Takut


Pada malam ini aku merebah diatas dada lantai yang bidang
Meringkuk ketakutan bagai bayi yang butuh pelukan
Hujan akan selalu mengunjungi pelupuk mataku
Sampai keraguan berupa awan hitam hilang dari pertandangannya di seisi kepala
Awan itu kubenci
Di punggungnya, terlukis perangai-perangai yang membuat aku bergidik ngeri

(puisi dan ilustrasi (ngasal) disela-sela tugas)

Larik-larik Desember

Larik-larik Desember itu kalau kataku kening-kening yang panas
klinik-klinik yang penuh dengan antrian orang berobat
kenapa?
karena kita semua terlalu lelah mengejar dunia
dicekik aktivitas dengan kejam
Bagiku Desember adalah sepenggal dua penggal cerita tentang hujan
tentang bunga-bunga mekar dan pohon-pohon segar
tentang petrichor yang menyeruak tiap kususuri jalan dengan telapak kaki ataupun mesin
tentang mantel atau jas hujan yang tak lagi kaku dalam jok motor
dan gereja yang mendadak ramai
juga tentang hujan dalam hati yang tersimpan rapat-rapat

Di bulan Desember itu kalau kataku kelas-kelas yang murid di dalamnya terus-terusan melihat keluar jendela
tak sabar ingin pulang
meringkuk di bawah selimut sambil menyalakan televisi

Larik-larik Desember
adalah ingatan akan pertemuan
di dua bulan lalu
mulai pertama
hingga selanjutnya dan selanjutnya diluar kendaliku
dengan sosok yang kejatuhan kagumku, barangkali
diam-diam

Malam-malamku sejak itu selalu habis dengan pertanyaan
bagaimana agar ia tahu? 

Larik-larik Desember adalah tentang doa yang itu-itu saja
dengan sebuah doa lagi diatasnya
semoga malaikat mengamini
Tuhan tak bosan mendengar dan akhirnya mengabulkan
hujan,
tahukah kau?
jarak paling dekat antara dua manusia itu ketika mereka tertawa bersama
meskipun pertemuan
akhirnya
setelah doa yang tak putus
baru kali kedua
walau hanya canda sekedar
memandangnya, melihatnya tertawa
rindu?
iya lepas sudah
iya, akan ada pertemuan selanjutnya
biarlah memperhatikan dan mengagumi dalam diam jadi tugasku saja
aku tetap bersyukur
sebab
kutahu yang ada di hatiku tak mungkin
sesuatu mengganjal
dan aku kenal jelas wujudnya
maka itu aku harus diam

yang pasti aku hanya bisa tertawa saat dia tertawa
biar kami dekat

hujan,
maukah kau? 
memeluk tubuh lelah yang keningnya sedang panas, bingung dan mengigil ini?

23.53, 13 November 2013

Tentang Sebuah Numerologi Bernama Dua Puluh

Kemarin ada orang yang ulang tahun. Janji bikinin dia sajak. Tapi pulang larut sekali semalam, belum lagi mendadak demam. Namun jujur, cuma telat ngepostnya, bikinnya udah dari semalam kok hehe. Maafkan.

Malang, 15.40 WIB, 13 November 2013  

Buat sesorang yang hari ini disinggahi sebuah numerologi bernama dua puluh.

Apa yang kau ketahui tentang angka itu?

Banyak yang bilang, dua puluh adalah awal bagi semua kemungkinan yang luruh, segala kemungkinan-kemungkinan yang jatuh tak tergapai di angka belasan. Harapan-harapan baru untuk semua mimpi yang membuat frustasi, biru, dan membuat kau menganggap hidup yang sedang kau jalani adalah hidup paling berat sedunia. Dua puluh adalah bayaran ala kadarnya akan tetes demi tetes airmata yang jatuh, entah itu karna bahagia ataupun sedih. Singkatnya, di dua puluh kau akan jadi bayi kembali, dalam raga yang tak lagi kurang dari lima kilogram.

Dua puluh adalah tentang hari ini, dengan segala doa yang diamini untuk hidup ke depan, dengan kejutan-kejutan dari sahabat yang jaraknya tak terpisah rel-rel kereta api. Dua puluh, adalah tentang hening yang datang sejenak sebelum kau meniup lilin di hadapanmu,  tentang langkah demi langkah yang telah dan akan dilalui tanpa peduli akan terkabulnya doa sebelum tiupan lilin.

Hidup kembali pada kelumrahannya, yang awal akan punya akhir. Setelah dua belas bulan berjalan, dua puluh akan bertambah satu numerologi lagi di depannya. Dan saat angka itu datang, doaku adalah yang kau lakukan itu bersyukur atas langkah yang tak sia-sia.

Sajak ini buat seseorang yang ku panggil Bang Jek. Semua orang juga memanggilnya begitu. Bangjek tau? Kita semua sayang dirimu.

Yang punya mata sipit sampai buat membedakan Bang Jek lagi ketawa atau fokus ngeliat sesuatu itu susah, yang katanya lagi diet tapi makan tengah malem terus, yang club paporitnya Chelsea (Olivia?), yang hidupnya dibawa woles selalu tapi semangatnya nggak pernah mati, yang punya energi buat bikin semua orang ketawa dan senyum, yang sukanya online Skype, yang (katanya) mahasiswa Ilmu Komunikasi Institut Manajemen Telkom Bandung.

Selamat ulang tahun!

Terimakasih buat semangat yang udah dibagi, buat telinga yang siap mendengarkan, mata yang setia membaca, tangan yang senantiasa mengetik balasan cerita dari perempuan imut-imut satu ini, buat ejekan-ejekan absurd, candaan yang bikin ngakak sampai terharu, karena tidak lucu sama sekali. Terimakasih. Aku selalu ingin punya abang dan Bang Jek adalah abang buat perempuan imut-imut ini, abang dari rahim yang berbeda.

Selamat ulang tahun!

p.s: tahun ini, cuma tulisan yang bisa diberi. tau kan? abadi, bisa dibuka kapan saja, berulang-ulang. tapi kalaupun bisa kirim kado, janji gabakal ngirim kado yang bikin nyesel sampe sekarang kaya tahun lalu. Asbak itu, hahaha!

