Alfi

I

Demi sebuah yang Alfi lihat. Semalam ia melihat dua orang yang sedang dimabuk cinta duduk berdua. Mereka bercerita, saling tersenyum dan tertawa, begitu hangat dan dekat. Saat itu Alfi tak dapat menolak untuk tak melihat mereka sebab salah seorang temannya sedang mencurahkan isi hatinya padanya di tempat yang begitu strategis menuju kan langsung mata Alfi pada mereka berdua. Ingin ia mengajak temannya itu untuk berpindah tempat, demi apapun ia tak sanggup melihat itu semua sekaligus sambil mendengar curahan hati seorang teman. Alfi harus mendengar dan memberi semangat disaat bersamaan air matanya sudah tak tahan untuk dibendung dan hatinya begitu pedih. Siapa dua orang itu? Tentunya jika salah satu dari mereka bukan orang yang begitu ia sayangi Alfi tak akan begitu. Itu saja...

Setelah temannya selesai bercerita, Alfi langsung masuk ke kamar mandi sekolah. Ia hidupkan kran air sederas-derasnya, dan akhirnya semuanya tumpah disana, air mata nya, kepedihannya, rasa sakit itu. Ia tak sanggup lagi menahan semua ini, ia tahu ia bukan orang yang ditakdirkan untuk bahagia, hidupnya selalu untuk bersedih dan sendiri, tapi untuk kali itu ia benar-benar meminta pada Tuhan agar sedetik saja ia tak mengingatnya, ia juga ingin bahagia, nyatanya ia tak bisa. Alfi benar-benar hancur. Dia mematikan kran air, dibasuhnya muka yang sudah dihiasi mata yang sedikit bengkak. Ia mendengar rintik hujan, ah ternyata awan menemaninya sedari tadi, ia tak bersedih sendirian. Hujan memang selalu ada untuknya, dia benar-benar telah menjadi nyawa dalam hidup Alfi. Ia merapikan jilbabnya dan mencoba untuk tersenyum lagi di depan cermin, ya ia telah terbiasa tersenyum di atas hati yang remuk. Dia kembali ke kelas dan melihat temannya masih berdiri di tempat tadi, ia menghampirinya sebentar dan mengajaknya masuk ke kelas, dan ia melihat mereka lagi, sebentar. Alfi tersenyum, “Mereka beruntung bisa duduk berdua menikmati hujan, saling memberikan kehangatan, dan yang paling penting mereka bahagia, itu saja cukup.”, batinnya sambil tersenyum.

*

Di perjalanan pulang ia menggenggam gantungan bertuliskan nama panggilan Alfi darinya...
Malam semalam begitu sepi, ia mencoba untuk tidur cepat tapi tugas menghalanginya. Ia ingin tidur untuk kembali menatap pagi, karena malam tak pernah bersahabat dengannya, ia selalu menyiksa dengan sepi yang berkepanjangan.
Malam itu ia menangis lagi, "Ya Tuhan sudah berapa banyak air mata yang telah kukeluarkan selama ini?"


II

Alfi benar-benar tak tahu apa yang dapat ia ceritakan hari ini jadi aku mewakilinya saja ya? Boleh kan?

*

Tahu rasanya jatuh cinta pada orang yang sama berulang-ulang? Begitulah. Hari ini sudah sebulan sejak hari itu, terakhir kali dia berkunjung ke rumahku. Hari ini bagai dua orang yang baru berkenalan, hati? Aku rasa hati memegang peran yang besar hari ini, mungkin hanya dia yang berbicara. Hari ini penuh tanda tanya. Aku bahagia sekaligus bersedih. Hari ini, aku berterima kasih untuk sebuah kesempatan. Senyumnya, tawanya, cerita darinya, pertanyaannya, geriknya, kami. Aku begitu bersyukur, Tuhan mendengar doa ku.
 “Aku percaya bila kau tersenyum, malaikat bersorak sorai. Aku percaya bila kau tersenyum, ada malaikat cantik bertepuk tangan. Aku percaya bila kau tersenyum, ada pesta meriah di surga sana. Aku percaya kepada senyum, seperti ada banyak malaikat sedang mengepung bola mataku. Aku percaya kepada malaikat atas senyum orang yang tulus, seperti kamu.”
(12.24, 22 Oktober 2011)
Terinspirasi dari senyum seorang dia yang kudapat hari ini, yang akhirnya bisa kulihat lagi darinya, yang akhirnya aku bisa tertawa, tersenyum, berjalan berdua, duduk bersamanya lagi hari ini walau cuma sebentar, luar biasa bahagianya aku.

*

Saat menerima pesan tadi, aku tak tahu apapun, dimana kau berada, sedang apa dan apa yang kau pikirkan. Entah kau langsung menghapusnya, karena aku tahu hal itu. Saat mengirim pesan tadi aku berharap kau mengingatku seperti aku selalu mengingatmu, aku tahu aku tak akan mendapat balasan dan aku tak boleh mengirimimu pesan lagi, ya? Aku tahu malam ini pun juga, besok, dan entah sampai kapan. Aku harap kau bahagia selalu. Yang pasti aku harus jadi perempuan yang kuat, aku punya hidupku sendiri yang tak pernah ingin kusia-siakan. Semangat ya, Aku.

*

(Nih Alfi, udah yola bantu nulis bagian akhir cerita ini pakai sudut pandang 'aku' deh jadinya. Wah, kayanya kita senasib, Fi. Kebetulan kali ya? Hehe. Alfi harus kuat, oke? :) )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar