang tidak seberapa banyak. Cukuplah untuk menginap dua malam. Kami masuk ke dalam yang lebih membuatku tercengang dari melihat bagian depan vila. Leon mengantar aku dan Bapak ke kamar tamu, kami dibiarkan beristirahat sampai nanti, makan malam bersama mama Leon yang baru akan sampai malam nanti.

*

“Ooh, pemulung ya? Sehari bisa dapet berapaan Pak? Nada bicaranya halus, tapi aku tahu itu sebuah tusukan dari ribuan bilah pisau yang tepat menancap didadaku. Bapak mengangguk sambil tersenyum. Ariani Anarkali, mama Leon yang menawan ini. Rambutnya panjang bewarna coklat lurus terurai.

Setelah pertanyaan itu meluncur dari bibir berlipstik merah marun itu, aku hanya bisa diam dan membiarkan bapak menjawab seapaadanya. Yang aku herankan, tangannya tak henti-henti membetulkan letak bros - yang menurutku harganya setara dengan biaya makan aku dan bapak selama setahun dan letaknya baik-baik saja, pada baju bagian dada kirinya.  

Setelah itu suasana dingin, beku, tak ada pembicaraan antara aku, Bapak, Leon, dan Ariani Anarkali (biarkan saja aku menyebut namanya, tak sudi aku memanggilnya Ibu, walau di depannya begitu, Nyonya, ataupun Tante). Rasanya aku ingin buru-buru lenyap dari meja makan raksasa ini.

Setelah malam itu yang kuingat hanyalah potongan-potongan kejadian yang paling kubenci seumur hidup. Penggeledahan oleh satpam penjaga villa mewah itu, bros mahal yang secara ajaib berada di tas ku, penghakiman sepihak oleh Leon beserta yang terhormat Ariani Arkali, Leon yang dengan mengejutkannya menjelma jadi kucing sial, pengecut, sampah, dan hanya bisa menunduk diam tanpa melakukan perlawanan bahkan tak sedikitpun membela aku, yang ia sebut kekasihnya. Yang kuingat adalah tanganku yang mengepal erat, dan didalamnya ada harga diri yang jatuh ke perut bumi. Begitu saja angkat kaki dari istana menjijikkan itu bersama Bapak yang juga sama sepertiku, Bapak hanya bisa diam, namun aku tahu dendamnya meraksasa.

*

Resepsi berlangsung meriah. Hatiku tetap kosong, sampai laba-laba telah usai membangun jaring didalamnya. Berdebu, ingatanku kembali pada detik ini. Waktu dimana aku telah menjadi istri pemilik salah satu kerajaan kosmetik di Indonesia, yang dapat dengan mudahnya melenggang di hadapan Leon dan Ariani Anarkali dengan kepala terangkat. Bahkan (mungkin sesuai rencanaku) menjatuhkan harga diri kedua manusia angkuh itu ke perut bumi.

SELESAI

“Kau boleh kaya materi, namun genapkanlah kekayaan itu dengan tidak merendahkan orang lain.”


“Dendamlah, maka segala yang kau inginkan akan teraih. Namun dendam serupa mata pisau yang menyajikanmu dua pilihan, terpuji atau kejam.”

(Ending cerpennya keburu-buru. Ya gini emang, selalu. Huft. Yasudahlah nanti diperbaiki lagi.)