Sajak Tsunami Aceh


-Kampung yang lenyap dalam semalam
Dalam perjalanan masuk menyusuri kampung kecil ini
Dimana di dalamnya ada hidup-hidup yang mengharukan
Hidup para penjahit yang tak lelah menusukkan jarum-jarum pada kain
yang terkadang pada jari
Hidup pemulung yang membiarkan kulit legam terbakar matahari
Terlihat pada mata jalan-jalan yang lenggang
Jikalau hujan mereka tenggelam
Membuat para anak-anak dengan senang hati bermain air layaknya sungai
terlupa akan nasihat orangtua mereka
Tetap kususuri
Dengan rasa gamang
Kususuri
Lalu kulihat
Sesuatu datangnya seperti gelombang
di depan mataku, di tanah yang kupijak, di atas kakiku
Sesuatu yang membuatku hampir mati rasa
Bergulung-bergulung

Gelombang hitam itu bangkit ketika gempa mengguncang hampir seperempat permukaan bumi. Gelombang itu menghapus segala kenangan, kenangan tentang kehidupan yang dijamaahkan di dalam kampung itu. Kenangan tentang kehidupan yang dibangun. Kenangan tentang sanak keluarga yang tidak berhasil menerobos gulungan ombak hitam itu. Rasa gamang muncul, mengelus-ngelus batinku. Rasa gamang kepada teriakan ketakutan, haru seorang ibu yang tak sengaja melepaskan genggaman tangan anaknya, pada berjuta langkah lari yang kalah oleh gelombang hitam itu, gamang pada gelepar tubuh yang segera terendam, pada kenaasan yang disusul hampa yang tiba setelahnya. Hampa yang gelap, mengalir lambat dan enggan.
Ditemani langit Desember, angin dan titik-titik cahaya bersatu perlahan mengantarkan kepada mereka kenangan tentang sepi yang datang setelah tsunami tujuh tahun lalu, paksaan dan kewajiban untuk meneruskan kehidupan. Untuk meneruskan kehidupan dan membiarkan kenangan menjadi empedu. Bukan karena rasa pahitnya, tapi karena fungsinya untuk mengelola kepedihan.


untuk segala yang asing dan terlanjur kucinta, tanah Aceh
Desember, 2011

When the little things can be laughed as a 'move on' action.

Ingin sedikit bercerita tentang apa yang terjadi belakangan ini.
Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini, yang ada di pikiranku hanyalah tekad untuk melepas rasa sakit. Ya, seperti kebanyakan orang bilang “move on”, aku melakukan move on itu dengan cara menertawai hidup, menertawai hidup dari hal2 kecil.
Terkadang aku menertawakan hal2 kecil yang sering membuat kebanyakan orang katanya galau. Seperti aku melihat mereka yang ramai membicarakan rencana tahun baruan. Haha melihatnya saja aku sudah tersenyum miris sendiri, aku telah membayangkan saat mereka semua bersenang2 menikmati tahun baru, aku pasti sedang duduk santai di depan TV, dan makan mi instan, miris, tapi aku tidak sendiri pasti banyak yang merasakan hal yang sama sepertiku, toss ;) Juga melihat mereka yang berlibur keluar kota, atau kemanapun, rasanya ingin juga berlibur, tapi apa daya, belum kesampaian, melihat mereka yang berlibur bersama pasangannya, sungguh sesuatu yang begitu diidam-idamkan oleh semua orang. Tapi kemudian aku sadar, bahwa aku tidak bisa seperti itu, bukan tidak mau, aku sangat, sangat mau seperti mereka, tapi kenyataannya adalah aku harus menerima bahwa papa ku masih belum pulang, mama yang sedang sakit, dan aku tidak memiliki pasangan, bagaimana mungkin aku harus bersedih dengan apa yang tidak aku miliki begitu? Ya, aku bersedih karena aku melihat ke atas, melihat mereka yang memiliki segalanya. Tapi bagaimana jika aku mengubah cara pandangku melihat ke bawah? Melihat bahwa lebih banyak lagi mereka2 yang hanya bisa duduk terpaku di rumah pada saat2 menyenangkan seperti liburan ini. Sekarang ini, aku dapat mengetahui keadaan orang2 di sekitarku dengan hanya melihat akun jejaring sosial mereka, aku sering memperhatikan timeline, dan di dalam sana ada umpatan2 kesal mereka tentang liburan yang membosankan, tentang rasa galaunya mereka saat ditegur orangtua, sms yang lama dibalas oleh sang pacar, tentang teman yang berkhianat, dan sebagainya.
Timbul pertanyaan dari mereka yang berbahagia disana:
Melihat mereka apakah aku iri? Jelas.
Apakah aku  ingin seperti mereka? Hanya orang munafik yang bilang tidak.
Apa aku harus bersedih? TIDAK
Kenapa? Untuk apa aku harus bersedih dan merasa marah, toh keadaan juga tak akan berubah. Yang bisa kulakukan hanya mengikhlaskan, mengikhlaskan diriku yang tidak bisa seperti mereka, minimal aku punya hidupku sendiri, memang tak seindah mereka, tapi apalah yang bisa kulakukan, bersenang2 sendiripun bisa membuatku bahagia, dan sadar atau tidak minimal itu dapat menjadi tabunganku untuk belajar lebih menerima hidup, karna jika suatu saat nanti aku menerima hidup yang lebih daripada ini (amin) maka rasa syukur yang ada di hatiku akan berlimpah, senyum di wajah juga lebih terkembang, dan aku akan lebih mudah merasa cukup sebab sebelum2nya hidupku diisi oleh kecukupan, cukup untuk menerima segalanya. Maka sungguh, beruntung mereka yang dari sekarang telah memiliki segalanya yang membuat mereka bahagia, membuat mereka tersenyum setiap bangun pagi, dan menjadi alasan mereka semangat untuk menjalani hidup. Terkadang aku juga ingin sempurna seperti itu, memiliki keluarga yang menyenangkan, teman2 yang banyak, kepopuleran, kekasih, dan kecukupan rezeki. Tapi aku takut saat aku kehilangan salah satunya aku akan meronta-ronta kepada Tuhan, karna telah terbiasa memiliki itu semua, maka aku cukupkanlah dengan aku yang sekarang, bersyukur Alhamdulillah aku masih punya keluarga yang lengkap dan menyenangkan, rezeki yang masih mencukupkanku rasa laparku, sekolahku, sedikit teman yang masih mengingatku, dan aku yang mandiri ini haha sedikit narsis untuk menyenangkan diri sendiri. Aku tahu aku tidak populer, tidak banyak orang yang mengenalku, tapi aku banyak mengenal orang, setidaknya aku tahu keberadaan mereka, yang tidak mengetahui bahwa aku ini ada haha. Aku tidak punya kekasih, karna memang tidak ada yang mau punya kekasih seperti aku, lebih tepatnya belum, aku yakin suatu saat nanti aku akan bertemu dengannya, siapa yang tahu dia seperti apa, mungkin kebanyakan ingin yang memiliki wajah yang tampan, dan aku adalah orang pertama yang mencibir ke arah orang yang tidak ingin punya kekasih tampan. Janganlah kita bermunafik ria, jujurlah, semua orang ingin itu. Tapi kalau memang kita tidak dipertemukan dengan yang seperti itu oleh-Nya? Apa yang dapat kita perbuat, meratapinya pun kita tak pantas, siapa tahu dia nantinya adalah laki2 yang tidak pernah membiarkan setetespun airmataku jatuh. InsyaAllah, hanya Allah SWT yg Mengetahui. Selanjutnya, aku sadar aku bukan seorang perempuan yang bisa dibilang cantik. Lagi2 aku kembali melihat kedalam dua sudut pandang itu, atas dan bawah. Jika aku melihat ke atas, ribuan, jutaan, milyaran perempuan cantik di dunia ini ada, itu membuatku harus mati2an berusaha untuk terlihat cantik juga, dan itu akan sangat merepotkanku, juga akan (lagi2) membuatku jauh dari rasa syukur, karna aku tidak mau repot, maka aku lebih memilih melihat ke bawah, dimana ada berjuta perempuan dengan kecacatan di tubuh dan wajahnya. Bagaimana aku tidak merasa cukup dengan apa yang aku miliki di wajah ini dengan melihat mereka yang seperti itu. Itu akan membuatku lebih tenang, dan jauh dari rasa gelisah karna merasa ‘tidak cantik’. Lagipula, seperti yang kebanyakan orang bilang, dan ini klise, “Cantik itu relatif, bukan?” :)
Masalahnya jika aku terus melihat ke bawah, aku tidak akan pernah maju, aku hanya akan berjalan di tempat. Maka dari itu aku gunakan pandangan itu untuk meraih mimpiku, dan jika mimpi itu sudah di dapat, pandangan yang selalu lihat ke bawah akan menyelamatkan kita menjalani hidup selanjutnya. Percayalah :)

