Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Revenge and The Wedding

Ilustrated by: kenwendyad

Lama aku mematut diri didepan kaca. Mengagumi sosok yang dipantulkan cermin usang ini. Sosok seorang gadis berumur 20 tahun, mengenakan gaun pengantin putih bersih yang berenda di pergelangan tangan, dan menjulang panjang terseret pada bagian belakang. Baru hari ini aku memakai make up setebal ini – dengan blush on dan mascara—paling banter aku memakai bedak padat bekas pemberian Maria, seorang pelacur yang tinggal disebelah rumahku. Maria memang pelacur, tapi dia lah wanita yang memberikan jasa besar dalam hidupku yang melarat ini. Bukan, dia bukan mengajakku mengikuti jejaknya. Dia juga tidak menginginkan menjadi seorang pelacur, lagi-lagi hidup melaratlah yang membuat setan menghembuskan godaan menyesatkan pada ibunya, untuk memaksa Maria seperti itu setelah lulus SMA. Apa mau dikata, setelah ibunya meninggal, Maria telah terbiasa dan menikmati pekerjaan ini. Sifatnya yang realistis menuntun aku menghadapi hidup yang bagaikan sebuah lintasan olimpiade cabang lari jarak jauh, aku seorang pelari yang kakinya tidak sengaja terkena lem setan dengan sebuah batu bata. Entah bagaimana ceritanya, aku harus berjuang mencapai garis finish tanpa perlawanan. Jika berusaha mencabut batu bata itu, bisa-bisa menguliti diri sendiri. Maria mengambil peran sebagai kakak yang tak pernah aku punya dalam skenario hidup yang Tuhan ciptakan untukku.

Tok, tok, tok. Terdengar bunyi pintu kamarku diketuk dari luar. Heran, sejak kapan ada yang mengetuk dulu sebelum masuk. Bapak tidak pernah melakukannya, Bapak sesuka hatinya saja masuk kedalam kamar ini, lebih tepatnya karena kamar ini dimiliki oleh kami berdua. Hanya ada satu kamar dirumah ku yang sangat sederhana ini. Meskipun aku anaknya, adalah tidak mungkin aku tidur bersama Bapak. Sebagai anak yang baik, aku harus berusaha menyamankan diri tidur diluar, di sofa bewarna putih lusuh yang dulu saat masih baru bewarna peach lembut. Untuk urusan berganti pakaian aku lakukan dikamar mandi. Tidak ada privasi, tidak ada waktu untuk mengunci pintu kamar dan bermesraan dengan pacar di telepon, tidak pula untuk melamun dan berangan-angan sendirian di kamar. Kalau Bapak masuk, bisa-bisa dikira orang gila. Dilihatnya anak gadis sematang wayangnya ini senyum-senyum sendiri, bermimpi satu goni emas turun dari langit.

“Masuk,” aku mengatakannya dengan canggung.

“Haihai. Raisaa, gila, cantik bener ni anak,” Maria masuk dengan senyum yang menarik bibir tipisnya dan mata yang berseri-seri. Umur Maria tiga puluh lima, tapi jika sedang berjalan bersama, kami seperti dua anak remaja yang hang out dengan penampilan necis. Muka babyface tidak sepadan dengan usianya. “Nggak salah deh aku pilih mbak Dewi yang dandanin kamu. Beneran cantik deh,” mbak Dewi adalah pemilik salon langganan Maria.

Aku tersenyum, “Eh kesambet apa mbak, masuk pake ketok dulu. Biasa juga nyosor aja.”

“Ya nggak papa kali, biar agak formal di hari bahagia gitu, hihihi,” Maria cekikan.

“Mbak, deg-degan...”

“Relax, Sa. Namanya juga mau nikah, wajar kok deg-degan.” Maria menepuk-nepuk hidungku yang dipenuhi bulir-bulir keringat dengan tissue. “Udah yuk, Bapak udah siap diluar tuh. Mobil juga udah dateng.”

Aku mengangguk. Bapak sejenak memandangiku, mungkin ia terharu, atau juga bimbang? Bapak, seorang sosok yang begitu aku sayangi. Bapak yang memiliki cinta yang begitu besar pada Ibu, yang terenggut nyawanya karena penyakit asma akut saat aku berumur delapan tahun. Bapak menggenapkan cintanya pada Ibu dengan membesarkanku sepenuh hati, tidak dengan mencari pengganti Ibu. Akhirnya kami bertiga masuk ke dalam mobil dengan supir yang telah siap didalamnya, lalu melaju menuju masjid tempat akad akan berlangsung.

