Sederhana Saja Bahagia Itu

Sederhana saja, sesederhana daun yang tak pernah membenci ranting yang begitu saja melepaskannya jatuh ke tanah saat rapuh. Sesederhana lumut yang tercipta di atas permukaan batu tanpa meminta izin pada sang Tuan. Saat sebuah senyum tersungging.

*

Pagi ini terasa manis, manis sekali semanis teh hangat yang dibuatkan ibu pagi ini. Seperti biasa aku harus kembali ke sekolah, entah kenapa hari ini aku begitu semangat. Apa karena sarapan yang menggairahkan atau sisa-sisa hujan masih menempel di sela-sela jendela, aku tak tahu. Yang pasti dadaku terasa lapang, rasanya, seperti, hidup kembali dari mati suri.

Di sebuah angkutan kota.
Di ujung angkutan kota ini aku melihat seorang bapak tua yang aneh. Ia membawa sebuah tas. Belum aneh? Ia membawa tas jinjing wanita bewarna pink! Dan sebuah plastik yang lumayan besar tak tahu pasti aku apa isinya. Ia senyum-senyum sendiri sambil menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti irama musik yang sedang diputar dalam angkutan kota ini. Aku memandang keluar jendela, menyimpan segala harap.

*

Seorang pria masuk membawa tas hitam besar. Pakaiannya rapi, dan tampangnya pun lumayan. Usianya sekitar dua puluhan, dan ia telah bekerja. Hei, aku baru saja menjatuhkan vonis padanya pagi-pagi begini, dan kurasa vonis ini tepat. Ia mengeluarkan Blackberry nya. Dan mulai menekan tombol-tombolnya. Sepanjang jalan. Aku memandang lagi keluar jendela, menyimpan segala harap.

*

Seorang anak TK menyetop ankot yang sedang kunaiki ini. Lalu ia masuk, ya Tuhan, wajahnya begitu polos, ia salah satu dari berpuluh-puluh anak kecil termanis yang pernah kutemui. Ia duduk, dan melihat kearah ku. Aku yang masih terpana melihatnya langsung memandang lagi keluar jendela, masih dengan harap.

Bapak tua tadi memberhentikan ankot dan turun, aku memperhatikannya. Dengan susah payah ia turun lalu ia membuka pintu depan ankot ini, aku bingung. Apa yang mau ia lakukan, bukankah untuk membayar ongkos ia hanya perlu menyodorkan tangannya dari jendela saja. Ia membuka pintu, dan menunggu di depannya seperti menanti. Dan beberapa saat kemudian hatiku berdegup. Seorang nenek tua dengan rambut yang telah memutih seluruhnya keluar dengan perlahan, dengan susah payah tak jauh berbeda dengan bapak tua itu tadi. Bapak itu menutup pintu depan ankot, dan membayar ongkos. Lalu ia memapah jalan nenek tadi dengan merangkul pundaknya dengan tangan kanan, dengan tas jinjing pink di bahu kirinya dan plastik kresek di tangan kirinya. Mereka menuju bis yang telah menunggu dan menyambut penumpang barunya itu. Dan tak lupa, saat merangkul nenek tadi, bapak tua itu tersenyum. Sebuah senyuman yang aku tahu itu senyuman paling tulus dari berpuluh-puluh senyuman yang pernah kulihat. Aku memandang ke luar jendela menatap lekat-lekat punggung kedua orang tua itu menjauh, masih dengan harap.

*

Bukankah teknologi memberikan dampak positif dan negatif ? Dan saat ini aku tahu salah satu dampak negatif dari salah satu teknologi itu..
Kulihat pria itu senyum-senyum sendiri, tertawa sendiri, diiringi bunyi tat tut ting kring dari Blackberry nya. Aku harap ia tak menjadi rabun karena jarak mata dan Blackberry nya itu hanya lima belas sentimeter. "Hei kau pria yang ada di sisi lain bangku ankot ini. Jaraknya tambahkan lima belas lagi, itulah jarak ideal untuk membaca dan melihat sesuatu yang berlampu. Tiga puluh senti."  batinku. Ia menekan tombol-tombol seperti simpanse yang dihadiahi PSP, sambil masih, sepanjang jalan, tertawa sendiri, dan tit tut ting tung. Yah dampak negatif teknologi; pria itu benar-benar gila dibuatnya. Asal kau tak lupa turun saja, Bung.

*

Gadis kecil itu, sepertiku. Menatap keluar jendela sepanjang jalan, hmm aku harap dia juga sepertiku yang juga asyik menikmati sisa-sisa bau air hujan. Ia memberhentikan ankot dan turun, ya dia telah tiba di depan sekolahnya. Lalu ia membayar ongkos. Kulihat sudah ada satu anak lagi yang menunggu di pinggir jalan, laki-laki, seumuran dengannya dan seragam mereka pun sama. Gadis kecil itu menghampirinya dan tersenyum padanya, laki-laki kecil itu membalas. Wajah manisnya yang kukagumi terlihat bahagia. Ah indahnya, percintaan taman kanak-kanak.

*

Sekolah masih lumayan jauh, masih ada banyak waktuku untuk menikmati sisa-sisa bau hujan di jalan sambil memandang ke luar jendela seperti biasa. Pagi ini aku menyimpan sebuah harap, harap yang takut ku gantung secara besar. Aku lelah berharap, lelah terjatuh karena harapan yang aku tak tahu apa terlalu tinggi ku gantungkan sehingga aku selalu terjatuh dibuatnya. Aku menghela nafas, dan sungguh pikiranku tak pernah lepas dari dia. Dia yang selalu kurindukan dengan rindu yang sudah tak sanggup lagi aku untuk menahannya, tapi apa dayaku, tak dapat aku berbuat dan tak layak mendapatkan banyak. Meskipun cuma sekedar untuk sedikit melepas rindu ini dengan melihat senyumnya dari dekat. Aku menghela nafas lagi. Dan rasanya ada sesuatu yang bergetar dari kantong celana sekolahku. Ternyata handphone ku. Aku mengambilnya, dan melihat ke layar. Aku tersenyum.

*

Sesederhana daun yang tak pernah membenci ranting yang begitu saja melepaskannya jatuh ke tanah saat rapuh. Sesederhana lumut yang tercipta di atas permukaan batu tanpa meminta izin pada sang Tuan. Ya begitu saja, sederhana sekali bagaimana semesta mengizinkan untuk sebuah senyum tercipta. Bagaimana semesta membiarkan untuk mendapatkan kebahagiaan dari hal, yang bahkan terlalu kecil. Sesederhana bapak tua yang bahagia melindungi istrinya yang jauh lebih lemah darinya. Sesederhana pria yang bahagia bahkan meski karena terkena dampak buruk sebuah Blackberry. Begitu sederhananya kebahagiaan yang tercipta dari romansa taman kanak-kanak (jaga gadis kecil yang wajahnya kukagumi itu ya, laki-laki kecil nakal). Tersungging senyuman dari wajah mereka. Hei, pagi pun membalas senyum mereka, tahu? Sederhana sekali.
Dan betapa sesederhananya, sebuah senyum tercipta. Hanya dari sebuah pesan singkat, harapan yang sederhana pula yang ternanti setelah sekian lama tak hadir, dari ia yang dirindu, bertuliskan “Selamat pagi...”

(Cerita ini diambil dari sudut pandang saya sendiri dalam perjalanan ke sekolah pagi ini, Selasa 18 Oktober 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar