Ada Saatnya

Ada saat dimana dia, pria yang aku cintai harus bersenang-senang sendiri tanpa aku yang terlalu manja ini. Karna aku mengerti, aku mengerti dia jenuh. Aku yakin dia akan kembali mendengar semua keluh kesahku, saat ia sadar bahwa disini ada aku yang dengan sabar menunggunya, tanpa memaksa dia membagi waktu yang ia punya untukku.
Ada saat dimana aku harus tetap terjaga hanya untuk menjaga lelap tidurnya. Sebisa mungkin aku tak akan meninggalkannya, aku tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa mengucapkan selamat malam untuknya, tanpa tahu kalau dia telah tiba di alam mimpinya yang semoga saja indah.
Ada saat dimana aku harus menjadi gadis manis untuknya, membentuk selengkung senyum pada bibirnya. Dan ada saat dimana aku menjadi wanitanya yang dewasa, memeluk mimpi-mimpinya, menjaga emosi serta bibirku dari sikap dan perkataan menyakiti hatinya yang telah ia berikan untukku. Memiliki hatinya adalah bahagia tak terperi yang Tuhan titipkan padaku.
Ada saat dimana aku harus membiarkannya sendiri. Aku bukan kekasihnya yang sempurna, dia pun juga. Cintalah yang menyempurnakan kisah ini. Dan saat semua harus berakhir, aku telah siap mengantarnya ke gerbang hidup yang lebih indah tanpaku. Karna aku tahu, aku bukan pemilik hidupmu. Setidaknya tugasku telah selesai, menyuntikkan semangat dalam hari-harimu yang lelah.
Tapi selama aku masih mencintaimu dan masih dicintai olehmu. Aku akan berusaha semampuku. Aku mencintaimu.

(Tulisan ini didedikasikan untuk semua perempuan yang saat ini sedang merasakan cinta. Yang hatinya sedang berbunga-bunga, atau yang akan menjalani masa sulit dalam kisah cinta. Kepada para perempuan yang bercerita segalau-galaunya pada saya. Jangan sedih lagi ya :) jadilah kamu yang mencintai tanpa syarat. You go girls {} )

Cover Barururu

The Call (Ost. Narnia Prince Caspian) – Regina Spector

It started out as a feeling
which then grew into a hope
which then turn into a quiet thought
which then turn into a quiet word

And then that word grew louder and louder
till it was a battle cry
I’ll come back when you call me
no need to say good bye

Just because everything’s changing
doesn’t mean it’s never been this way before
all you can do is try to know who your friends are
as you head off to the war

Pick a star on the dark horizon
and follow the light
you’ll come back when it’s over
no need to say good bye

Now we’re back to the beginning
it’s just the feeling and none knows yet
and just because they can’t feel it too
doesn’t mean that you have to forget

Let your memories go stronger and stronger
till they’re before your eyes
you’ll come back when they call you
no need to say goodbye



Brother – Untukmu Teman

Di sini kita pernah bertemu
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau menghulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru
Dan hidupku kini ceria
Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ikatanku
Kepadamu teman
Agar ikatan ukhuwah kan
Bersimpul padu
Kenangan bersamamu bersamamu
Takkan ku lupa
Walau badai datang melanda
Walau bercerai jasad dan nyawa
Mengapa kita ditemukan
Dan akhirnya kita dipisahkan
Munkinkah menguji kesetiaan
Kejujuran dan kemanisan iman
Tuhan berikan daku kekuatan
Mungkinkah kita terlupa
Tuhan ada janjinya
Bertemu berpisah kita
Ada rahmat dan kasihnya
Andai ini ujian
Terangilah kamar kesabaran
Pergilah derita hadirlah cahaya

My Heart Will Go On – Celine Dion

Every night in my dreams
I see you I feel you
that is how I know you go on.
Far across the distance
and spaces between us
you have come to show you go on.

Near, far, where ever you are
I believe that the heart does go on.
Once more, you open the door
and you're here in my heart and
my heart will go on and on.

Love can touch us one time
and last for life time
and never let go till we're gone.
Love was when I loved you, one true time I hold to
In my life we'll always go on.

Near, far wher ever you are
I believe that the heart does go on.
Once more, you open the door
and you're here in my heart
and my heart will go on and on.

You're hear there's nothing I fear
and I know that my heart will go on.
We'll stay forever this way
You are safe in my heart
and my heart will go on and on.


Ntah apa ini, harap maklum hehe. Ohya study tour tanggal 28-29 April semalem, bener-bener unforgetable. Thanks angkatan SMK Telkom ke 18. skate 3tkj1, ibu bapak guru :') banyak cerita banyak kisah. Time flies, but the memories stand still..