*

“Sah?” “Sah.” “Alhamdulillah,” Al Fatihah berkumandang. Semuanya terdengar bagaikan gesekan biola yang melantunkan melodi Beethoven – Fur Elise di telingaku. Hari yang kunantikan akhirnya tiba, aku menikah di umur yang masih begitu muda. Disaat anak muda lain menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang di bangku kuliah, aku dengan mantap memilih Fernand Warren. Pria indo, keturunan Italia yang lebih tua sepuluh tahun dariku, pria yang menjabat sebagai direktur utama di Warren Group, sebuah ‘kerajaan’ perusahaan kosmetik terkenal di Indonesia. Bagaimana mungkin aku yang upik abu ini, yang seorang anak yatim, tinggal di rumah yang hanya memiliki satu kamar, dengan Bapak yang bekerja sebagai seorang satpam menikah dengan lelaki yang bahkan kulitnya hampir tak pernah terpapar sinar matahari? Hanya Tuhan yang tahu.

Setelah akad, kami langsung menuju ke tempat resepsi, salah satu hotel berbintang lima di kota Medan. Hatiku kosong, sampai laba-laba pun mampu membangun jaring didalamnya. Berdebu, ingatanku kembali melayang pada waktu silam. Waktu dimana pertama kalinya aku membenci sosok-sosok manusia.

*

Tepat dua tahun lalu. Yang kuingat waktu itu aku sedang berada dalam mobil yang melaju pelan menyusuri jalan panjang dipenuhi pepohonan hijau di kanan dan kirinya, aku melihat sekeliling, inikah yang namanya boulevard itu? Indah sekali, tidak terlihat satu sampahpun yang tercecer di sudut jalan, asri dan sejuk.

“Buka jendela ya?” Tanyaku pada Leon Anarkali, yang sedang menyetir didepan.

“Yaampun yaudah buka aja.” Leon tersenyum, dengan senyum tipisnya yang mampu meluluhkan hati ribuan wanita, tidak terkecuali aku. “Hmmm..” Aku bergumam menikmati angin yang menampar wajahku. Aku mencuri pandang kearah Bapak yang duduk didepan bersama Leon. Wajahnya datar, tapi tidak dapat ditutupi raut mukanya yang juga menikmati jalan yang kusebut boulevard ini.

“Mama kamu itu kaya gimana sih Yon? Aku bertanya lagi.”

“Gimana ya. Mama itu udah tua tapi penampilan nomor satu buat dia. Perfeksionis.”

Hening. Perfeksionis? Mendengar kata itu membuat aku bergidik ngeri. Apa iya aku akan direstui menjadi pasangan hidup Leon? Besok adalah hari ulang tahun mama Leon, Leon mengundang aku dan Bapak datang ke acara besar-besaran di vila mereka, pesta semalam suntuk katanya. Seluruh rekan bisnis Anarkali Pharmaeutichals, perusahaan keluarga Anarkali, yang bergerak dibidang obat-obatan dan kosmetik, diundang. Aku yakin pesta ini akan sangat meriah, namun ada sedikit rasa minder yang merasuk didadaku. Leon ingin memperkenalkan aku dan Bapak pada mamanya yang saat ini memimpin perusahaan, yang sebentar lagi akan jatuh ke tangan Leon.

Betapa beruntungnya aku. Leon pernah bilang kalau aku membikinnya tergila-gila karena wajahku yang manis dan keintelektualanku. Aku memang hanya tamatan SMA, tapi aku mampu berpartisipasi di kantor pusat partai Demokrat untuk berkampanye melanjutkan pemerintahan SBY. Bertemu dengan Leon yang  juga senang politik adalah satu dari sekian banyak probabilitas indah yang terjadi di dunia ini untukku. Kami menjadi dekat disana, tentunya Leon menduduki jabatan yang lebih penting karena saat ini dia telah memperoleh gelar S.H dibelakang namanya— jauh dari takdirnya yang sudah pasti akan menjadi pebisnis. Usia yang empat tahun lebih tua membuat aku merasa dia mampu melindungiku. Leon membagi masyarakat Indonesia menjadi dua bagian: mereka yang mendukung SBY dan yang tidak.

"Aku cerita sama Mama kalau kamu pintar." Leon tersenyum.

Bapak masih diam saja.

“Pak?” Aku memecah keheningan. Bapak menoleh.