Jadi ya beginilah, ini sudah di penghujung 2011, tahun yang kurasa cukup memberiku banyak pelajaran tentang hidup dan airmata. Untuk tahun depan, sama seperti semua orang, aku hanya berharap dapat lebih baik dari tahun sebelumnya, Amin...

Cinta, Kenangan dan Hal-hal yang Belum Selesai (CKHBS)

Cinta
Dini melangkah dengan gontai ke taman tempat ia biasa menyendiri, dengan membawa buku catatan kecil yang selalu ia tulisi dengan apa saja yang sedang terlintas di pikirannya, masih dengan seragam dan tas sekolah. Ia duduk di salah satu bangku taman itu dan mulai menulis. Sejenak segalanya terlihat sempurna, seorang gadis berseragam SMA sedang duduk manis di salah satu bangku taman dengan rambut yang tergerai menulis di  atas kertas. Sebuah pemandangan yang sulit sekali ditemukan di tengah kesibukan kota Surabaya.
Hujan sanggup menganologikan air mataku yang tidak dapat terjatuh saat ini
Tapi bagaimana?
Hujan pun tak mau menemaniku sekarang ini
Kamu dimana?
Sepenggal puisi tertulis dari tangan Dini ke dalam buku catatan itu, dengan mata yang berkaca-kaca, hampir menangis. Tanpa ia sadari ada seseorang dari jauh yang tengah memotret sosoknya. Tak lama pria itu menghampiri Dini, dan langsung duduk di sebelahnya.
Untuk beberapa saat Dini tidak begitu memperhatikan pria di sebelahnya, saat Dini menoleh, pria itu tersenyum.
“Hai.” sapa Adit sambil tersenyum.
Dini segera menyeka airmatanya, lalu tersenyum juga untuk membalas sapaan Adit.
“Maaf aku ganggu kamu ya, ndak usah diusep aku tau kok adek mau nangis, aku sering motret disini, sering juga nggak sengaja ngeliat kamu.” Adit membuka pembicaraan dengan logat Jawanya yang sangat kental.
“Oh nggak kok nggak papa.” Dini mencoba ramah dan tersenyum lagi, sejujurnya Dini tidak begitu suka dengan orang asing seperti ini, ia lebih suka menyendiri disini, dan lagi ia merasa sedikit takut.
“Jangan takut lo dek, aku bukan orang jahat hehe. Pasti kamu mikirnya gitu ya?” Adit mencoba mencairkan suasana dan membaca pikiran Dini. Dan tanpa sengaja Dini tertawa dibuatnya. “Bagaimana mungkin pria ini bisa membuatku tertawa hanya dengan kalimat yang pas dengan hatiku ini?” batin Dini.
Adit memperkenalkan diri pada Dini, ia seorang mahasiswa kedokteran yang sedang menginjak semester enam, Adit juga bekerja pada sebuah kantor redaksi koran lokal di kota Surabaya sebagai editor, sangat jauh dari pendidikan yang sedang ia jalani sekarang. Adit orang Surabaya asli sehingga logat Jawa tidak bisa dilepaskan dari bicaranya. Ia memiliki senyum yang dapat menyejukkan hati setiap orang yang melihatnya. Saat ia tersenyum alis matanya ikut sedikit menurun sehingga menimbulkan kesan teduh, penampilannya rapi, rambutnya tiga sisir dengan jambang yang sedikit panjang. Kumis tipis dan kulit kuning langsat menghiasi wajah Jawanya. Seorang pria yang tidak tampan, sederhana, tetapi sangat menyenangkan untuk dilihat.
“Wess kok melamun dek?” tanya Adit membuyarkan pikiran Dini yang tanpa sadar memikirkan penampilan pria di depannya itu.
“Eh nggak kok, maaf. Iya salam kenal mas Adit, aku Dini.”
“Sekolah di mana dek? Kelas berapa?” tanya Adit.
“Di SMAN 108 kelas dua belas, udah mau tamat hehe.” tiba-tiba Dini merasa nyaman berbincang dengan Adit. Seakan melupakan perasaannya saat ini, Dini pun terbawa dengan keramahan dan obrolan dari Adit yang menyenangkan, ia lupa pada airmatanya tadi, ia tertawa. Mereka seperti sudah akrab sekali.
Tak terasa perkenalan singkat itu membuat mereka berbincang selama satu setengah jam, hari sudah senja. Dini pamit pulang pada Adit.
Di perjalanan pulang, di angkutan kota Dini tak henti-hentinya membayangkan senyum Adit yang tak henti tersungging saat mengobrol dengannya. Dini membuka catatan kecilnya, dan mulai menulis, dimanapun ia bisa, Dini selalu menulisi apa yang sedang ia rasakan ke dalam tulisan.
Sore ini
Sebelum senja aku bertemu dengan sebuah bintang yang terlihat terang
Aku mendekatinya
Ternyata ia bukan hanya sekedar terang
Ia begitu menyejukkan
Bintangku yang jauh di sana
Sejenak
Bayangmu hilang
Dini kembali menangis, ia sangat merindukan bintang yang jauh disana itu.
Sementara sambil mengendarai motor menuju kampus, Adit meratapi kebodohannya mengapa ia tidak meminta nomor telepon gadis itu. Adit sering melihatnya duduk sendirian di taman itu, tapi baru hari ini ia berani mendatangi Dini, dan dengan bodohnya ia lupa bertanya nomor teleponnya. “Apa kita bisa bertemu lagi? Apa sama lagi nantinya seperti tadi.” batinnya dalam hati. Hari itu, semesta menyaksikan seorang pemuda sedang jatuh cinta.
***
Kenangan
Fandi
“Jadi ini yang terakhir, jadi aku maunya ketawa terus.” kata Dini pada Fandi.
“Siapa bilang? Kita masih bisa kaya gini lagi kok.” Fandi menatap Dini.
Dini tak mampu menatap mata Fandi, ia tidak ingin menunjukkan betapa hancurnya perasaannya saat itu. Jadi yang dapat ia lakukan hanya mencoba selalu tertawa, dan menatap ke sekeliling taman.
“Nggak nggak mungkin bisa. Aku nggak yakin walaupun aku ingin.” Dini mencoba tersenyum. “Fan, hati perempuan itu rapuh, jangan sampai ia tersakiti karena percaya atau nggak, perjuangan untuk nyembuhin luka itu bakalan lama dan lebih sakit dari luka itu sendiri. Kamu ngerti kenapa aku ngomong kaya gini kan?” ia melanjutkan.
Fandi hanya mengangguk, itu adalah pertemuan terakhir mereka sebagai dua orang yang saling mencintai, sebagai dua orang yang pernah saling merindukan.