Hidup

“Sial! Mau kabur aja musti ribet gini.” Gumam Raisa dalam hati saat berjalan dalam suasana gelap pekat di jalan Nibung Raya. Dimana jalan itu adalah tempat para pelacur ‘dinas’, menunggu pelanggan yang akan menyambung hidup mereka dengan menjejalkan uang-uang haram. Waktu menunjukan pukul setengah satu pagi. Waktu yang sangat tepat untuk dengan mudah mmelihat para pelacur beserta pelanggannya berkeliaran. Mulai dari anak ingusan belasan tahun, hingga yang sudah berkepala empat. Sambil menenteng tas besar berisi beberapa pakaiannya, Raisa terus melangkah menuju jalan besar untuk menunggu ankot yang akan membawanya menuju terminal. Ia sedang dalam misi melarikan diri dari rumah. Setiap hari yang didengarnya adalah teriakan saling memaki yang keluar dari mulut Papa dan Mamanya, kakaknya yang selalu pulang larut malam dengan keadaan mabuk, membuatnya tertekan. Keluarganya jauh dari harmonis. Sudah lama ia berencana kabur dari rumah dan menerima tawaran Dina, temannya, untuk mengambil satu kamar dikos-kosan dekat rumah Dina. Tapi baru hari ini ia merasa mantap, setelah mendapat pekerjaan di sebuah optik, ia memenuhi persyaratan karena telah lulus SMA dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan pembeli, setidaknya ia memilki biaya untuk makan. Selanjutnya, ah, nantilah ia pikirkan. Toh dengan tidak terjebak di rumah neraka itu ia dapat hidup tenang untuk sementara.
“Ih makin rame aja. Uhuk.” Lagi-lagi Raisa bergumam lalu terbatuk.  Ia merapatkan jaketnya, flu sedang menjalar tubuhnya. Ia sedikit demam saat ini. Dari jauh ia melihat pelacur-pelacur itu sedang tertawa-tertawa dengan ‘pundi-pundi uang’ mereka. Ada yang baru saja pergi menuju suatu tempat, ada yang baru tiba dari suatu tempat pula. Ia risih dengan pandangan-pandangan aneh dari para pelacur itu. “Ah cuek aja, Sa. Sedikit lagi sampai, ayo!” Raisa menyemangati diri sendiri. Jujur saja ia pun merasa takut, ada perasaan tidak enak yang memenuhi dadanya. Ia mempercepat langkahnya.
Deg. Jantung Raisa mendentum seketika. Saat menoleh kebelakang, ia melihat seorang pria bertubuh besar berjalan mengikutinya. Langkah pria itu samakin cepat, ingin Raisa berlari tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Jangan sampai ia terlihat lemah dan ketakutan. Tapi dia memang benar-benar ketakutan sekarang! Pada siapa ia akan meminta pertolongan? Para pelacur itu sibuk dengan tugas dinas mereka masing-masing.
“Hai adik.” Tiba-tiba saja seorang  pria tinggi besar berkepala hampir botak sudah berjalan di sisi kanannya. Pria itu tersenyum nakal padanya. Tak salah lagi itu adalah pria yang mengikutinya dari tadi. Raisa tidak menoleh, ia panik, ini waktunya lari sekarang. Hap. Sebuah tangan telah berhasil menahannya di bahu, setelah itu satu tangan lagi telah mencengkram tangan kirinya. Raisa tidak bisa berkutik, “Aaah. Tolong! Tolong!” Ia berteriak, mengejang, dan menendang-nendang. Berharap ada sedikit saja belas kasih dari mereka yang diam saja melihat hidupnya terancam ini. Tubuhnya diangkat, dan pria itu menuju sebuah mobil yang sedari tadi telah terparkir di seberang jalan. Raisa terus mengejang-ngejangkan tubuhnya, tapi tenaganya tidak sebanding dengan pria kekar ini, ia kelelahan, dalam hati dengan penuh pengharapan ia hanya bisa berdoa dan menyebut dua nama, “Ma, Pa..” Tubuhnya yang demam kehabisan tenaga, ia pucat, setelah itu pandangannya meremang, pitam.
Dari jauh terlihat seorang perempuan cantik berambut panjang tergerai, mengenakan pakaian merah minim berlari kearah mobil.  Pria itu telah memasukkan Raisa ke dalam mobil, ia sudah tidak sadarkan diri. Perempuan itu segera merangkul pundak pria yang sedang menuju ke kursi depan untuk melajukan mobil tersebut. Pria itu terkejut.
“I’m Evelyn. Tukar berapapun malam yang kamu mau dengan anak ini. Okay?” Perempuan bernama Evelyn itu mengedipkan sebelah matanya. Ia membelai pipi pria itu.
“Dia lebih untung.”
“Ayolah..” Evelyn semakin merapatkan tubuhnya dengan pria itu. “Aku tau kamu juga nggak tega. Bilang aja nggak dapet sama bos kamu. Beres, dan kita senang-senang malam ini. Free.”
Pria itu berpikir sejenak. Nampaknya Evelyn membikinnya berubah pikiran. “Oke. Ya, kasihan, badannya panas.”
“Euuh.. Kasihan..” Evelyn memasang wajah mengasihani Raisa, ditolehkannya kepala ke bangku belakang.  “Kerumah sakit dulu ya, titip nih anak.”
Evelyn dan pria itu langsung masuk ke dalam mobil. Ia menitipkan nomor teleponnya pada suster, dan berpesan saat Raisa bangun nanti untuk segera menghubunginya
“Kamu kotor. Kenapa nggak mau anak itu juga kaya kamu?” Setelah meninggalkan rumah sakit, dalam mobil pria itu tiba-tiba bertanya pada Evelyn.
Evelyn memandang ke luar kaca mobil, melihat lampu-lampu jalan yang menerangi malam.
“Just us, woman, who know. Cuma kami, para perempuanlah yang tahu.” Ia tersenyum, bukan senyum bahagia melainkan senyum kepedihan, kepedihan menjalani hidup.
*
Raisa merasa kepalanya ditimpa beban puluhan kilogram, berat sekali. Kejadian tadi malam masih berkelebat dikepalanya, ia masih sedikit takut. Namun tubuhnya sudah tidak demam lagi. Matanya terbuka perlahan, lalu memicing melihat sekeliling. Barulah ia sadar ia sedang berada di rumah sakit. Waktu menunjukkan pukul 11 pagi.  Ia telah disuntikkan obat tidur.
“Kenapa bisa disini?” Ia bingung. Tak lama seorang suster masuk ke kamar kecil itu.
“Eh udah bangun dek. Bentar ya.”
“Mau ngapain sus?”
“Telpon kakak adek. Sebentar ya.” Suster itu beranjak keluar.
Kakak? Apa kakaknya yang membawanya kesini? Kenapa tidak kerumah saja, dan bagaimana mungkin kakaknya bisa menyelamatkannya dari pria itu. Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar dikepalanya. “Gimanapun. Syukurlah aku selamat.” Pikirnya, tapi apa pelariannya tetap berlanjut? Raisa memejam, ia akan menunggu kakaknya, setidaknya untuk berterimakasih dan memberitahu tentang pelariannya. Kakaknya pasti bisa diajak berkompromi.
“Hai.” Raisa bangun dari tidur ayamnya. Evelyn tersenyum ramah. Hanya sepuluh menit setelah ditelpon oleh suster, ia sampai di rumah sakit.
“Aku Evelyn. Kamu?” Evelyn menjulurkan tangannya. Raisa menggenggam tangan Evelyn sambil tersenyum canggung.
“Raisa.”
“Udah enakan? Tadi malem kamu demam tinggi.”
“Iya emang lagi flu. Jadi kakak yang bawa aku kesini?”
“Hem iya. Kalo kamu mau bilang makasih sekarang aku bakal jawab sama-sama.”
“Eh iya. Makasih kak, makasih banget. Tapi..” Raisa ragu meneruskan pertanyaan yang jawabannya terus mengganggu dipikiran.
“Tenang aja, kamu nggak diapa-apain kok. Orang itu, Ben namanya. Anak buah germo baru. Kompromi dikit, kamu nyampe sini deh.” Evelyn menepuk tangan Raisa.
“Hah! Jadi, aku mau.. Yaampun syukurlah, sumpah aku nggak tau lagi musti gimana. Maaf aku nggak bisa ngasih apa-apa ke kakak.” Raisa mengelus dada.
“Nggak papa lagi. Aku kasihan sama kamu, nggak tega. Aku juga punya adik seumuran kamu.”
Raisa memperhatikan Evelyn sejenak. “ Ehm, maaf. Kakak.. Pelacur?” Raisa bertanya hati-hati.
“Iya. Nggak papa kok.” Evelyn tersenyum, ia terlihat sangat cantik. “Ohya kamu ngapain malem-malem jalan disana bawa-bawa tas gede. Nggak tahu bahaya apa.”
“Yagitu deh kak, pengen kabur. Rumah kaya neraka.”
“Maksudnya?”
Raisa ragu ingin bercerita, tapi Evelyn telah menyelamatkan hidupnya. Tak apalah mengakrabkan diri.
“Mama papa tiap hari maki-makian. Punya kakak amburadul, pemabok, nggak bisa diharepin. Nyesek disana.”
“Terus kamu yakin bisa tahan hidup sendiri nggak punya siapa-siapa? Bersyukurlah dek. Keluarga kamu masih lengkap, masih ada uang ngehidupin kamu. Hidup ini keras, banyak bahaya diluar sana. Bisa-bisa kamu jadi sesat.. Kaya aku..” Evelyn terdiam, ia menarik nafas panjang. Raisa tak bisa berkata-kata.
“Dulu aku tinggal di Langkat. Mama kecelakaan dan meninggal waktu aku kelas dua SMA. Papa jadi nggak karuan, judi, mabuk, sering bawa perempuan kerumah. Hidup kami susah makin susah dibuatnya. Jadi aku dan adek nekat kabur ke Medan. Cuma modal iming-iming dari adik papa dapet kerjaan di sini. Memang aku dapet kerjaan, tapi ya begini. Terpaksa, aku masih punya mimpi, banyak banget sebenernya. Ginigini aku ranking loh disekolah, hehe. Tapi jaring sesat Om sialan itu udah kuat ngiket aku. Syukurlah, seenggaknya cuma aku, adekku aman.” Mata Evelyn berkaca-kaca, bulir airmata perlahan mengalir setetes di pipinya yang putih. “Seenggaknya kamu lebih beruntung dek.”
“Maaf kak. Maaf.” Raisa menyadari bahwa ia hampir salah langkah, apa yang akan terjadi nanti kalau dia meneruskan pelariannya? Bahkan mungkin ia akan lebih parah dari Evelyn. Evelyn benar, hidup ini keras. Ia harus bersyukur dengan hidupnya, setidaknya keluarganya masih lengkap dan berkecukupan.
“Pulang dari rumah sakit aku balik ke rumah kak.” Raisa tersenyum. Ya, ia akan memeluk mama dan papanya, mencoba memperbaiki segalanya, ia harus berjuang.
“Gitu dong. Salam buat mama papa kamu ya. Ohya, aku mau urus administrasi dulu ya.”
Raisa menarik tangan Evelyn, “Jangan kak, aku aja.” Lalu Raisa mengisyaratkan agar Evelyn duduk kembali.
“Makasih banyak ya kak. Aku gatau kalo aku nggak ketemu kakak bakal gimana hidupku nanti.”
“Lebay deh, hehe. Iya, kakak juga seneng bisa nolong kamu. Kita sama-sama perempuan dek.”
Raisa terdiam. Ya, mereka sama-sama perempuan. Bagai dilecut listrik bertekanan kecil, hati Raisa sedikit berdenyut. Itulah alasan Evelyn, seperti magnet berbeda kutub, saling menarik kuat. Bagaimanapun, mereka sama-sama perempuan, mempunyai ketakutan yang sama, takut kesuciannya terenggut. Apalagi direnggut kekejaman dunia, bernama kehidupan.

