Memasuki Dua Puluh Satu

25 Agustus 2015

Dulu saya pernah pikir bahwa saya bakal bisa ngelakuin sesuatu yang besar sebelum umur saya memasuki 20. Namun setelah saat itu datang, saya membuat excuse bahwa hectic nya segala urusan akademis demi menyandang gelar S.Ikom membuat saya wajar tidak mampu memenuhi harapan saya itu. Nyatanya tidak. Setelah memasuki 21 tahun ini saya baru sadar bahwa yang menghambat saya melakukan suatu hal besar adalah rasa malas dan takut. Saya malas untuk memulai dan saya takut mengambil tindakan. Ternyata saya terjebak dalam zona aman, seperti kebanyakan orang saya hanya bisa melihat orang lain seumuran saya telah melakukan banyak hal besar baik untuk dirinya sendiri dan orang lain. Mereka berlari jauh sementara saya hanya diam di tempat, mengayuh sepeda yang rantainya telah lepas. Saya nggak kemana-mana.

Lalu saya bertanya, hal besar apa sih yang begitu gilanya ingin saya raih? Sampai hari-hari saya dipenuhi rasa khawatir, saya sudah umur segini, tidak bisa begini saja, saya rasa saya sangat tidak produktif, kenapa saya diam saja. Begitulah yang ada di pikiran saya setiap hari. Semua itu berujung pada satu ketakutan, saya takut orangtua saya tidak memiliki suatu apapun untuk dibanggakan dari diri saya.

Iya, saya takut kalau hal itu terjadi.

Saya hidup dalam bayangan masa lalu dimana saya harus membuktikan bahwa nanti saya akan sukses ditengah keterbatasan yang sangat susah saya jelaskan dalam tulisan ini. Intinya, ada satu titik dimana saya harus membuktikan ke orang-orang tertentu yang bahkan jika saya ungkapkan nggak akan ada yang percaya bahwa saya memiliki ‘dendam’ sebegitunya terhadap orang-orang tersebut.

Sekarang saya harus melapangkan dada, melakukan sedikit demi sedikit hal berdasarkan prioritas. Saya masih harus berjuang kurang lebih satu tahun lagi agar lulus tepat waktu, masih harus melewati tikungan tajam bernama skripsi. Doa saya di usia ke 21 ini adalah agar satu-satunya penolong, Allah SWT memberikan kemudahan dalam proses melewati tikungan tajam tersebut serta memberikan kekuatan lebih untuk membebaskan diri dari ketakutan-ketakutan yang malah membuat nggak bisa melakukan apa-apa.  Itu saja.

Aamiin.

Ohiya, ulang tahun kali ini saya lewati di kantor tempat magang bersama orang-orang baik yang diberikan Allah SWT untuk membuat saya tersenyum. Mereka ymembuat saya semangat menjalani masa magang yang menjadi salah satu tikungan sebelum skripsi. Saya dihujani doa-doa baik dari keluarga, teman dan sahabat yang sangat saya syukuri keberadaannya di muka bumi ini, setiap tahunnya. Saya diberikan kemudahan oleh Allah SWT dalam segala hal. Untuk itu nggak ada hal lain yang harus saya lakukan selain bersyukur sebanyak-banyaknya, tak pernah berhenti berdoa dan berusaha. Saya sangat bersyukur telah terlahir.


21 tahun ini semoga bermakna.

May One of Those Times Come


May one of those times come, when someone asks me if I’m okay or not.
“I am not” would definitly out from my mouth, without fear, without tear.

May one of those days come, in 86.400 seconds a day in their life.
They’d see me, even a glimpse of their sight, even for one second might.


(Malang, 20 September 2015)

Chairil Anwar

Teruntuk,
(Alm. Chairil Anwar)

Sore binatang jalang. Aku membayangkan menulis surat ini pada tanggal 28 April 1949, sehari sebelum kematianmu. Entah supaya apa, mungkin biar kelihatan keren saja. Seorang yang menggemari puisi-puisimu dengan gila, menulis surat tepat sehari sebelum kematianmu. Membayangkan aku memiliki insting seorang penggemar hardcore.