Tetapi semua yang mereka jalani tidak biasa, tanpa kejelasan, hubungan mereka tidak pernah dimulai, sebab itulah untuk mengakhirinya adalah sebuah kejanggalan, dan tidak pernah terlaksana saat Fandi bertemu dengan Naya, dan langsung pergi begitu saja dari Dini. Dini merasa bingung, ia tak tahu apa yang harus ia perbuat sedangkan ia bukanlah siapa-siapa Fandi, ia hanya perempuan yang jatuh terlalu dalam pada Fandi tanpa ia tahu betapa menyedihkan sakit yang ia terima dengan hubungan yang tak berujung ini, ia tidak dapat marah, menuntut dan menyalahkan Fandi, karna ia tak memiliki hak sama sekali. Telah banyak kenangan yang mereka lewati.
Lalu segalanya barjalan begitu saja, Dini jarang berjumpa dengan Fandi lagi, dan Dini pun tidak ingin, meski ia begitu merindukan Fandi. Dini tidak pernah mampu menghapus perasaan itu, dan entah mengapa ia tak mau. Dan yang hanya bisa ia lakukan hanya menjalani hidupnya dengan kehampaan, sendiri dan menutup diri ke banyak orang. Ia seperti tidak bersemangat menghadapi hidupnya lagi. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, masih menyimpan harapan. Juga mimpi.
Hidup terus berjalan, ia yang kita cintai akan pergi meninggalkan kita. Tetapi kenangan akan tinggal selamanya.
-
Adit
Dini sedang duduk di taman itu lagi, saat waktu senggang ia suka menghabiskan waktu di taman ini. Kali ini ia tidak memegangi buku catatan kecilnya, ia hanya memandang sekeliling taman.
“Nyariin aku yo dek?” tiba-tiba suara seseorang mengagetkannya dari belakang.
Dini terbelalak, ia tidak percaya bahwa itu Adit. Ya, memang tujuan Dini datang ke taman hari ini adalah untuk bertemu Adit, kalau-kalau kebetulan Adit juga sedang berkunjung lagi ke sini.
“Eh apaan sih, ndak kok.” dan tanpa sadar Dini telah sedikit terpengaruh logat Jawa Adit yang khas, pipi Dini berubah semerah tomat.
“Walah itu kok ngomongnya udah macem aku dek? Jangan-jangan betulan ini kamu memang nyariin aku, apa mikirin aku? Hehehe.”
Entah kenapa mereka berdua seperti dua orang yang sudah berkenalan lama sebelumnya, padahal ini baru pertemuan mereka yang kedua, itupun secara tidak sengaja. Mereka tertawa bebarengan.
“Ndak sekolah?” tanya Adit.
“Sekolah mas, tapi sempet pulang ke rumah tadi buat ganti baju terus ke sini. Mas sendiri nggak kerja? Masih jam tiga ini.” Dini masih ingat saat perkenalan pertama mereka, Adit mengatakan bahwa ia bekerja dari pagi hingga sore pukul empat, lalu melanjutkan kuliah pada malam hari.
“Wah inget kamu dek, kaget toh aku. Udah kayak kenal lama aja yo haha.” terdengar tawa Adit yang selalu sukses membuat Dini ikut tertawa kecil. “Hari ini memang sengaja pulang agak cepet dek, kukejer iku kerjaan biar cepet selesai, lagi agak ndak enak hati jadi pengen kesini cepet-cepet.” padahal Adit hanya tidak sabar untuk mencari sosok Dini lagi di taman ini. Dan semesta mengizinkan mereka bertemu.
“Nggak enak hati kenapa mas? Wah sama dong.” baru kali ini Dini berhasil terbuka akan perasaannya kepada seseorang, aneh pikirnya, Adit benar-benar seperti merubahnya dalam sebuah pertemuan singkat.
“Tiba-tiba aja gini, kalo kamu ndak enak hati kenapa cah ayu?” Adit mencoba untuk mengenal Dini lebih jauh.
“Sama juga, tiba-tiba mas.” jawab Dini yang seolah kembali menutup diri.
Adit tiba-tiba teringat penyesalannya yang tidak sempat meminta nomor telepon Dini untuk lebih dekat dengannya semalam.
“Dek boleh minta nomor kamu ndak? Aku liat kamu suka nulis, manatau nanti ada kerjaan atau magang gitu buat kamu di kantor aku, aku bisa nawarin kamu.”
“Bilang aja mau gangguin aku tiap malem.” Dini bercanda, lalu langsung memasukkan nomor teleponnya ke telepon genggam Adit.
Dan mereka menghabiskan sore itu dengan mengobrol lagi hingga tak terasa senja turun, membentuk jingga.
***
Pesan-pesan singkat dari Adit.
“Walah ndug, pelajaran SMA ndak inget2 lg aku dek.”
“Belon, ni baru nympe rumah non. Kok bangun jam segini? Seng nmenin kunti manggung? Wkwk.”
“Wong cilik jam segini males bobok, bsk sekolah toh. Aku tidur km jg tidur, harus kompak pokoke, toss dulu...”
“Selama kenal aku tidurmu musti tratur lho yo dek, jgn sering bgadang.”
“Yg jelas km satu2nya yg nularin aku banyak hal :) ”
“Ayukk kalo mau curhat monggo, aku bkal jd pndengar yang baik kok.”
“Tiga kali? Aiss pdhal mau tak ajak makan, tp yauwiss kapan2 aja.”
“Walah tak kira wes tidur, smsku ndak dbalas semua.”
“Suka namane tok? Orgnya ndak? Hhehe ngarep iki.”
“Nduut, mau tak ajak makan? Mumpung lg dket rumahmu.”
“Mau cerita apa lagi kamunya?”
“Lg sibuk ndak? Mau tak telpun ga?”
“Kan yg penting ndak pindah hati ndut :) “
“Selamat pagi syg, mav smlm ketiduran jd ngak bisa nmenin.”
“Uda sampe ruma ini non, masi baca buku? Jgn tidur malem2 lho ya, awas nanti tak tuktuk.”
“Good morning, *cium kening dulu*. Aku tak kerja dulu ye, agak berlimpah kerjaanne hari ini.”
 “Aku ngelembur lagi, jgn lupa makan ya syg.”
“Tidur dek? Pengen ndang ketemu, di mimpi aja kali ya :p selamat tidur.”
“Lg dimana? Ntar jam 7 an makan yuk non.”
“Mav ya dek, aku tau km gak suka kaya gini tp tlg sementara ngerti ya dek :) “
“I’m home :) kangen ndutku rekk :( “

Dan Adit menjadi orang yang begitu berarti di hidup Dini kini, perlahan Dini mulai bisa melupakan Fandi, tapi tak seutuhnya, Adit pun tau itu. Adit berusaha menjadi apapun yang membuat Dini bahagia. Satu hari mereka bertemu lagi di taman itu, Adit berkata kepada Dini untuk menggenggam balik tangannya jika Dini mau menjadi orang yang penting untuk Adit, Dini masih menggenggam harapan pada Fandi, tetapi Adit dengan sungguh-sungguh menunjukkan besarnya perjuangannya untuk membuat hari-hari Dini lebih berarti, maka Dini pun menyambut tangan itu dengan ragu.

Hal-hal yang Belum Selesai
“Mas, ini kuping aku yang kekecilan atau earphone yang kamu kasih ini kegedean toh?” Tanya Dini sambil daritadi membetulkan earphone biru itu dengan gemas karena tidak bisa menyangkut pada telinga kanannya.
“Haha, iku bisa dipake ke semua ukuran kuping toh dek, ya dicoba lagi manatau kamu makenya yang salah ndak?” Adit berusaha menahan tawa mendengar tingkah Dini.
“Oh udah, udah mas. Udah bisa ini, makasih loh earphonenya. Aku suka banget, apalagi warnanya, biru.” Dini tidak mampu menyembunyikan kebahagiaannya mendapat hadiah kecil dari Adit. Ini bukan hari yang spesial bagi Dini, tapi seperti itulah Adit, selalu memberikan kejutan-kejutan kecil untuk Dini. Sudah sekitar lima bulan sejak Dini membalas ajakan tangan Adit untuk menyembuhkan luka di hati Dini, di taman itu.
“Mas, nanti aku mau belanja sama mama, beli baju baru hehe.” sambung Dini di telepon.
“Walah yang mau ke Jogja nih yee.”
“Hehe, ikut tak?” tanya Dini. Ia tidak tahu di seberang telepon sana Adit hampir meneteskan air mata, “Tugas aku ngebahagiain kamu mungkin juga sedikit lagi selesai disini, dek.” lirihnya dalam hati. Tak menjawab pertanyaan Dini.
“Mas.” panggil Dini.
“Hah, iya, iya dek?” Adit tersentak dari lamunannya.
“Ikut tak? Belanja nanti. Temenin aku juga, kangen ini.”
“Aih maaf ndut ndak bisa, aku ngelembur lagi, ngelembur jaya sayang. Hehe kangen ndutku juga rekk.” canda Adit untuk menutupi kesedihannya.
“Ohyauwiss, nggak apa-apa kok. Hehe, yaudah aku mau mandi dulu ya, doain selamat di jalan nanti aku bawa motor gonceng mama sama seubrek belanjaan pasti ini mas.”
“Oh ancene, yauwiss. Hati-hati di jalan, ojo lupa ngriting sebelum belokkan. Awas kalo lupa, tak kriting nanti rambutmu dek. Jangan lupa makan.” tutup Adit.
“Iya mas. Kamu juga, daah.” Dini langsung menutup telepon dan bergegas ke kamar mandi.

***

Sementara di kantornya, Adit menerawang jauh mengingat seluruh kenangannya bersama Dini, ia begitu menyayangi Dini, sudah sekitar lima bulan ia menjaga dan memperindah hari-hari Dini, membantu Dini untuk tersenyum kembali dari keterpurukannya. Tak peduli seberapa sering Dini masih saja suka mengingat masa lalunya dengan menangis tiba-tiba dihadapannya, Adit tetap bertahan.
***
Fandi & Adit
“Jadi selama ini kamu beneran cinta sama Dini? Fandi meninggikan suaranya.
“Kamu kira lima bulan aku nemenin dia ndak buat dikitpun perasaan ke dia nimbul toh Fan? Malah dari pertama kamu nyuruh aku deketin dia toh aku udah cinta sama dia. Jadi maap yo Dit, aku ndak bisa ninggalin dia kaya yang udah aku janjiin. Aku yang udah jaga dia. Maap aku nyembunyiin semuanya selama ini.” Adit berusaha tetap tenang.
Bagaimana kamu bisa mengakhiri sebuah hubungan yang bahkan tidak pernah dimulai?
Tamat


Tentang CKHBS

Jadi begini, CKHBS ini sebuah project novel mini yang iseng2 saya buat untuk insyaAllah (kalo Allah SWT mengizinkan dan saya nggak males hhe) dipanjangin jadi sebuah novel. Nah, berhubung masih pemula buat sebuah cerita bersambung semacam novel beginian, ide ceritanya masih stuck disitusitu aja, nggak berkembang dan nggak layak buat dijadiin satu novel. Nah, terpikirlah untuk buat semacam novel mini beginian (ngusep2 mata yg udah ngantuk hoam) bagi yang udah baca cerita ini diharap kesediaannya untuk ngasih ide gimana caranya cerita yang nggak seberapa ini yang ngabisin waktu yang lumayan lama dan cuma dapet 7 halaman A4 bisa sampai minimal 80 halaman dan terbentuklah sebuah novel. Ohya nanti juga judulnya bukan ini,  dikarenakan terlalu panjang dan masih minjem judul dari kak @ sajakcinta. Boleh diubah dari sisi manapun, kasih sarannya lewat apa aja boleh. Anyone? :)
Thanks...

"You see it moves, but actually it stays still and goes but no where. Just like myself."
-Fatima Alkaff-


"No, I don't want to be without you, Bella, of course not. Be rational. And I have no problem with saving you, either — if it weren't for the fact that I was the one putting you in danger… that I'm the reason that you're here." -Edward Cullen
"You are my life. You're the only thing it would hurt me to lose." -Bella Swan


"Sleep, my Bella. Dream happy dreams. You are the only one who has ever touched my heart. It will always be yours. Sleep, my only love."
-Edward Cullen-

(Oke, lanjut ngerjain project CKHBS lagi. Ohya, have a great christmast to you all who celebrate it :) salam senyuum)
"Allah menguji keikhlasan dalam kesendirian. Allah memberikan kedewasaan ketika masalah-masalah berdatangan. Allah melatih ketegaran dalam kesakitan. Tidak mengapa ujian seberapa sering dalam kehidupan kita, sebab itu bukti cinta-Nya. Yang terpenting, pastikan hati tetap tegar menghadapi karena kita hadir untuk berjuang, bukan untuk menyerah."

Pesan Tak Terkirim Buat Fach II


Tuhan tidak akan memberikan cobaan diatas kemampuan hambanya...

Kamis...

08.10
“Selamat pagi Kamis, jadilah hari yang manis. Heei, selamat hari ibu :) “
Aku meminjam telepon genggam mama untuk mengetik kicauan singkat ini di twitter ku, dengan penuh harapan hari ini aku dapat bertemu kamu, walaupun hanya melihat dari jauh dan kamu tak mengacuhkanku, tak apa, aku hanya rindu, Fach. Sungguh, terkadang aku masih mengutuki dirku sendiri yang masih berani-beraninya menyimpan semua rindu ini, padahal ini begitu sakit, sakit sekali. Padahal kamu telah memberikan rasa sakit yang teramat sangat pada semua indraku, mata, telinga, dan hatiku. Entahlah, kala subuh pun aku berdoa agar hari ini menjadi hari yang indah.
Aku baru saja mencium, memeluk dan mengucapkan selamat hari ibu pada mama. Bagaimana dengan kamu disana, Fach?