(Untuk Project #BlackCover @Loveisneverflat oleh Febiola Aditya Yusuf. Bismillahirahmanirrahim :) )

Entah

Matahari yang menyinari perjalanan.
Langit yang melindungi gerak dan gerik.
Udara yang membimbing langkah.
Hujan yang menjaga dahaga.
Hidup adalah perjuangan.
Peran kita sebagai pendaki.
Kau dan aku, mulai mendaki dari sisi yang berbeda.
Dalam perjuangan berpuluh kilometer menghadapi tantangan dan suka cita dalam pendakian terpisah.
Entah apa yang akan menghampiri kita dalam perjalanan masing-masing.
Hingga akhirnya mencapai puncak bersama-sama.
Tentang kita yang akan bergandeng tangan saat di puncak.
Entah bagaimana takdir bekerja.

Engkau.
Kau hadir dengan ketiadaan.
Sederhana dalam ketidakmengertian.
Gerakmu tiada pasti.
Namun aku terus di sini.
Mencintaimu.
Entah kenapa.

(26 April 2012)

It's a beutiful day! Regards, Feby :)




Atas permintaan. Here it is. Bangjek yang unyu.
Sekalian yla promosiin deh bg ^^
Full Name: Zaka Aulia Bafadhl
Facebook: Zaka Aulia Bafadhl
Twitter: @zakaaulia
(Dari semua foto yg ada di facebook, cuma ini yg paling lucu bg. Jd ini ajaya yg dipajang. Hehe, piss senyuum ^^)


Imutnya :') pengen wahaha.  Buku 'Partikel' sama 'Sunshine Becomes You' juga belum kebeli. Pruk ndhasmu piye.. Sabarr. (Domba, duduk manis disitu ya, tunggu uangnya cukup ^^v)


Gogo, Dioonn >.<  you're the next Idol! Amin..


Malam

Aku menulis sajak ini dari balik jendela rumah yang leluasa melihat ke teras. Setiap hari, semesta telah membiasakan kita bernafas dalam aliran udara yang sama. Semesta juga telah membiasakan kita menatap dalam waktu yang tak sebentar, saling mengenal dalam waktu yang lama. Dimulai dengan rasa putus asa bahwa akhirnya aku sadar bahwa aku bukanlah satu-satunya yang memiliki arti untuk orang yang aku anggap berarti. Merelakan bahwa aku harus berbagi rindu dan akhirnya sadar tak ada sedikit pun yang aku genggam.
Sayang, hari hampir malam, dan bagian terakhir ini hanya awal dari persahabatan untuk malam kesekian. Aku juga ingin bahagia. Bukan hanya memikirkan hal-hal yang harus membuatku mengeluh, sedih dan terluka. Aku sedih melihat airmata yang tak kunjung behenti mengalir. Tak lebih deras dari perih yang kau beri. Ini akan mudah jika aku tak berarti apa-apa. Lapangkan hati mu bahwa aku bukan lagi yang berdiri paling dekat denganmu. Aku akan berdiri, di tempat dimana sulit untuk menggapai mu. Tapi kau tau kan, yang sulit bukannya mustahil. Jarak yang sulit akan mudah bagiku jika berlari, mungkin, Tak ada istilah hanya diam. Jika kau jatuh, aku yang akan melakukan apapun agar kamu bangkit, teman.
Sekian sajak yang tak beraturan ini. Aku tak kan lupa bahwa kita pernah tertawa dan menangis bersama. Semoga, bahagia ada selalu melimpah untuk hidup kita. Selamat menempuh hidup baru, teman. Kau memang tampan, tapi akan lebih indah jika di sudut bibirmu, kau sedikit hadirkan senyuman. Sedikit saja.

Andai Kau Tahu

Engkaulah cahaya lilin ditengah gelapnya dunia yang ada dihadapanku
Engkaulah terang dari topeng yang memalsukan kesedihan mencinta dan bahagia tanpa syarat
Engkaulah sinar yang melindungiku dalam gelap saat bumi mulai terlelap

Andai kau sadar arti cahayamu
Andai kau lihat gulitanya sepi di balik punggungmu yang semakin lama semakin menghilang dari pandanganku
Tak akan kau sayatkan luka untuk membentang selebar-lebarnya jarakmu dengan aku
Andai kau tahu


(22 April 2012)
Karena tak mungkin aku mendampingimu setiap waktu, meski aku menginginkannya. Meski aku cemburu. Kamu adalah miliknya.
Tuhan… Terimakasih telah Kau sempatkan aku mengenalnya. Menyelami pribadinya yang menawan. Berbagi cerita dengannya. Membantunya mendaki tangga mimpi. Bantu aku untuk yang terakhir itu, Tuhan. Bantu aku untuk bisa membantunya. Berilah dia sayap untuk terbang meraih mimpinya, genggam dan jangan Engkau lepaskan dia. Biarlah kelak kulihat sinarnya cemerlang menerangi bumi-Mu, menolong banyak orang melalui citanya itu. Pertemukan kami suatu saat nanti Tuhan, dengan senyumnya yang masih sama yang selalu aku rindukan.

21 April 2012

Hati yang rusak memang mencintai kenangan walau sadar didalamnya ada luka dan kekecewaan yang tak akan pernah sembuh.

Tadi yla ketemu kak Yusuf, Anas, sama Suri. Juga 3 anak kelas 1 adek-adek kamu Fach. Pertanyaan mereka sama, kenapa yla sendiri dan nggak pulang sama kamu. Hehe, boro-boro pulang bareng ya. Yla jadi inget dan ngerasain perasaan yang bahagia kali waktu sabar setiap nunggu kamu ngelatih mereka waktu itu. Waktu dulu kalau ada acara yang kita ada didalemnya, kamu selalu khawatir yla pulang sama siapa, yla masih ingat waktu kita kesasar bareng di jalan yang baru kita tahu dari Dwi buat dateng bauk-bauk ujan-ujanan ke ulang taun mama. Dulu yla ngerasa kamu ngelindungin yla, Fach. Terima kasih karna kamu udah memperkenalkan yla pada mereka yang sangat ramah, yang masih mengingat keberadaan yla, walaupun mereka inget yla di balik bayang-bayang kamu, hehe.

Sekarang, saat-saat yla sakit kamu nggak mau tahu lagi. Saat yla kena musibah kamu juga nggak ada. Bukan salah kamu, bukan tugas kamu juga buat peduli. Yla yang terlalu lemah Fach, belum pernah bisa ngelakuin kaya apa yang kamu lakuin. Tidak peduli. Yla masih jadi orang yang selalu ingin tahu keadaan kamu. 

Fach, bukan hal baru kalau yla cuma bisa ngeliat kamu dari jauh buat ngelepas rindu. Hari ini hati yla udah terlalu beku buat ngerasain sakit karna nggak sedikitpun kita bisa bicara sebentar. Yla suka rambut rapi kamu yang sekarang. Yla juga pengen bantu beres-beres tadi, tapi rasanya kamu nggak ngebutuhinnya. Yla ngerasa adanya yla nggak ada artinya lagi. Fach, kamu nggak nyediain waktu lagi, yla yakin waktu kita jalan-jalan nanti semuanya seangkatan kita di sekolah, atau juga waktu wisuda, yla masih dan akan tetap terus cuma ngeliat dari jauh. Trus kita keluar dari gedung itu dan kita bener-bener musti pisah.


Nggak mau ketemu lagi ya?

Bahwa menyumbang coretan di baju sekolah kamu, baju kebanggaan kita tiga tahun ini itu cuma di mimpi.
Bahwa mengabadikan senyum kita berdua dalam satu potret saja di acara terakhir sekolah dan pertemuan terakhir nanti itu cuma di mimpi.
Dan kita bakal pergi, jalan sendiri-sendiri, menuju mimpi kita masing-masing.

Seluruh Nafas Ini - Last Child ft. Gissele


lihatlah luka ini yang sakitnya abadi
yang terbalut hangatnya bekas pelukmu
akutak akan lupa, tak akan pernah bisa
tentang apa yang harus memisahkan kita

saat ku tertatih tanpa kau di sini
kau tetap ku nanti demi keyakinan ini
jika memang dirimulah tulang rusukku
kau akan kembali pada tubuh ini
ku akan tua dan mati dalam pelukmu
untukmu seluruh nafas ini

kita telah lewati rasa yang telah mati
bukan hal baru bila kau tinggalkan aku
tanpa kita mencari jalan untuk kembali
takdir cinta yang menuntunmu kembali padaku

di saatku tertatih (saat ku tertatih)
tanpa kau di sini (tanpa kau di sini)
kautetap ku nanti demi keyakinan ini

jika memang kau terlahir hanya untukku
bawalah hatiku dan lekas kembali
ku nikmati rindu yang datang membunuhku
untukmu seluruh nafas ini

dan ini yang terakhir aku menyakitimu
ini yang terakhir aku meninggalkanmu
takkanku sia-siakan hidupmu lagi
ini yang terakhir dan ini yang terakhir
takkanku sia-siakan hidupmu lagi

jika memang dirimulah tulang rusukku (terlahir untukku)
kau akan kembali pada tubuh ini (bawa hatiku kembali)
ku akan tua dan mati dalam pelukmu
untukmu seluruh nafas ini

jika memang kau terlahir hanya untukku
bawalah hatiku dan lekas kembali
ku nikmati rindu yang datang membunuhku
untukmu seluruh nafas ini
untukmu seluruh nafas ini
untukmu seluruh nafas ini

When the pic is talking to... II

                                                                             A Boy

                                                                          A Girl 1

A Girl 2

                                                                         Combine

                                                                        Finger Dead

Ola :)

Fach..

Pesan Tak Terkirim Buat Fach III

Tidak ada yang ingin aku ceritakan. Aku terpuruk, andai kamu disini.

Ucapan Syukur dan Terima Kasih Ahmad Fuadi untuk Istrinya Yayi

Ucapan syukur dan terima kasih Ahmad Fuadi dalam bukunya ‘Negeri 5 Menara’ untuk Istrinya:
“Lalu kepada istri saya, Danya ‘Yayi’ Dewanti yang biasa saya panggil Cinta. Sejak naskah novel ini resmi menjadi hadiah ulang tahunnya, dia bermain di berbagai lini, mulai sebagai suporter, editor sampai manajer. Dia bahkan memesankan buku menulis dari Amazon.com dan membubuhkan aneka ragam catatan di setiap manuskrip. Posisi yang pasti sangat sibuk. Terima kasih, untuk dukungan tanpa syarat, Cinta. I love you more.”

17 April 2012

Tidak ada lagi yang bisa menyemangatiku dengan kata-kata yang ada di layar depan, semua kenangan yang ada didalamnya juga hilang bersamanya, teman kecil yang menemani kemanapun aku pergi. Hidupku semakin sepi. Handphone yang hampir satu tahun kugunakan hilang, dihari kedua ujian nasional. Aku tidak menyalahkan siapapun, bahkan siapapun yang sekarang memegang benda yang sangat berharga buatku itu. Aku percaya jika Allah masih mengizinkan aku menggunakannya, jika memang menjadi rezekiku, handphone itu akan kembali. Aku yakin, dibalik semua cobaan yang tak henti, telah menunggu kebahagiaan pula, Allah sudah menyiapkan yang terbaik. Amin. Semua indah pada waktunya. Aku tidak sanggup meminta handphone pengganti pada kedua orangtuaku, tak apa. Terlalu banyak biaya yang telah keluar untukku. Aku sangat sedih sekarang. Tapi bagaimanapun aku harus tetap sabar dan bertahan.
Dua hari ujian nasional sudah dilewati, aku sudah mengusahakan yang terbaik. Besok adalah hari terakhir, kuserahkan semua pada-Nya. Aku harus tetap kuat. Aku harus tetap kuat, harus.
Finally.. 00:01
17 April 2012! Happy birthday 18th my narsiz company mate in Junior High School, the best I ever had, Suci Apriliyani :*

Orchid


Peluhmu ada untuk kuusap. Letihmu serupa tenaga untukku semakin kuat menopang. Dan entah seperti apa wujud talinya, kita tak pernah sekalipun berikrar. Namun saat kau sakit, akulah yang menangis. Saat kau tersandung, akulah yang kemudian berlari agar bisa mentatihmu. Saat hatiku diam-diam menahan riuh pertanyaan yang memaksa keluar dengan beribu dobrakan menyakitkan, kau datang menenangkannya dengan sebaris jawaban yang membuatku yakin bahwa kau mampu membaca keseluruhanku.