Selamat ulang tahun Bang Jek!

Tentang Rindu

Dulu,

“Kak, bangun.”

“Kak, subuh.”

“Teh manis apa susu, Kak?”

“Sarapan dulu baru betulin jilbab, nantik telat, Kak.”

“Keluarin kereta, Kak.”

“Panasin kereta, Kak.”

* Orang Sumatra menyebut motor itu kereta.

“Kak, nanti kalo Mama belum pulang ngaji jemput adek di Millenium.”


“Isya dulu, Kak. Nanti ketiduran lagi diatas buku.”

- Ibu

Perkara Seribu atau Dua Ribu


Kalian tahu? Polisi punya saingan. Mereka tak bergaji, tak berseragam, dan tak terlihat gagah. Siapa? Penjaga putaran balik di jalan raya.
Dia bekerja sukarela, melindungi pengendara yang ingin putar balik di jalan-jalan raya itu. Aku bisa apa? Jarang sekali bisa sekedar memberi mereka perkara seribu atau dua ribu.
Sekarang persoalannya. Apa ini perihal yang baik atau buruk ya? Andai polisi mampu menjalankan tugasnya dengan baik, sadar kalau mereka dibayar dengan uang rakyat. Pastilah tak ada penjaga putaran balik itu. Perihal buruk. Baiknya, mereka jadi dapat pekerjaan. Insiatif yang baik.
Kadang miris melihat mereka.

Bermodalkan sebotol mineral. Mereka berdiri disana. Di bawah terik, sepanjang hari. Menanti perkara seribu atau dua ribu. Dari mereka yang ikhlas. Atau kasihan?
bagaimana ya ceritanya jika seorang aku ingin dan bisa menembus batas
sedangkan Tuhan katanya tidak suka pada pada hamba-Nya yang melampaui batas
bagaimana kalau batas ku dan batas Tuhan itu jauh berbeda
hem atau batas ku dan batas Tuhan itu malah persis ?


malang
malam ke sembilan bulan ke sebelas tahun ke dua ribu tiga belas
butuh semangat
senyum
siapapun

*abaikan*

Menari di Bawah Hujan

Images from: Google
Seorang anak perempuan berumur 5 tahun sedang berjalan bersama Ayahnya sambil bergandengan tangan di taman. Sisa-sisa hujan menggenang di kanan kiri jalan. Anak itu menyiprat-nyiprat genangan hujan di jalan yang mereka lalui dengan kakinya yang menepak-nepak kencang. Sang Ayah hanya tersenyum melihat tingkah putri kecil manis yang sangat ia sayangi itu. Putrinya adalah hadiah Tuhan paling indah yang pernah diberikan padanya. 

Anak itu berkata, "Yah, mandi hujan yuk!" Sang Ayah tersenyum lagi kemudian melepaskan genggaman tangannya. Mereka berhenti berjalan. Ia menengadahkan kedua tangan dan wajahnya ke arah langit sembari memejam seperti merapal mantra. Tak lama, gerimis turun, petrichor menyerbak, mereka berdua menghirup napas begitu dalam untuk menikmatinya, hujan pun datang. Sang ayah dan putri kecilnya itu bermain-main dengan hujan, menari-nari, dan tertawa-tawa. Pohon-pohon pun ikut menari melihat kebahagiaan mereka, hujan kala itu indah sekali. 

Sementara dari kejauhan, di sebuah bangku taman. Sang ibu melihat putri kecilnya, yang sangat ia sayangi itu. Menari dan tertawa-tawa di antara derasnya hujan. Sendirian. Bulir bening perlahan jatuh dr pelupuk matanya menyatu dgn hujan, melihat bahagia putri kecilnya. Sekaligus merindukan suaminya yang kini ada di surga. Sang ibu berkata dalam hati, "Aku tau itu kamu, yang menari dan tertawa bersamanya, Yah."
Malang, 28 Oktober 2013. 20.12 WIB

Telepon baru dimatikan, aku terdiam sehabis mendengar suara dari seberang pulau sana. Menahan tangis sebab kutahan-tahan selama percakapan yang tak sampai 5 menit barusan berlangsung. Ia bertanya kenapa aku sudah jarang meneleponnya minggu-minggu belakangan ini, suaranya serak, aku tahu ia menahan tangis. Ya Allah, betapa aku merindukan Ibu.

Besok ujian tengah semester akan dimulai. Aku memikirkan hal-hal yang selama ini terabai. Entahlah, terlalu banyak. Aku pun bingung kenapa aku tiba-tiba menulis ini padahal masih banyak yang harus kupelajari untuk esok.

Selepas aku mengirim pesan singkat meminta doa pada orang-orang di kota kelahiran sana yang menyimpan banyak kenangan, ada satu balasan yang tak terduga dengan ketikan semampunya mengetuk-ngetuk pintu hati yang engselnya sudah berkarat, yang membuat degup jantung seakan terhenti. Sebuah balasan dari nenek:

“Insaalah jola ga minta p doa nenk ga perna lupa doain tju2nja agar bisa djad org sukses untk masa dpan jg bisa buat pa2ma2 nenk banga”


Pertahananku runtuh, bulir bening yang mengalir membasahi pipi. Haruskah kuhapus dengan punggung tanganku sendiri lagi dan lagi? Tidak. Kali ini kubiarkan mengalir. Biarlah Allah yang akan menghapusnya.

Fania

Medan, Februari 1977.

Sepuluh bulan setelah Ekaprasatya Prakarsa, dimana Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila. Dimana penghayatan sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” seakan terkoyak. Fania Rachman berlari tunggang langgang dengan kaki telanjang dan tubuh penuh bekas cakaran di jalan yang dikelilingi deretan ruko-ruko sepi kota Medan. Tangan kanannya memegang sebuah kotak susu dan tangan kirinya menggengam sebuah plat nama kecil. Wajahnya ketakutan, penuh dengan keringat dan memar, sama sekali tidak terlihat seperti gadis berumur tujuh belas tahun yang kehilangan masa remajanya. Ia menoleh ke belakang, lelaki itu tidak mengejar lagi, pikirnya. Namun ia tetap tidak memperlambat laju larinya. Mulutnya tak henti mengucap doa agar ia diberi kekuatan untuk berlari lebih lama lagi menuju rumah. Dalam doanya, ia juga berharap agar ibu tirinya, Radisa, mengizinkannya mengambil air bersih yang akhir-akhir ini sangat sulit didapatkan oleh setiap keluarga di daerah rumahnya yang kumuh, untuk dipanaskan dan membersihkan tubuhnya yang kotor- untuk membersihkan noda yang dibuat oleh lelaki itu. Sedikit saja, dan mungkin rentetan makian Radisa pun hanya akan terdengar bagai gesekan biola yang memainkan alunan klasik Beethoven di telinganya.