12.00
Hatiku berdegup kencang. Demi apapun, kakiku melemah. Aku melihat kamu disana, kamu ingat waktu dulu saat tanpa sengaja kita memakai warna pakaian yang serasi? Seakan hari itu terulang lagi sekarang. Tapi saat ini aku teringat waktu kita di taman itu, memakai pakaian ini juga.
Di dekatmu, berbincang sebentar, sungguh aku begitu bahagia. Sudah lama aku tidak mendengar suara itu lagi berbicara padaku, dan memandangmu dari dekat lagi. Jantungku rasanya mau copot saja, kakiku masih bergetar, dadaku tak henti-henti bergemuruh.
Fach, perasaan ini tak pernah berubah, selalu seperti ini saat di hadapanmu. Aku tak tahu apakah aku lihai menyembunyikan semuanya.
Apa kabar?

13.12
- Mushola
Ini terdengar aneh, tapi ini yang kukatakan dalam hati sekarang, Fach.
“Seandainya suatu saat nanti kamu yang sedang bersujud disana dapat menjadi imamku.”
Maaf, Fach. Aku cuma bercanda, kamu pun juga tak akan bersedia, aku tahu.

13.25
Kamu lucu sekali. Aku rindu makan bersama denganmu di meja makan rumah, Fach.

14.26
Bisakah detik ini kuhentikan? Hanya untuk melihat tawamu ini dari dekat, lagi-dan lagi.

14.57
Bolehkah aku di dekatnya lagi? Menanyakan kabar saja. Tidak, tidak boleh. Sudah tidak boleh lagi.

15.40
Angkutan kota.
Fach, aku pulang ya. Daripada aku membuat masalah lagi, daripada menangis di sana, daripada harus menahan sesak dan sakit lagi. Semoga kalian bersenang-senang.
Tuhan, ternyata ini hari yang indah itu. Ternyata indah itu seperti ini yang Engkau berikan. Cobaan lagi, ternyata sampai detik ini juga cobaan tak henti, Tuhan.

16.34
Aku ke taman ini lagi, Fach. Saat aku sedih, aku suka berkunjung ke sini, sendirian.
Aku memakai kacamata, untung aku membawanya. Sekedar menutupi tangis yang tak henti-hentinya tumpah sedari tadi, sambil melihat ke lapangan voli. Kalau dadaku tak sesak aku pasti sudah ikut dengan mereka bermain, tapi mungkin lain kali, tidak sekarang, aku masih terasa begitu hancur, lagi, yang entah keberapa kali, karenamu.

17.50
Aku tahu ini terdengar bodoh, tapi aku duduk hampir dua jam sendiri di sini. Dan di pikiranku berandai-andai. Andai saja kamu menepuk pundakku dari belakang di sini. Andai saja kamu menghapus airmata ini. Andai saja.

18.11
Aku pulang. Fach, besok hasil dari perjuangan yang kita janjikan dulu untuk 6 bulan ini akan keluar. Kamu bagaimana ya, aku bagaimana ya. Apa aku bisa tahu hasilmu nanti, apa kamu bisa tahu hasilku nanti. Mungkin kamu tidak akan tahu dan tidak mau tahu. Aku hanya berharap semoga kita mendapatkan yang terbaik.

Jumat...

11.40
Aku ini mau jadi apa?
Hah!
Bodoh, aku orang paling bodoh di dunia
Mati saja sudah
Hanya bisa menyusahkan, membuat kecewa, menghabiskan uang, sakit-sakitan
Tuhan
Cobaan ini masih terus berlanjut
Padahal aku sudah mati-matian berjuang
Tawakal bukan pasrah
Tapi
Adakah bahagia?
Sedikit saja, untukku, Tuhan
(Mama, papa, maafkan aku...)

12.10
Aku ingin lenyap saja dari dunia ini, aku begitu terpuruk, tapi aku masih ingin berjuang, Fach. Bagaimana kamu sekarang disana?

19.13
Hanya empat kata pesanmu membuatku tak lepas memandangi layar telepon genggam semalaman. Semudah ini kamu muncul lagi? Lalu apa? Setelah aku membalasnya, kamu pasti akan meninggalkanku lagi. Lalu aku mengambil secarik kertas. Kutulisi, mungkin ini adalah segala yang tak mampu kuungkapkan saat ini, Fach. Untuk kamu yang sangat kubutuhkan.
Aku membencimu...
Aku ingin melangkah mundur sambil memberimu tepuk tangan. Kamu hebat. Ini panggungmu, tempatmu lihai bersandiwara. Aku membencimu.

Terima kasih, sekarang aku harus bagaimana? Kenyataannya ternyata, kamu hanya berpura-pura peduli. Lalu apa, setelah nanti aku bercerita denganmu lagi, kamu menghilang lagi, seperti biasa, yang selalu membuat luka baru di hatiku. Aku membencimu.

Kemana saja kamu selama ini? Selama cobaan tak henti-hentinya datang padaku, bahkan hingga detik ini pun juga. Aku membutuhkanmu, setidaknya membagi semua beban seperti dulu. Sekarang aku tak mengenalmu lagi seakan kamu adalah orang yang kutakuti, asing, jauh. Aku merindukan sederhananya kamu. Aku membencimu.

Aku sangat merindukanmu. Tapi aku membencimu.
Aku mencintaimu. Tapi aku membencimu.

Aku membencimu. Tapi aku mencintaimu.

21.35
Aku ingin tidur cepat malam ini, untuk mengakhiri hari ini. Entahlah, saat ini rasanya aku adalah orang paling hancur di dunia.

***

Desember ini benar-benar memberikanku kehancuran yang bertubi-tubi, Fach. Hujan selalu mengguyur kota yang kita pijak ini setiap hari. Andai masih ada kamu yang dulu, ingin sekali rasanya aku melewati libur panjang ini denganmu, sehari saja pun tak apa, aku ingin bercerita, banyak sekali yang ingin kuceritakan. Tapi tidak mungkin, tidak boleh, dan sudahlah. Aku akan rindu kamu. Fach, selamat liburan, bersama siapapun kamu. Semoga kamu bersenang-senang. Aku merindukanmu, selalu.