Ini adalah yang tidak mampu aku katakan secara lisan, dan lagi-lagi tulisan lah yang jadi merpati setia penyampai segala kataku. Sebab di hadapanmu, meskipun sudah kesekiankalinya kita dipertemukan, aku tetap tidak punya cukup daya mengendalikan degup jantung yang skalanya masih sama saat didekatmu. Mungkin kau bosan membacanya. Topik yang kubahas selalu sama, soal kerinduan. Namun itulah adanya. Beribu kerinduan seperti menghentak-hentak dadaku, setiap harinya. Benar, setiap harinya.

(16 April 2012, 15:45, first day of National Examination. After we met and talked for a while. Feel like my heart would stop beating, I trully miss you.)


Mencintaimu Dengan Sederhana

:fach

Sesederhana gerimis yang mencintai rerumputan kering dengan lembut
Sesederhana kau melukiskan senyum dibibirmu untuk dunia
Kau terlalu indah untuk kumiliki
Kukerdilkan hasrat untuk mengeluh
Tentang hujan yang merenggut kebahagiaan
Dan esok hari yang seolah masih jingga
Dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang mendekapku
Terimakasih telah memberiku waktu
Untuk mencintaimu dengan sederhana

(Langsa, 29 Juni 2011)

Midnight Text with @demot_

Pembicaraan tengah malam ini berlangsung pada 28 Oktober 2011. Hari dimana OSIS 8 lepas jabatan. Dimulai dari racauan nggak jelas saya yang saya kirim ke dea.
Yola: “Tuhan, apa aku terlihat cantik saat menangis, hingga kau buat aku terus meneteskan airmata?”
Dee: ”Kamu dibuat terus2an menangis agar merasakan nikmatnya bahagia.”
Yola: “Apa setimpal tangisan yang terus menerus dengan bahagia yang hanya sekejap?”
Dee: “Tentu saja. Semua sudah diperhitungkan olehNya. Jalani dengan ikhlas. Ikhlas menangis untuk menyongsong kebahagiaan :)”
Yola: “Ya, lagi2 sabar yang harus jadi senjatanya, satu yang wajib diingat. Orang yang sabar itu orang yang senyumnya belakangan, kan begitu?”
Dee: “Orang sabar itu orang yang senyumnya belakangan. Tapi sadar gak, saat dia sudah meraih ‘senyumnya’ justru orang2 lain dengan ketidaksabarannya yang sudah tersenyum duluan gantian menangis? Berbanggalah jadi orang sabar. Hanya yang berhati kuat yang sanggup menjalaninya, akupun belum sanggup :)”
Yola: “Ya, kesanggupan itu seperti panah, bisa meleset bisa tidak. Tau sendirilah menjelaskannya.”
Dee: “I’ve made a new post for you..”
Yola: “Yla udah nggak on dee :(“
Dee: “Hehe yaudah ntar baca ajadeh kalo on :( dea salah minum obat jam segini jd gabisa bobok -,- yola tidur gih. Besok membengkak matamu.”
Yola: “Pasti :) haha kayanya banyak kali kita yg bales2an posting ya dee, makasih banyak. Kok bisa salah? Iya yla emang udah ngantuk kali emang dee.”
Dee: “Haha iyaa. Karena kita tau rasa kita masing2 hihi. Iya salah obat siang dea minum malam. Ada sejenis kafeinnya. Huhu.”
Hening. Pending. Saya meracau lagi.
Yola: “Buat malaikat, tinggal aku yang cengeng disini ini, jaga saja dia yang sudah terlelap disana, biar indah mimpinya, ohya tolong pasang banner ‘saya sayang sekali sama kamu’ di mimpinya ya.”
Dee: “Haha :D nice. Aminn.. Pinjem yaa :) send ke boo juga hihi.”
Yola: ”Iya ;) hhe coba yla bisa kaya dea..”
Dee: “Send aja yol. Sekali2 biar dia tau betapa pedihnya merindu hehe.”
Yola: “Wih haha, dea lah yang bantu ungkapin ini semua atas nama yla haha :D yla tidur ya. Nih buat dea ‘Out of sight, out of the blue. Good night, you :)’
Dee: “Haha I swear I’ll do that. But not now, too late of night. Hehe. See you tomorrow. Hope it will be nice ;)”
Yola: “Okay it’ll be nice, believe it. See you tomorrow ;)”
Dan waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah 2. Saya catat semua sms itu di buku catatan harian, manatau suatu waktu berguna. Ya sekarang sudah hampir 6 bulan setelah pembicaraan ini.
Aku ingin bertemu, berdua saja, bahkan kalau itu pertemuan terakhir. Bahkan kalau aku sudah dilupakan. Tak apa. Sekali lagi. Sekali lagi saja. Aku benar-benar merindukannya.