Abang Chairil, tak apalah aku memanggilmu begini. Kalau aku sudah lahir waktu itu (read: 1922) pun mungkin aku akan memanggilmu begitu. Kita terlahir di Medan, kota yang sama, namun di masa yang berbeda. Aku ingin menyampaikan dua harapan dalam surat ini. Pertama adalah, aku ingin di dunia paralel sana kita bertemu dalam keadaan apapun, aku ingin menjadi saksi atas kelahiran puisi-puisimu, tentang apa saja yang menginspirasi dan apa saja yang sedang terjadi. Kedua adalah, aku berharap bisa sedikit saja punya otak sehebat kau bang, hebat membuat puisi. Cukup dalam inginku sehebat itu. Agar kau tau saja bang, sekarang ini, orang hebat itu cuma yang lolos penilaian satu juri, padahal standar yang dipakai itu pande-pandean, dibikin-bikin sendiri. Tidak jarang kami khilaf melupakan kalau mata juri bukannya banyak, sama-sama cuma dua. Masih akan ada banyak mata lagi yang menganggap kami hebat dengan cara sendiri-sendiri. Sama, seperti aku memandangmu bang.

Surat ini adalah tentang nostalgia. Begini, dari semalam tiba-tiba aku mengingat seorang anak kelas dua SMP yang menulis puisi pertamanya karenamu bang, dia yang jadi paham setelah membaca sebuah puisi berjudul Derai-derai Cemara kala itu bahwa sebuah depresi bisa menjelma puisi, ia tersenyum lebar saat menemukan angin sejuk bersemilir dalam hatinya hanya karena membaca sebuah puisi. Ia menemukan hasratnya pada puisi. Persetan dengan apa yang dikatakan orang-orang tentang cengengnya penulis puisi, tentang melankolisnya penulis puisi. Ia berjanji dalam hatinya akan terus menulis puisi. Ia pun tak peduli dengan kemampuan orang lain yang meremehkan dan mengatakan apa yang ia buat tak punya isi. Biar, katanya. Toh ia memang tak pintar, tak punya otak cukup cerdas untuk merangkai kata-kata dengan keindahan selangit, dengan pengetahuan tingkat dewa. Biar, katanya. Ia akan terus menulis puisi. Dengan kata-kata sesederhana yang ia mampu, sesederhana inginnya, agar apa yang ia rasa, setidaknya menjelma jadi puisi, hasrat yang menyejukkan hatinya. Terima kasih karena telah menjadi inspirasi buat anak itu (dan akan terus).

Derai-derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949

Salam,
..........

p.s: (Derai-derai Cemara adalah puisi terfavoritku sepanjang masa. Kau tau bang, anak itu sebenarnya aku. Haha. Cuma tidak berani saja aku membilangkannya di awal.)

Sudut Kota Dilanda Banjir

Teruntuk,
sudut-sudut kota yang sedang dilanda banjir.

Apakah ada maaf bagi langit yang sedang bergejolak dan menangis melulu? Rintik hujan tak pernah terlelap nampaknya. Hujan memang menyamarkan tangis. Membasahi hati yang kerontang. Namun aku tau, bukan itu inginmu. Inginmu agar langit meninabobokan gejolaknya dengan tenaga yang ia punya bagai raja.

Musibah ini datang menyapa hari-hari dengan tidak ramah. Mengapa ia datang membawa perkara. Dikeluarkannya pula semua emosi. Untuk apa semua ini?

Ada kerumunan yang tak hingar. Ada petir yang tak bingar. Penghunimu bagai orang-orang buta dan tuli dalam waktu yang bersamaan. Menciptakan gelap tak berkesudahan. Langit yang mendung dan gelap gagah berani merajai dua puluh empat putaran jam.

Sampai kapan jiwa mereka terus rentan seperti perahu yang hampir karam?

Perempuan Bermata Sendu

Teruntuk,
perempuan bermata sendu.

Jadikanlah sendumu itu lagu. Yang mesti dinyanyikan secara merdu. Tanpa pandang bulu. Sumbangpun itu, kan tetap terdengar syahdu.

Teruntuk,
perempuan bermata sendu.

Kenakanlah pakaian terbaikmu. Dari sutra atau kain beludru. Supaya padamulah mata dunia tertuju. Hingga dirimu menjadi satu dari seribu.

Teruntuk,
perempuan bermata sendu.

Semoga takkan pernah semangatmu gugur pun terlihat peringaimu haru. Yakinilah akan ada hari dimana mimpimu tak lagi saru. Ia benderang seperti purnama bulan lalu. Tunggulah hingga tiba masa itu.


Dimana sendumu tak sebatas sendu. 

Ia adalah lagu. 

Yang sedang dinyanyikan seseorang dengan malu-malu. 

Pada suatu tempat di penjuru,

yang belum kau jamah dan kau tahu.