Reamapu

[ Aku ]
Ada sesuatu yang hilang. Di sini, di dalam relung hatiku ada satu ruang kosong tak berpenghuni. Sepi, berdebu, bahkan sang lelaba kecil pun takkan mau bersarang pada sudut-sudutnya.
Aku tahu apa yang hilang dari diriku. Aku mengenalnya lebih dari siapapun.
Kamu.
Yang hilang itu kamu. Kamu yang mulai memudar di dalam pikiranku, tapi kembali muncul sebagai serangan kenangan membabi buta tiap kali aku merasakan rindu yang brengsek.
Kamu.
Kamu yang selalu berhasil membuat hatiku mengejang tiap malam. Kamu yang berhasil membuatku meringkuk menahan sakit yang lebih sakit daripada kematian yang dekat. Kamu seseorang yang pergi, yang telah berhasil mencabik lalu merampas sisa-sisa rasa dan asaku yang pernah ada lalu membuangnya entah di mana.
Kamu.
Kamu adalah ‘kamu’ yang paling sering aku mohonkan kebahagiaanya pada Tuhan. Kamu adalah kata yang selalu terselip dengan indah tiap kali aku melafalkan doa-doa yang khusyuk. Kamu yang takkan pernah tahu betapa seringnya aku memohon agar kelak bisa kembali berputar.
Kamu adalah yang aku mau dengan teramat sangat. Kamu adalah yang mengerak sampai ke saraf otakku dan menyebar virus mematikan di sana. Kamu adalah penyakit yang menggerogotiku dengan cara yang indah, yang membuatku merelakan hidupku kapan saja Tuhan ingin mengambilnya kembali.
Kamu adalah pencipta rindu yang sangat ingin aku bunuh. Kamu adalah pencetus cinta yang rapuh, tanpa daya dan harapan. Kamu adalah satu- satunya yang mampu membuatku ingin menyerah dan berjuang di saat yang sama. Kamu adalah pengendali atas hati dan pikiranku yang sudah tinggal serpihan dan penuh luka sayat. Kamu, adalah dia. Dan dia, adalah orang yang sangat aku cintai. —
Hari ini adalah pengumuman kelulusan. Beberapa jam lagi aku akan mengetahui apakah perjuanganku menempuh ujian selama beberapa hari itu berhasil, atau tidak. Hatiku berdegup keras saat aku tiba di tempat acara, sebuah gedung yang amat sangat megah yang telah disewa oleh pihak panitia untuk menyelenggarakan acara ini.
Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Dan kini aku sadar, degup jantungku semakin cepat. Kali ini bukan karena gugup menanti pengumuman, tapi karena beberapa detik yang lalu aku baru saja menangkap sosokmu yang lewat dengan santainya tepat di depan wajahku. Jantungku tidak lagi berdetak. Jantungku sudah berhenti berdegup. Aku menahan napasku sementara dari sudut mataku aku diam-diam mengamati tiap langkah kakimu menuju sudut ruangan itu. Hari ini kamu terlihat tampan— sama seperti biasanya—tapi kali ini lebih memikat. Kamu memakai jas hitam dengan kemeja putih gading sebagai lapisan dalamnya. Sepatu converse hitam dan kacamata khas dirimu.
Kamu terlihat sedang berbincang-bincang dengan teman-temanmu saat aku perlahan-lahan berjalan mendekat ke arahmu, sedikit berharap bisa menarik perhatianmu. Aku sudah semakin dekat dengan tempatmu. Aku juga merasa kalau dari sudut matamu kamu sedikit-sedikit mencuri pandang ke arahku. Ah, tidak mungkin, ini pasti cuma khayalanku saja. Tapi kemudian, saat aku hanya tinggal berjarak beberapa senti lagi, seseorang memanggilku. Temanku memanggilku dan mengajakku untuk segera masuk ke dalam ruangan.
Aku menurut, dan beringsut masuk ke dalam. Aku tahu aku bodoh. Buat apa aku mendekatimu? Apa yang akan aku bicarakan saat kita sudah bertatap muka? Kata-kata perpisahan? Tapi bukankah kita memang sudah berpisah sejak setahun yang lalu? Aku berpikir getir sambil memaki diriku sendiri. Ini hari terakhir aku bisa melihat dan mendengar suaramu. Besok aku sudah mulai sibuk mempersiapkan kepindahanku ke luar kota. Apa yang harus aku lakukan? Aku masih mencintaimu. Aku ingin mengutarakan perasaanku ini padamu. Perasaan yang sudah membusuk di dalam dadaku selama setahun bahkan setelah kita tidak lagi bersama- sama. Ah, mungkin sebaiknya tidak usah. Aku tidak mau menganggumu. Lagipula bukankah kau sudah mempunyai kekasih? Bodohnya aku masih saja berharap kalau nantinya kamu bisa kembali lagi padaku.
Tentunya itu tidak mungkin kan? Aku cuma sepotong debu masa lalu yang tidak ada artinya lagi buatmu. Aku tersenyum getir. Rasanya air mataku sudah mau tumpah. — ‘Aku lulus!’ Aku berteriak dalam hati. Ah, betapa senangnya. Rasanya perjuanganku selama tiga tahun ini tidaklah sia-sia. Dalam keramaian dan hiruk pikuk semua orang aku mencari-cari sosok dirimu. Kamu di sana, bersama teman- temanmu. Kamu tertawa bahagia juga disana. Kamu juga berhasil, sama sepertiku. Aku turut senang melihat kebahagiaanmu. Aku tersenyum saat melihatmu memeluk-meluk salah satu temanmu yang bertubuh gemuk saking gemasnya karena berhasil. Kamu lucu sekali, aku suka melihat caramu tertawa. Ah, sungguh, aku begitu jatuh cinta padamu.
DEG!
Aku tertegun saat tiba-tiba kamu menoleh ke arahku dan pandangan kita berdua secara tidak sengaja bertemu. Senyum yang sebelumnya terpahat di wajahku tiba-tiba menghilang. Sudah sepuluh detik, dan kita bahkan belum saling membuang muka. Pandangan kita masih saling tertuju satu sama lain. Ini satu-satunya kesempatan. Pikirku getir. Aku harus berbicara denganmu, empat mata. Aku merogoh tasku dan meraih secarik kertas yang sudah aku tulisi dari sejak semalam. Ini surat terakhirku untukmu, yang terakhir sebelum aku pergi. Aku membuka mulutku, kemudian menggerakannya tanpa suara. Dengan bantuan tanganku aku memberimu isyarat untuk memintamu keluar dari ruangan yang besar ini.
Kamu mengangguk sekali, kemudian melangkah menuju keluar. Ekspresi wajahmu mengeras, aku tidak tahu kenapa. “Sekarang, atau tidak sama sekali.” –