11 April 2012

Selamat malam :) hai, aku sedikit ingin bercerita.
Pagi ini disambut dengan sesuatu yang mengganggu langkahku ke dalam sekolah, saat berjalan ada sesuatu yang terasa mengekang dan menimbulkan bunyi plak, plak, plak. Sepatu sebelah kanan ini sudah lekang, tepat kurang lebih seminggu lagi masa putih abu-abu akan berakhir. Seluruh warga dalam lambungku belum enggan juga menyelesaikan demonstrasi besar-besaran didalam sana selama berminggu-minggu ini. Belakangan hidupku menyisakan kekosongan besar yang semakin lama semakin hampa. Aku mengira takkan berhasil melewati segalanya dengan selamat. Aku sudah yakin, haqqul yakin— yakin yang sebenar-benarnya, bahwa umurku tidak lama lagi. Alhamdulillah aku berhasil melewati segalanya, asam lambung dan infeksi saluran uretra tinggal masa lalu yang telah memberi pelajaran berharga dalam hidupku untuk menjadi manusia yang lebih peduli terhadap kesehatan diri sendiri, aku sudah mulai memasang alarm di handphone untuk mengingatkan diri sendiri makan siang, juga menghentikan dengan takjim meminum kopi lebih tepatnya capuccino yang dulu, setiap hari kukonsumsi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kebersihan hidup. Sekali lagi, semua ini memberiku pelajaran berarti bahwa semua orang yang pernah bersinggungan dengan maut pasti akan berubah. Aku sendiri merasa terkesan, bahkan aku menyadari betapa sudah dekat maut denganku. Ya, Allah menegurku—hambaNya yang sangat kecil ini dengan maut, aku yang sebelumnya menyombongkan umur yang masih muda untuk seenaknya menyiksa apa yang ada dalam tubuh ini, aku merasa “Toh masih umur segini.” saat membiarkan angin menggerogoti tubuhku tanpa jaket, saat menegak kopi setiap hari, saat terlalu malas untuk rajin meminum air putih.
Ketakutan terbesarku saat berurusan dengan rumah sakit adalah jarum suntik. Betapa aku paling tidak suka berurusan dengan benda itu. Syukurlah akupun terbebas dari ancaman paling kutakuti saat mengira semua kesakitan yang kurasakan adalah usus buntu (usus buntuku bersih, Alhamdulillah)—infus, ya, opname yang memuncak pada operasi. Bagaimana aku tidak kalut, padahal ujian nasional kurang lebih seminggu lagi, dan penyakit-penyakit nakal itu membumbui hari-hari perjuanganku menghadapi ujian nasional. Aku hanya harus berurusan dengan si tajam itu saat melakukan tes darah. Aku teringat kata-kata Miss Sri Hidayati saat aku merengek mengadu sakit gigi bertepatan dengan ujian semester yang berat dulu, hhh, aku sangat merindukannya, ibu kedua untukku. “Bersyukur, masih dikasih sakit gigi, belum kanker yang bisa buat is dead.” Ya, aku harus lebih, dan lebih banyak bersyukur lagi, masih diberikan penyakit ringan ini dalam hidupku.
Dengan kondisi masa pemulihan ini, aku kembali ke sekolah seperti biasa dengan semangat menggebu-gebu. Untuk menjalani masa SMK yang tinggal seujung kuku ini, setiap mengingat hal ini aku selalu termenung sendiri, betapa tidak terasanya waktu berjalan, time flies.
Ujian nasional tinggal menghitung hari, dan pagi ini aku menarik napas dalam-dalam. Proses belajar telah kujalani hingga saat ini, aku tidak boleh lemah dengan kondisi apapun, bagaimanapun besarnya kekosongan yang ada dalam hati ini. Dalam tiap sujud selalu terpanjat kepasrahan yang kuserahkan padaNya untuk tujuan nomor satu dalam hidupku, membahagiakan orangtua.
“Allahumma iftah alainia hikmatan. Rabbi zidni ilman warzuqni fahman. Ya Allah, hamba datang mengadu kepadaMu dengan hati lemah dan pasrah. Perjuangan hamba belum usai, hambaMu ini datang meminta kelapangan pikiran dan kemudahan dalam pemahaman dan hidayahMu dalam tiap langkah yang hamba ambil. Ringankan hamba untuk menyempurnakan usaha dan doa kepadaMu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui Ya Allah. Amin.”
Aku merasa damai dan tentram sekarang.
Tinggalkan tentang penyakit. Hari ini banyak hal yang ingin kuceritakan. Bukan masalah tas putih yang belakangan ini kubawa ke sekolah, yang selalu jadi bahan ejekan Brema yang bilang kalau aku seperti mau ke pesta. Dan membuat Intan hampir muntah.  Bukan. Sekali-sekali aku ingin jadi feminim, tidak ada salahnya kan? Tas biru itu lagi dicuci, Bremzy!  Bukan juga ekspresi bingung wajah Runi, Rini, dan Nisa saat melihat aku membawa segelas teh manis hangat dengan sebuah roti, bukan capuccino seperti biasa. Bukan tentang Rini yang mengatakan akhir-akhir ini wajahku semakin putih (kedip-kedip nakal.) – atau pucat? Bukan juga tentang kekonyolan-kekonyolan yang terjadi akhir-akhir ini yang selalu berhasil membuatku tergelak, bukan tentang modem yang sudah bisa kugunakan lagi, bukan tentang study tour yang sudah terbayang di kepala betapa serunya nanti. Ini tentang konspirasi semesta. Tadi di sekolah, saat Sir Reinaldi keluar dari kelas dan kami menunggu pelajaran berikutnya, aku tahu yang masuk berikitnya adalah Pak BS, tapi syaitonnirazzim seperti mengembus-hembuskan sesuatu ke mataku yang membuat aku sangat, sangat ngantuk, aku sedikit malas untuk menghadapi matematika tadi siang. Belum lagi perut yang makin menjadi-jadi sakitnya (saya lupa bawa obat, sesuatu sekali.) Dalam hati aku memanjatkan harapan nakal, untuk semoga terjadi apa saja, atau ada apa saja yang membuat kelas tercinta ini bebas belajar matematika hari ini. Untuk kali ini saja. Dan benar saja, semesta berkonspirasi, Malaikat mengaminkan harapan asal-asalan itu. Seluruh TKJ disuruh menuju aula untuk mengikuti seminar Politeknik Telkom. “Allah itu dekatnya seurat nadi leher kita. Perkataan adalah doa, apa yang kita pikirkan itu yang terjadi. Semacam mindset.” Saat seminar aku mencari-cari seseorang, barangkali aku bisa melihatnya barang semenit dua menit. Ternyata dia tidak ada, tidak kutemukan sama sekali. Kemana dia?
Minggu lalu aku pergi ke Gramedia—seperti kesukaanku, sendirian. Dengan uang terbatas untuk dapat membeli satu buku saja, aku bingung akan membeli Sunshine Becomes You karangan Ilana Tan yang selama ini aku idam-idamkan atau Negeri 5 Menara karangan Ahmad Fuadi yang kurasa bisa memotivasi. Sambil menimbang-nimbang aku pergi ke bagian buku lain, buku-buku tentang Tour Guide. Bagaimana indahnya kastil-kastil di Paris, romantisnya menara Eiffel saat malam hari, sampai bagaimana hebatnya Belanda yang bisa membangun negri diatas laut. Aku selami lembar demi lembar dengan panduan berbahasa Inggris. Gramedia adalah tempat pelarian kedua saat malas pulang kerumah, sudah beribu kali rasanya aku kesini, tapi baru kali ini aku membaca buku-buku tepatnya menemukan bagian buku-buku Tourism ini. Ditelingaku mendesir-desir pelan gesekan biola yang membawakan melodi klasik Beethoven—Fur Elise. Suatu hari nanti aku harus dapat beasiswa, belajar di Perancis, Universite de Paris, Sorbonne! Aku berbisik dalam hati. “Tuhan, mungkinkah aku bisa menginjakkan kaki di negara hebat itu nanti?” Mimpi ini memang terlalu tinggi, bahkan aku berani bertaruh tidak sedikit yang menertawai aku jika memberi tahu mimpi terpendam yang gila ini. Tapi tekad sudah di kepalaku, tanpa mimpi orang seperti aku akan mati, segera aku tanam dalam hati. Mungkin tidak untuk Strata 1, aku masih ingin di negri ini, masih ingin merasakan sensasi untuk pertama kalinya,keluar dari tanah Sumatra yang menyimpan segala kenangan selama tujuh belas tahun, dan sebentar lagi, dalam hitungan bulan, menginjak tanah Jawa.Bismillah, aku tahu Tuhan Maha Mendengar.
Kembali ke minggu lalu saat aku masih bingung akan membawa masterpiecenya Ilana Tan atau Ahmad Fuadi ke kasir. Aku meninggalkan keindahan kota-kota di benua sana dalam buku-buku Tour Guide, aku beralih ke bagian Sastra Indonesia, masih sama seperti empat hari lalu, tidak ada buku baru, wajah Chairil Anwar tetap terpajang disana haha. Tapi bolehlah membuka-buka lagi, dari sekian banyak puisi yang dilahirkan sang Binatang Jalang ini, aku paling suka dengan puisi terakhir yang ia buat pada tahun 1943, tahun meninggal dirinya dalam usia yang sangat muda, kurang lebih 26, salah satu sastrawan terbaik yang pernah Indonesia miliki (Chairil Anwar lahir di Medan). Derai-derai Cemara.
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

“Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan. Sebelum pada akhirnya kita menyerah...” Aku paling suka bagian akhirnya.
“Suka Chairil Anwar?” Sebuah suara perempuan mengejutkanku. Aku menoleh, langsung tersenyum. “Iya hehe.” Speechless. Aku kira siapa, aku kembali ke bacaanku. “Eh kenalan dulu, kakak kak Ratna.” Dia mengulurkan tangan padaku. Dengan spontan aku menyambut tangannya, bingung, ini aneh, aku tidak pernah berkenalan dengan orang asing seperti ini. “Yola, siapa tadi?” Namanya tidak begitu jelas terdengar tadi. “Ratna.” Ulangnya. Perempuan itu kelihatannya tidak seumuran denganku. Melihat aku yang berseragam, dia bertanya sekolah, dan hal-hal lain. Pertanyaan standar orang yang baru saling mengenal. Kak Ratna salah satu mahasiswa USU jurusan Manajemen. Dia tinggal di Langkat, dan kos di dekat Thamrin Plaza. Aku langsung meletakkan buku tadi ke rak lagi, dan fokus berbicara dengan Kak Ratna, suasana mencair. Kami seperti teman, bukan orang yang baru saling mengenal lagi. Lagi-lagi semesta seakan berkonspirasi. Aku juga ingin mengambil Manajemen nanti, mungkin saja aku bisa bertanya-tanya sedikit banyak tentang bagaimana prospek kedepan jika mengambil jurusan ini. Kebetulan Kak Ratna sudah tingkat akhir, lagi nyusun skripsi, aku tanya berapa lama ia akan menyelesaikan kuliah. Katanya kalau lancar skripsinya, pas 4 tahun. Sekarang umurnya 21. Dia pernah bekerja di perusahaan entah apa namanya, aku sudah lupa, sambil kuliah, katanya prospek ke depan untuk mahasiswa lulusan manajemen bagus, karna setiap perusahaan pasti kan ada bagian manajerialnya. Saat aku dengan polos bertanya, “Bisa jadi manajer bank kan kak?” Kak Ratna cuma tertawa dan menjawab, “Ya bisalah.” Mungkin di pikirannya bagaimana semua orang sekarang  berlomba-lomba membuka manajerial sendiri, menjadi wirausahawan, seperti cita-citanya, aku malah cuma ingin jadi manajer bank. Sebenarnya itu bukan tujuan utamaku, hanya basa-basi saja. Aku sendiri juga masih bingung, akan jadi apa aku setelah dapat gelar SE?
Dia bertanya aku ingin kuliah dimana, aku bilang ingin sekali masuk UI, menjadi pasukan The Yellow Jacket dan menceritakan kekagumanku pada UI yang masuk dalam 50 Universitas Terbaik se-Asia. Jurusan Manajemen atau Ilmu Komunikasi. Ya, impian lainku juga bekerja pada pertelevisian dan pers. Mungkin aja kan bisa jadi penerus Bang One? Alias Bung Karni, yang tiap malam jadi pembawa acara Jakarta Lawyers Club. Aku juga bercerita pertimbangan lain yang juga ada dikepalaku, Universitas Brawijaya, Malang. Kak Ratna cuma mengangguk-angguk, dia langsung menyela tentang betapa asiknya suasana Bandung, pengalamannya ke Trans Studio, aku cuma tersenyum dan mengatakan bahwa Bandung sudah siap menampungku kalau-kalau tidak tersedia satu kursi di UI dan UnBraw untukku. Dia langsung berkata, “Baguslah, enak di Bandung lo.” Aku langsung mengambil kesimpulan, Kak Ratna—penggila Bandung yang terjebak di sesak dan panas Medan. Akhirnya aku izin untuk pulang, aku sudah tau akan membawa buku apa ke meja kasir, kami bertukar nomor handphone. Senang berbicara dengannya, Kak Ratna sangat baik, sopan, tapi sekaligus masih terasa aneh buatku. Kuambil Negeri 5 Menara nya Ahmad Fuadi, yang kemudian dengan penuh kesungguhan “Ini buku terbaik yang pernah aku baca. Bacalah :) ” dan saat ini pelan-pelan aku coba menyerap semua pelajaran berharga dari buku ini. Energi positif dan semangat untuk ikhlas dalam hidup masuk dari mata hingga ke hatiku, sampai nangis aku membca buku ini. Aku juga jadi tertarik belajar bahasa Arab dan sedikit-sedikit menambah kosakata bahasa Arab yang selama ini hanya aku dapat dari Umi, itupun sangat sedikit. Alhamdulillah aku tidak salah pilih.
Dari dulu di layar depan handphone ku aku selalu mengetik satu kata untuk memotivasi diri, “LULUS :)” yang kemudian sebentar-sebentar berganti dengan tulisan “Jangan lupa ya: ................... :)” di titik-titiknya aku tulis sesuatu yang harus kukerjakan dan kubawa beserta hari sesuatu itu diperlukan. Kalau sudah lewat waktunya, aku menggantinya lagi ke semula. Dan sekarang, setelah Negeri 5 Menara, karya luar biasa Ahmad Fuadi yang tebalnya 400 halaman itu habis terbaca dalam sehari, mantra sakti dalam buku itu meracuni otakku, catatan itu bertambah menjadi: “Man Jadda Wajada: siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses! Man Shabara Zhafira: siapa yang sabar akan memetik hasilnya! LULUS :)”
Kesabaran adalah satu-satunya jalan untuk aku tetap bertahan selama ini, masalah apapun yang kuhadapi. Sebenarnya ada lagi dua ungkapan bahasa arab tentang kesabaran yang selalu kukumandangkan dalam hati: “Innallaha ma ashobirin.” Allah amat dekat dengan orang-orang yang sabar. Dan ini favoritku “Salamun ‘alaikum bima shabartum.” Keselamatan bagimu atas kesabaranmu.
Dulu pernah tertera bergani-gantian di layar depan itu: “<3August :)” saat bulan Agustus, bulan ulang tahunku. “Fach :)”, dan pernah juga aku memasang autotext yang sering pengguna BlackBerry pakai, autotext bergambar sebuah senyum dengan tangan kiri mengepal, tanda memberi semangat. Kenikmatan luar biasa bisa memotivasi diri sendiri sejauh ini.
Dan hari ini di jalan pulang kerumah aku tiba-tiba teringat dengan Kak Ratna, apa kabarnya ya?  Kami cuma sekali smsan setelah bertemu. Tiba-tiba pula handphone bergetar, tertera nomor tidak dikenal disana. Panjang umur, Kak Ratna meneleponku. Aneh? Benar aku juga merasa aneh. Lagi-lagi semesta berkonspirasi. Aku terheran-heran. Kak Ratna mengajak aku bertemu di KFC Gajahmada, depan Gramedia. Kebetulan ankot yang kunaiki masih menuju Medan Plaza, jadi aku tidak turun di sana, tapi terus ke KFC. Aku terheran-heran, bagaimana semesta berkonspirasi mengatur semua kebetulan ini? Wallahualam.
