Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Malam-malam Biasa

Awan menggantung di atas kepala
yang menindih kasurku dengan lemah

Kepala yang hanya akan jadi gila

Sebab pada tiap malam yang biasa

Awan itu menghujankan berjuta-juta apabila

Kukatakan bahwa ini adalah malam yang biasa

Seperti kemarin dan kemarinnya lagi

Pagi tak kunjung bersedia menanak mimpi

Yang matangnya kelak berupa satu dering telepon dari bawah bantal,
dapat pula sebuah amplop dalam kotak surat dua dimensi.

Entah berapa napas panjang lagi akan kuhela sembari menanti

Letih

Penuh harap yang timbul tenggelam di antara ketakutan

Jika nanti hidup kehilangan percikannya
dan aku akan terus melewati malam-malam biasa

tanpa suatu apapun yang mekar berhujan apabila.

May One of Those Times Come


May one of those times come, when someone asks me if I’m okay or not.
“I am not” would definitly out from my mouth, without fear, without tear.

May one of those days come, in 86.400 seconds a day in their life.
They’d see me, even a glimpse of their sight, even for one second might.


(Malang, 20 September 2015)

Doa

Kemarin aku berdoa pada Tuhan

Agar dijadikannya aku manusia

Agak kurang waras rasanya

Namun ya ini

Sebuah doa dari seorang penentang arus

Yang berpikir semestanya hewan semua

*

Lagi gumam-gumamin liriknya Sting – Englishman In Newyork, lagu yang sempat disebut Andrea Hirata yang saya lupa entah di Laskar Pelangi atau Edensor. Enggak tau deh kenapa lagu itu yang tiba-tiba berdengung sendiri di telinga pas nulis puisi ga jelas ini.

I’m an alien, I’m a legal alien, I’m an Englishman in Newyork~

Newyork, United States. He don’t drink coffee he take tea, dear... Dear? Dear siapa? Ohiya lupa, british kan sekonyongnya aja manggil stranger pake dear. Atau darling, atau luv. Ramah sekali ya. He? Sampe sekarang penasaran sosok pria Inggris yang nyasar ke Amrik ini kaya gimana. Fiuh.


Yang jelas dia nentang arus. Ya gak? Ya gak? Iyain ajadeh.

Renungan Di Kereta

Image from: Google
Hampir ketinggalan kereta
Berat rasanya melangkah meninggalkan kota paling mudah dirindukan sedunia
Meninggalkan delapan manusia-manusia kecil yang menyenangkan, tiap hari membangunkan tidur dengan suara pertengkaran-pertengkaran kecil dan ocehan sayup tak jelas, meminta peluk dan jalan-jalan
Sampai jumpa lagi keluargaku

*

Ada sebuah cerita di persinggahan yang namanya jadi lagu ini
Cerita tentang perpisahan kesekian
Rindu yang akan ada atau tidak, hadir atau enggan, merekah atau layu
Tentang isak diam-diam dari balik jendela kereta yang mulai melaju

*

Di gerbong ini tak ada yang menjadikannya sebagai tujuan akhir
Ia hanya jadi persinggahan
Kasihan

*

Andai kereta ini singgah sedikit lebih lama
Aku ingin melarikan diri sebentar ke Simpang Lima
Walau tak sebesar ingin ke Eiffel
Kapan-kapan kau kudatangi ya
Tunggu disitu
Waktuku belum ada

*

Orang-orang tertidur pulas
Dua anak kecil meniup peluit mainan dan tertawa-tawa
Berisik
Namun mereka lucu sekali (tak ada anak kecil yang tak lucu)
Tidak mau tau apa semua orang marah karena kegaduhan yang mereka lakukan, mereka tetap bermain
Bahagia
Jauh beda dengan dewasa, terkungkung aturan-aturan
Serta penghakiman antar manusia.


(Tugu Yogyakarta-Solo Balapan-Nganjuk-Kediri-Tulungagung-Blitar-Kepanjen-Malang Kotalama-Malang,  9-10 Agustus 2014)

Rahasia

Tahu apa yang membuat sebuah hal indah?
Rahasia
Bukan, aku tak menyembunyikan jawabannya
Itu jawabannya, rahasia

Ada beberapa hal yang tak harus memiliki jawaban agar menjadikan dirinya indah
Seperti mengapa hingga detik ini hanya satu nama itu yang masih menjadi langit untuk kujunjung dan bumi untuk kupijak

Kau mengerti?

Seperti Alif Lam Mim
Indah, sebab hanya Allah yang tahu.

Karna Kita Masih Mampu

Kepada waktu yang hingga kini tak kukenali
hujan turun malu-malu
ditahannya beban yang berhari-hari awan pikul
kau tahu
ada sedih yang menggantung di sudut senyumku
ada ragu di antara hembusan nafas panjangmu
tetaplah bertahan
jika kau tanya mengapa
akan kujawab esok saat hujan tumpah bersama gelegar petir


bertahanlah

karna kita masih mampu.

Atas Nama Malam


langit muram, kau pun tahu
angin menyapu musim, gerimis melintas
pada senja selintas, aku tak tahu
masihkah ketemu malamku
kamu adalah mimpi itu, siapa tahudalam jejak senyap semalam
menatap hujan,
tiada bertanya sedu atau sedan

kukirim pesan singkat menjelang senja
bilang, aku akan berjaga-jaga disudut lengang
bilang, aku berharap saat dia lewat
dia mau buka kaca jendela agar bisa kulihat walau
sekelebat

aku hanya rindu
terlalu

(dikutip dari cerpen: Senja dan Sajak Cinta karya Seno Gumira Ajidarma)

Kenal Dia, kan?

Sesungguhnya ini bukan sekedar kaki yang melangkah.
Tapi tentang satu payung yang harus dipilih diantara jutaan payung yang ada di hadapan untuk menembus hujan badai.
Semua yang tak disuka dan apa yang terpaksa disuka.
Semua yang telah diusahakan bukan yang disia-siakan.
Menuju tempat dimana kesendirian tak pernah terasa.
Kau kenal Dia, kan?

Dia itu pemiliknya.

Lupa

Kalau semua yang kau inginkan terwujud apa kau siap?
Terkadang aku menerawang sampai sana.
Semua kecewa yang jatuh tepat di muka kita itu sebenarnya suatu butuh bukan ingin.
Amboi!
Penerawangan itu berujung sadar kini.
Saat ingin itu terwujud.
Ternyata gunanya nihil. Kosong. Sia-sia.
Entahlah.
Aku merasa hilang arah, aku menangis-nangis memarahi Tuhan.
Mungkin aku lupa kalau Tuhan yang punya kompas, dan dia bisa suka hati mengambilnya.

Iya, aku lupa hidup ini bukan milikku saja.

Pulang

Kalian arsitek-arsitek hebat,
atau siapapun.
Tolong bangun jembatan dari ujung timur Jawa ke ujung utara Sumatra,
bisa tidak?
Perjalanan membelah awan terlampau mahal dan aku tak pernah benar-benar memperhatikan petunjuk keselamatan yang di peragakan pramugari.

Aku lelah bersilat lidah.
Aku terlalu malas jadi pembual.
Aku ini tak ada apa-apanya.
Sungguh.

Siapapun,
aku ingin bisa melarikan diri sebentar-sebentar.