[ Dia ]
Aku merasa hampa. Selama setahun ini hidupku selalu terasa biasa dan tidak berwarna sama sekali. Rasanya seperti aku sudah kehilangan sesuatu yang sangat penting. Dan aku begitu menginginkannya kembali, entah bagaimana caranya walau aku tahu itu tidak mungkin.
Kamu.
Aku sudah kehilangan kamu. Kamu yang selalu hadir dalam tiap mimpi-mimpiku. Kamu yang selalu aku inginkan dengan sangat untuk menjadi bagian dari masa depanku kelak. Kamuyang aku cintai dengan teramat sangat.
Kamu.
Kamu yang selalu berhasil membuatku terlihat seperti pembuat dosa paling besar yang seakan sudah tidak diperbolehkan lagi memohon ampun. Kamu yang selalu membuatku terlihat seperti orang dungu karena selalu langsung membuang wajahku jauh-jauh tiap kali pandangan kita beradu. Kamu. Kamu yang berhasil membuatku kesepian setiap malam datang menerjang, menyerang.
Demi Tuhan aku masih mencintaimu. Aku selalu mengutuki kebodohanku kenapa waktu itu aku meninggalkanmu padahal aku yakin kita masih sanggup melalui semuanya bersama- sama, seperti yang pernah aku janjikan padamu. Maaf aku terlihat seperti tidak menepati janjiku, maafkan aku.
Aku benci mengatakannya, tapi aku selalu cemburu padamu. Aku cemburu padamu yang terlihat senang seperti tidak terpengaruh dengan apa pun. Kamu terlihat bahagia, sementara aku? Dalam hatiku aku sangatlah remuk. Kamu membuatku percaya pada mimpi-mimpi dan buaian khayalan yang selalu terdengar indah. Aku tahu ini bukan salahmu. Akulah yang kelewat brengsek sudah membiarkanmu terluka saat aku mengeluarkan keputusan bodoh itu, malam itu.
Demi Tuhan, sekali lagi, seandainya aku sanggup mengatakan ini langsung padamu, aku masih terus mencintaimu. Maafkan aku dan caraku mencintaimu yang bodoh.
Aku tertegun saat melihat dirimu datang dengan anggunnya. Hari ini kamu begitu cantik. Hari ini kamu sangatlah indah di mataku, lebih dari yang biasanya.
Tubuhku bergetar. Aku tidak mau berada terlalu dekat denganmu. Aku takut hatiku tidak akan kuat. Dengan setengah geram aku melangkahkan kakiku untuk menuju ke sudut ruangan. Bodoh sekali aku masih bisa merasakan perasaan bodoh ini. Untuk apa aku masih mempertahankan rasa ini? Untuk menyakitimu lagi di lain hari? Pikiranku makin tidak karuan. Untung saja di sudut ruangan sana ada banyak teman- temanku yang sedang berkumpul.  Aku yakin aku akan bisa lebih rileks jika aku ikut bergabung dengan mereka.
Aku tertegun saat ternyata kamu juga berjalan menuju ke tempat di mana kakiku akan melangkah. Kita akan berpapasan, aku tahu itu. Aku ingin sekali menjauh, tapi tidak mungkin. Itu akan membuatku terlihat seperti menolak kehadiranmu. Aku tidak mau kamu berpikir seperti itu. Jadi dengan terpaksa, aku tetap meneruskan derap langkahku.
Kamu berhenti melangkah, saat aku lewat di hadapanmu. Aku menggeram tertahan. Aroma tubuhmu sungguh sangat menggoda imanku. Jika saja aku tidak bisa menahan diri, pastilah aku sudah dari tadi menarik tubuhmu mungilmu ke dalam rengkuhanku.
Aku tidak berani menoleh ke arahmu dan menatapmu. Aku takut aku akan segera luluh saat menatap kedua bola matamu. Jadilah aku berwajah tegang seperti ini. Aku yakin pasti di matamu aku terlihat menyeramkan dan aku yakin kamu tidak menyukainya. Maafkan aku, aku hanya bisa berjuang sejauh ini untuk tidak menyakiti hatimu lagi.
Aku masih tetap tidak berani menoleh ke arahmu bahkan setelah aku sudah berkumpul dengan teman-temanku. Aku takut. Sekali lagi, aku takut melihat wajahmu yang selama setahun ini masih terus merasuk dan memperindah mimpi- mimpiku.
Tak berapa lama aku menyadari kalau kamu mendekat ke arahku. Aku tidak sengaja melihatmu dari sudut mataku. Apa yang sedang kamu lakukan? Jangan. Jangan mendekat ke sini. Aku takut akan melukaimu. Aku tidak ingin melihatmu menangis lagi seperti pada waktu hari itu.
Kemudian kamu pun berhenti. Sepertinya kamu sudah mengurungkan niatmu —apa pun yang tadi kamu sempat pikir akan kamu lakukan. Aku pun menghela napas lega. Maafkan aku yang pengecut ini. Maafkan aku tidak berani mengakui yang sebenarnya dan malah melarikan diri dengan perasaan baru yang aku coba bangun bersama perempuan lain. Maafkan aku.
 Aku masih mencintaimu. Sangat mencintaimu. Cuma kamu, hanya kamu, satu-satunya. — ‘Yeah! Lulus!’ Aku berteriak kencang sekali dalam hatiku. Rasanya menyenang kan sekali. Dengan segera aku memeluk gemas salah satu temanku yang bertubuh gemuk saking senangnya. Perjuanganku selama tiga tahun ini tidak sia-sia! Hahaha! Euforia kesenangan semua orang tiba-tiba me ledak dalam satu ruangan. Semuanya menjadi ramai. Kebahagiaan melanda semua orang selain diriku. Sambil masih terus memeluk salah satu temanku, aku tiba-tiba teringat akan sesuatu. Kamu. Aku teringat kamu, wanitaku yang masih terus kucintai hingga sekarang. Dengan segera aku menolehkan kepalaku kesana dan kemari untuk mencarimu. Aku ingin sekali melihatmu tertawa. Aku ingin melihat senyum bahagiamu.
DEG!
Jantungku rasanya seperti berhenti berdetak saking terkejutnya. Ternyata kamu sudah sedari tadi menolehkan wajahmu ke arahku. Kamu menatapku sambil tersenyum, setidaknya untuk beberapa detik. Karena begitu aku menolehkan pandanganku ke arahmu, senyum dari bibirmu tiba-tiba saja menghilang. Kenapa kamu tidak lagi tersenyum ke arahu? Apa salahku? Apa kamu membenciku?
Sekarang sudah sepuluh detik dan kamu bahkan belum menoleh ke arah lain. Kamu masih terpaku menatapku sampai tiba-tiba sebuah isyarat- isyarat meluncur keluar begitu saja dari mulutmu. Kamu ingin berbicara denganku, empat mata. Aku mengangguk, mengiyakan permintaanmu itu lalu segera melangkah keluar ruangan. Aku harap aku tidak melukai hatimu lagi. Aku harap aku bisa menahan diriku untuk tidak berusaha membuat diriku kembali padamu lagi. Karena bila itu terjadi, mungkin nantinya aku akan kembali melukai hatimu lagi. Aku tidak mau itu terjadi.
Aku mencintaimu.



