Menari di Bawah Hujan

Images from: Google
Seorang anak perempuan berumur 5 tahun sedang berjalan bersama Ayahnya sambil bergandengan tangan di taman. Sisa-sisa hujan menggenang di kanan kiri jalan. Anak itu menyiprat-nyiprat genangan hujan di jalan yang mereka lalui dengan kakinya yang menepak-nepak kencang. Sang Ayah hanya tersenyum melihat tingkah putri kecil manis yang sangat ia sayangi itu. Putrinya adalah hadiah Tuhan paling indah yang pernah diberikan padanya. 

Anak itu berkata, "Yah, mandi hujan yuk!" Sang Ayah tersenyum lagi kemudian melepaskan genggaman tangannya. Mereka berhenti berjalan. Ia menengadahkan kedua tangan dan wajahnya ke arah langit sembari memejam seperti merapal mantra. Tak lama, gerimis turun, petrichor menyerbak, mereka berdua menghirup napas begitu dalam untuk menikmatinya, hujan pun datang. Sang ayah dan putri kecilnya itu bermain-main dengan hujan, menari-nari, dan tertawa-tawa. Pohon-pohon pun ikut menari melihat kebahagiaan mereka, hujan kala itu indah sekali. 

Sementara dari kejauhan, di sebuah bangku taman. Sang ibu melihat putri kecilnya, yang sangat ia sayangi itu. Menari dan tertawa-tawa di antara derasnya hujan. Sendirian. Bulir bening perlahan jatuh dr pelupuk matanya menyatu dgn hujan, melihat bahagia putri kecilnya. Sekaligus merindukan suaminya yang kini ada di surga. Sang ibu berkata dalam hati, "Aku tau itu kamu, yang menari dan tertawa bersamanya, Yah."
Malang, 28 Oktober 2013. 20.12 WIB

Telepon baru dimatikan, aku terdiam sehabis mendengar suara dari seberang pulau sana. Menahan tangis sebab kutahan-tahan selama percakapan yang tak sampai 5 menit barusan berlangsung. Ia bertanya kenapa aku sudah jarang meneleponnya minggu-minggu belakangan ini, suaranya serak, aku tahu ia menahan tangis. Ya Allah, betapa aku merindukan Ibu.

Besok ujian tengah semester akan dimulai. Aku memikirkan hal-hal yang selama ini terabai. Entahlah, terlalu banyak. Aku pun bingung kenapa aku tiba-tiba menulis ini padahal masih banyak yang harus kupelajari untuk esok.

Selepas aku mengirim pesan singkat meminta doa pada orang-orang di kota kelahiran sana yang menyimpan banyak kenangan, ada satu balasan yang tak terduga dengan ketikan semampunya mengetuk-ngetuk pintu hati yang engselnya sudah berkarat, yang membuat degup jantung seakan terhenti. Sebuah balasan dari nenek:

“Insaalah jola ga minta p doa nenk ga perna lupa doain tju2nja agar bisa djad org sukses untk masa dpan jg bisa buat pa2ma2 nenk banga”


Pertahananku runtuh, bulir bening yang mengalir membasahi pipi. Haruskah kuhapus dengan punggung tanganku sendiri lagi dan lagi? Tidak. Kali ini kubiarkan mengalir. Biarlah Allah yang akan menghapusnya.

Fania

Medan, Februari 1977.

Sepuluh bulan setelah Ekaprasatya Prakarsa, dimana Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila. Dimana penghayatan sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” seakan terkoyak. Fania Rachman berlari tunggang langgang dengan kaki telanjang dan tubuh penuh bekas cakaran di jalan yang dikelilingi deretan ruko-ruko sepi kota Medan. Tangan kanannya memegang sebuah kotak susu dan tangan kirinya menggengam sebuah plat nama kecil. Wajahnya ketakutan, penuh dengan keringat dan memar, sama sekali tidak terlihat seperti gadis berumur tujuh belas tahun yang kehilangan masa remajanya. Ia menoleh ke belakang, lelaki itu tidak mengejar lagi, pikirnya. Namun ia tetap tidak memperlambat laju larinya. Mulutnya tak henti mengucap doa agar ia diberi kekuatan untuk berlari lebih lama lagi menuju rumah. Dalam doanya, ia juga berharap agar ibu tirinya, Radisa, mengizinkannya mengambil air bersih yang akhir-akhir ini sangat sulit didapatkan oleh setiap keluarga di daerah rumahnya yang kumuh, untuk dipanaskan dan membersihkan tubuhnya yang kotor- untuk membersihkan noda yang dibuat oleh lelaki itu. Sedikit saja, dan mungkin rentetan makian Radisa pun hanya akan terdengar bagai gesekan biola yang memainkan alunan klasik Beethoven di telinganya.

Fania sampai di depan rumahnya. Rumah bobrok, dinding-dindingnya seperti hanya dibuat dari kayu direkatkan oleh lem. Ia melihat ke pos di seberang. Sekarang pos itu menjadi tempat tongkrongan para pengangguran untuk minum kopi hingga larut malam, membicarakan (atau hanya berguyon sesukanya) tentang pemerintahan. Tentang stabilitas ekonomi Indonesia yang selalu dikumandangkan pemerintah, dwifungsi ABRI, dan pembangunan nasional. Orde baru memberikan harapan bagi mereka kalau-kalau suatu saat bisa mendapatkan pekerjaan bermodalkan ijazah SMA. Di pos tersebut masih terlihat jelas tulisan PKI yang disertai dengan silang warna merah, serta sebuah jam diding yang masih berfungsi. Waktu menunjukkan pukul satu malam. Fania mempererat genggaman susu dan plat nama di kedua tangannya. Susu murahan untuk wanita hamil yang dibawanya sebagai buah tangan untuk ibu tiri yang dibencinya. Reinald, tertera sebuah nama pada plat yang ia genggam. Fania tahu itu akan menjadi bukti dan menunjukkan pada polisi, menuju lelaki yang telah menganiayanya. Ia berharap ibu tiri dan ayahnya sudah tidur, ia mendorong pintu, pintu rapuh itu berderit, hingga terdengar teriakan yang hampir merobohkan seisi rumah.

“Ya Tuhan!” ibu tirinya berteriak, sambil berusaha bangkit dari duduknya di sofa yang tidak layak untuk digunakan lagi, tempat biasa Fania dibiarkan tidur. Perutnya yang sedang mengandung tujuh bulan dan badannya yang gemuk membuatnya kesulitan untuk berdiri. “Hah! Bajumu koyak-koyak macam berandalan, kenapa mukamu, ceker ayam lagi kau. Siapa yang buat?!”

Fania langsung terduduk lemas, ia menangis sekeras-kerasnya. Kedua tangannya masih menggenggam erat, ibu tirinya tak mampu berbicara lagi. Radisa hanya melihat anak tirinya itu dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

“Pasti preman-preman itu! Sialan!” pekik Ferdi, ayah Fania, mukanya merah padam. “Siapa yang buat kau begini? Bilang! Biar kugantung mereka!”

Tangis Fania terhenti, ia jatuh tertidur karena kehabisan tenaga.

“Angkat dulu anakmu itu ke tempat tidur. Panggil perawat di puskemas. Baru kau gantung preman itu.” Perintah ibu tirinya. Sayup-sayup Fania mendengar suara ibu tirinya itu, dan  menyadari tubuhnya telah diangkat ke tempat tidur. Tangan kanannya masih menggenggam erat sebuah plat nama, sedangkan sekotak susu itu tergeletak di dekat pintu. Saat akan menuju ke kamar, ibu tirinya melihat kotak susu tersebut, mengambilnya lalu berjalan ke tempat Fania dibaringkan,  satu-satunya ruang tidur di rumah kumuh itu.

Ibu tirinya duduk disamping tempat tidur. Fania mulai menangis lagi, dengan napas yang memburu. “Tolong,” ia berbisik. “Badanku...”

“Ferdi sebentar. Rebus air di tong, semuanya. Sekarang, untuk anakmu.” Perintah Radisa pada suaminya. Ferdi baru akan pergi memanggil perawat, ia memandang bingung istrinya dengan wajah yang masih dipenuhi amarah.