Kak Ratna sudah ada disana rupanya, tapi yang membuat aku lemas ada laki-laki didepannya. Mungkin teman kuliah, mungkin pacarnya, atau abangnya. Aku coba berpikir positif. Aku tertawa sendiri saat mengambil duduk di samping Kak Ratna, menghadap langsung laki-laki itu. Walah, guanteng, mirip Morgan Smash. Beneran ini serius. Aku mengutuki kebodohan sendiri bisa-bisanya baru duduk langsung ketawa, bisa dikira autis. Kak Ratna menanyakan aku mau makan dan minum apa, aku segan menolak, aku minta dibelikan Mocha Float saja. Laki-laki tadi langsung pergi membeli. “Siapa kak?” Tanyaku penasaran dengan si Morgan itu. “Kawan kampusnya.” Nya kata nya itu terlihat seperti aku sudah menjudge kalau si Morgan itu pacarnya Kak Ratna. “Ohehe.” Aku tertawa lagi, sepertinya ada gas tertawa yang merasuki pikiran ini. Di telepon Kak Ratna sudah bilang kalau dia cuma mau ngomong soal peluang usaha. Manatau bermanfaat, katanya. Jadilah kami bicara nggak jelas sampai jam 3, aku cukup menikmati karena akupun suka diajak bercerita, aku jadi teringat suasana kantin kalau aku, Rini, Runi, Nisa, Kak Bayu, Anggak, Rifqi, Kirbi duduk-duduk untuk nunggu les, kadang-kadang yang lain juga ikut gabung. Waktu sejam terasa semenit kalau sudah berkumpul begitu, kantin serasa milik kami. Kantin Pakde adalah markas untuk mengisi perut dan semangat sebelum les bersama kubu masing-masing. Kami terbagi jadi 3 kubu, kubu Medica, aku Rini Runi Tori dan Cipit, kubu SPC (Stan Pro College) calon gayus sejati Anggak Nisa Kak Bayu dan Adam, kubu ProIHT(Pro InHouse Training) asuhan Sir Yoffi tercinta sang motivator haha ada Rifqi Kirbi Rizki ujum Irfun Juwin Rabilal dan 3 cekak girls. Kami semua sama-sama masuk jam 3, jadi pergi meninggalkan kantin pun bareng-bareng. Hhh sayang sebentar lagi masa-masa itu harus berakhir. Hehe intermezzo, kembali lagi, tahulah aku kalau si Morgan ini namanya Bang Reza, orangnya lumayan humoris, dia juga menanyaiku tentang kuliah. Cuma sejam saja aku pamit pulang. Entah kenapa perasaan ini terasa tidak enak. Aku sering kedatangan suasana hati seperti ini, kalau sudah begini, aku tidak tenang, rasanya ada yang mengganjal, dan sudah berapa kali kejadian, peristiwa buruk sudah menanti. Kak Ratna yang sejak awal menanyakan kenapa wajahku pucat, mengira perutku sakit lagi. Aku sudah cerita ke Kak Ratna tentang penyakit ini. Sebelum pulang Kak Ratna ada bertanya satu hal padaku, “Siapa pacar yol?” Bang Reja tertawa. Jantungku berdegup, nggak mungkin aku diam, lalu aku ketawa lagi dan menjawab, “Kalo ada kakak pun nggak kenalnya haha.” Tawaku dibuat, palsu. Hatiku makin menjadi tak karuan, sekarang disesaki rindu, rindu yang teramat dalam.
Aku pulang. Semesta berkonspirasi lagi, ankot 25 yang biasanya lamanya naujubillah sekarang langsung melintas. Aku mengambil handphone, dan membuka folder gambar. Muncul dua orang disana, si pria dan seorang perempuan, duduk di sofa coklat, dua-duanya tersenyum melihat ke kamera tampak jelas kebahagiaan disana, kebahagiaan masa lalu yang diabadikan sebuah gambar digital, perempuan itu memegang sebuah replika menara eiffel. Perempuan itu, aku. Aku next kan ke gambar selanjutnya, gambar sesosok pria. Dengan rambutnya yang rapi, berseragam putih sama denganku tertangkap kamera sedang tidak melihat ke arah kamera, tanpa ekspresi, yang ada hanya muka bodohnya di kantin sekolah. Kuusap-usap layar yang tidak kotor. "Lagi apa yang disana? Sehat? Bentar lagi kita UN, study tour seneng-seneng, wisuda rapi-rapi, lulus pasti lulus! Kita jadi anak kuliahan. Mahasiswa!" Kutarik nafas perlahan menguatkan hati, mataku mendung, lalu gerimis. Seperti langit sore ini.
Gempa berkekuatan 8,5 skalarichter mengguncang Pulau Sumatra jam setengah 4. Aku sudah didepan Sari Mutiara. Pasien-pasien keluar beserta infus, suster dan perawat pun kalang kabut. Cepat-cepat kulangkahkan kaki menuju rumah. Seisi Gang Dana sudah diluar semua, termasuk Mama, Alda dan Bu Uci, guru yang tiga kali seminggu datang kerumah mengajar les privat Alda. Barulah aku tahu, inilah kejadian yang menyebabkan perasaan tidak enak sedari tadi. Sahih, perasaan ini sudah sangat sahih. Sampai saat ini aku masih ingat kejadian apa saja yang menimpaku setelah aku merasakan perasaan semacam gamang itu, pernah siku dan lututku luka parah terseret dari kereta sepulang acara buka bersama sekaligus reuni SD Ikal. Pernah juga menimpa keluargaku, dan banyak lagi yang tidak dapat aku ceritakan. Sahih, sangat sahih.
Listrik mati. Sinyal komunikasi sekarat. Ori, teman masa kecilku mengirim sms menanyakan keadaanku, saat ingin membalasnya, jaringan kritis. Alhamdulillah Papa menelepon sebentar, baik-baik saja, malah tidak ngerasa gempanya. Dasar. Listrik hidup lagi, berita sudah ada di seluruh channel. Aceh berpotensi tsunami, dan bahkan kalau tidak salah di Simeleu sudah terjadi tsunami kecil. Sirine tsunami di Banda Aceh meraung-raung. Aku mendapat kabar Kak Widya saudaraku sedang kuliah, dia kuliah di Unsyiah. Dia kalut, trauma pasti, sebab dulu dia juga pernah kena amukan gelombang ini. Sabang, ah, pulau indah yang dulu saat awal tahun kukunjungi tanpa diduga-duga. Masih terasa saat pertama tiba disana kami disambut hujan lebat. Mungkin disana pun sedang kalang kabut, bagaimana tidak. Sekelilingnya laut terhampar, sama seperti Banda. Sempat terjadi gempa susulan untunglah peringatan tsunami sudah dihapus sekitar jam 8 tadi kalau aku tidak salah.
Inilah teguranMu yang kesekian Ya Allah...

Selamat malam, selamat menempuh peperangan akhir kita semua. Semoga sukses Ujian Nasional :)
Senyuum, Feby.