“Kok diem aja?”

“Nggak enak hati.”

“Kenapa Pak? Kalo Bapak nggak mau ikut ya bilang.”

“Nggak, nggak papa kok.” Bapak tersenyum. Ada yang ganjil pada senyum Bapak. Apa Bapak juga merasakan hal yang sama? Takut tidak diterima keluarga Leon?

Kami sampai di vila. Dua pilar bercat putih berdiri anggun di depan pintu besar. Persis seperti rumah orang kaya yang sering kutonton di sinetron. “Ini sih bukan vila, istana ini!” Batinku. Aku menenteng tas berisi pakaian aku dan Bapak yang tidak seberapa banyak. Cukuplah untuk menginap dua malam. Kami masuk ke dalam yang lebih membuatku tercengang dari melihat bagian depan vila. Leon mengantar aku dan Bapak ke kamar tamu, kami dibiarkan beristirahat sampai nanti, makan malam bersama mama Leon yang baru akan sampai malam nanti.

*

“Ooh, pemulung ya? Sehari bisa dapet berapaan Pak? Nada bicaranya halus, tapi aku tahu itu sebuah tusukan dari ribuan bilah pisau yang tepat menancap didadaku. Bapak mengangguk sambil tersenyum. Ariani Anarkali, mama Leon yang menawan ini. Rambutnya panjang bewarna coklat lurus terurai.

Setelah pertanyaan itu meluncur dari bibir berlipstik merah marun itu, aku hanya bisa diam dan membiarkan bapak menjawab seapaadanya. Yang aku herankan, tangannya tak henti-henti membetulkan letak bros - yang menurutku harganya setara dengan biaya makan aku dan bapak selama setahun dan letaknya baik-baik saja, pada baju bagian dada kirinya.  

Setelah itu suasana dingin, beku, tak ada pembicaraan antara aku, Bapak, Leon, dan Ariani Anarkali (biarkan saja aku menyebut namanya, tak sudi aku memanggilnya Ibu, walau di depannya begitu, Nyonya, ataupun Tante). Rasanya aku ingin buru-buru lenyap dari meja makan raksasa ini.

Setelah malam itu yang kuingat hanyalah potongan-potongan kejadian yang paling kubenci seumur hidup. Penggeledahan oleh satpam penjaga villa mewah itu, bros mahal yang secara ajaib berada di tas ku, penghakiman sepihak oleh Leon beserta yang terhormat Ariani Arkali, Leon yang dengan mengejutkannya menjelma jadi kucing sial, pengecut, sampah, dan hanya bisa menunduk diam tanpa melakukan perlawanan bahkan tak sedikitpun membela aku, yang ia sebut kekasihnya. Yang kuingat adalah tanganku yang mengepal erat, dan didalamnya ada harga diri yang jatuh ke perut bumi. Begitu saja angkat kaki dari istana menjijikkan itu bersama Bapak yang juga sama sepertiku, Bapak hanya bisa diam, namun aku tahu dendamnya meraksasa.

*

Resepsi berlangsung meriah. Hatiku tetap kosong, sampai laba-laba telah usai membangun jaring didalamnya. Berdebu, ingatanku kembali pada detik ini. Waktu dimana aku telah menjadi istri pemilik salah satu kerajaan kosmetik di Indonesia, yang dapat dengan mudahnya melenggang di hadapan Leon dan Ariani Anarkali dengan kepala terangkat. Bahkan (mungkin sesuai rencanaku) menjatuhkan harga diri kedua manusia angkuh itu ke perut bumi.

SELESAI

“Kau boleh kaya materi, namun genapkanlah kekayaan itu dengan tidak merendahkan orang lain.”


“Dendamlah, maka segala yang kau inginkan akan teraih. Namun dendam serupa mata pisau yang menyajikanmu dua pilihan, terpuji atau kejam.”

(Ending cerpennya keburu-buru. Ya gini emang, selalu. Huft. Yasudahlah nanti diperbaiki lagi.)

Fania

Medan, Februari 1977.