Fania sampai di depan rumahnya. Rumah bobrok, dinding-dindingnya seperti hanya dibuat dari kayu direkatkan oleh lem. Ia melihat ke pos di seberang. Sekarang pos itu menjadi tempat tongkrongan para pengangguran untuk minum kopi hingga larut malam, membicarakan (atau hanya berguyon sesukanya) tentang pemerintahan. Tentang stabilitas ekonomi Indonesia yang selalu dikumandangkan pemerintah, dwifungsi ABRI, dan pembangunan nasional. Orde baru memberikan harapan bagi mereka kalau-kalau suatu saat bisa mendapatkan pekerjaan bermodalkan ijazah SMA. Di pos tersebut masih terlihat jelas tulisan PKI yang disertai dengan silang warna merah, serta sebuah jam diding yang masih berfungsi. Waktu menunjukkan pukul satu malam. Fania mempererat genggaman susu dan plat nama di kedua tangannya. Susu murahan untuk wanita hamil yang dibawanya sebagai buah tangan untuk ibu tiri yang dibencinya. Reinald, tertera sebuah nama pada plat yang ia genggam. Fania tahu itu akan menjadi bukti dan menunjukkan pada polisi, menuju lelaki yang telah menganiayanya. Ia berharap ibu tiri dan ayahnya sudah tidur, ia mendorong pintu, pintu rapuh itu berderit, hingga terdengar teriakan yang hampir merobohkan seisi rumah.

“Ya Tuhan!” ibu tirinya berteriak, sambil berusaha bangkit dari duduknya di sofa yang tidak layak untuk digunakan lagi, tempat biasa Fania dibiarkan tidur. Perutnya yang sedang mengandung tujuh bulan dan badannya yang gemuk membuatnya kesulitan untuk berdiri. “Hah! Bajumu koyak-koyak macam berandalan, kenapa mukamu, ceker ayam lagi kau. Siapa yang buat?!”

Fania langsung terduduk lemas, ia menangis sekeras-kerasnya. Kedua tangannya masih menggenggam erat, ibu tirinya tak mampu berbicara lagi. Radisa hanya melihat anak tirinya itu dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

“Pasti preman-preman itu! Sialan!” pekik Ferdi, ayah Fania, mukanya merah padam. “Siapa yang buat kau begini? Bilang! Biar kugantung mereka!”

Tangis Fania terhenti, ia jatuh tertidur karena kehabisan tenaga.

“Angkat dulu anakmu itu ke tempat tidur. Panggil perawat di puskemas. Baru kau gantung preman itu.” Perintah ibu tirinya. Sayup-sayup Fania mendengar suara ibu tirinya itu, dan  menyadari tubuhnya telah diangkat ke tempat tidur. Tangan kanannya masih menggenggam erat sebuah plat nama, sedangkan sekotak susu itu tergeletak di dekat pintu. Saat akan menuju ke kamar, ibu tirinya melihat kotak susu tersebut, mengambilnya lalu berjalan ke tempat Fania dibaringkan,  satu-satunya ruang tidur di rumah kumuh itu.

Ibu tirinya duduk disamping tempat tidur. Fania mulai menangis lagi, dengan napas yang memburu. “Tolong,” ia berbisik. “Badanku...”

“Ferdi sebentar. Rebus air di tong, semuanya. Sekarang, untuk anakmu.” Perintah Radisa pada suaminya. Ferdi baru akan pergi memanggil perawat, ia memandang bingung istrinya dengan wajah yang masih dipenuhi amarah.

Radisa mengusap-usap dahi Fania dengan lembut. “Kalau saja  ibumu melihat keadaanmu begini. Kasihan.”
Fania ingin segera meninju bibir wanita gempal itu. Berani sekali ia membawa-bawa nama ibunya di saat begini. Namun ia terlalu lemah sekarang. Ia teringat bagaimana dulu, ayahnya tanpa segan membawa wanita itu kerumahnya dan mengatakan akan menikahinya. Ibunya yang menderita asma akut langsung pingsan dan tak dapat tertolong saat dibawa ke rumah sakit. Sejak itu Fania begitu dendam pada mereka berdua, ia ingin lari dari rumah. Tapi ia tidak memiliki siapapu yang memiliki hubungan darah dengannya, satu-satunya yang ia miliki hanya ayah yang bejat itu, yang kerjanya hanya bisa menghabiskan uang hasil memalak di kedai kopi. Sedangkan ibunya yang mencari nafkah dengan bekerja pada salah satu hotel murahan di tengah kota. Ibunya mengurusi kebersihan dan keindahan hotel, setiap pulang bekerja Fania selalu dibawakan setangkai dua tangkai bunga, sisa dari menyusun bunga pada vas-vas hotel. Fania senang mengumpulkannya dan meletakkannya pada botol bekas yang telah diisi air agar bunga itu tetap hidup. Ibunya adalah wanita yang sangat lembut,  bagi Fania, ibunya lah berkah ditengah kekejaman hidup yang diterimanya. Sangat berbeda dengan wanita itu, yang keras dan tak mempunyai belas kasih terhadapnya. Fania putus sekolah dan dipekerjakan di sebuah bar, tempat segala bentuk prostitusi berlangsung, sebagai cleaning service menggantikannya. Bar itulah yang mempertemukan wanita itu dengan ayahnya.  

“Buka tanganmu!” Ibu tirinya melihat kepalan tangan kanannya yang sedari tadi digenggamnya erat-erat.  “Apalagi itu? Apa lebih berguna lagi dari susu yang kau bawa untukku?” Dari matanya terlihat jelas bahwa ibu tirinya berharap yang berada di kepalan tangannya adalah uang, wanita itu kelaparan.

