"Fach, aku sakit. Demam."

(Tersimpan di draf..)

Kehilangan Bukan Berarti Gagal

Ada saat dimana kita takut kehilangan, takut untuk melepaskan dia yang kita cintai.

Tetapi ada pula saat dimana kita harus berhenti mencintai dia , bukan karena kita tidak mencintainya lagi namun karena kita menyadari bahwa dia akan lebih berbahagia apabila kita merelakannya pergi.

Kita tidak mau kehilangan seseorang ketika kebahagiaan kita tergantung dari keberadaannya di dekat kita.

Kita tidak mau kehilangan seseorang ketika kita takut tidak menemukan yang seperti dia lagi.


Kita tidak mau kehilangan seseorang ketika kita mengingat begitu banyak kenangan yang indah sudah kita lewati bersama dia.

Kita tidak mau kehilangan seseorang ketika di dalam hati kita berkata "Aku tidak bisa! Aku sangat mencintai dia! Kalian tidak tau apa yang aku rasain!"

Tapi tak sadarkah kita bahwa

Merelakan dia pergi bukanlah akhir dari dunia melainkan awal sebuah kisah yang baru.

Kita harus melepaskan dia pergi karena kebahagian kita adalah kita yang menentukan sendiri dan bukan tergantung orang lain.

Kita harus melepaskan dia pergi karena saat Tuhan mengambil sesuatu maka Dia juga telah siap menyediakan sesuatu yang lain yang terbaik bagi kita.

Kita harus melepaskan dia pergi karena yang sempurna belum tentu yang terbaik bagi kita.

Kita harus melepaskan dia pergi ketika kenangan kenangan indah itu hanya tinggal masa lalu.

Kita harus melepaskan dia pergi karena hati kita yang lain berkata " Aku ini manusia bodoh, tak ada lagi yang dapat dipertahankan."

Kehilangan sesuatu memang berat namun bukan berarti kita tidak mencapai apa-apa. Namun kita telah memahami sesuatu. Ada saat mempertahankan, ada saat melepaskan dan ada saat dimana kita harus kehilangan.

:)




Malam Di Hari Sumpah Pemuda

"Tuhan, apa aku terlihat cantik saat menangis, hingga Kau buat aku terus meneteskan air mata?" (f.a.y)
pukul 21:45


"Hatiku benar-benar sobek, seperti celana jeans. Orang pikir sedihku keren." (zarry hendrik)
pukul 21:50


"Buat malaikat: tinggal aku yang cengeng ini, jaga saja dia yang sudah terlelap disana, biar indah mimpinya. Ohya, tolong pasang banner 'saya sayang sekali sama dia' di mimpinya ya." (f.a.y)
pukul 23:00


"Apakah kamu sebaiknya dipertahankan atau dilepaskan, diganti lebih lekas atau dibiarkan dalam ruang antara sudah selesai atau masih andai." (aan mansyur)
pukul 23:03


"Bila suatu hari nanti aku tidak mungkin membuka mataku lagi, rasakanlah degup-degup yang aku tinggalkan di setiap kata yang aku tulis." (aan mansyur)
pukul 23:08


"Ya Allah, aku kini begitu lelah..." (f.a.y)
pukul 23: 35


(Mungkin judul dan isinya tak sesuai, tapi biarlah untuk sekedar mengingat bahwa malam tanggal 28 semalam aku murung bersama hujan. Malam sumpah pemuda, kan begitu. Ahya, selamat tinggal OSIS 8, beban berat sudah terangkat. Setahun masa jabatan yang menyenangkan...)
28 Oktober 2011

Selama 120 Menit Aku Berpikir Tentang Pikiran Kamu



Di dalam kelas, di kursi banjar kedua saf ketiga, aku mengikat diri, membekukan pikiran memantulkan keluar semua penjelasan yang terucap dari guru pengganti ini. Ini pelajaran dari gerak ke gerak, berbagai macam gerak lurus, parabola, melingkar melewati udara panas penghujung Oktober yang tak mengerti pada jiwanya sendiri. Aku tak mampu menerima fisik renta fisika ini lagi, tenggorokanku sakit, mataku panas, kakiku gemetar, badanku meriang, sepertinya sakit akan mengunjungiku sebentar lagi. Selama 120 menit aku cuma mampu berpikir tentang pikiran kamu.


Pikiran kamu seperti udara, tak terlihat tapi terasa. Aku cuma satu wajah, dari tiga puluh enam wajah di kelas ini yang melekuk ke bawah, yang menopang wajah dan dagu, bergumul dengan jarum jam yang dengki, yang takut tak lulus Ujian Nasional tapi mengabaikan pelajaran, ohya aku ingat, fisika tak masuk didalamnya jadi tak masalah, kan begitu.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang kamu gunakan
bertanya
apakah aku sebaiknya dipertahankan atau dilepaskan, terganti lebih lama atau dibiarkan bertahan dalam ruang antara sudah selesai atau masih andai.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang terlampau dingin, selalu ada rasa tak acuh untuk cerita, puisi, sajak dan pemberontakan-pemberontakan yang kusembunyikan untuk menyakiti diri sendiri. Pikiran yang bagi perempuan lemah seperti aku tertantang untuk berani memikirkannya meski kesakitan. Kemudian berpikir, pikiranmu itu adalah tempat dimana aku pernah ditunggalkan lalu ditinggalkan dan ditanggalkan pemiliknya sendiri.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang barangkali enggan mengecupkan selamat pagi dengan kalimat yang sama setiap hari ketika aku begitu mengharapkannya sekedar untuk dapat tersenyum setiap membacanya.


Pikiran yang kadang hutan hujan, kadang tropis, kadang cuma hutan gersang.


Pikiran yang pernah mengabaikan siapapun kecuali aku. Pikiran yang pernah melindungiku saat sakit dan takut. Pikiran yang mencintaiku.


Aku berpikir tentang pikiran kamu, pikiran setidakterlihatnya udara, yang cerdik menyembunyikan warna. Pikiran yang bertatap muka dengan hujan, yang selalu siaga menumpahkan sesuatu yang basah seperti kesedihan, padaku.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang dilintasi riuh suara bahagia tiga puluh enam wajah dalam kelas yang di dalamnya ada seorang duduk di banjar kedua saf ketiga yang melewati udara panas penghujung Oktober yang tak mengerti pada jiwanya sendiri, seorang yang takut tak lulus Ujian Nasional tetapi mengabaikan pelajaran.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang sibuk mengerutkan alis, bingung akan apa maksud puisi yang ditulis perempuan yang akan dikunjungi sakit ini, yang sibuk berpikir tentang pikiran seseorang untuk membaca puisinya.