Sepuluh bulan setelah Ekaprasatya Prakarsa, dimana Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila. Dimana penghayatan sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” seakan terkoyak. Fania Rachman berlari tunggang langgang dengan kaki telanjang dan tubuh penuh bekas cakaran di jalan yang dikelilingi deretan ruko-ruko sepi kota Medan. Tangan kanannya memegang sebuah kotak susu dan tangan kirinya menggengam sebuah plat nama kecil. Wajahnya ketakutan, penuh dengan keringat dan memar, sama sekali tidak terlihat seperti gadis berumur tujuh belas tahun yang kehilangan masa remajanya. Ia menoleh ke belakang, lelaki itu tidak mengejar lagi, pikirnya. Namun ia tetap tidak memperlambat laju larinya. Mulutnya tak henti mengucap doa agar ia diberi kekuatan untuk berlari lebih lama lagi menuju rumah. Dalam doanya, ia juga berharap agar ibu tirinya, Radisa, mengizinkannya mengambil air bersih yang akhir-akhir ini sangat sulit didapatkan oleh setiap keluarga di daerah rumahnya yang kumuh, untuk dipanaskan dan membersihkan tubuhnya yang kotor- untuk membersihkan noda yang dibuat oleh lelaki itu. Sedikit saja, dan mungkin rentetan makian Radisa pun hanya akan terdengar bagai gesekan biola yang memainkan alunan klasik Beethoven di telinganya.

Fania sampai di depan rumahnya. Rumah bobrok, dinding-dindingnya seperti hanya dibuat dari kayu direkatkan oleh lem. Ia melihat ke pos di seberang. Sekarang pos itu menjadi tempat tongkrongan para pengangguran untuk minum kopi hingga larut malam, membicarakan (atau hanya berguyon sesukanya) tentang pemerintahan. Tentang stabilitas ekonomi Indonesia yang selalu dikumandangkan pemerintah, dwifungsi ABRI, dan pembangunan nasional. Orde baru memberikan harapan bagi mereka kalau-kalau suatu saat bisa mendapatkan pekerjaan bermodalkan ijazah SMA. Di pos tersebut masih terlihat jelas tulisan PKI yang disertai dengan silang warna merah, serta sebuah jam diding yang masih berfungsi. Waktu menunjukkan pukul satu malam. Fania mempererat genggaman susu dan plat nama di kedua tangannya. Susu murahan untuk wanita hamil yang dibawanya sebagai buah tangan untuk ibu tiri yang dibencinya. Reinald, tertera sebuah nama pada plat yang ia genggam. Fania tahu itu akan menjadi bukti dan menunjukkan pada polisi, menuju lelaki yang telah menganiayanya. Ia berharap ibu tiri dan ayahnya sudah tidur, ia mendorong pintu, pintu rapuh itu berderit, hingga terdengar teriakan yang hampir merobohkan seisi rumah.

“Ya Tuhan!” ibu tirinya berteriak, sambil berusaha bangkit dari duduknya di sofa yang tidak layak untuk digunakan lagi, tempat biasa Fania dibiarkan tidur. Perutnya yang sedang mengandung tujuh bulan dan badannya yang gemuk membuatnya kesulitan untuk berdiri. “Hah! Bajumu koyak-koyak macam berandalan, kenapa mukamu, ceker ayam lagi kau. Siapa yang buat?!”

Fania langsung terduduk lemas, ia menangis sekeras-kerasnya. Kedua tangannya masih menggenggam erat, ibu tirinya tak mampu berbicara lagi. Radisa hanya melihat anak tirinya itu dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

“Pasti preman-preman itu! Sialan!” pekik Ferdi, ayah Fania, mukanya merah padam. “Siapa yang buat kau begini? Bilang! Biar kugantung mereka!”

Tangis Fania terhenti, ia jatuh tertidur karena kehabisan tenaga.

“Angkat dulu anakmu itu ke tempat tidur. Panggil perawat di puskemas. Baru kau gantung preman itu.” Perintah ibu tirinya. Sayup-sayup Fania mendengar suara ibu tirinya itu, dan  menyadari tubuhnya telah diangkat ke tempat tidur. Tangan kanannya masih menggenggam erat sebuah plat nama, sedangkan sekotak susu itu tergeletak di dekat pintu. Saat akan menuju ke kamar, ibu tirinya melihat kotak susu tersebut, mengambilnya lalu berjalan ke tempat Fania dibaringkan,  satu-satunya ruang tidur di rumah kumuh itu.

Ibu tirinya duduk disamping tempat tidur. Fania mulai menangis lagi, dengan napas yang memburu. “Tolong,” ia berbisik. “Badanku...”

“Ferdi sebentar. Rebus air di tong, semuanya. Sekarang, untuk anakmu.” Perintah Radisa pada suaminya. Ferdi baru akan pergi memanggil perawat, ia memandang bingung istrinya dengan wajah yang masih dipenuhi amarah.