Fania meringis menahan memar-memar pada wajahnya. Segera dibukanya kepalannya. Berharap ibu tirinya mengenali nama yang ada pada plat tersebut. Ayahnya masuk membawa tempat berisi air panas. “Tidak ada perawat yang berjaga,” serunya.

“Keluar kau. Aku yang akan mengurusnya.” ibu tirinya mengambil tempat air panas itu dan mengambil sebuah handuk untuk membersihkan tubuh Fania.

“Ya. Kau sudah tau siapa yang buat begini?”

“Ini. Kau carilah sampai dapat, aku tidak kenal.” Radisa memberikan plat nama itu kepada suaminya. “Sekarang keluar kau.”

*

Perlakuan ibu tirinya membuat Fania heran. Bagaimana wanita gempal yang kasar ini bisa begitu lembut merawatnya. Ya, mereka sama seperti perempuan pada umumnya; takut diperkosa. Mungkin hanya itulah satu-satunya alasan ibu tirinya seperti ini. Fania merasa tubuhnya sudah sedikit membaik, memar-memar pada wajahnya tidak terlalu mendenyut lagi, tenaganya pun telah pulih. Tapi dia membiarkan saja tubuhnya tetap terlihat lemah dan ibu tirinya tetap menjaganya, menyuapi nasi dengan lauk seadanya. Hati dan pikirannya terasa pedih mengingat peristiwa memalukan yang terjadi beberapa jam yang lalu...


* BERSAMBUNG *

Confused

Sebab tanpa kesadaran yang utuh, dengan tiba-tiba, berhari-hari lalu dalam satu pertemuan pertama yang singkat, pembicaraan sekelebat. Aku mulai mengagumimu, sehening-heningnya doa di sepertiga malam.

Entah. Entah. Entah.

[Tak perlu senja yang membuat langit dan hari-hari menjadi indah,
aku hanya butuh satu; bertemu lagi, dan lagi, dan lagi.]

Aku bisa apa?

Dua Paragraf Tentang Seorang Perempuan

Ilustrated By: @farizjul
I

Cintailah seorang gadis yang tak pernah kebingungan kemana akan melangkahkan kakinya. Kemana ia akan meneruskan langkahnya. Walaupun memang dunia begitu membingungkan, orang-orang berlomba-lomba tahu segalanya, dimana mereka yang cerdas lahir setiap hari. Dan ialah salah satunya.

Cintailah seorang gadis yang larut dalam baris-baris buku yang sedang ia baca. Yang menyukai bau khas toko buku. Ia yang terlihat begitu menarik membetulkan kacamata minusnya dengan jari telunjuk. Bukan ia yang menyisir rambut berulang kali, mendempul make up setiap hari, dan berlomba membuat tubuh setirus-tirusnya. Bukan.

Cintailah seorang gadis yang mengirimkan sebuah doa dari jauh ke kota di ujung sana. Agar Tuhan menjaga orangtuanya yang berjuang. 

Cintailah seorang gadis yang selalu meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Setidaknya, ia mencoba terlihat baik-baik saja. Gadis yang inginnya sederhana; dirinya berarti bagi orang lain.

Cintailah gadis itu. Yang tak kehilangan arah bintang jatuh. Sebab, dialah bintang itu sendiri.

II

Kamu teramat menikmati apa yang kamu kerjakan dan lalui saat ini. Namun aku tahu ada saat dimana kamu merasa kelelahan dan mulai bosan. Mencari tempat bersandar namun tak kau temukan sesuai inginmu. Sadarlah, mungkin kau hanya lupa melebarkan jarak pandangmu sehingga yang kau lihat hanya satu padahal di sekelilingmu beribu. Mungkin. Seluruh kisahmu, sejujurnya belum kupahami. Karena aku hanya satu, dari beribu itu. Sahabat-sahabatmu.


Dan pada akhirnya jangan biarkan semua kelelahan jadi milikmu, bagilah pada siapapun yang menyayangimu. Mereka takkan merasa berat bahkan akan memelukmu sangat erat. Kaulah perempuan yang berjanji, akan meraih mimpi-mimpi. Karena tak ada mimpi yang berhenti dalam diam walau kau kesepian.

Malam Puisi Malang


Datang yuuuk. 
Liat saya dan teman-teman keren dari @MalamPuisi_MLG beribadah puisi dengan tema 
Seribu Mata Air 
^_^
“Menjadi kuat berarti tahu batas antara belas kasihan dan kejam. Menjadi kuat juga harus memiliki hati yang panas untuk keadilan sekaligus kepala yang dingin untuk menilai. Karena itu menjadi kuat sangatlah kesepian. Hanya jika kau bisa mengendalikannya, maka kau dapat menang.”

Sebuah Ode Sederhana

Mendengar. Adalah satu-satunya yang mampu terlaksana. Tiga baris ode tak seberapa ini. Adalah satu-satunya yang mampu tertulis. Agar hari kemarin terkumpul dalam kata-kata dan membiarkan mereka hidup selamanya.

: teruntuk si suara merdu

Terus petik dengan riang dan rasakan indahnya perasaanmu setiap pagi, siang, hingga malam pada sahabatmu. Kalian keren, walaupun entah senar atau kau yang beruntung dalam persahabatan itu.

Sadarlah, di dalam semesta yang rumit ini, kebetulan-kebetulan keren akan selalu terjadi. Seperti misalnya kita, yang bertemu tanpa sengaja, menjadi kawan baru..

Dan sadarlah, aku, kamu, kita semua tak ada yang debu. Semangat selalu.


( p.s: Kalau bertanya apa ode itu. Ode itu syair yang berisi pujian :p )

12 Menit, Yah

Yah..

Mulai detik ini, aku mohon, kurangi asap yang mengepul itu.

Kurangi nikotin yang menguningi geligi mu.

Kurangi tembakau yang merajah pundi penghasilanmu.

Penghasilanmu itu, kau dapat dari berjuta peluh yang menetes di bawah terik setiap hari.

Penghasilanmu itu, kau dapat dari kakimu yang penuh luka menyelam kolam di sawah-sawah kampung sana.

Membuat aku sering merindukan sosokmu, pelindung menjalani hari-hari. Penghasilanmu itu, membuat kau pulang ke rumah teramat jarang.