Takut


Pada malam ini aku merebah diatas dada lantai yang bidang
Meringkuk ketakutan bagai bayi yang butuh pelukan
Hujan akan selalu mengunjungi pelupuk mataku
Sampai keraguan berupa awan hitam hilang dari pertandangannya di seisi kepala
Awan itu kubenci
Di punggungnya, terlukis perangai-perangai yang membuat aku bergidik ngeri

(puisi dan ilustrasi (ngasal) disela-sela tugas)

Larik-larik Desember

Larik-larik Desember itu kalau kataku kening-kening yang panas
klinik-klinik yang penuh dengan antrian orang berobat
kenapa?
karena kita semua terlalu lelah mengejar dunia
dicekik aktivitas dengan kejam
Bagiku Desember adalah sepenggal dua penggal cerita tentang hujan
tentang bunga-bunga mekar dan pohon-pohon segar
tentang petrichor yang menyeruak tiap kususuri jalan dengan telapak kaki ataupun mesin
tentang mantel atau jas hujan yang tak lagi kaku dalam jok motor
dan gereja yang mendadak ramai
juga tentang hujan dalam hati yang tersimpan rapat-rapat

Di bulan Desember itu kalau kataku kelas-kelas yang murid di dalamnya terus-terusan melihat keluar jendela
tak sabar ingin pulang
meringkuk di bawah selimut sambil menyalakan televisi

Larik-larik Desember
adalah ingatan akan pertemuan
di dua bulan lalu
mulai pertama
hingga selanjutnya dan selanjutnya diluar kendaliku
dengan sosok yang kejatuhan kagumku, barangkali
diam-diam

Malam-malamku sejak itu selalu habis dengan pertanyaan
bagaimana agar ia tahu? 

Larik-larik Desember adalah tentang doa yang itu-itu saja
dengan sebuah doa lagi diatasnya
semoga malaikat mengamini
Tuhan tak bosan mendengar dan akhirnya mengabulkan
hujan,
tahukah kau?
jarak paling dekat antara dua manusia itu ketika mereka tertawa bersama
meskipun pertemuan
akhirnya
setelah doa yang tak putus
baru kali kedua
walau hanya canda sekedar
memandangnya, melihatnya tertawa
rindu?
iya lepas sudah
iya, akan ada pertemuan selanjutnya
biarlah memperhatikan dan mengagumi dalam diam jadi tugasku saja
aku tetap bersyukur
sebab
kutahu yang ada di hatiku tak mungkin
sesuatu mengganjal
dan aku kenal jelas wujudnya
maka itu aku harus diam

yang pasti aku hanya bisa tertawa saat dia tertawa
biar kami dekat

hujan,
maukah kau? 
memeluk tubuh lelah yang keningnya sedang panas, bingung dan mengigil ini?

23.53, 13 November 2013

12 Menit, Yah

Yah..

Mulai detik ini, aku mohon, kurangi asap yang mengepul itu.

Kurangi nikotin yang menguningi geligi mu.

Kurangi tembakau yang merajah pundi penghasilanmu.

Penghasilanmu itu, kau dapat dari berjuta peluh yang menetes di bawah terik setiap hari.

Penghasilanmu itu, kau dapat dari kakimu yang penuh luka menyelam kolam di sawah-sawah kampung sana.

Membuat aku sering merindukan sosokmu, pelindung menjalani hari-hari. Penghasilanmu itu, membuat kau pulang ke rumah teramat jarang.

Dan kini, aku jauh. Aku berada dalam jarak yang jauhnya tak mampu terengkuh peluk hangatmu, yang jauhnya tak mampu terkecup bibirmu pada keningku.

Namun aku yakin, Tuhan sanggup mengulur lengannya untuk kita berdua.

Tak sayangkah pada dirimu sendiri, Yah?

Sekeras itu perjuangan, dengan mudahnya kau bakar, dan memenuhi peparumu dengan benih penyakit?

Sekarang, Ayah. Renungkanlah lirih gadis kecilmu dari sini. Sejenak saja, meski hanya 12 menit.


(Tiba-tiba kepikiran nulis sajak ini, habis nonton trailer film pendek barunya Kak Raka berjudul ’12 Menit’. Nulis sajak ini juga iseng ngepasin musti selesai dalam 12 menit, hehe. Silahkan tonton trailernya disini teman-teman :) )

Kali Ini

Haruskah aku diam lagi?