Radisa mengusap-usap dahi Fania dengan lembut. “Kalau saja  ibumu melihat keadaanmu begini. Kasihan.”
Fania ingin segera meninju bibir wanita gempal itu. Berani sekali ia membawa-bawa nama ibunya di saat begini. Namun ia terlalu lemah sekarang. Ia teringat bagaimana dulu, ayahnya tanpa segan membawa wanita itu kerumahnya dan mengatakan akan menikahinya. Ibunya yang menderita asma akut langsung pingsan dan tak dapat tertolong saat dibawa ke rumah sakit. Sejak itu Fania begitu dendam pada mereka berdua, ia ingin lari dari rumah. Tapi ia tidak memiliki siapapu yang memiliki hubungan darah dengannya, satu-satunya yang ia miliki hanya ayah yang bejat itu, yang kerjanya hanya bisa menghabiskan uang hasil memalak di kedai kopi. Sedangkan ibunya yang mencari nafkah dengan bekerja pada salah satu hotel murahan di tengah kota. Ibunya mengurusi kebersihan dan keindahan hotel, setiap pulang bekerja Fania selalu dibawakan setangkai dua tangkai bunga, sisa dari menyusun bunga pada vas-vas hotel. Fania senang mengumpulkannya dan meletakkannya pada botol bekas yang telah diisi air agar bunga itu tetap hidup. Ibunya adalah wanita yang sangat lembut,  bagi Fania, ibunya lah berkah ditengah kekejaman hidup yang diterimanya. Sangat berbeda dengan wanita itu, yang keras dan tak mempunyai belas kasih terhadapnya. Fania putus sekolah dan dipekerjakan di sebuah bar, tempat segala bentuk prostitusi berlangsung, sebagai cleaning service menggantikannya. Bar itulah yang mempertemukan wanita itu dengan ayahnya.  

“Buka tanganmu!” Ibu tirinya melihat kepalan tangan kanannya yang sedari tadi digenggamnya erat-erat.  “Apalagi itu? Apa lebih berguna lagi dari susu yang kau bawa untukku?” Dari matanya terlihat jelas bahwa ibu tirinya berharap yang berada di kepalan tangannya adalah uang, wanita itu kelaparan.

Fania meringis menahan memar-memar pada wajahnya. Segera dibukanya kepalannya. Berharap ibu tirinya mengenali nama yang ada pada plat tersebut. Ayahnya masuk membawa tempat berisi air panas. “Tidak ada perawat yang berjaga,” serunya.

“Keluar kau. Aku yang akan mengurusnya.” ibu tirinya mengambil tempat air panas itu dan mengambil sebuah handuk untuk membersihkan tubuh Fania.

“Ya. Kau sudah tau siapa yang buat begini?”

“Ini. Kau carilah sampai dapat, aku tidak kenal.” Radisa memberikan plat nama itu kepada suaminya. “Sekarang keluar kau.”

*

Perlakuan ibu tirinya membuat Fania heran. Bagaimana wanita gempal yang kasar ini bisa begitu lembut merawatnya. Ya, mereka sama seperti perempuan pada umumnya; takut diperkosa. Mungkin hanya itulah satu-satunya alasan ibu tirinya seperti ini. Fania merasa tubuhnya sudah sedikit membaik, memar-memar pada wajahnya tidak terlalu mendenyut lagi, tenaganya pun telah pulih. Tapi dia membiarkan saja tubuhnya tetap terlihat lemah dan ibu tirinya tetap menjaganya, menyuapi nasi dengan lauk seadanya. Hati dan pikirannya terasa pedih mengingat peristiwa memalukan yang terjadi beberapa jam yang lalu...


* BERSAMBUNG *

11:11

Sajak ini menceritakan tentang seorang gadis. 