Dan kini, aku jauh. Aku berada dalam jarak yang jauhnya tak mampu terengkuh peluk hangatmu, yang jauhnya tak mampu terkecup bibirmu pada keningku.

Namun aku yakin, Tuhan sanggup mengulur lengannya untuk kita berdua.

Tak sayangkah pada dirimu sendiri, Yah?

Sekeras itu perjuangan, dengan mudahnya kau bakar, dan memenuhi peparumu dengan benih penyakit?

Sekarang, Ayah. Renungkanlah lirih gadis kecilmu dari sini. Sejenak saja, meski hanya 12 menit.


(Tiba-tiba kepikiran nulis sajak ini, habis nonton trailer film pendek barunya Kak Raka berjudul ’12 Menit’. Nulis sajak ini juga iseng ngepasin musti selesai dalam 12 menit, hehe. Silahkan tonton trailernya disini teman-teman :) )

Kali Ini

Haruskah aku diam lagi?

Menunduk memandang sepatu yang kupakai lebih dari sekedar berjalan namun berlari luntang-lantung mengejar mimpi

Jika diam memang emas pasti aku sudah kaya raya sedari dulu

Nyatanya aku biasa-biasa saja

Haruskah aku memendam kali ini?

Diam dalam diam
Marah dalam diam
Bahagia dalam diam
Sedih dalam diam

Namun kali ini soal lain

Aku pun tak begitu paham

Semuanya terjadi sekejap seperti wasit yang membunyikan peluit tanpa sepengetahuan para pemainnya

Tak sempat bersiap

Kali ini soal lain

Sepemahamanku ini,

kekaguman dalam diam.

(Lawang, 03.44 WIB. 16 Oktober 2013)

Tentangmu, Ibu.

Di setiap langkahku, Ibu.

Semua tentangmu. Dengan tangan yang ikhlas membersihkan najis tubuhku dulu, dengan tangan yang cemas tertangkup di atas keningku yang panas karna demam, dan dengan tangan yang bangga menunjuk ke arahku sebagai putri yang kau banggakan.

Semua selalu tentangmu, Ibu. Dengan bayang-bayang lirih sepertiga malam kudengar isakmu bersujud memohon ampun dan meminta kasih-Nya untukku. Dengan bayang-bayang lehermu yang menelan ludah, menahan ingin untukmu sendiri tertunda bahkan tak tercapai sama sekali demi inginku. Demi aku, Ibu. Kau membuat segala inginku jadi inginmu, semata-mata hanya untuk bahagiaku. Dan demi aku, Ibu. Kau membuat bahagiaku jadi bahagiamu pula.

Semuanya akan selalu tentangmu, Ibu. Dengan bibir mengatup menahan amarah di depan mukaku, dengan senyum yang selalu tersungging untuk meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Dengan bibir yang selalu mengatakan “Ibu menyayangimu, Nak.”

Ini semua tentangmu.

Ini aku, Ibu. Dengan tangan yang tak tahu untung dimabuk teknologi, mengurusi manusia-manusia maya yang airmatanya tak pernah jatuh setetespun untukku. Sungguh, Ibu. Betapa berdosanya aku mengingat entah berapa banyak airmatamu yang jatuh tanpa pamrih di setiap bahagia pun susahku. Dengan tangan yang ringan menunjuk ke arahmu – menganggap dirimu sebagai manusia kejam yang tak henti menyuruhku ini dan itu. Sungguh, Ibu, baru aku sadar perintahmu adalah perintah-Nya yang seumur hidup tak pernah salah. Ibu, baru aku sadar semua itu menuntunku pada hidayah dan keberkahan tiada henti. Dengan bibir yang enggan membalas, “Akupun menyayangimu, Bu.” namun semudah membuang ludah mengatakan hal serupa itu pada manusia lain. Tentangmu, Ibu.

Aku menghentikan langkah untuk tertidur sejenak. Dalam pejamku, kaulah rindu yang tak pernah usai. Dalam tangisku, airmata ini, semoga akan bermuara pada bahagiamu.

Bertahanlah hingga perjalananku sampai pada tujuannya. Karena semuanya adalah tentangmu, Ibu.

11:11

Sajak ini menceritakan tentang seorang gadis. 

Setiap jam 11:11 dia selalu mengucapkan permohonan dalam hati. Agar suatu hari nanti, ia dapat bersama dengan dia, laki-laki yang ia cintai. Meskipun bertahun-tahun sudah berlalu, meskipun dia sudah dewasa. Dia masih membuat permohonan yang sama. Meskipun foto lelaki yang selalu ia pandangi itu sudah memburam. Dan dia sudah berkemas untuk menggapai mimpi-mimpinya. Dan lelaki itu bukan lagi prioritas utamanya. Tapi lagi-lagi ia masih mengucapkan permohonan yang sama. Dan di suatu pagi, dia duduk di kamarnya, menonton TV dan tiba-tiba yang ia lihat adalah lelaki sukses dan terkenal itu akan melangsungkan pernikahan. Itu mengejutkannya dan segalanya seperti terulang kembali. Hatinya kembali merasakan degup luar biasa karena lelaki itu. Dia melihat ke arah jam dan menunjukkan 11:11. Tapi sebelum dia mengucapkan permohonannya yang biasa, dia berhenti. Karena lelaki itu akan menikah hari ini. Permohonannya tidak terkabul, bukan? Jadi dia menarik selimut menutupi seluruh badannya, airmata mulai mengalir di pipinya. Jam masih 11:11. Dengan cepat ia menyilangkan jari-jarinya dan berkata di dalam hati, 

“Aku memohon kebahagiaan untuknya.
Bersabar dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan
Terus-meneruslah berbuat baik, ketika di kampung dan di rantau
Jauhilah perbuatan buruk, dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar, di dunia atau di akhirat
Bersabarlah menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir 
Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impiankan tercapai
Jangan cari kemuliaan di kampung kelahiranmu
Sungguh kemulian itu ada dalam perantauan di usia muda
Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian
Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kau katakan
Karena debat kusir adalah pangkal keburukan


-Sayyid Ahmad Hasyimi-


Penarik Layang-layang


Penarik layangan yang tinggi sekali, siapa gerangan engkau?

Siapapun kau pastilah orang yang sabar dan tak kenal lelah. Berkawan karib dengan silau dan garis-garis benang yang membelesat di jarimu.

Sedang aku, kejar-kejaran dengan waktu dan berkarib dengan keputusasaan.

Aku mencari-cari. Layanganmu benar-benar tinggi sekali. Pastilah kau teramat jauh.

Aku berlari-lari. Jika bertemu nanti. Boleh kita berkenalan, Tuan?

Senja di Balangan


Langit mulai bersiap. Di tubuhnya ada awan yang masih enggan bergumpal dengan bentuk yang namanya tak kupahami. Ada matahari yang masih malu-malu dipandang. Padahal komando langit sudah jelas agar mereka bersiap tampil.

Di Balangan bibir-bibir kering pantai rindu akan kecupan senja. Yang mengulum lidahnya dalam-dalam pada ombak yang menjadi jingga.

Di Balangan sebuah tebing berdiri kokoh, dengan lapang dada menjadi kursi-kursi penonton gratis.

Angin berdesir-desir di telinga karang, bagai peluru, melesat tak terjangkau pandangan pun pendengaran. Sembunyi-sembunyi mencoba menyampaikan pesan langit bahwa pertunjukan dimulai.

Ranting-ranting menyerupai pohon tanpa daun membiaskan cahaya senja yang jadi pembuka. Membuat bayang-bayang jadi lebih nyata, penonton berubah jadi siluet-siluet jika diabadikan.

Dentaman laut pada karang, gesekan senar pesisir, dan dirijen dari ujung langit bersatu menciptakan orkestra yang meriah.

Gumpalan awan indahnya sudah luar biasa walau namanya entah apa. Matahari kini percaya diri walau langit perintahkan ia untuk segera sembunyi.

Sementara dari ujung tebing, seorang penonton berteriak-teriak, “Lagi! Lagi!” Padahal komando langit sudah bermaksud lekas usai. Ia bilang ini senja pertamanya.

Langit menyadari bahwa pertunjukan kali ini terlalu singkat. “Datanglah lain hari dan ingatlah, selamanya, pertunjukan ini tetap gratis untukmu.” Pertunjukan selesai.

Sesungguhnya ia tak ingin pulang, tak ingin selesai, dan tak tahu kapan akan kembali. Selepas pertunjukan senja di Balangan kala itu, ia hidup dengan janji langit.

Masih Pantas?

Aku sedang berdiri di hadapan cermin dalam kamar berpenerangan sempurna, udara sejuk, dan melihat raga yang tanpa cacat. Namun otakku kosong dan rasanya lelah sekali untuk melangkah.

Bayangan dari cermin berontak, ia memaksa dirinya melawan bayangan nyata yang harusnya ia ikuti.

“Kau ratapilah senja sampai bertekuk lutut, malam akan tetap larut. Percuma.” Ia tiba-tiba berbicara.

Aku, si bayangan nyata itu terkejut. “Berhentilah mengeluh mulutmu itu. Tidakkah kau tahu di belahan bumi sana, mereka; manusia seperti kau bahkan anak kecil yang ringkih tubuhnya, lebih menderita darimu. Disini tiap pagi sanggup kau hirup udara segar dengan bebas sedang disana bernapas pun ditahan-tahan. Berkoar dan pecicilan disini seenaknya, disana kau jadi orang gagu. Pokoknya sebut saja apa yang sedih-sedih, semua ada disana. Bapak Ibu mati di depan matamu, dikhianati, ditinggalkan, diabaikan seolah-olah (dan memang) sekali sentil kau langsung mati, perutmu membesar kelaparan, buta matamu, buntung tangan dan kakimu, cacat. Apalagi?“

Ia melanjutkan, “Jadi masih pantas kau malas? Masih pantas kau mengeluh? Jadilah sebaik-baiknya manusia dengan selalu bersyukur dan jangan pernah hilang harapanmu.”

Bayangan itu kembali mengikutiku dalam sekejap.

*

Sesungguhnya musuh paling besar saat ini adalah rasa malas. Ya Allah tolong kuatkan tubuh ini untuk terus melangkah..

Meracau Tentang Angka

18 adalah angka dimana saya lagi berlayar, bukan untuk sampai ke tujuan, tapi untuk mencari tujuan. Dalam pelayaran ini sebenarnya saya nggak tau mau kemana. Sering saya kehabisan stok pangan, sering saya kena badai, sering saya hampir tertelan pusaran di tengah laut, dan awak di dalam kapal saya nggak ada. Saya berlayar sendirian.

Di akhir 18 saya belum juga menemukan tujuan itu sebenarnya, tapi akan, saya akan menemukannya. Walaupun kadang suka hilang arah, tapi nggak bakal ada yang tau, kenapa? Ya karena saya berlayarnya sendirian.

19 adalah angka dimana saya ingin mengisinya dengan harapan. Harapan untuk menemukan tujuan, untuk menikmati pelayaran-pelayaran selanjutnya menuju tujuan itu, untuk belajar mendapatkan stok pangan lebih banyak dan bervariasi lagi, untuk lebih kuat menghadapi badai, untuk memperbanyak pahala kalau-kalau saya betulan tertelan pusaran di tengah laut, untuk merapihkan kapal saya yang compang-camping agar setidaknya, saya nggak berlayar sendirian lagi.

Hujan, layukan semua keburukan dan mekarkan semua kebaikan dari satu tahun ke belakang untuk tahun-tahun ke depan yang akan dijalani.
Ya setidaknya dalam dunia yang tercipta di dalam kepala ini. Hanya itu yang melintas dalam pikiran saya malam ini.

- Gadis Hujan

(Ini) (Bukan) (Puisi) Aku (nya Chairil Anwar)

Aku adalah awan, yang menentang tuhan. Enggan merebak keikhlasan atas turunnya hujan.

Aku adalah tanah, yang enggan memikul beban bumi. Biarkan bumi menggenang dan semesta kalang kabut.

Aku adalah cermin, yang retak pula buram. Buang saja aku, buang.

Aku adalah tasbih, yang sebutirnya tak sempat disusun dalam selingkar tali. Terabai, diabai.