Menunduk memandang sepatu yang kupakai lebih dari sekedar berjalan namun berlari luntang-lantung mengejar mimpi

Jika diam memang emas pasti aku sudah kaya raya sedari dulu

Nyatanya aku biasa-biasa saja

Haruskah aku memendam kali ini?

Diam dalam diam
Marah dalam diam
Bahagia dalam diam
Sedih dalam diam

Namun kali ini soal lain

Aku pun tak begitu paham

Semuanya terjadi sekejap seperti wasit yang membunyikan peluit tanpa sepengetahuan para pemainnya

Tak sempat bersiap

Kali ini soal lain

Sepemahamanku ini,

kekaguman dalam diam.

(Lawang, 03.44 WIB. 16 Oktober 2013)

Tentangmu, Ibu.

Di setiap langkahku, Ibu.

Semua tentangmu. Dengan tangan yang ikhlas membersihkan najis tubuhku dulu, dengan tangan yang cemas tertangkup di atas keningku yang panas karna demam, dan dengan tangan yang bangga menunjuk ke arahku sebagai putri yang kau banggakan.

Semua selalu tentangmu, Ibu. Dengan bayang-bayang lirih sepertiga malam kudengar isakmu bersujud memohon ampun dan meminta kasih-Nya untukku. Dengan bayang-bayang lehermu yang menelan ludah, menahan ingin untukmu sendiri tertunda bahkan tak tercapai sama sekali demi inginku. Demi aku, Ibu. Kau membuat segala inginku jadi inginmu, semata-mata hanya untuk bahagiaku. Dan demi aku, Ibu. Kau membuat bahagiaku jadi bahagiamu pula.

Semuanya akan selalu tentangmu, Ibu. Dengan bibir mengatup menahan amarah di depan mukaku, dengan senyum yang selalu tersungging untuk meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Dengan bibir yang selalu mengatakan “Ibu menyayangimu, Nak.”

Ini semua tentangmu.

Ini aku, Ibu. Dengan tangan yang tak tahu untung dimabuk teknologi, mengurusi manusia-manusia maya yang airmatanya tak pernah jatuh setetespun untukku. Sungguh, Ibu. Betapa berdosanya aku mengingat entah berapa banyak airmatamu yang jatuh tanpa pamrih di setiap bahagia pun susahku. Dengan tangan yang ringan menunjuk ke arahmu – menganggap dirimu sebagai manusia kejam yang tak henti menyuruhku ini dan itu. Sungguh, Ibu, baru aku sadar perintahmu adalah perintah-Nya yang seumur hidup tak pernah salah. Ibu, baru aku sadar semua itu menuntunku pada hidayah dan keberkahan tiada henti. Dengan bibir yang enggan membalas, “Akupun menyayangimu, Bu.” namun semudah membuang ludah mengatakan hal serupa itu pada manusia lain. Tentangmu, Ibu.

Aku menghentikan langkah untuk tertidur sejenak. Dalam pejamku, kaulah rindu yang tak pernah usai. Dalam tangisku, airmata ini, semoga akan bermuara pada bahagiamu.

Bertahanlah hingga perjalananku sampai pada tujuannya. Karena semuanya adalah tentangmu, Ibu.
Bersabar dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan
Terus-meneruslah berbuat baik, ketika di kampung dan di rantau
Jauhilah perbuatan buruk, dan ketahuilah pelakunya pasti diganjar, di dunia atau di akhirat
Bersabarlah menyongsong musibah yang terjadi dalam waktu yang mengalir 
Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impiankan tercapai
Jangan cari kemuliaan di kampung kelahiranmu
Sungguh kemulian itu ada dalam perantauan di usia muda
Singsingkan lengan baju dan bersungguh-sungguhlah menggapai impian
Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kau katakan
Karena debat kusir adalah pangkal keburukan


-Sayyid Ahmad Hasyimi-


(Ini) (Bukan) (Puisi) Aku (nya Chairil Anwar)

Aku adalah awan, yang menentang tuhan. Enggan merebak keikhlasan atas turunnya hujan.