Tuhan

Teruntuk,
Tuhan.

Aku pernah bertanya bagaimana Engkau saat menciptakan seorang aku? Aku melihat rupa dan hidup orang-orang di sekelilingku, aku menyimpulkan saat itu Engkau sedang tersenyum, mood Tuhan sedang baik. Mereka yang kulihat hidupnya bahagia selalu, yang nampaknya semua berjalan sesuai apa yang diinginkannya, mereka yang memiliki apa yang tidak aku miliki. Aku melihat dan terus melihat mereka. Nampaknya Engkau menciptakan semua makhluk-Mu saat sedang tersenyum, kecuali aku.

Aku kecewa, ingin marah, namun kepada siapa? Saat itu akhirnya aku hanya bisa merenung. Ternyata selama ini kepalaku selalu terangkat ke atas, mendongak tanpa lelah dan tak punya keinginan untuk sejenak menunduk. Melihat di bawah sana ternyata masih lebih banyak lagi kepala yang mendongak ke atas, memandang nanar kearahku dan makhluk-Mu lainnya. Aku sadar bahwa jika aku cukup pintar menggunakan nurani dan pikiran yang dianugrahi oleh Engkau, aku akan dengan bijak menentukan kapan aku harus mendongak dan menunduk. Dalam waktu seperti apa sehingga hidupku tak hanya dipenuhi oleh tatapan nanar ke atas sana yang tak akan ada habisnya. Nyatanya aku orang bodoh yang lupa bahwa pada dasarnya manusia (ya makhluk-Mu macam aku ini) mengingini dan tertarik dengan apa yang tidak dimilikinya.

Tuhan, aku tahu Engkau sedang tersenyum saat sedang menciptakan bumi dan seisinya. Engkau menciptakannya berputar sebab disanalah Kau letakkan keadilan, sebuah frasa yang nampaknya klise, “Hidup itu... Kadang diatas, kadang di bawah”, kan ya?

Tuhan, surat ini aku tulis pada satu sore sesaat setelah satu adegan dalam skenario hidupku yang telah Engkau tulis terjadi, adegan dimana aku dan adikku sedang membeli burger dan roti bakar. Kami duduk menunggu pesanan tiba-tiba seorang bapak datang menghampiri mbak penjual tersebut, ia menggandeng kedua anak lelakinya yang masih kecil, pakaian mereka lusuh, wajah bapak itu lelah sekali, kedua anak lelaki itu digandengnya dengan erat.

*

“Kak, roti bakar seribu lah.”

“Nggak ada yang seribu lagi, dua ribu sekarang.”

Bapak itu merogoh kantongnya dan melihat wajah kedua anaknya yang penuh harap sejenak.

“Ya bikininlah.”

Percakapan, Perjalanan, Supir Travel

Teruntuk,
supir travel yang (awalnya) hanya kutahu sebatas sebelah kiri wajahnya saja.

Saat itu lebaran 2012, pertama kali aku tiba di pulau Jawa untuk menempuh hidup sebagai seorang mahasiswi. Aku harus melewati lebaran pertama tanpa keluarga dan kuberanikan diri untuk berangkat menuju Pacitan. Pada malam takbiran, aku dijemput oleh mobil travel yang nantinya akan tiba di Pacitan pukul 5 pagi. Di dalam mobil belum ada penumpang, akulah orang pertama yang dijemput. Aku duduk di depan dan dalam beberapa menit pertama, suasana mobil senyap dan gelap. Tiba-tiba disaat itulah kau, sang supir travel membuka pembicaraan, dan dalam pembicaraan itu aku memanggilmu Mas, sebuah panggilan yang masih asing kusebutkan karena di kampung halamanku terbiasa memanggil, Bang. Namamu tak sempat kutanyakan.

Aku tak tahu bagaimana utuh rupamu. Aku hanya mampu melihat dalam gelap sisi kiri wajahmu waktu itu. Tak lebih. Namun hingga saat ini masih teringat percakapan yang terjadi di dalam mobil saat kita menjemput penumpang-penumpang lain. Kau adalah orang pertama di kota yang masih sangat amat baru bagiku saat itu yang membuatku merenungi setiap kalimat-kalimat yang kau ungkapkan. Analogimu tentang sepakbola, saat aku bertanya dimana letak keseruan 22 orang memperebutkan satu benda. Kemudian kau bilang bahwa bola itu kebahagiaan, semua orang memperebutkannya, dengan beebagai macam cara yang kemudian kusangkal dengan pemikiran bahwa kebahagiaan tiap orang berbeda-beda. Dan bola yang diperebutkan dalam sepak bola adalah bola yang itu-itu saja. Setiap perdebatan yang tak berujung seperti itu kita akhiri dengan senyum simpul.

Aku mendamba sosok abang dan kau mendamba sosok adik pada salah satu sesi cerita kita. Entahlah, hingga hal paling dalam yang ada dalam hati ini pun jadi tersampaikan padahal aku tak pernah seterbuka itu. Aku merasa nyaman bercerita padahal namamu pun aku tak tahu, Mas. Mungkin aku sempat sedikit merasa sosok Abang ada padamu, dari sisi kiri wajahmu saja. Dari renyahnya tawa yang kau tuangkan dalam perjalanan itu dan semangatmu bercerita tentang banyak hal yang menambah pengetahuanku tentang kota Malang.  Aku senang.  Delapan jam perjalanan menuju Pacitan itu merupakan delapan jam dengan cerita paling nyaman yang pernah kusampaikan pada seseorang. Kita mengabaikan seluruh penumpang yang tertidur pulas di belakang, haha.

Satu hal yang membuat pertemuan pertama denganmu sampai sekarang masih sangat amat kuingat. Kau, saat itu seorang supir travel yang namanya pun aku tak tahu adalah orang asing pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung di ulang tahunku ke-18. Di delapan jam perjalanan yang hanya ada gaduh suara takbiran di jalan-jalan namun hening dan gelap di dalam mobil aku melihat jam pada layar handphone sekilas, sudah 00.03. Aku tersenyum dan mengucapkan selamat ulang tahun pada diriku sendiri dalam hati, ya ulang tahunku saat itu jatuh tepat saat lebaran. Aku sudah sedikit ngantuk namun layar handphone dan dering pelan yang menyala sebentar-sebentar tanda sms ucapan masuk mengangguku. Dengan tiba-tiba aku berkata bahwa saat itu sudah masuk hari ulang tahunku yang kemudian kau sambut dengan semangat, “Ohiya? Selamat ulang tahun, ya!” Aku tersenyum lagi dan itu merupakan dialog terakhir kita sebelum aku pelan-pelan menutup mata kemudian tertidur pulas.

Saat hari sudah terang aku terbangun dan kita sudah tiba di Pacitan. Walau hari sudah terang, aku tetap tak menanyakan namamu namun pada akhirnya, aku melihat wajahmu, dengan jelas. 

Mas supir, kau mungkin adalah salah satu bukti bagaimana seorang asing mampu memberi kenyamanan untuk seseorang bercerita dalam bercakap-cakap, entah karena tak ada kekhawatiran di dalamnya, entah karena orang asing sepertimu tak akan mengintimidasi, tak akan menyalahkan, bahkan men-judge cerita tersebut, tak ada ikatan emosi di antaranya. Nyatanya, aku bahkan sedikit menemukan sosok abang padamu, walau hanya dalam delapan jam perjalanan. Aku tidak akan menanyakan kabarmu dan menanyakan keberadaanmu dalam surat ini Mas supir, haha. Terima kasih telah menjadi salah satu orang asing paling kuingat. Aku hanya ingin memberikan sedikit penggalan lirik yang mungkin mewakili segala percakapan dan pertemuan pertama yang manis.

Hey brother, there’s an endless road to re-discover.
Hey sister, know the water's sweet but blood is thicker.

(Avicii  - Brother/Sister)

Teruntuk Seorang Guru Bersuara Unik

Teruntuk,
seorang guru bersuara unik.

Surat ini akan berisi sedikit cerita yang pikiranku tuangkan secara random dan tiba-tiba tadi pagi.

Waktu itu tahun 2009, aku duduk di bangku kelas sepuluh SMK. Roster menunjukan bahwa setiap Sabtu kami harus berhadapan dengan pelajaran Elektronika Digital. Jujur, meskipun bersekolah di SMK dengan jurusan teknik komputer dan jaringan tapi aku tidak pernah suka dengan pelajaran alat-alat listrik, seperti resistor, transformator, merakit flip-flop dan sebagainya. Pernah saat SMP aku belajar Elektronika, dapat nilai enam puluh lima yang merupakan nilai standar agar tidak remedial saja aku sudah harus menepati nazarku. Aku masih kelas sepuluh saat itu jadi mau tidak mau harus menghadapi pelajaran yang paling dasar ini.

Kelas dibagi menjadi dua gelombang, satu gelombang masuk ke laboratorium digital dan gelombang lain ke laboratorium analog. Aku masuk gelombang pertama. Di dalam sudah ada seseorang yang duduk menunggu kedatangan kami, anak-anak murid barunya. Rambut dua sisirnya rapi, tak sedikit uban yang terlihat di antara rambutnya yang hitam pekat. Dia tidak seperti kebanyakan yang hanya memakai baju kemeja rapi yang dimasukan kedalam celana lengkap dengan tali pinggang hitam, ia dengan bangga memakai jas putih sepanjang lutut yang kancingnya dibiarkan terbuka untuk memperlihatkan baju kemeja yang tersembunyi didalamnya. Sepatu pantovel hitamnya mengkilap. Sorot mata tuanya teduh tertutup kacamata yang membantu penglihatannya yang sudah tidak sempurna, dahi serta rahangnya menunjukan kelembutan serta ketegasan dalam waktu yang sama. Tapi tidak dapat ditutupi ia begitu lelah. Entah karna hidup yang begitu kejam atau... Entahlah aku tak berani menduga-duga. Dia guruku, guru yang akan mengajarkan mata pelajaran Elektonika Digital selama satu tahun hingga kelas sepuluh berakhir. Guru yang bernama Pak Ngadimin.

Ada satu hal yang membuat hatiku miris, yaitu warna suara unik yang dimiliki Pak Ngadimin. Saat ia berbicara, terdengar seperti menutup kedua lubang hidung lalu berbicara pada saat bersamaan, terdengar mendengung. Suara itu yang membuat Pak Ngadimin sontak ditertawakan seisi kelas pada saat pertama kali memperkenalkan diri. Saat itu aku masih begitu labil, dengan bodohnya juga ikut tertawa bersama teman-teman. Suaranya lah yang tidak pernah luput dari ejekan seluruh murid di sekolah ini. Caranya mendiamkan kelas kami yang tidak pernah duduk tenang saat ia mengajar, ya bukan kami saja, bahkan seluruh murid di sekolah kami begitu, sangat tidak mempan. Di balik segala keunikannya Pak Ngadimin merupakan guru yang cerdas bagiku, caranya mengajar juga lumayan cepat kuterima, tapi entah apa yang membuat suasana dalam laboratorium waktu itu tidak pernah tenang. Dan Pak Ngadimin selalu sabar menghadapi kami, nampaknya Bapak sudah terbiasa.

Sekian hari Sabtu telah kami lewati dan harus dengan sangat terpaksa masuk ke laboratorium yang ku anggap sangat suram itu. Satu hari saat kami semua telah masuk kedalam kelas, Pak Ngadimin hanya duduk diam di mejanya, sibuk dengan kertas-kertas yang ada di hadapannya. Lima menit berlalu ia masih diam saja, awalnya hal itu menjadi surga bagi kami semua, karna kami dapat ngobrol dan bermain handphone sesuka hati tanpa ada sedikitpun gubrisan dari Pak Ngadimin. Lima menit kemudian Pak Ngadimin merapikan kertas-kertas yang ada di hadapannya lalu berdiri memandangi kami semua.

Sekejap kami ketakutan dan mengira ia akan menyeramahi kami. Namun nyatanya....

            “Yak, selamat pagi semua.” Sapanya seperti biasa.

            “Pagi paak..” Sahut kami juga seperti biasa, satu dua orang masih betah saja menutup hidung mereka sehingga suara yang mereka timbulkan percis Pak Ngadimin, tentu saja untuk mengejek.

Dan Pak Ngadimin pun memulai pelajaran, seperti hari Sabtu biasa lainnya yang telah kami lalui.

Teruntuk, Pak Ngadimin. Begitulah, sedikit cerita yang tertuang dari pikiran randomku tadi pagi. Tentang kepingan kecil kenangan masa SMK dahulu yang diisi oleh Bapak, guru yang tak akan mungkin kami lupakan. Kalau ada meriam yang bisa menembakkan surat ini langsung menuju Bapak, akan kupinjam pada siapapun pemiliknya, agar saat membacanya Bapak tersenyum dan memaklumi segala kebejatan kami (walau mungkin Bapak sudah tau) dengan tenang di atas sana :)

Usul Ke Tuhan


RS. Pringadi, 26 Januari 2015.

Aku sempat ingin usul ke Tuhan saat bertemu diantara ganjilnya sujud pada sepertiga malam ini. Bagaimana kalau rasa sakit bisa dibagi. Maksudku, benar-benar bisa dipindahkan. Dari satu tubuh ke tubuh lain. Rasanya aku teramat sangat bersedia mengurangi rasa sakit dari tubuh yang kukasihi dengan memindahkannya pada tubuhku walaupun hanya diizinkan sedikit saja.


Tapi aku rasa Tuhan tidak akan menerima usulku, sebab kalau rasa sakit bisa dibagi-bagi, kuat tak akan menjadi suatu apa. Seperti siang yang jika membagi terangnya pada malam, malam bukan lagi malam, ia bukan apa-apa.

Sebuah Dialog

“Eh, ngomong-ngomong helm biru bobrok ini sebenernya saksi bisu satu rangkai hidupmu tau.”

“Hah? Kok bisa?”

“Bisa dong, jaman SMA. Jelas dia ini yang kamu pake terus dari kelas satu sampe lulus kan?”

“Iyasih ya. Eh iya gak sih? Iya kali ya.”

“Haha jangan pura-pura lupa deh. Coba, jaman SMA dulu, gila, udah apa aja tuh yang kau lewati?”

“Hem, nggak pede sama diri sendiri, patah hati hebat, nilai anjlok, ya biasalah semua anak SMA  juga ngalamin gituan. Kau juga pasti ngalamin. Tapi ya dia tetap helm biru bobrok yang cuma nungguin diatas spion motor sampe waktunya dateng buat dibawa pulang, ga ngeliat apa yang aku alamin.”

“Iya emang aku juga ngalamin, tapi helm biru ini jangan dibuang ya walaupun udah gak layak pakai dan gak berstandar SNI, inget kan kepala siapa aja yang pernah pakai helm ini?”

Terdiam.

Benar juga, helm biru bobrok itu pernah menutup wajahku saat menangis diam-diam di tengah perjalanan, pernah menahan segala amarah untuk terbang kemana-mana, pernah menampung seluruh pikiran-pikiran mulai dari yang penting hingga yang sampah sekalipun, dan helm itu pernah dipakai oleh kepala yang empunya telah diubah oleh waktu.


Kepalaku usai berdialog dan membuat tanganku tak jadi melontarkan helm biru bobrok ini ke tempat sampah, ia kembali berakhir dan berdebu dalam gudang, sebagai saksi bisu.

Pejalan Semesta


Sibayak (2212 Mdpl), 24-25 Januari 2015.

“Jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan membunuh apapun kecuali waktu dan jangan meninggalkan apapun kecuali jejak.”


Sepenggal kutipan yang mungkin tak asing lagi diperuntukkan kepada kita, para pejalan semesta. Sebuah kutipan dengan alam sebagai objeknya. Kutipan yang mengajarkan untuk meluruhkan segala ego dan memaklumi setiap kekurangan, menjelajahi diri lebih dalam dari biasanya untuk menemukan jati yang selama ini tersembunyi, entah itu oleh rasa takut bahkan rasa ternyaman sekalipun. Sebuah kutipan yang mengajarkan bahwa semua yang indah patut dan mutlak untuk ditunggu setelah diperjuangkan terlebih dahulu. Dan kita, kecil, kecil sekali, dibandingkan dengan semesta-Nya yang  kita singgahi.

2015


Tahun 2014 buat saya adalah tahun perenungan dan pemulihan. Jika saya katakan hidup adalah semacam melewati arena dimana kita harus memilih jurang mana saja yang harus kita lompati. Sebelum melompat ada saat dimana kita harus menarik tubuh, berlari, kemudian bersiap untuk mengambil pijakan bukan? Maka tahun 2014 adalah tahun dimana saya belum siap untuk memilih jurang mana lagi yang harus saya lompati. Saya masih menarik diri saya sendiri untuk mundur. Merenung hal-hal apa saja yang selama ini saya jalani yang ternyata melahirkan hasil bahwa ada beberapa hal yang saya kerjakan dengan tenaga dan  jasad saya, namun hati dan pikiran saya tidak berada disana. Kemudian saya mencoba untuk menggugurkan hal-hal tersebut, menghindarinya dan mencari hal baru yang saya tenggelamkan seluruh diri saya didalamnya.

Kini saya tahu jurang mana yang harus saya lompati dan saya sudah mengambil pijakan. Bersiap untuk melompat.


2015 akan menjadi tahun dimana semua tanda tanya akan menemui jawabannya. pucuk akan menjemput mekarnya, dan semoga semakin rajin menulis lagi hehe. Aamiin.