Setiap jam 11:11 dia selalu mengucapkan permohonan dalam hati. Agar suatu hari nanti, ia dapat bersama dengan dia, laki-laki yang ia cintai. Meskipun bertahun-tahun sudah berlalu, meskipun dia sudah dewasa. Dia masih membuat permohonan yang sama. Meskipun foto lelaki yang selalu ia pandangi itu sudah memburam. Dan dia sudah berkemas untuk menggapai mimpi-mimpinya. Dan lelaki itu bukan lagi prioritas utamanya. Tapi lagi-lagi ia masih mengucapkan permohonan yang sama. Dan di suatu pagi, dia duduk di kamarnya, menonton TV dan tiba-tiba yang ia lihat adalah lelaki sukses dan terkenal itu akan melangsungkan pernikahan. Itu mengejutkannya dan segalanya seperti terulang kembali. Hatinya kembali merasakan degup luar biasa karena lelaki itu. Dia melihat ke arah jam dan menunjukkan 11:11. Tapi sebelum dia mengucapkan permohonannya yang biasa, dia berhenti. Karena lelaki itu akan menikah hari ini. Permohonannya tidak terkabul, bukan? Jadi dia menarik selimut menutupi seluruh badannya, airmata mulai mengalir di pipinya. Jam masih 11:11. Dengan cepat ia menyilangkan jari-jarinya dan berkata di dalam hati, 

“Aku memohon kebahagiaan untuknya.

Inverted

Hidupku datar, lebih datar dari TV flat yang tidak benar-benar datar. Menjadi seorang editor adalah pekerjaan yang menyenangkan, namun setelah selama 3 tahun aku berada di balik meja dan diatas kursi yang sama ini aku merasa semuanya jadi membosankan. Aku jadi membenci hal bernama ‘kebiasaan’. Kemarin, hari ini, besok yang kuhadapi hanyalah naskah, kamus, dan buku-buku yang menyangkut pendalaman ilmu tentang naskah yang sedang kutangani. Yang membuatku senang hanyalah saat aku menghadapi penulis pintar, yang punya ide tak tumpang tindih dan bahasa yang bagus, namun aku hanya bisa menghembuskan napas saat penulis ‘kejam’ datang, aku tetap harus tersenyum dan menghadapi tugasku sebaik-baiknya. Saat jam makan siang, aku enggan makan di luar, kantin kantor adalah pilihan tetapku, sebab Rani, layouter kantor yang kusukai dan merupakan perempuan paling ayu di kantor selalu makan disana. Semua pria yang ada di kantor menyukainya. Aku sering mendekati dan mengajaknya ngobrol di kantin namun tak pernah berani mengatakan perasaanku, aku grogi dan ragu karena dia juga sepertinya cuek dan menganggapku tak lebih dari sekedar rekan kerja. Dan belakangan ini aku lebih memilih melihatnya dari meja seberang saja.
Jam pulang kantor adalah saat aku mau tak mau menonton Gara, si preman pasar dan kawan-kawannya memalak pedagang dan tukang becak karena kosanku berada di belakang pasar, aku harus berjalan melewati pasar terlebih dahulu dan melihat orang-orang tidak berani melawan Gara dan kawan-kawannya itu sebelum pulang setiap hari.  Malam-malamku selalu diisi dengan imajinasi seandainya Rani menyukaiku juga dan hidupku menjadi lebih menyenangkan. Selalu. Ah, kebiasaan lagi.

*

Rasanya tidurku panjang sekali, benar saja, sekarang pukul setengah 9 pagi dan aku harus tiba di kantor pukul 9, sedangkan perjalanan memakan waktu lebih dari setengah jam. Ah, aku pasti terlambat. Badanku sedikit demam pagi ini, aku meminum obat demam seadanya yang kumiliki. Dan bersiap-siap dengan terburu-buru. Sesampainya di kantor, benar saja ini pukul setengah 10. Aku terlambat.

Mbak Dwi sedang berjalan menuju ruangan Fahri, rekan editor yang ada di sebelahku, saat melihatku ia terheran.

“Maaf, Mbak. Hari ini aku telat.”

 “Loh, ya bagus. Harusnya yang lain selalu datang terlambat seperti kamu Vin.” Mbak Dwi menepuk pundakku kemudian ia langsung berlalu.

Aku terheran mendengarnya apa mungkin karna Mbak Dwi marah padaku sehingga ia marah dengan menyindir seperti itu. Aneh sekali. Aku segera duduk di bangkuku, penulis yang hari ini janji merombak naskahnya denganku belum datang. Sambil menunggu aku menyalakan laptop dan menonton video random di Youtube, kepalaku pusing dan badanku sedikit lebih panas dari tadi pagi.

“Pagi Vino.” Sapa Rani sembari duduk di depan mejaku.

“Eh, pagi r r Rani.” Aku gelagapan, Rani tiba-tiba ada di ruanganku, sepertinya aku terlalu asik menonton sehingga menghiraukannya yang masuk ke ruanganku.

“Vin, ntar makan siang diluar yuk!”