Inverted

Hidupku datar, lebih datar dari TV flat yang tidak benar-benar datar. Menjadi seorang editor adalah pekerjaan yang menyenangkan, namun setelah selama 3 tahun aku berada di balik meja dan diatas kursi yang sama ini aku merasa semuanya jadi membosankan. Aku jadi membenci hal bernama ‘kebiasaan’. Kemarin, hari ini, besok yang kuhadapi hanyalah naskah, kamus, dan buku-buku yang menyangkut pendalaman ilmu tentang naskah yang sedang kutangani. Yang membuatku senang hanyalah saat aku menghadapi penulis pintar, yang punya ide tak tumpang tindih dan bahasa yang bagus, namun aku hanya bisa menghembuskan napas saat penulis ‘kejam’ datang, aku tetap harus tersenyum dan menghadapi tugasku sebaik-baiknya. Saat jam makan siang, aku enggan makan di luar, kantin kantor adalah pilihan tetapku, sebab Rani, layouter kantor yang kusukai dan merupakan perempuan paling ayu di kantor selalu makan disana. Semua pria yang ada di kantor menyukainya. Aku sering mendekati dan mengajaknya ngobrol di kantin namun tak pernah berani mengatakan perasaanku, aku grogi dan ragu karena dia juga sepertinya cuek dan menganggapku tak lebih dari sekedar rekan kerja. Dan belakangan ini aku lebih memilih melihatnya dari meja seberang saja.
Jam pulang kantor adalah saat aku mau tak mau menonton Gara, si preman pasar dan kawan-kawannya memalak pedagang dan tukang becak karena kosanku berada di belakang pasar, aku harus berjalan melewati pasar terlebih dahulu dan melihat orang-orang tidak berani melawan Gara dan kawan-kawannya itu sebelum pulang setiap hari.  Malam-malamku selalu diisi dengan imajinasi seandainya Rani menyukaiku juga dan hidupku menjadi lebih menyenangkan. Selalu. Ah, kebiasaan lagi.

*

Rasanya tidurku panjang sekali, benar saja, sekarang pukul setengah 9 pagi dan aku harus tiba di kantor pukul 9, sedangkan perjalanan memakan waktu lebih dari setengah jam. Ah, aku pasti terlambat. Badanku sedikit demam pagi ini, aku meminum obat demam seadanya yang kumiliki. Dan bersiap-siap dengan terburu-buru. Sesampainya di kantor, benar saja ini pukul setengah 10. Aku terlambat.

Mbak Dwi sedang berjalan menuju ruangan Fahri, rekan editor yang ada di sebelahku, saat melihatku ia terheran.

“Maaf, Mbak. Hari ini aku telat.”

 “Loh, ya bagus. Harusnya yang lain selalu datang terlambat seperti kamu Vin.” Mbak Dwi menepuk pundakku kemudian ia langsung berlalu.

Aku terheran mendengarnya apa mungkin karna Mbak Dwi marah padaku sehingga ia marah dengan menyindir seperti itu. Aneh sekali. Aku segera duduk di bangkuku, penulis yang hari ini janji merombak naskahnya denganku belum datang. Sambil menunggu aku menyalakan laptop dan menonton video random di Youtube, kepalaku pusing dan badanku sedikit lebih panas dari tadi pagi.

“Pagi Vino.” Sapa Rani sembari duduk di depan mejaku.

“Eh, pagi r r Rani.” Aku gelagapan, Rani tiba-tiba ada di ruanganku, sepertinya aku terlalu asik menonton sehingga menghiraukannya yang masuk ke ruanganku.

“Vin, ntar makan siang diluar yuk!”

Hah? Aku tak menyangka. Mimpi apa aku semalam tiba-tiba saja perempuan yang kusukai mengajakku makan siang bersamanya. Aku langsung mengiyakan ajakannya.

“Yaudah nanti aku kesini lagi ya tempatnya terserah kamu deh.” Rani tersenyum kemudian beranjak pergi.
Ini aneh sekali, pertama Mbak Dwi memujiku karena terlambat, kini Rani yang biasanya cuek dan selalu makan di kantin kantor mengajakku makan diluar. Namun keanehan kali ini membuatku senang, sangat senang.

*

Jam 12, sudah waktunya makan siang. Aku sudah sedari tadi bersiap menyambut Rani di ruangan, akhirnya ia datang juga.

“Yuk Vin.” Katanya.

“Yuk. Kita ke warung bakso di tempat langgananku ya, kamu harus cobain. Enak banget.”

“Ohya? Boleh-boleh.”

Kami beranjak pergi.

Kami mengobrol banyak hal, Rani bercerita tentang hal-hal kesukaannya, dan bertanya banyak tentang aku. Dia sama sekali tidak cuek terhadapku. Aku ingin mengatakan padanya kalau  aku menyukainya.

“Vin, menurut kamu yang paling cantik di kantor siapa?” Tiba-tiba ia bertanya.

Ha, ini kesempatan bagus untuk aku mulai mengatakan kalau aku menyukainya. Kebetulan sekali. Terimakasih Tuhan.

“Hem kalo menurut aku ya kamu Ran.“ Aku mencoba menahan grogi.

“Ahahaha kamu bercanda? Jangan fitnah deh. Semua cowok di kantor tuh pada suka sama Jani. Aku pengen deh cantik kaya dia. Kamu pasti suka kan.”

Di bayanganku langsung terpapar sosok Jani yang bertubuh kecil, di wajahnya penuh bekas jerawat, dan hidung yang jauh dari bangir.

“Ran, kaya Jani kamu bilang cantik? Terus yang jelek kaya gimana?”

“Ya gausah jauh-jauh deh, aku. Aku aja ngajak kamu keluar gini takut kamu ngerasa malu sama yang lain.”

“Hah? Eng, engga kok.”

Rani tertawa. Aku tersenyum tipis. Kami melanjutkan makan siang ini. Selesai makan aku hendak membayar, “Berapa Bang?” Tanyaku pada Bang Udin.

“24 ribu Mas Vin. Bentar ya.” Bang Udin mengambil uang dari laci penyimpanan uangnya. Belum sempat aku menyodorkan uang yang kuambil dari dompet, Bang Udin menyerahkan uang 24 ribu padaku.