Radisa mengusap-usap dahi Fania dengan lembut. “Kalau saja  ibumu melihat keadaanmu begini. Kasihan.”
Fania ingin segera meninju bibir wanita gempal itu. Berani sekali ia membawa-bawa nama ibunya di saat begini. Namun ia terlalu lemah sekarang. Ia teringat bagaimana dulu, ayahnya tanpa segan membawa wanita itu kerumahnya dan mengatakan akan menikahinya. Ibunya yang menderita asma akut langsung pingsan dan tak dapat tertolong saat dibawa ke rumah sakit. Sejak itu Fania begitu dendam pada mereka berdua, ia ingin lari dari rumah. Tapi ia tidak memiliki siapapu yang memiliki hubungan darah dengannya, satu-satunya yang ia miliki hanya ayah yang bejat itu, yang kerjanya hanya bisa menghabiskan uang hasil memalak di kedai kopi. Sedangkan ibunya yang mencari nafkah dengan bekerja pada salah satu hotel murahan di tengah kota. Ibunya mengurusi kebersihan dan keindahan hotel, setiap pulang bekerja Fania selalu dibawakan setangkai dua tangkai bunga, sisa dari menyusun bunga pada vas-vas hotel. Fania senang mengumpulkannya dan meletakkannya pada botol bekas yang telah diisi air agar bunga itu tetap hidup. Ibunya adalah wanita yang sangat lembut,  bagi Fania, ibunya lah berkah ditengah kekejaman hidup yang diterimanya. Sangat berbeda dengan wanita itu, yang keras dan tak mempunyai belas kasih terhadapnya. Fania putus sekolah dan dipekerjakan di sebuah bar, tempat segala bentuk prostitusi berlangsung, sebagai cleaning service menggantikannya. Bar itulah yang mempertemukan wanita itu dengan ayahnya.  

“Buka tanganmu!” Ibu tirinya melihat kepalan tangan kanannya yang sedari tadi digenggamnya erat-erat.  “Apalagi itu? Apa lebih berguna lagi dari susu yang kau bawa untukku?” Dari matanya terlihat jelas bahwa ibu tirinya berharap yang berada di kepalan tangannya adalah uang, wanita itu kelaparan.

Fania meringis menahan memar-memar pada wajahnya. Segera dibukanya kepalannya. Berharap ibu tirinya mengenali nama yang ada pada plat tersebut. Ayahnya masuk membawa tempat berisi air panas. “Tidak ada perawat yang berjaga,” serunya.

“Keluar kau. Aku yang akan mengurusnya.” ibu tirinya mengambil tempat air panas itu dan mengambil sebuah handuk untuk membersihkan tubuh Fania.

“Ya. Kau sudah tau siapa yang buat begini?”

“Ini. Kau carilah sampai dapat, aku tidak kenal.” Radisa memberikan plat nama itu kepada suaminya. “Sekarang keluar kau.”

*

Perlakuan ibu tirinya membuat Fania heran. Bagaimana wanita gempal yang kasar ini bisa begitu lembut merawatnya. Ya, mereka sama seperti perempuan pada umumnya; takut diperkosa. Mungkin hanya itulah satu-satunya alasan ibu tirinya seperti ini. Fania merasa tubuhnya sudah sedikit membaik, memar-memar pada wajahnya tidak terlalu mendenyut lagi, tenaganya pun telah pulih. Tapi dia membiarkan saja tubuhnya tetap terlihat lemah dan ibu tirinya tetap menjaganya, menyuapi nasi dengan lauk seadanya. Hati dan pikirannya terasa pedih mengingat peristiwa memalukan yang terjadi beberapa jam yang lalu...


* BERSAMBUNG *

Confused

Sebab tanpa kesadaran yang utuh, dengan tiba-tiba, berhari-hari lalu dalam satu pertemuan pertama yang singkat, pembicaraan sekelebat. Aku mulai mengagumimu, sehening-heningnya doa di sepertiga malam.

Entah. Entah. Entah.

[Tak perlu senja yang membuat langit dan hari-hari menjadi indah,
aku hanya butuh satu; bertemu lagi, dan lagi, dan lagi.]

Aku bisa apa?

Dua Paragraf Tentang Seorang Perempuan

Ilustrated By: @farizjul
I

Cintailah seorang gadis yang tak pernah kebingungan kemana akan melangkahkan kakinya. Kemana ia akan meneruskan langkahnya. Walaupun memang dunia begitu membingungkan, orang-orang berlomba-lomba tahu segalanya, dimana mereka yang cerdas lahir setiap hari. Dan ialah salah satunya.

Cintailah seorang gadis yang larut dalam baris-baris buku yang sedang ia baca. Yang menyukai bau khas toko buku. Ia yang terlihat begitu menarik membetulkan kacamata minusnya dengan jari telunjuk. Bukan ia yang menyisir rambut berulang kali, mendempul make up setiap hari, dan berlomba membuat tubuh setirus-tirusnya. Bukan.

Cintailah seorang gadis yang mengirimkan sebuah doa dari jauh ke kota di ujung sana. Agar Tuhan menjaga orangtuanya yang berjuang. 

Cintailah seorang gadis yang selalu meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Setidaknya, ia mencoba terlihat baik-baik saja. Gadis yang inginnya sederhana; dirinya berarti bagi orang lain.

Cintailah gadis itu. Yang tak kehilangan arah bintang jatuh. Sebab, dialah bintang itu sendiri.

II

Kamu teramat menikmati apa yang kamu kerjakan dan lalui saat ini. Namun aku tahu ada saat dimana kamu merasa kelelahan dan mulai bosan. Mencari tempat bersandar namun tak kau temukan sesuai inginmu. Sadarlah, mungkin kau hanya lupa melebarkan jarak pandangmu sehingga yang kau lihat hanya satu padahal di sekelilingmu beribu. Mungkin. Seluruh kisahmu, sejujurnya belum kupahami. Karena aku hanya satu, dari beribu itu. Sahabat-sahabatmu.


Dan pada akhirnya jangan biarkan semua kelelahan jadi milikmu, bagilah pada siapapun yang menyayangimu. Mereka takkan merasa berat bahkan akan memelukmu sangat erat. Kaulah perempuan yang berjanji, akan meraih mimpi-mimpi. Karena tak ada mimpi yang berhenti dalam diam walau kau kesepian.

Malam Puisi Malang


Datang yuuuk. 
Liat saya dan teman-teman keren dari @MalamPuisi_MLG beribadah puisi dengan tema 
Seribu Mata Air 
^_^
“Menjadi kuat berarti tahu batas antara belas kasihan dan kejam. Menjadi kuat juga harus memiliki hati yang panas untuk keadilan sekaligus kepala yang dingin untuk menilai. Karena itu menjadi kuat sangatlah kesepian. Hanya jika kau bisa mengendalikannya, maka kau dapat menang.”

Sebuah Ode Sederhana

Mendengar. Adalah satu-satunya yang mampu terlaksana. Tiga baris ode tak seberapa ini. Adalah satu-satunya yang mampu tertulis. Agar hari kemarin terkumpul dalam kata-kata dan membiarkan mereka hidup selamanya.

: teruntuk si suara merdu

Terus petik dengan riang dan rasakan indahnya perasaanmu setiap pagi, siang, hingga malam pada sahabatmu. Kalian keren, walaupun entah senar atau kau yang beruntung dalam persahabatan itu.

Sadarlah, di dalam semesta yang rumit ini, kebetulan-kebetulan keren akan selalu terjadi. Seperti misalnya kita, yang bertemu tanpa sengaja, menjadi kawan baru..

Dan sadarlah, aku, kamu, kita semua tak ada yang debu. Semangat selalu.


( p.s: Kalau bertanya apa ode itu. Ode itu syair yang berisi pujian :p )

12 Menit, Yah

Yah..

Mulai detik ini, aku mohon, kurangi asap yang mengepul itu.

Kurangi nikotin yang menguningi geligi mu.

Kurangi tembakau yang merajah pundi penghasilanmu.

Penghasilanmu itu, kau dapat dari berjuta peluh yang menetes di bawah terik setiap hari.

Penghasilanmu itu, kau dapat dari kakimu yang penuh luka menyelam kolam di sawah-sawah kampung sana.

Membuat aku sering merindukan sosokmu, pelindung menjalani hari-hari. Penghasilanmu itu, membuat kau pulang ke rumah teramat jarang.

Dan kini, aku jauh. Aku berada dalam jarak yang jauhnya tak mampu terengkuh peluk hangatmu, yang jauhnya tak mampu terkecup bibirmu pada keningku.

Namun aku yakin, Tuhan sanggup mengulur lengannya untuk kita berdua.

Tak sayangkah pada dirimu sendiri, Yah?

Sekeras itu perjuangan, dengan mudahnya kau bakar, dan memenuhi peparumu dengan benih penyakit?

Sekarang, Ayah. Renungkanlah lirih gadis kecilmu dari sini. Sejenak saja, meski hanya 12 menit.


(Tiba-tiba kepikiran nulis sajak ini, habis nonton trailer film pendek barunya Kak Raka berjudul ’12 Menit’. Nulis sajak ini juga iseng ngepasin musti selesai dalam 12 menit, hehe. Silahkan tonton trailernya disini teman-teman :) )

Kali Ini

Haruskah aku diam lagi?

Menunduk memandang sepatu yang kupakai lebih dari sekedar berjalan namun berlari luntang-lantung mengejar mimpi

Jika diam memang emas pasti aku sudah kaya raya sedari dulu

Nyatanya aku biasa-biasa saja

Haruskah aku memendam kali ini?

Diam dalam diam
Marah dalam diam
Bahagia dalam diam
Sedih dalam diam

Namun kali ini soal lain

Aku pun tak begitu paham

Semuanya terjadi sekejap seperti wasit yang membunyikan peluit tanpa sepengetahuan para pemainnya

Tak sempat bersiap

Kali ini soal lain

Sepemahamanku ini,

kekaguman dalam diam.

(Lawang, 03.44 WIB. 16 Oktober 2013)

Tentangmu, Ibu.

Di setiap langkahku, Ibu.

Semua tentangmu. Dengan tangan yang ikhlas membersihkan najis tubuhku dulu, dengan tangan yang cemas tertangkup di atas keningku yang panas karna demam, dan dengan tangan yang bangga menunjuk ke arahku sebagai putri yang kau banggakan.

Semua selalu tentangmu, Ibu. Dengan bayang-bayang lirih sepertiga malam kudengar isakmu bersujud memohon ampun dan meminta kasih-Nya untukku. Dengan bayang-bayang lehermu yang menelan ludah, menahan ingin untukmu sendiri tertunda bahkan tak tercapai sama sekali demi inginku. Demi aku, Ibu. Kau membuat segala inginku jadi inginmu, semata-mata hanya untuk bahagiaku. Dan demi aku, Ibu. Kau membuat bahagiaku jadi bahagiamu pula.

Semuanya akan selalu tentangmu, Ibu. Dengan bibir mengatup menahan amarah di depan mukaku, dengan senyum yang selalu tersungging untuk meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Dengan bibir yang selalu mengatakan “Ibu menyayangimu, Nak.”

Ini semua tentangmu.

Ini aku, Ibu. Dengan tangan yang tak tahu untung dimabuk teknologi, mengurusi manusia-manusia maya yang airmatanya tak pernah jatuh setetespun untukku. Sungguh, Ibu. Betapa berdosanya aku mengingat entah berapa banyak airmatamu yang jatuh tanpa pamrih di setiap bahagia pun susahku. Dengan tangan yang ringan menunjuk ke arahmu – menganggap dirimu sebagai manusia kejam yang tak henti menyuruhku ini dan itu. Sungguh, Ibu, baru aku sadar perintahmu adalah perintah-Nya yang seumur hidup tak pernah salah. Ibu, baru aku sadar semua itu menuntunku pada hidayah dan keberkahan tiada henti. Dengan bibir yang enggan membalas, “Akupun menyayangimu, Bu.” namun semudah membuang ludah mengatakan hal serupa itu pada manusia lain. Tentangmu, Ibu.

Aku menghentikan langkah untuk tertidur sejenak. Dalam pejamku, kaulah rindu yang tak pernah usai. Dalam tangisku, airmata ini, semoga akan bermuara pada bahagiamu.

Bertahanlah hingga perjalananku sampai pada tujuannya. Karena semuanya adalah tentangmu, Ibu.

11:11

Sajak ini menceritakan tentang seorang gadis. 