Hah? Aku tak menyangka. Mimpi apa aku semalam tiba-tiba saja perempuan yang kusukai mengajakku makan siang bersamanya. Aku langsung mengiyakan ajakannya.

“Yaudah nanti aku kesini lagi ya tempatnya terserah kamu deh.” Rani tersenyum kemudian beranjak pergi.
Ini aneh sekali, pertama Mbak Dwi memujiku karena terlambat, kini Rani yang biasanya cuek dan selalu makan di kantin kantor mengajakku makan diluar. Namun keanehan kali ini membuatku senang, sangat senang.

*

Jam 12, sudah waktunya makan siang. Aku sudah sedari tadi bersiap menyambut Rani di ruangan, akhirnya ia datang juga.

“Yuk Vin.” Katanya.

“Yuk. Kita ke warung bakso di tempat langgananku ya, kamu harus cobain. Enak banget.”

“Ohya? Boleh-boleh.”

Kami beranjak pergi.

Kami mengobrol banyak hal, Rani bercerita tentang hal-hal kesukaannya, dan bertanya banyak tentang aku. Dia sama sekali tidak cuek terhadapku. Aku ingin mengatakan padanya kalau  aku menyukainya.

“Vin, menurut kamu yang paling cantik di kantor siapa?” Tiba-tiba ia bertanya.

Ha, ini kesempatan bagus untuk aku mulai mengatakan kalau aku menyukainya. Kebetulan sekali. Terimakasih Tuhan.

“Hem kalo menurut aku ya kamu Ran.“ Aku mencoba menahan grogi.

“Ahahaha kamu bercanda? Jangan fitnah deh. Semua cowok di kantor tuh pada suka sama Jani. Aku pengen deh cantik kaya dia. Kamu pasti suka kan.”

Di bayanganku langsung terpapar sosok Jani yang bertubuh kecil, di wajahnya penuh bekas jerawat, dan hidung yang jauh dari bangir.

“Ran, kaya Jani kamu bilang cantik? Terus yang jelek kaya gimana?”

“Ya gausah jauh-jauh deh, aku. Aku aja ngajak kamu keluar gini takut kamu ngerasa malu sama yang lain.”

“Hah? Eng, engga kok.”

Rani tertawa. Aku tersenyum tipis. Kami melanjutkan makan siang ini. Selesai makan aku hendak membayar, “Berapa Bang?” Tanyaku pada Bang Udin.

“24 ribu Mas Vin. Bentar ya.” Bang Udin mengambil uang dari laci penyimpanan uangnya. Belum sempat aku menyodorkan uang yang kuambil dari dompet, Bang Udin menyerahkan uang 24 ribu padaku.

“Nih Mas. Makasih ya.” Aku terkejut. Apa-apaan lagi ini?

“Lo kok abang yang ngasih uang ke saya, harusnya saya toh yang ngasih sebagai pembeli.” Aku menyodorkan 24 ribu yang ada di tanganku.

“Lho Mas Vino ini apa-apaan, walaupun langganan mas harusnya nerima duit dari aku toh.” Wajah Bang Udin tiba-tiba terlihat kesal.

Aku semakin terkejut. Aku tidak mau malu di depan Rani jadi aku mengalah, aku terima saja uang dari Bang Udin. Kemudian kembali ke kantor bersama Rani.

Di jalan aku berpikir, bagaimana bisa yang seharusnya memberi malah menerima? Seperti wakil rakyat sekarang ini saja, bukannya memberi jasa pada rakyat malah menerima uang haram yang harusnya untuk rakyat. Semuanya, berbalik. Alisku menyatu sedari pagi. Mataku membelalak sedari pagi. Mulutku lupa mengatup sedari pagi. Ada yang aneh dari hari ini.

Aku dan Rani akan kembali ke meja masing-masing, senang sekali rasanya hari ini walaupun aku tidak jadi mengungkapkan perasaanku.

“PLAK!” Tiba-tiba Rani menampar pipiku. Jantungku seketika berdetak kencang, salah apa aku ini?

“Ran, kenapa kamu nampar aku?”

 “Makasih ya Vin udah mau makan siang sama aku. Aku kira kamu malu keluar sama aku.” Rani tersenyum manis sekali.

“Tapi kenapa tadi?...”

“Yaudah aku balik ke meja ya.” Belum sempat aku bertanya lagi Rani sudah berlalu.

Aku begitu penasaran kenapa tiba-tiba Rani menamparku kemudian berterimakasih. Saat aku berjalan menuju ruangan, aku mendapati Fahri ditampar di kedua pipi oleh Jani, kemudian Jani pergi meninggalkan Fahri.