“Nih Mas. Makasih ya.” Aku terkejut. Apa-apaan lagi ini?

“Lo kok abang yang ngasih uang ke saya, harusnya saya toh yang ngasih sebagai pembeli.” Aku menyodorkan 24 ribu yang ada di tanganku.

“Lho Mas Vino ini apa-apaan, walaupun langganan mas harusnya nerima duit dari aku toh.” Wajah Bang Udin tiba-tiba terlihat kesal.

Aku semakin terkejut. Aku tidak mau malu di depan Rani jadi aku mengalah, aku terima saja uang dari Bang Udin. Kemudian kembali ke kantor bersama Rani.

Di jalan aku berpikir, bagaimana bisa yang seharusnya memberi malah menerima? Seperti wakil rakyat sekarang ini saja, bukannya memberi jasa pada rakyat malah menerima uang haram yang harusnya untuk rakyat. Semuanya, berbalik. Alisku menyatu sedari pagi. Mataku membelalak sedari pagi. Mulutku lupa mengatup sedari pagi. Ada yang aneh dari hari ini.

Aku dan Rani akan kembali ke meja masing-masing, senang sekali rasanya hari ini walaupun aku tidak jadi mengungkapkan perasaanku.

“PLAK!” Tiba-tiba Rani menampar pipiku. Jantungku seketika berdetak kencang, salah apa aku ini?

“Ran, kenapa kamu nampar aku?”

 “Makasih ya Vin udah mau makan siang sama aku. Aku kira kamu malu keluar sama aku.” Rani tersenyum manis sekali.

“Tapi kenapa tadi?...”

“Yaudah aku balik ke meja ya.” Belum sempat aku bertanya lagi Rani sudah berlalu.

Aku begitu penasaran kenapa tiba-tiba Rani menamparku kemudian berterimakasih. Saat aku berjalan menuju ruangan, aku mendapati Fahri ditampar di kedua pipi oleh Jani, kemudian Jani pergi meninggalkan Fahri.

“Eh Ri kenapa si Jani nampar kamu?” Aku bertanya dengan rasa penasaran yang semakin menjadi.

“Ya jelaslah kita kan udah jadian. Akhirnya Vin aku bisa jadi pacar Jani, cewek idola sekantor hahaha” Fahri tertawa.

“Lho terus kenapa malah nampar?”

 “Kamu ini sok lugu banget ya Vin. Namanya juga orang sayang, ya nunjukinnya dengan nampar.”

“Bukannya cium?”

“Itu sih kalo benci, baru dicium. Lugunya kelewatan nih orang. Udah ah aku ke meja dulu Vin.”

Jawaban Fahri membuat pikiranku campur aduk. Sekarang yang aneh ini siapa? Namun aku tiba-tiba sadar mengapa Rani menamparku tadi, itu karna Rani menyukaiku. Ah, aku senang sekali. Akhirnya imajinasiku setiap malam menjadi nyata.

*

Dunia ini sudah terbalik, sangat-sangat berbalik. Di perjalanan pulang seperti biasa aku melihat Gara, si preman pasar itu dan kawan-kawannya memalak lagi. Sepertinya hanya ini kebiasaan normal yang tersisa hari ini.

Tunggu, kali ini orang-orang seperti menonton aksi mereka, tidak ada yang berusaha menghindar atau pura-pura tidak tahu. Aku melihat seksama pada Gara, ia menarik kerah baju si pedagang lalu memberikannya uang 20 ribu dengan paksa. Si pedagang menerima dengan takut-takut. Kemudian semua orang di pasar bertepuk tangan seakan salut pada tindakan mereka.

Aku melangkahkan kakiku lebih cepat. Sungguh aku lelah dengan semua keanehan ini.

*

Di depan gang kulihat seorang wanita tak sengaja menjatuhkan tas jinjing yang dibawanya. Aku hanya melihatnya karna kurasa ia sadar sudah menjatuhkannya, namun ia tetap terus berjalan. Segera kuambil tas ini dan berlari menyusul wanita itu.

“Bu, bu.” aku menepuk pelan pundak wanita tua itu.

Ia berbalik badan. “Ya?”

“Ini tadi tas ibu jatuh.” aku masih tereengah-engah.

Wanita itu membuka isi tasnya dan melihat isinya masih lengkap, namun seketika ia panik dan langsung berteriak, “Copet!!!” Apa-apaan? Bukannya bilang terimakasih karena aku telah mengembalikan tasnya aku malah dituduh copet?

Entah datangnya darimana 5 warga berlari ke arahku, aku benar-benar syok yang kupikirkan hanyalah lari, mereka berusaha mengejarku. Namun apa daya aku tertangkap sebab warga dari arah berlainan datang mengejarku juga.

Apa aku harus dihukum karena kejahatan yang sama sekali tidak kulakukan. Aku dengan jujur mengembalikan tas tadi, biasanya jujur adalah hal yang benar. Biasanya. Ah aku lupa kini duniaku berbalik, yang biasanya kini tak lagi biasa. Aku memang membenci kebiasaan tapi tidak juga harus jadi begini. Yang benar menjadi salah.

Tunggu, sepertinya...

Aku dibawa ke rumah Pak RT. Dan berharap apa yang ada dalam pikiranku benar.

“Ini, silahkan berlibur bersama orang yang kamu sayangi dengan sebebas-bebasnya.” Pak RT memberikan paket liburan ke Bali bagi 2 orang padaku.

Pikiranku tadi benar. Harusnya aku dikurung di dalam penjara namun di duniaku kini, aku dibebaskan sebebas-bebasnya. Siapa lagi orang yang akan kuajak menikmati kebebasan ini? Aku membayangkan betapa indahnya pergi liburan bersama perempuan yang kusukai. Ah...

“Mas Vino? Hei!” Cindi melayang-layangkan telapak tangannya di depan wajahku yang melamun. Aku memandangi video di Youtube dengan tatapan kosong sehingga aku menghiraukan kehadiran Cindi si penulis yang sedang aku tunggu tadi.

Alisku menyatu, mataku membelalak, mulutku menganga. Ada yang aneh dari hari ini. Aku memegangi keningku sendiri, masih panas. Mungkin ini efek obat demam yang kuminum sehingga khayalanku jadi aneh sekali.


-selesai-