Setiap jam 11:11 dia selalu mengucapkan permohonan dalam hati. Agar suatu hari nanti, ia dapat bersama dengan dia, laki-laki yang ia cintai. Meskipun bertahun-tahun sudah berlalu, meskipun dia sudah dewasa. Dia masih membuat permohonan yang sama. Meskipun foto lelaki yang selalu ia pandangi itu sudah memburam. Dan dia sudah berkemas untuk menggapai mimpi-mimpinya. Dan lelaki itu bukan lagi prioritas utamanya. Tapi lagi-lagi ia masih mengucapkan permohonan yang sama. Dan di suatu pagi, dia duduk di kamarnya, menonton TV dan tiba-tiba yang ia lihat adalah lelaki sukses dan terkenal itu akan melangsungkan pernikahan. Itu mengejutkannya dan segalanya seperti terulang kembali. Hatinya kembali merasakan degup luar biasa karena lelaki itu. Dia melihat ke arah jam dan menunjukkan 11:11. Tapi sebelum dia mengucapkan permohonannya yang biasa, dia berhenti. Karena lelaki itu akan menikah hari ini. Permohonannya tidak terkabul, bukan? Jadi dia menarik selimut menutupi seluruh badannya, airmata mulai mengalir di pipinya. Jam masih 11:11. Dengan cepat ia menyilangkan jari-jarinya dan berkata di dalam hati, 

“Aku memohon kebahagiaan untuknya.
Bersabar dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan
Terus-meneruslah berbuat baik, ketika di kampung dan di rantau
Jauhilah perbuatan buruk, dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar, di dunia atau di akhirat
Bersabarlah menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir 
Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impiankan tercapai
Jangan cari kemuliaan di kampung kelahiranmu
Sungguh kemulian itu ada dalam perantauan di usia muda
Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian
Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kau katakan
Karena debat kusir adalah pangkal keburukan


-Sayyid Ahmad Hasyimi-


Penarik Layang-layang


Penarik layangan yang tinggi sekali, siapa gerangan engkau?

Siapapun kau pastilah orang yang sabar dan tak kenal lelah. Berkawan karib dengan silau dan garis-garis benang yang membelesat di jarimu.

Sedang aku, kejar-kejaran dengan waktu dan berkarib dengan keputusasaan.

Aku mencari-cari. Layanganmu benar-benar tinggi sekali. Pastilah kau teramat jauh.

Aku berlari-lari. Jika bertemu nanti. Boleh kita berkenalan, Tuan?

Senja di Balangan


Langit mulai bersiap. Di tubuhnya ada awan yang masih enggan bergumpal dengan bentuk yang namanya tak kupahami. Ada matahari yang masih malu-malu dipandang. Padahal komando langit sudah jelas agar mereka bersiap tampil.

Di Balangan bibir-bibir kering pantai rindu akan kecupan senja. Yang mengulum lidahnya dalam-dalam pada ombak yang menjadi jingga.

Di Balangan sebuah tebing berdiri kokoh, dengan lapang dada menjadi kursi-kursi penonton gratis.

Angin berdesir-desir di telinga karang, bagai peluru, melesat tak terjangkau pandangan pun pendengaran. Sembunyi-sembunyi mencoba menyampaikan pesan langit bahwa pertunjukan dimulai.

Ranting-ranting menyerupai pohon tanpa daun membiaskan cahaya senja yang jadi pembuka. Membuat bayang-bayang jadi lebih nyata, penonton berubah jadi siluet-siluet jika diabadikan.

Dentaman laut pada karang, gesekan senar pesisir, dan dirijen dari ujung langit bersatu menciptakan orkestra yang meriah.

Gumpalan awan indahnya sudah luar biasa walau namanya entah apa. Matahari kini percaya diri walau langit perintahkan ia untuk segera sembunyi.

Sementara dari ujung tebing, seorang penonton berteriak-teriak, “Lagi! Lagi!” Padahal komando langit sudah bermaksud lekas usai. Ia bilang ini senja pertamanya.

Langit menyadari bahwa pertunjukan kali ini terlalu singkat. “Datanglah lain hari dan ingatlah, selamanya, pertunjukan ini tetap gratis untukmu.” Pertunjukan selesai.

Sesungguhnya ia tak ingin pulang, tak ingin selesai, dan tak tahu kapan akan kembali. Selepas pertunjukan senja di Balangan kala itu, ia hidup dengan janji langit.