“Eh Ri kenapa si Jani nampar kamu?” Aku bertanya dengan rasa penasaran yang semakin menjadi.

“Ya jelaslah kita kan udah jadian. Akhirnya Vin aku bisa jadi pacar Jani, cewek idola sekantor hahaha” Fahri tertawa.

“Lho terus kenapa malah nampar?”

 “Kamu ini sok lugu banget ya Vin. Namanya juga orang sayang, ya nunjukinnya dengan nampar.”

“Bukannya cium?”

“Itu sih kalo benci, baru dicium. Lugunya kelewatan nih orang. Udah ah aku ke meja dulu Vin.”

Jawaban Fahri membuat pikiranku campur aduk. Sekarang yang aneh ini siapa? Namun aku tiba-tiba sadar mengapa Rani menamparku tadi, itu karna Rani menyukaiku. Ah, aku senang sekali. Akhirnya imajinasiku setiap malam menjadi nyata.

*

Dunia ini sudah terbalik, sangat-sangat berbalik. Di perjalanan pulang seperti biasa aku melihat Gara, si preman pasar itu dan kawan-kawannya memalak lagi. Sepertinya hanya ini kebiasaan normal yang tersisa hari ini.

Tunggu, kali ini orang-orang seperti menonton aksi mereka, tidak ada yang berusaha menghindar atau pura-pura tidak tahu. Aku melihat seksama pada Gara, ia menarik kerah baju si pedagang lalu memberikannya uang 20 ribu dengan paksa. Si pedagang menerima dengan takut-takut. Kemudian semua orang di pasar bertepuk tangan seakan salut pada tindakan mereka.

Aku melangkahkan kakiku lebih cepat. Sungguh aku lelah dengan semua keanehan ini.

*

Di depan gang kulihat seorang wanita tak sengaja menjatuhkan tas jinjing yang dibawanya. Aku hanya melihatnya karna kurasa ia sadar sudah menjatuhkannya, namun ia tetap terus berjalan. Segera kuambil tas ini dan berlari menyusul wanita itu.

“Bu, bu.” aku menepuk pelan pundak wanita tua itu.

Ia berbalik badan. “Ya?”

“Ini tadi tas ibu jatuh.” aku masih tereengah-engah.

Wanita itu membuka isi tasnya dan melihat isinya masih lengkap, namun seketika ia panik dan langsung berteriak, “Copet!!!” Apa-apaan? Bukannya bilang terimakasih karena aku telah mengembalikan tasnya aku malah dituduh copet?

Entah datangnya darimana 5 warga berlari ke arahku, aku benar-benar syok yang kupikirkan hanyalah lari, mereka berusaha mengejarku. Namun apa daya aku tertangkap sebab warga dari arah berlainan datang mengejarku juga.

Apa aku harus dihukum karena kejahatan yang sama sekali tidak kulakukan. Aku dengan jujur mengembalikan tas tadi, biasanya jujur adalah hal yang benar. Biasanya. Ah aku lupa kini duniaku berbalik, yang biasanya kini tak lagi biasa. Aku memang membenci kebiasaan tapi tidak juga harus jadi begini. Yang benar menjadi salah.

Tunggu, sepertinya...

Aku dibawa ke rumah Pak RT. Dan berharap apa yang ada dalam pikiranku benar.

“Ini, silahkan berlibur bersama orang yang kamu sayangi dengan sebebas-bebasnya.” Pak RT memberikan paket liburan ke Bali bagi 2 orang padaku.

Pikiranku tadi benar. Harusnya aku dikurung di dalam penjara namun di duniaku kini, aku dibebaskan sebebas-bebasnya. Siapa lagi orang yang akan kuajak menikmati kebebasan ini? Aku membayangkan betapa indahnya pergi liburan bersama perempuan yang kusukai. Ah...

“Mas Vino? Hei!” Cindi melayang-layangkan telapak tangannya di depan wajahku yang melamun. Aku memandangi video di Youtube dengan tatapan kosong sehingga aku menghiraukan kehadiran Cindi si penulis yang sedang aku tunggu tadi.

Alisku menyatu, mataku membelalak, mulutku menganga. Ada yang aneh dari hari ini. Aku memegangi keningku sendiri, masih panas. Mungkin ini efek obat demam yang kuminum sehingga khayalanku jadi aneh sekali.


-selesai-