Aku adalah tanah, yang enggan memikul beban bumi. Biarkan bumi menggenang dan semesta kalang kabut.

Aku adalah cermin, yang retak pula buram. Buang saja aku, buang.

Aku adalah tasbih, yang sebutirnya tak sempat disusun dalam selingkar tali. Terabai, diabai.

Bali

Selamat pagi Bali.

Di bawah biru langit dan kebetapaan menyengatnya cuaca. Tuntun aku menujumu Jimbaran, ajak aku menyusuri lengkung bibir itu, tenggelam di kedalaman mata itu, dengan tetap menggenggam rindu sebagai nyawa.

Atau, bimbing aku melukis wujudmu berkanvaskan langit biru, Ubud, memahat lekuk demi lekuk tubuh yang denganku dulu pernah dengan hangatnya saling memeluk.

Demi sebuah nama. Yang tak pernah kalah bertarung menghadapi bajingan bernama jarak

Selamat siang Bali.

Mari, ceritakan padaku kisahmu. Berapa banyak penyair yang lahir dari rahimmu?

Umbu Landu Paranggi. Pra Umbu, Periode Umbu (I), Periode Umbu (II)? Berpuluh.

Sebab betapapun menyengatnya cuacamu. 

Suara-suara kera dari kecak. Desir angin yang tak putus. Deru ombak tinggi-tinggi. Kursi-kursi tidur dan bule-bule berjemur di sepanjang pesisir. Ketukan si pemahat, gesekan kuas di atas kanvas si pelukis. Anak-anak subak yang dialiri air pematang sawah. 

Indahmu mampu membuat imaji mereka liar-liar, kata-kata jinak di tangan mereka. Kemudian dalam teduh rahimmu, Bali, lahirlah bayi-bayi mungil bernama puisi

Selamat sore Bali.

Kini aku sampai Kuta. Hendak merengkuh senja bulat-bulat. Berharap jingganya mampu benamkan airmata yang jatuh. Karena satu dari berpuluh anak-anakmu. Tak jua tiba di hadapanku.

Selamat malam Bali.

Dengan segenap keindahan yang kau sodorkan di depan mataku.

Pantaimu, budayamu, senimu, kau bungkus rapih dengan pita warna biru. Sampai-sampai aku haru. Bukan, bukan karena telah dicemarkan seperti kata W.S Rendra. Bukan.

Hanya, anakmu yang satu itu, penyair yang telah mengenalkan aku pada puisi dan berjanji untuk bertemu disini. Membiarkan aku merengkuh senja sendirian, lalu ia merengkuh tubuh asing bulat-bulat

Sungguh, Bali. Anakmu itu, lebih bajingan dari jarak.

23.47. Jumat, 26 Juli 2013

(Selamat ulang tahun untuk sang binatang jalang, Chairil Anwar. Memperingati hari puisi nasional, sajak ini akan saya musikalisasikan di Soundcloud :) )

Setahun

Setahun.

Sekujur tubuhku kaku.

Tapi dengan rapih ku sembunyikan.

Wujud nyata itu. Yang hanya mampu kujangkau melalui gambar dua dimensi dan teks.

Badanku kaku. Rasanya seperti orang tolol, hampir menangis.

Semua buyar, cerita yang ingin disampaikan, cerita yang ingin kudengar, tak ada sama sekali, yang ada hanya basa-basi yang benar-benar basi.

Dari luar. Senyum yang sama, bau tubuh yang sama, kebiasaan yang sama.

Dari dalam. Aku tak tahu.

Hari ini. Hari dimana rindu yang tak tahu diri ini sedikit lepas bebannya, hanya dengan memandang dari jauh.

Masih seperti dulu.

Aku kalah.

(15 Juli 2013)