Usul Ke Tuhan


RS. Pringadi, 26 Januari 2015.

Aku sempat ingin usul ke Tuhan saat bertemu diantara ganjilnya sujud pada sepertiga malam ini. Bagaimana kalau rasa sakit bisa dibagi. Maksudku, benar-benar bisa dipindahkan. Dari satu tubuh ke tubuh lain. Rasanya aku teramat sangat bersedia mengurangi rasa sakit dari tubuh yang kukasihi dengan memindahkannya pada tubuhku walaupun hanya diizinkan sedikit saja.


Tapi aku rasa Tuhan tidak akan menerima usulku, sebab kalau rasa sakit bisa dibagi-bagi, kuat tak akan menjadi suatu apa. Seperti siang yang jika membagi terangnya pada malam, malam bukan lagi malam, ia bukan apa-apa.

Sebuah Dialog

“Eh, ngomong-ngomong helm biru bobrok ini sebenernya saksi bisu satu rangkai hidupmu tau.”

“Hah? Kok bisa?”

“Bisa dong, jaman SMA. Jelas dia ini yang kamu pake terus dari kelas satu sampe lulus kan?”

“Iyasih ya. Eh iya gak sih? Iya kali ya.”

“Haha jangan pura-pura lupa deh. Coba, jaman SMA dulu, gila, udah apa aja tuh yang kau lewati?”

“Hem, nggak pede sama diri sendiri, patah hati hebat, nilai anjlok, ya biasalah semua anak SMA  juga ngalamin gituan. Kau juga pasti ngalamin. Tapi ya dia tetap helm biru bobrok yang cuma nungguin diatas spion motor sampe waktunya dateng buat dibawa pulang, ga ngeliat apa yang aku alamin.”

“Iya emang aku juga ngalamin, tapi helm biru ini jangan dibuang ya walaupun udah gak layak pakai dan gak berstandar SNI, inget kan kepala siapa aja yang pernah pakai helm ini?”

Terdiam.

Benar juga, helm biru bobrok itu pernah menutup wajahku saat menangis diam-diam di tengah perjalanan, pernah menahan segala amarah untuk terbang kemana-mana, pernah menampung seluruh pikiran-pikiran mulai dari yang penting hingga yang sampah sekalipun, dan helm itu pernah dipakai oleh kepala yang empunya telah diubah oleh waktu.


Kepalaku usai berdialog dan membuat tanganku tak jadi melontarkan helm biru bobrok ini ke tempat sampah, ia kembali berakhir dan berdebu dalam gudang, sebagai saksi bisu.

Pejalan Semesta


Sibayak (2212 Mdpl), 24-25 Januari 2015.

“Jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan membunuh apapun kecuali waktu dan jangan meninggalkan apapun kecuali jejak.”


Sepenggal kutipan yang mungkin tak asing lagi diperuntukkan kepada kita, para pejalan semesta. Sebuah kutipan dengan alam sebagai objeknya. Kutipan yang mengajarkan untuk meluruhkan segala ego dan memaklumi setiap kekurangan, menjelajahi diri lebih dalam dari biasanya untuk menemukan jati yang selama ini tersembunyi, entah itu oleh rasa takut bahkan rasa ternyaman sekalipun. Sebuah kutipan yang mengajarkan bahwa semua yang indah patut dan mutlak untuk ditunggu setelah diperjuangkan terlebih dahulu. Dan kita, kecil, kecil sekali, dibandingkan dengan semesta-Nya yang  kita singgahi.

2015


Tahun 2014 buat saya adalah tahun perenungan dan pemulihan. Jika saya katakan hidup adalah semacam melewati arena dimana kita harus memilih jurang mana saja yang harus kita lompati. Sebelum melompat ada saat dimana kita harus menarik tubuh, berlari, kemudian bersiap untuk mengambil pijakan bukan? Maka tahun 2014 adalah tahun dimana saya belum siap untuk memilih jurang mana lagi yang harus saya lompati. Saya masih menarik diri saya sendiri untuk mundur. Merenung hal-hal apa saja yang selama ini saya jalani yang ternyata melahirkan hasil bahwa ada beberapa hal yang saya kerjakan dengan tenaga dan  jasad saya, namun hati dan pikiran saya tidak berada disana. Kemudian saya mencoba untuk menggugurkan hal-hal tersebut, menghindarinya dan mencari hal baru yang saya tenggelamkan seluruh diri saya didalamnya.

Kini saya tahu jurang mana yang harus saya lompati dan saya sudah mengambil pijakan. Bersiap untuk melompat.


2015 akan menjadi tahun dimana semua tanda tanya akan menemui jawabannya. pucuk akan menjemput mekarnya, dan semoga semakin rajin menulis lagi hehe. Aamiin.