(Kelas 3TKJ1, 29 Oktober 2011. Tertulis pada bagian belakang modul fisika dengan kesehatan yang memburuk, sesekali menoleh pada Pak Aris, sang guru fisika pengganti.)

Tiga Pucuk Surat Aksara Untuk Mereka

Teruntuk Fach, pria berhati beku, nama yang selalu sanggup aku katakan.


FACH!!
Aku gunakan huruf kapital agar kau tahu aku memanggilmu besar-besar seraya berteriak bahwa aku merindumu. Tuhan, sampaikan kepada Fach, aku merindukannya sampai lupa pada kiamat! Haha, dasar aku si pecinta kata.
Fach, kau yang membuatku berpikir bahwa menulis adalah nyawa. Berlebihan tidak? Karena begini...
Acap kali aku berjumpa dengan keyboard, pena, kertas, atau apapun yang bisa kugunakan untuk menulis, langsung muncul dalam bentuk yang besar wujudmu di dalam pikiranku. Meski yang kutulis bukan tentangmu.
Fach, aku menanti saat dimana kau bisa mengungkapkan isi hatimu lewat tulisan, aku yakin kau bisa, tapi hatimu terlalu beku. Aku masih ingat kok, dan selamanya akan tersimpan, kata-kata itu, satu-satunya kata paling manis yang pernah kau berikan untukku.
“Memang indah kalau jumpa sama seseorang saat kita merasakan rindu.”

*

Teruntuk para sahabat aksara baruku.
Aku ingin menyebut nama kalian yang indah itu satu per satu. Aku ingin memanggil kalian dalam kepungan asap yang kurelakan menghitamkan wajahku. Dalam busa-busa yang mengumpul dalam hatiku, mewujud kebahagiaan karena telah lahir sahabat-sahabat baru pencinta kata untukku.
Aku ingin memanggil kalian, ayo kita perang kata-kata, rangkai 26 aksara nakal itu dengan indah, A sampai Z. Hei, Dea Pratiwi Akbari, Arya Rangga Maulana, Dewi Anggraini.
Dan, ohya, ingat, aku bukan si guru besar ya (khusus Angga), enak saja. Dan untuk Dewi, terima kasih telah menjadikanku editor pribadinya, hei ternyata menyenangkan.


*

Teruntuk aku setahun dari sekarang.
Hei ini kau satu tahun semalam Yola, ya surat ini aku tulis pada 26 Oktober 2011. Saat ini kau sedang bertanya-tanya kau sedang melakukan apa tahun depan. Dimana kau, dan jadi apa kau yang senang bermain dengan aksara ini. Aku berharap saat ini kau masih mencintai kata-kata dan sudah meraih mimpi-mimpimu yang kau gantung di tiang langit itu. Ohya, boleh aku bertanya? Jawab ya sekarang, yang bagiku tahun depan, masih menggenggam harapan, Yola?

26 Oktober 2011


"Gelas-gelas kaca terpajang menanti tanganmu memainkannya dan menghasilkan bunyi itu lagi untukku. Berbanding lurus dengan rinduku akan itu. Dan semesta mendengar, berkonspirasi, dan mencipta malam itu. Aku dapat tidur nyenyak lagi."

Tiga Teka-teki

Teka-teki Si Penjual Putu Bambu
Kami memakai jaket kami, menahan dingin yang tak kami izinkan menusuk tulang yang telah rapuh tapi begitu sial kami, pasalnya dingin itu begitu halus. Ia mampu masuk menembus pori-pori kain yang bersimpul jaket ini. Ah, dingin sudah menjadi teman kami. Belum lagi gemuruh kendaraan beroda di atas aspal, yang tak letih-letihnya memunafikkan diri sendiri dibalik keindahan mewahnya sambil melenggang menciptakan polusi setiap hari. Dibalik semua yang kami gerutukan kami tetap asyik bercinta pada setiap senyum yang datang, yang menyanyikan senandung indah berlirik, “Satu berapa bang? Beli sekian ya...”, asyik sendiri kami bermain-main dengan bambu, kelapa, dan bunyi dari kompor yang memanaskan bambu itu, bunyi khas dari gerobak kami ini yang setia menemani kami, yang hanya untuk menyambung nafas, mengasyikkan diri sendiri berteman bambu dan kelapa. Ahya, ada yang manis, gula merah. Kami bisa tersenyum.

Teka-teki Si Tukang Reparasi Jam
Tik tok tik tok, akulah pengatur detik, kalau aku bersedih hari ini jam segini, aku tak mau merasakannya, enak saja aku harus bersedih, kuputar detik itu, kumajukan hingga detik yang kuinginkan. Aku hebat bukan? Kalau aku bahagia, kucabut saja baterai yang ada di dalam sini, dan voila, berhentilah detik itu, detik saat aku bahagia, agar terasa abadi. Tapi tertawaku ini palsu, sebenarnya aku benar-benar muak dengan semua ini. Tapi menyenangkan bukan bermimpi? Aku bayangan angka-angka dinamis, yang kau lihat saat bergeliat, mati di mata cemas sang pemalas tukang terlambat keras.

Teka-teki Si Penyair Yang Benci Menulis
Apa yang dapat diberikan seorang penyair ?
Saat tak ada sesuatu yang dapat mengilhami
Ketika realita tak cukup untuk menginspirasi
Matikah ia…. bersama syair-syair lama yang telah lapuk
dan tak bermakna lagi
Saat sendiri juga tak cukup berikan ruang untuk kehadiran satu puisi
Tak pantas lagikah ia… tetap disebut penyair walaupun tak lagi mampu
untuk tetap bersyair ?
Bahkan tak bisa membuat hati pembacanya tak tersentuh
Sang penyair hanya bisa di copy setiap karya nya
Bahkan tak pernah di anggap lagi
Untuk dunia kejam ini.....tapi sang penyair
Hanya ingin menyair untuk isi hati nya
Tak apa-apa dia di campakan tetapi percayalah semua nya ada di hati sang penyair
Aku ingin mati dibunuh kata-kata. Tahu caranya? Dengar, di ruangan yang mencekam ini ada tiga, aku, pisau dan kata-kata. Pisau bukanlah pisau jika belum terlumur darah, maka akan kuciptakan darah itu. Aku menusuk tepat di sebelah kiri dadaku, kurobek dengan pisau itu, lalu kurampas sendiri hatiku, jantungku, lalu paru-paru kiriku. Aku belum mati, kutusukkan lagi pisau ke dada kanan ku, ku renggut paru-paru kanan ku, setiap inci rusukku. Kubebel sendiri perutku dan ususku akan kujadikan tempat tidur terakhirku. Darahku berceceran, dan pisau telah menjadi pisau seutuhnya. Ia telah terlumur darah. Lalu kutusukkan sekuat-kuatnya kepalaku agar bayangmu yang ada di dalam sana mati bersamaku, tak apa, temanilah aku mati walau dengan bayang mu yang terenyum akan kematianku. Belum cukup aku menderita? Baiklah akan kusayat-sayat setiap arteri di kakiku, agar aku tak bisa lagi mengejarmu yang terus-terusan memunggungiku, dan tak pernah sedikitpun menoleh padaku. Aku mati dibunuh kata-kata. Sadis? Belum, belum sesadis aku yang mati di tanganmu, yang kau buang aku sejauh-jauhnya dari hatimu. Agar kau mudah menebak, aku benci pekerjaan tebakanmu.

(25 Oktober 2011, 20.16. Tercipta sesaat sebelum malam indah di dunia semalam bermula.)
"Angin, langit, temani aku malam ini ya. Agar aku tidak merasa sendiri seperti yang dilakukannya padaku..."
:dea pratiwi akbari

(Kamu kuat teman, teruslah menulis aku pun akan selalu menjadi pembaca setiamu. You go girl :) )

Pada Suatu Hari Nanti

oleh: Sapardi Djoko Damono

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
Terimakasih ucapan selamat paginya, ya :)

Sapardi Djoko Damono


Sang guru besar Universitas Indonesia.

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada."

Dear Allah

Dear Allah, aku tau aku tak pernah sendiri
Ketika Engkau kirim khalifah terbaikMu untuk menemani
Terantuk dengan kesedihan yang ku ciptakan sendiri
dan Engkau masih menegurku dengan cara yang begitu manis
ya, dicintai
Membuatku mengerti bahwa aku akan ditemukan keikhklasanku sendiri

Dear Allah, aku tau aku tak pernah sendiri
ketika Engkau kirim khalifah terbaikMu untuk menemani
Merangkul semua tawa dan gundah yang silih berganti
dan Engkau masih ingatkanku dengan cara yang begitu manis
ya, dicintai
Membuatku mengerti bahwa aku akan ditemukan oleh bahagiaku sendiri

Dear Allah, aku tau aku selalu bisa memilih untuk tidak sendiri
ketika Engkau kirim khalifah terbaikMu untuk disandingkan denganku di sini

:)


**


Engkau tahu Ya Allah
Bukan kali pertama aku berharap berada di rumah
Bukan kali pertama aku ingin di pelukan bunda
Juga bukan kali pertama ku harap lupakan dia

Hanya saja kata cinta terlalu berat untuk ku pikul sendiri
Meski waktu melekang, berputar, memanjang atau pergi
Aku tau, hanya sebatas do'a yang mampu ku beri
Saat aku tertidur di sajadah dan tak mampu lagi berdiri

(Engkau tahu, Ya Allah...)


**

Aku mencintaimu, ku letakkan nama mu di atas segala yang ku punya
Tapi tetap di bawah agama dan kedua orangtuaku
Aku mengingat dengan jelas setiap kata yang kau ucapkan
Tiap kata pembangkit semangat yang setia kau sampaikan
Entah dengan kelembutan tiada tara atau bentakkan

Aku mengerti setiap jengkal ambisi dan cita mu
Semua keringat dan do'a kita (hanya) untuk mewujudkan mimpimu
Aku tersanjung dengan kesanggupanmu menjadi tameng hidup untukku
Kau setelah ayahku
Aku merindukanmu, bahkan airmata tak cukup berkata
Meski sekian ratus hari bukan kau yang mengusapnya
Aku merelakan semua kesalahan, tanpa penyesalan
Bahkan saat aku ditampar kenyataan
Aku malu, dengan semua yang terlanjur menjadi pilu
Malu pada Tuhanku
Aku hanya ingin kembali menjadi diriku, tapi dengan semua peraturan itu
Seolah kesempurnaan yang kau bilang ada pada ku menjadi begitu palsu
Membuatku menjadi manusia paling tak beruntung berada di sisimu
Aku mengerti bahwa jawabnya ada padamu
Aku berikan waktu selama yg kau mau
Aku hanyalah aku
Sampai kau ikhlaskan aku kembali pada yang berhak atasku, apakah kamu?

“Yang sulit bukannya mustahil” _seseorang
(Dari seorang teman.)


**


Jika Allah sedang mengujiku, semata-mata untuk menaikan derajatku
Tapi jika menghadirkan dirimu dalam kehidupanku, ujiankah?

Jika setiap pagi aku mampu mengangkat kepala untuk langit
Dan menutup malam dengan kepala tertunduk ke bumi

Jika sebelumnya kita tertawa bersama, esoknya kau akan membuatnya berbeda
Jika malam kau bisa begitu nyata, saat pagi aku tak tau bagaimana jika berjumpa

Seperti hari ini, seperti siang ini, sore ini, dan
Seperti malam ini adalah yang terakhir (tenang saja, aku selalu menganggapnya begitu)

(Jika ini terakhir, begitu aku menganggapnya.)

**

:batubadaon (23 Oktober 2011)
"Suatu saat nanti aku ingin menunggui hujan lagi."

Alfi

I

Demi sebuah yang Alfi lihat. Semalam ia melihat dua orang yang sedang dimabuk cinta duduk berdua. Mereka bercerita, saling tersenyum dan tertawa, begitu hangat dan dekat. Saat itu Alfi tak dapat menolak untuk tak melihat mereka sebab salah seorang temannya sedang mencurahkan isi hatinya padanya di tempat yang begitu strategis menuju kan langsung mata Alfi pada mereka berdua. Ingin ia mengajak temannya itu untuk berpindah tempat, demi apapun ia tak sanggup melihat itu semua sekaligus sambil mendengar curahan hati seorang teman. Alfi harus mendengar dan memberi semangat disaat bersamaan air matanya sudah tak tahan untuk dibendung dan hatinya begitu pedih. Siapa dua orang itu? Tentunya jika salah satu dari mereka bukan orang yang begitu ia sayangi Alfi tak akan begitu. Itu saja...

Setelah temannya selesai bercerita, Alfi langsung masuk ke kamar mandi sekolah. Ia hidupkan kran air sederas-derasnya, dan akhirnya semuanya tumpah disana, air mata nya, kepedihannya, rasa sakit itu. Ia tak sanggup lagi menahan semua ini, ia tahu ia bukan orang yang ditakdirkan untuk bahagia, hidupnya selalu untuk bersedih dan sendiri, tapi untuk kali itu ia benar-benar meminta pada Tuhan agar sedetik saja ia tak mengingatnya, ia juga ingin bahagia, nyatanya ia tak bisa. Alfi benar-benar hancur. Dia mematikan kran air, dibasuhnya muka yang sudah dihiasi mata yang sedikit bengkak. Ia mendengar rintik hujan, ah ternyata awan menemaninya sedari tadi, ia tak bersedih sendirian. Hujan memang selalu ada untuknya, dia benar-benar telah menjadi nyawa dalam hidup Alfi. Ia merapikan jilbabnya dan mencoba untuk tersenyum lagi di depan cermin, ya ia telah terbiasa tersenyum di atas hati yang remuk. Dia kembali ke kelas dan melihat temannya masih berdiri di tempat tadi, ia menghampirinya sebentar dan mengajaknya masuk ke kelas, dan ia melihat mereka lagi, sebentar. Alfi tersenyum, “Mereka beruntung bisa duduk berdua menikmati hujan, saling memberikan kehangatan, dan yang paling penting mereka bahagia, itu saja cukup.”, batinnya sambil tersenyum.

*

Di perjalanan pulang ia menggenggam gantungan bertuliskan nama panggilan Alfi darinya...
Malam semalam begitu sepi, ia mencoba untuk tidur cepat tapi tugas menghalanginya. Ia ingin tidur untuk kembali menatap pagi, karena malam tak pernah bersahabat dengannya, ia selalu menyiksa dengan sepi yang berkepanjangan.
Malam itu ia menangis lagi, "Ya Tuhan sudah berapa banyak air mata yang telah kukeluarkan selama ini?"


II

Alfi benar-benar tak tahu apa yang dapat ia ceritakan hari ini jadi aku mewakilinya saja ya? Boleh kan?

*

Tahu rasanya jatuh cinta pada orang yang sama berulang-ulang? Begitulah. Hari ini sudah sebulan sejak hari itu, terakhir kali dia berkunjung ke rumahku. Hari ini bagai dua orang yang baru berkenalan, hati? Aku rasa hati memegang peran yang besar hari ini, mungkin hanya dia yang berbicara. Hari ini penuh tanda tanya. Aku bahagia sekaligus bersedih. Hari ini, aku berterima kasih untuk sebuah kesempatan. Senyumnya, tawanya, cerita darinya, pertanyaannya, geriknya, kami. Aku begitu bersyukur, Tuhan mendengar doa ku.
 “Aku percaya bila kau tersenyum, malaikat bersorak sorai. Aku percaya bila kau tersenyum, ada malaikat cantik bertepuk tangan. Aku percaya bila kau tersenyum, ada pesta meriah di surga sana. Aku percaya kepada senyum, seperti ada banyak malaikat sedang mengepung bola mataku. Aku percaya kepada malaikat atas senyum orang yang tulus, seperti kamu.”
(12.24, 22 Oktober 2011)
Terinspirasi dari senyum seorang dia yang kudapat hari ini, yang akhirnya bisa kulihat lagi darinya, yang akhirnya aku bisa tertawa, tersenyum, berjalan berdua, duduk bersamanya lagi hari ini walau cuma sebentar, luar biasa bahagianya aku.

*

Saat menerima pesan tadi, aku tak tahu apapun, dimana kau berada, sedang apa dan apa yang kau pikirkan. Entah kau langsung menghapusnya, karena aku tahu hal itu. Saat mengirim pesan tadi aku berharap kau mengingatku seperti aku selalu mengingatmu, aku tahu aku tak akan mendapat balasan dan aku tak boleh mengirimimu pesan lagi, ya? Aku tahu malam ini pun juga, besok, dan entah sampai kapan. Aku harap kau bahagia selalu. Yang pasti aku harus jadi perempuan yang kuat, aku punya hidupku sendiri yang tak pernah ingin kusia-siakan. Semangat ya, Aku.

*

(Nih Alfi, udah yola bantu nulis bagian akhir cerita ini pakai sudut pandang 'aku' deh jadinya. Wah, kayanya kita senasib, Fi. Kebetulan kali ya? Hehe. Alfi harus kuat, oke? :) )

Sederhana Saja Bahagia Itu

Sederhana saja, sesederhana daun yang tak pernah membenci ranting yang begitu saja melepaskannya jatuh ke tanah saat rapuh. Sesederhana lumut yang tercipta di atas permukaan batu tanpa meminta izin pada sang Tuan. Saat sebuah senyum tersungging.

*

Pagi ini terasa manis, manis sekali semanis teh hangat yang dibuatkan ibu pagi ini. Seperti biasa aku harus kembali ke sekolah, entah kenapa hari ini aku begitu semangat. Apa karena sarapan yang menggairahkan atau sisa-sisa hujan masih menempel di sela-sela jendela, aku tak tahu. Yang pasti dadaku terasa lapang, rasanya, seperti, hidup kembali dari mati suri.

Di sebuah angkutan kota.
Di ujung angkutan kota ini aku melihat seorang bapak tua yang aneh. Ia membawa sebuah tas. Belum aneh? Ia membawa tas jinjing wanita bewarna pink! Dan sebuah plastik yang lumayan besar tak tahu pasti aku apa isinya. Ia senyum-senyum sendiri sambil menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti irama musik yang sedang diputar dalam angkutan kota ini. Aku memandang keluar jendela, menyimpan segala harap.

*

Seorang pria masuk membawa tas hitam besar. Pakaiannya rapi, dan tampangnya pun lumayan. Usianya sekitar dua puluhan, dan ia telah bekerja. Hei, aku baru saja menjatuhkan vonis padanya pagi-pagi begini, dan kurasa vonis ini tepat. Ia mengeluarkan Blackberry nya. Dan mulai menekan tombol-tombolnya. Sepanjang jalan. Aku memandang lagi keluar jendela, menyimpan segala harap.

*

Seorang anak TK menyetop ankot yang sedang kunaiki ini. Lalu ia masuk, ya Tuhan, wajahnya begitu polos, ia salah satu dari berpuluh-puluh anak kecil termanis yang pernah kutemui. Ia duduk, dan melihat kearah ku. Aku yang masih terpana melihatnya langsung memandang lagi keluar jendela, masih dengan harap.

Bapak tua tadi memberhentikan ankot dan turun, aku memperhatikannya. Dengan susah payah ia turun lalu ia membuka pintu depan ankot ini, aku bingung. Apa yang mau ia lakukan, bukankah untuk membayar ongkos ia hanya perlu menyodorkan tangannya dari jendela saja. Ia membuka pintu, dan menunggu di depannya seperti menanti. Dan beberapa saat kemudian hatiku berdegup. Seorang nenek tua dengan rambut yang telah memutih seluruhnya keluar dengan perlahan, dengan susah payah tak jauh berbeda dengan bapak tua itu tadi. Bapak itu menutup pintu depan ankot, dan membayar ongkos. Lalu ia memapah jalan nenek tadi dengan merangkul pundaknya dengan tangan kanan, dengan tas jinjing pink di bahu kirinya dan plastik kresek di tangan kirinya. Mereka menuju bis yang telah menunggu dan menyambut penumpang barunya itu. Dan tak lupa, saat merangkul nenek tadi, bapak tua itu tersenyum. Sebuah senyuman yang aku tahu itu senyuman paling tulus dari berpuluh-puluh senyuman yang pernah kulihat. Aku memandang ke luar jendela menatap lekat-lekat punggung kedua orang tua itu menjauh, masih dengan harap.

*

Bukankah teknologi memberikan dampak positif dan negatif ? Dan saat ini aku tahu salah satu dampak negatif dari salah satu teknologi itu..
Kulihat pria itu senyum-senyum sendiri, tertawa sendiri, diiringi bunyi tat tut ting kring dari Blackberry nya. Aku harap ia tak menjadi rabun karena jarak mata dan Blackberry nya itu hanya lima belas sentimeter. "Hei kau pria yang ada di sisi lain bangku ankot ini. Jaraknya tambahkan lima belas lagi, itulah jarak ideal untuk membaca dan melihat sesuatu yang berlampu. Tiga puluh senti."  batinku. Ia menekan tombol-tombol seperti simpanse yang dihadiahi PSP, sambil masih, sepanjang jalan, tertawa sendiri, dan tit tut ting tung. Yah dampak negatif teknologi; pria itu benar-benar gila dibuatnya. Asal kau tak lupa turun saja, Bung.

*

Gadis kecil itu, sepertiku. Menatap keluar jendela sepanjang jalan, hmm aku harap dia juga sepertiku yang juga asyik menikmati sisa-sisa bau air hujan. Ia memberhentikan ankot dan turun, ya dia telah tiba di depan sekolahnya. Lalu ia membayar ongkos. Kulihat sudah ada satu anak lagi yang menunggu di pinggir jalan, laki-laki, seumuran dengannya dan seragam mereka pun sama. Gadis kecil itu menghampirinya dan tersenyum padanya, laki-laki kecil itu membalas. Wajah manisnya yang kukagumi terlihat bahagia. Ah indahnya, percintaan taman kanak-kanak.

*

Sekolah masih lumayan jauh, masih ada banyak waktuku untuk menikmati sisa-sisa bau hujan di jalan sambil memandang ke luar jendela seperti biasa. Pagi ini aku menyimpan sebuah harap, harap yang takut ku gantung secara besar. Aku lelah berharap, lelah terjatuh karena harapan yang aku tak tahu apa terlalu tinggi ku gantungkan sehingga aku selalu terjatuh dibuatnya. Aku menghela nafas, dan sungguh pikiranku tak pernah lepas dari dia. Dia yang selalu kurindukan dengan rindu yang sudah tak sanggup lagi aku untuk menahannya, tapi apa dayaku, tak dapat aku berbuat dan tak layak mendapatkan banyak. Meskipun cuma sekedar untuk sedikit melepas rindu ini dengan melihat senyumnya dari dekat. Aku menghela nafas lagi. Dan rasanya ada sesuatu yang bergetar dari kantong celana sekolahku. Ternyata handphone ku. Aku mengambilnya, dan melihat ke layar. Aku tersenyum.

*

Sesederhana daun yang tak pernah membenci ranting yang begitu saja melepaskannya jatuh ke tanah saat rapuh. Sesederhana lumut yang tercipta di atas permukaan batu tanpa meminta izin pada sang Tuan. Ya begitu saja, sederhana sekali bagaimana semesta mengizinkan untuk sebuah senyum tercipta. Bagaimana semesta membiarkan untuk mendapatkan kebahagiaan dari hal, yang bahkan terlalu kecil. Sesederhana bapak tua yang bahagia melindungi istrinya yang jauh lebih lemah darinya. Sesederhana pria yang bahagia bahkan meski karena terkena dampak buruk sebuah Blackberry. Begitu sederhananya kebahagiaan yang tercipta dari romansa taman kanak-kanak (jaga gadis kecil yang wajahnya kukagumi itu ya, laki-laki kecil nakal). Tersungging senyuman dari wajah mereka. Hei, pagi pun membalas senyum mereka, tahu? Sederhana sekali.
Dan betapa sesederhananya, sebuah senyum tercipta. Hanya dari sebuah pesan singkat, harapan yang sederhana pula yang ternanti setelah sekian lama tak hadir, dari ia yang dirindu, bertuliskan “Selamat pagi...”

(Cerita ini diambil dari sudut pandang saya sendiri dalam perjalanan ke sekolah pagi ini, Selasa 18 Oktober 2011)

Sepotong Sore dan Hujan

:teenlovefeel

Bagaimana aku bisa mencari orang sepertimu?”

Hujan selalu menyimpan tanda tanya. Kadang, hujan bisa juga menjadi jawaban. Dia membisu, datang malu-malu, tanpa isyarat dan kata, tiba-tiba dia mengguyur saja sesukanya, seenak hatinya. Seringkali hujan disalahartikan sebagai pembawa duka, sebagai sebab seseorang mengingat kenangannya, sebagai terdakwa yang menyebabkan seseorang takut akan takdirnya. Hujan buatku adalah penenang dalam kerinduan, pembawa air mata, dan pengingat rasa kehilangan. Selalu saja, sesuatu yang harus seseorang lupakan adalah sesuatu yang justru jauh tersimpan begitu dalam, kenangan.

*

Seorang pria, sederhana saja. Senyumnya menyimpan banyak tanda tanya, tatapannya mengganggu laju kerja otak, dan gerak-geriknya memaksaku agar tidak melewati setiap inci perpindahannya.
Lalu, semua terjadi begitu saja. Saat sapa lembutnya menjaring nyata menyentuh gendang telinga, saat percakapan kecil yang tercipta berubah menjadi deretan narasi nyata, aku dan dia, mengalir, begitu saja, seperti curah lembut hujan yang jatuh ke permukaan. Sederhana sekali, cinta memang selalu menuntut kesederhanaan.

*

Dia mengajariku banyak hal. Cara menari dalam hujan, cara tertawa dalam kesedihan, cara menghargai perbedaan, dan cara bermimpi walau dalam kemustahilan.
Seringkali aku menatapnya dalam-dalam, menyelami sejuk matanya, tercebur dalam hatinya, lalu terpeleset dalam aliran darahnya. Aku sangat ingin menjadi bagian dalam setiap detak jantungnya, aku ingin ikut berhembus saat helaan nafasnya. Tapi, apa semua ingin dan harapku akan menyentuh kenyataan?Inilah yang disebut mimpi, selalu terlalu tinggi.
Tahu-tahu, sosok dia menjadi sangat penting dalam setiap bangun pagi hingga tidur malamku. Sedetik, semenit, sejam, seharian, hanya dia saja yang begitu rajin menghampiri otakku. Aku ragu kalau dia tak punya kerjaan lain selain mengganggu pikiran dan imajinasiku.
Ah, kala itu, cinta tak lagi menjelma menjadi sesuatu yang sederhana, berangsur-angsur tingkatannya berbeda, hingga ia menjelma menjadi dua kata, luar biasa. Perasaan itu tak lagi sekedar teman biasa, tapi dia berevolusi menjadi lebih dari teman biasa.

*

Aha! Hujan ternyata masih jadi peran antagonis, dia kembali mengingatkanku padamu! Kamu yang dua tahun ini meninggalkanku tanpa pamit, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa isyarat dan pengungkapan.
Ah, berdosakah aku kalau masih saja memikirkanku? Dua tahun lalu, hanya kau saja yang mengajariku menghargai rintik hujan, menghargai deras rindunya, menghargai butir-butir kenangan halusnya.
Hujan kali ini, di sepotong sore yang dingin, benar-benar mengingatkanku pada rasa kehilangan, tentu saja rasa yang begitu dalam. Hilang?Saat aku berniat untuk mencari, pasti aku akan menemukan. Tapi, bagaimana aku bisa mencari orang sepertimu? Dimana aku bisa menemukan seseorang yang mau berjanji untuk tidak meninggalkanku?

Sayang. Ah! Sayang? Panggilan yang tak pernah terucap sekalipun dari bibirmu. Hujan kali ini memang deras sekali, aku tak membayangkan kamu yang terbaring lemah disana, apa kau kedinginan? Oh ya, sudah sebulan aku tidak mengunjungimu ya? Apa kamu merindukanku sedalam aku merindukanmu? Tidak usah dijawab! Aku tidak ingin mendengar jawaban dingin itu! Begini saja, besok aku akan mengunjungimu, membersihkan rumput-rumput liar yang mencoba menjamah nisanmu. Jangan menolak! Aku punya alasan sederhana untuk menjelaskan pemaksaanku.

Aku hanya rindu. Itu saja. Sederhana. Rindu memang selalu sederhana kan?
“Aku sisipkan rindu untukmu di sini..” Lirih suara ku dalam sepi terbawa hujan.
"Aku menusuk jantungku dengan pisau yang telah kuasah sendiri, mengoyaknya dan merasakan sakit yang teramat sangat. Belum selesai aku merasakan sakit itu, kau datang mencabut pisau tadi dan menusuk tepat di hatiku, tak mengoyaknya. Ya, hanya menusuk. Darah telah bercucuran, dan air mata telah bersatu dengannya mengiringimu pergi begitu saja setelahnya."
Ya tuhan, apa-apaan ini? Aku merasakan jantungku panas, mataku ingin mengeluarkan tangis saja. Aku tahu ini karena rindu. Tapi apa wajar ini disebut rindu? Kalau sampai membuatku mengeluarkan kata-kata yang tak pantas, emosi karena rindu? Bukan! Emosi tak pernah membuat keadaan baik. Emosi itu kaya, ia punya banyak topeng dalam lemarinya. Yang selalu berhasil memperkeruh setiap keadaan di muka bumi. Kalau aku boleh jujur, ini pertama kali aku berani-beraninya seperti ini. Bukankah hati setiap wanita itu diciptakan untuk menjadi suci? Salamun alaikum bima shabartum, keselamatan bagimu atas kesabaranmu. Seharusnya aku harus lebih bersabar lagi dari seluruh kesabaran-kesabaran yang telah kucukupkan di hatiku. Ini semua melemahkanku, tapi kenapa ini tidak melelahkanku? Aku, hatiku, hancur.

My Inspiration...

"I'll forget the world that I knew, but I swear I won't forget you..."

Renungan Tengah Malam

Mencintai membuat kita mendapatkan banyak ilmu, misalnya ilmu sabar, ilmu ikhlas, ilmu merayu, ilmu nahan debar-debar dan ilmu-ilmu yang lain. Tapi dari sekian banyak ilmu yang harus dikuasai adalah ilmu ikhlas. Ikhlas orang yang dirindukan ternyata tidak merindukan kita juga, ikhlas kalo yang dirindukan ternyata sama sekali tidak mau tahu keadaan kita, ikhlas yang dirindukan tidak muncul-muncul dalam mimpi indah kita. Mencintai cuma buat perasaan sensitif bagi sebagian orang. Insting-insting menjadi begitu tajam. Kemampuan menganalisa suatu masalah jadi mantap. Yang dirindukan kemanapun dan sedang melakukan apapun bisa dirasakan dari radius beberapa km. Tapi bisa juga buat perasaan jadi tumpul. Maksudnya, jadi ga peka sama hal-hal lain. Jadi seperti orang bego. Apa-apa nurut sama hati dan tidak ada sama sekali proses pencernaan di otak. Intinya, cuma untuk dia seorang. Tidak salah memang jatuh cinta tapi kalau sampai merugikan diri sendiri apa jatuh cinta jadi begitu penting. Kalau aku yang jawab, IYA PENTING, karena aku tidak punya otak, aku cuma punya hati. Tidak lah, aku juga punya otak, kadang aku pakai buat mikir untuk menahan kesabaran yang tingkatnya udah keterlaluan. Kalo hati sama otak udah tidak sanggup ya udah, nangis aja, gitu aja kok repot. Aku bukan tipe orang yang terlalu peduli sama omongan orang, intinya tidak dosa dan aku percaya dengan apa yang pantas aku percayai. Termasuk keikhlasan dalam mencintai. Suatu saat nanti akan ada orang yang bisa ikhlas mencintai aku juga, dengan semua kekurangan yang ada (bahasa klise), yang bisa menuntun ku menuju surga. Aku hanya perlu merubah semua kesulitan dan, ehmm, air mata, jadi do'a. Aku juga tidak suka menyusahkan diri sendiri, tapi apa daya, cinta telah memilih seseorang yang sederhana sepertiku, yang memaknai cinta dengan begitu naif. Menghindar bukan ciri khas ku. Aku harus berjuang dulu, ditemani ikhlas, selanjutnya Allah SWT Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia.

Tulisan ini agak sedikit kacau dan tidak terkonsep. Cuma semacam renungan tengah malam.

Ucapan Terindah Dari Kakakku

makasiyah FEBIOLA ADITYA YUSUF kusayang :* kau tetap adikku yang paling kusayang walau tak ada darahmu yang mengalir didalam tubuhku ini . tapi jiwamu telah menyatu dalam jiwaku . bahagiamu adalah bahagiaku . dan sedihmu adalah sedihku juga . semampuku untuk terus tahu tentang keadaanmu walau aku tak selalu berada disampingmu . tapi ketahuilah namamu telah terukir indah didalam hatiku yang paling dalam yang tak akan pernah berniat untuk kuhapuskan :) KAKAK SAYANG YOLA SELAMANYA :* emaaaaaaah
[ KAK ROSSI ♥ NINGRUM JOLEK ]

tertanda kak ASTARI ROSANDA PUTRI --> KAK ROSSI :)

(Saya membaca ini dengan mata basah.)

Lumut-lumut Lumat

Seperti hujan yang jatuh memukuli permukaan batu yang melahirkan lumut.
Lumut berlumat hijau terwarna kodrat.
Seakan mencerah mata yang menatap lekat-lekat.
Apa tahu ia bersedia terlahir sebagai lumut?


Apa tahu lumut itu bersedu sedan bercengkrama dengan hujan yang memukulinya?
Lumut itu dapat jatah bersedia sedu sedan dalam jatuhnya rintik-rintik bulir-bulir gerimis yang awal dari hujan.
Apa tahu ini?
Puisi yang memboros habis baris kata-kata.


(10.55, 10 Oktober 2011. @kelas3tkj1. Menantang diri sendiri membuat satu puisi dalam 5 menit, dan akhirnya tercipta puisi ini, dengan air mata yang bersiap untuk terjun seperti air terjun, yang bersiap untuk jatuh, seperti hujan.)

Selamat Hari Menetas, Kakak!

Aku lahir ke dunia sebagai anak pertama, aku hanya memiliki seorang adik yang teramat kucintai. Mungkin kalian akan bertanya, lalu siapa yang kusebut kakak itu? Hei, kalian memang selalu terpaku pada judul teman, tapi yasudahlah tak usah dibahas lagi.
*
Dari sulur-sulur ranting, dari anggunnya daun yang bergerak memangku embun. Kusambut pagi ini, Kakak. Pagi 8 Oktober yang kurindukan.
*
8 Oktober, dua tahun lalu...
Mungkin aku belum terlalu mengenalmu saat itu, Kak. Tapi aku melihat, kau sungguh kasihan. Bagaimana tidak? Hari itu kau dibalut baju olahraga dengan hiasan telur, tepung, kopi dan lain sebagainya yang membuatmu terlihat jauh dari kata “wangi”. Bagaimanapun, selamat hari menetas, Kakak...
*
Dari kamar kecil ku yang gelap, pagi itu pukul 00.02, mungkin. Aku termanggu di depan layar handphone tua ku yang tak lelah kutekan tuts-tuts nya (ah, seperti piano saja!). Sederhana saja, aku adik yang kau sayangi dan aku menyayangimu pula. Selemat hari menetas, Kakak. Dan rentetan kata-kata yang kususun sedemikian rupa untuk mengucapimu pada hari spesial ini. Kita tidak bertemu hari ini. Tapi aku tahu, kau bersenang-senang hari ini, aku pun senang, Kak.
8 Oktober, setahun yang lalu...
*
Hari ini bukan setahun atau dua tahun yang lalu, hari ini ya hari ini, saat ini, bukan? Kak? Maaf aku tak berkabar, aku tak menyapa. Hari ini begitu rumit, dan tekadku menjadi pengucap dan pengecup terakhir, hehe. Tak ada yang bisa kuberi, tak ada yang bisa kulakukan untuk membuat hari ini berharga, Kak. Hari ini aku sakit, tapi bukan tubuhku. Disini, Kak (memegang dadaku, hatiku). Ah, sudahlah aku tak usah dibahas. Hanya ini ya, tulisan yang tak indah ini, kado untukmu, Kak.
Aku menyayangimu dari hari itu yang hanya kita yang tahu, selama aku sanggup, aku merindukanmu. Selamat hari menetas, Kak...
(Dari kamar kecilku yang terang benderang pukul sepuluh malam menanti pukul 11 lewat 59 menit, 8 Oktober 2011 )
                                                                                                Teruntuk,
                                                                       Kak Astari Rosanda Putri

Ada Taman Kanak-kanak Dalam Hatiku

Kamu membuat aku memiliki taman kanak-kanak sendiri di jiwaku.
Aku punya papan jingkat yang naik turun seperti hatiku saat berhadapan dengan kamu. Aku begitu gugup entah karena apa. Aku cemas kalau-kalau wajahku terlihat jelek dihadapanmu. Aku takut kalau-kalau masih ada sisa makan siangku yang masih menempel di sisi bibirku, yang membuatku terlihat makin jelek, ya kamu tahu aku memang jorok. Seperti saat di taman kanak-kanak pula tingkahku itu, jajanan bercelemotan di wajah, tapi kali ini aku ingin menyebut kata ‘bercelemotan’ itu dengan sedikit lebih elegan.
Hey, aku juga punya papan luncur di hatiku. Kamu disatu saat mengangkat perasaanku setinggi-tingginya, kamu membuat aku begitu bahagia hanya dengan menerima tiga huruf dalam pesanmu padaku ‘hei’, melihat senyummu, senyum-senyum sendiri melihat tingkahmu yang konyol dan sedikit mentel, tertawa mendengar candamu. Dan disatu waktu dengan sekejap, kamu menjatuhkan perasaanku ke tanah. Dan rasanya? Sakit.
Aku punya ayunan dalam hatiku, mengayun. Tinggi, tinggi, tinggi. Kamu tali pegangan dalam ayunan itu. Saat kamu ada didekatku, saat kamu ada, aku bisa berayun dengan ayunan itu dengan aman, aku tak takut terjatuh. Tapi saat kamu jauh dari mataku (kamu tetap dekat dihatiku sejauh apapun kamu), saat kamu tidak ada. Bagaimana aku dapat berpegangan? Ya aku terjatuh lah. Dan rasanya? Sakit, lagi.
Aku paling suka naik ayunan, tapi kamu sih sekarang seringnya tidak ada. Itu membuatku tak bisa berayun lagi, ya kalau aku masih bersih keras untuk berayun (baca: mencintaimu) aku harus berani untuk terjatuh, lagi, lagi dan lagi.
Aku menangis karena terjatuh, aku tertawa riang. Karenamu. Seperti di taman kanak-kanak. Ya, kamu itu taman kanak-kanak ku, dalam hatiku.


#15harimenulisdiblog
Ini pertama kalinya saya ikut tantangan menulisnya kakak,  kak @hurufkecil :)

Cuma Fiksi

Aku selalu menulis sajak untuk dia dan aku tahu betul sajak-sajak itu tak pernah terbaca olehnya. Bahkan untuk terlintas di matanya saja rasanya mustahil. Aku sudah menyampaikan padanya bahwa ada sajak baru untuknya, tapi entahlah, memang karena dia menyebalkan atau karena aku yang terlalu takut untuk bertanya yang sebenarnya dia sudah membacanya atau belum. Sudahlah, dia lah sumber inspirasiku, biarlah tulisan-tulisan ini terpajang rapi dalam catatan kecilku ini saja. Sungguh. Aku mencintainya. Aku tak bisa marah padanya.
Aku menemukan sepenggal paragraf di atas di atas paragraf-paragraf dalam buku catatan kecilnya. Iya, kecil. Fisik dan mentalnya kekanak-kanakan. Aku membacanya. Dan aku tidak begitu mengerti. Bagaimana bisa ia begitu rajin menjadikanku tokoh utama dalam cerita-ceritanya. Yah, aku mencintanya. Aku tak bisa mengatakannya.


Aku mencintainya. Sering ku katakan padanya tanpa ia bertanya. Aku kurang baik apa.
Aku mencintainya makanya aku diam. Aku, senyamanku saja.


Aku selalu merasa berada di peringkat dua(setelah kekasihnya)
Aku selalu merasa terlalu didewakan.


Aku pernah jatuh cinta sebelumnya. Aku bisa merasakan wajahku panas dan jantungku berdebar. Tapi dengannya semua jadi lebih berbeda. Aku tak bisa merasakan detak jantungku. Apa kaku. Dia tak pernah tau jika aku begitu gugup. Jarang aku berbicara sambil menatap matanya. Jarang sekali. Aku takut terlalu mengharapkannya. Aku mencintainya. Aku bilang rindu padanya.
Aku menemukan paragraf lain. Hmmm, aku juga pernah jatuh cinta sebelumnya, sekarang juga.

Dengan seseorang yang jauh lebih cantik darinya. Aku minta maaf. Aku hanya tak mau terlihat tak berguna. Aku hanya menunjukkan. Aku hargai betul perasaanmu. Aku mencintaimu. Aku hanya tak berani bilang rindu padamu.

Aku mencintaimu. Tak ada kabar darimu. Aku seperti dibaikan.
Aku mencintaimu. Aku sengaja membuatmu khawatir. Aku suka wajah jelekmu haha.

Aku menunggu saat di mana kamu bisa bersemangat dalam bercerita. Entahlah, kadang tak ku perhatikan isinya. Aku hanya ingin merekam dengan jelas tiap lekuk bibir yang kau bentuk saat bercerita. Isyarat wajah seorang yang ku cinta. Aku tertawa jika ekspresimu agak aneh. Aku menikmati itu. Aku mengingatnya ketika kamu memilih diam saat bertemu. Aku akan memandang ke arah lain dan berfikir. Iya, berfikir. Apa yang bisa ku ceritakan atau ku tanyakan agar bisa mendengar suaramu. Aku mecintaimu. Aku ingin selalu mendengar suaramu. Mungkin suatu saat nanti, kamu akan mengumandangkan adzhan, di rumah kita.
Aku, kau dan cerita tentang ku. Aku mencintai tidak dengan kata-kata. Kamu terlalu naif jika percaya aku tidak mencintaimu lantaran aku sering mengacuhkanmu. Aku tau apa yang terjadi padamu,  aku tahu kemana saja kau pergi, aku ingat setiap detil tentang kita. Aku tau betapa kau bersungut denganku. Kau lucu. Terlalu menganggap hidup ini kompetisi. Bahkan untuk memenangkan hatiku. Aku mencintaimu. Tapi kamu terlalu cerewet.


Aku menjadikanmu tokoh utama dalam tulisan-tulisanku. Kamu buat aku jatuh cinta dan patah hati disaat yang bersamaan. Benar-benar mengujiku yang masih seperti anak kecil ini menjadi begitu bijak bersikap menghadapimu yang jauh lebih keras kepala dari anak kecil manapun. Aku belajar ekstra sabar khusus untuk mencintaimu. Aku sering menangis (untukmu) untuk keberanianku menitipkan rasa cinta untukmu. Aku mencintaimu. Aku tak pernah berhenti mendoakanmu dengan apapun yang kamu pendam dalam hatimu. Dengan segala kekurangan yang kau sendiri yang paling tau apa kekurangan mu itu. Aku mencintaimu. Titik.
Aku tersentuh membaca semua isi hatimu. Tubuh yang kecil dengan keberanian yang besar. Aku berjanji untuk sebisa mungkin mengurangi air matamu (aku tau, karena kau kesal padaku). Kalau ada air mata, biarkan aku yang mengusapnya. Aku tak akan banyak berucap. Aku mencintaimu. Tapi jangan paksa aku terlalu menjadi yang serba pengertian, kau tahu aku sudah tak bisa lagi, akan ada waktu untuk itu, seperti dulu lagi. Aku bukan pangeran. Aku ya aku. Mencintaimu. Dicintai olehmu. Titik.


Semoga kita dipertemukan untuk saling menyempurnakan ibadah kita.
Semua indah pada waktunya.

Amin Ya Rabb.
Amin Ya Rabb.


#Dan kita kembali menengok ke belakang sebelum wajah kita menghilang di balik tikungan. Kita berpisah di persimpangan jalan. Setelah sibuk menghabiskan malam. Entah apa yang masing-masing kita pikirkan. Dan bagaimana kita mengahadapi kenyataan.