[ Takdir ]
 -sepucuk surat jutaan rindu, untuk lelakiku yang sedang berbahagia.
Apa kabarmu? Apa kabarnya? Kalian baik saja? Semoga tidak (aku harap). Aku jahat? Tidak, kamu yang melebihi jahatku, jangan melebih-lebihkan apa yang kukatakan. Sudah lama sekali sejak kita terakhir kali saling bertegur sapa dan melempar senyum. Ah, dulu itu dunia sedang indah-indahnya karena kamu masih bersedia mencintaiku. Tapi kini, sudah ada wanita itu yang (demi Tuhan aku tidak pernah cemburu padanya) sekarang telah tertambat di hatimu (semoga hanya untuk waktu yang singkat).
Aku mencintaimu, lelakiku. Aku mencintai guratan-guratan senyum sumringah pada bibir merah merekahmu tiap kali kamu mendengar suatu lawakan lucu. Aku mencintai bagaimana kumis tebal itu menutupi bagian atas bibirmu yang membuatmu jadi terlihat lebih gagah dan jantan dari pria manapun seumuranmu. Aku suka semuanya. Aku mencintaimu, tanpa tapi atau kenapa. Jangan pernah tanyakan itu padaku karena aku pasti hanya akan tersenyum dalam sunyi sebagai balasannya. Aku mencintaimu, lelakiku yang sempurna. Aku mencintai bagaimana saat kedua bola mata cokelat itu beradu pandang denganku (semoga kau juga mencintaiku saat bola mataku bertemu dengan jiwamu, pandanganmu) tiap kali kita sedang asyik berbincang kala itu.
Kita sering sekali tertawa dan membicarakan topik-topik menyenangkan untuk diperdebatkan. Aku tahu aku tak mahir dalam berdebat, aku pasti mudah kamu kalahkan.Tapi kalau itu bisa membuatmu senang, kalah puluhan ribu kali pun aku tetap jalani.
Kamu, laki-laki yang (masih) selalu aku rindukan tiap malam. Dulu kamu sering sekali menemaniku sampai larut malam tiba, bahkan pagi. Saat itu biasanya aku terbangun dari tidurku dan tak mampu kembali tertidur. Saat itu kamu dengan senang hati menemaniku dengan menelepon atau hanya sekedar berbincang lewat kata-kata menggunakan telepon genggam. Bahkan terkadang, kamu tidak tidur sama sekali demi menunggu aku terbangun dari tidurku. Aku sering sekali setengah kesal padamu karena mengabaikan kesehatanmu seperti itu. Tapi di sisi lain, aku juga senang saat kamu menungguiku dengan setia.
Aku merindukan bagaimana lucunya wajahmu saat aku mengajarimu bagaimana caranya bermain gitar, (sesuatu hal yang kebetulan aku kuasai) bagaimana gemasnya raut wajahmu saat kamu sedang berpikir keras mau dibawa kemana lagi jari jemari jenjangmu untuk pindah ke kunci yang selanjutnya.
Betapa juga aku sangat mengingat dan menyukai senyum lebar yang ikut muncul bersamaan dengan kata-kata “Kita jadian.” Dari mulutmu sebagai jawaban dari pertanyaanku yang menanyakan padamu, “Jadi maunya apa?” Saat kita berdua berada di depan terminal kala itu. Betapa romantisnya kita dulu.
Aku merindukan bagaimana dulu aku begitu terbiasa memotret sosokmu dengan kamera telepon genggamku. Aku juga rindu melihatmu bergaya saat aku sedang mengambil rekaman video tentangmu.
Apa kau ingat satu video spesial yang waktu itu sempat kau buatkan khusus untukku? Ya, saat kamu mengatakan bahwa kamu sayang padaku sementara aku merekam semua momen itu dengan sangat sempurna. Terkadang bila aku merindukamu, aku suka melihat ulang rekaman tersebut sebelum  akhirnya wajahku terasa memanas lalu kemudian reflek tersenyum lebar saking bahagianya.
Ah, jodohku yang sedang bersama perempuan baru (yang sumpah demi Tuhan tidak pernah aku cemburui keberadaannya) yang tidak mampu mencintaiku sama seperti caraku mencintaimu.
Kapan kamu kembali? Aku merindukanmu, selalu.
P.S: aku (masih) (dan selalu) cinta padamu (selamanya) :)
Secarik kertas lusuh bernoda merah di tangannya bergetar. Tetes demii tetes cairan hangat juga tak hentinya tumpah ruah membanjir keluar dari kedua bola matanya. ‘Kenapa semuanya jadi begini?’ Suaranya dalam hati.
Ricuh suara dari dalam ruang UGD membuat hatinya semakin hancur dan remuk. Terdengar suara rendah sang dokteryang meminta banyak hal pada suster di dalam sana.
Entahlah apa itu, persetan dengan apa yang dokter itu tengah lakukan. Dia hanya ingin wanita yang tergeletak lemah di dalam sana sadarkan diri, hanya itu harapannya.
Kemudian dia mencengkram lututnya geram. Kejadian tadi siang masih terus berputar-putar di dalam kepalanya. Rasanya pusing, dunia berubah menjadi tempat yang sama sekali asing baginya. Dia ketakutan.
“Aran? Bagaimana kondisinya?” Seru seseorang sambil lari tergopoh-gopoh ke arahnya.
Dia menoleh ke sumber suara. Itu Disa, sahabat baik perempuan yang tengah berjuang melawan maut di dalam sana.
“Keadaannya kritis. Aku... Aku nggak tau kenapa kejadiannya bisa kayak gini. Aku...” Aran tergagap. Tangisnya kembali tumpah.
Tak jauh darinya seorang wanita berumur sekitar 40-an yang baru saja datang bersama Disa juga ikut menangis. Tangisannya terdengar sangat memilukan, membuat hati Aran seperti tersayat-sayat. Perempuan itu sedang menangisi satu-satunya putri yang ia miliki.
Sebelum senja turun tadi, Aran bertemu dengannya, wanita yang selama setahun ini masih terus dicintainya. Gadis manis itu meminta Aran untuk menemuinya. Katanya ini untuk terakhir kalinya, karena besok ia sudah harus bersiap mengurusi kepindahannya keluar kota. Gadis manis itu akan melanjutkan kuliahnya keluar pulau sana, ke sebuah tempat yang jauh.
Aran mengiyakan ajakannya. Aran juga sangat ingin bertemu dengannya. Aran masih sangat mencintainya. Aran telah begitu sering menyakitinya, ia ingin sekali meminta maaf atas semua perlakuannya pada gadis itu selama ini. Aran begitu ingin meminta si gadis untuk kembali kepadanya lagi.
Tapi saat melihat sosoknya yang indah itu, Aran berubah kembali menjadi sesosok laki-laki brengsek. Dia begitu malu pada dirinya sendiri hingga semua kalimat yang terlontar dari mulutnya adalah kata-kata sampah. Aran mengutuk dirinya sendiri atas kebodohannya tadi.
Jadi bukannya ajakan untuk kembali yang keluar dari mulutnya, Aran malah semakin mendorong gadis itu menjauh. Aran bersikap acuh dan dan dingin padanya. Aran membentaknya. Aran membuatnya menangis di depan wajahnya saat sebenarnya yang paling ingin ia lakukan adalah memeluk gadis itu erat-erat dan tak membiarkannya pergi lagi.
‘Kenapa aku begitu bodoh?!’ Begitu pikir Aran getir. Aran mencengkeram kepalanya kuat-kuat dengan kedua tangannya sementara secarik surat bernoda darah yang ia genggam sedari tadi terjatuh ke lantai. Aran masih berusaha menghilangkan imaji dari kejadian mengerikan yang terus saja berputar-putar di kepalanya sejak ia sampai di rumah sakit ini, kejadian memuakkan yang membuat kepalanya terasa penuh.
Saat gadis itu mulai menangis, Aran segera menyuruhnya pulang. Aran menyuruhnya untuk segera pergi jauh dari dirinya. Bukannya Aran tak ingin melihatnya lagi, melainkan karena Aran tak sanggup melihat gadis itu terus menangis.
Tapi gadis itu malah semakin tersedu. Gadis itu berkata pada Aran bahwa dia sangat mencintainya. Gadis itu ingin sekali Aran kembali padanya. Sebenarnya Aran ingin sekali membalas kata-kata cinta dan sayang dari gadis itu. Tapi Aran tidak bisa dan tidak boleh. Aran tidak boleh memberikan kesempatan lagi pada dirinya sendiri untuk kembali menyakiti hati gadis itu di kemudian hari nanti. Aran hanya berpura-pura kuat.
Kemudian, gadis itu hendak memberikan Aran secarik kertas terlipat yang sebelumnya sudah gadis itu genggam sedari tadi. Dia bilang itu surat untuk Aran, surat perpisahan. Aran menolaknya. Aran bilang ia tidak mau benda sampah itu. Padahal yang sebenarnya adalah dia ingin sekali membaca surat tersebut untuk kemudian dia simpan baik-baik. Kemudian gadis itu pun menangis semakin keras. Dia berteriak pada Aran bahwa Aran jahat dan hal lain-lainnya. Aran masih tetap berusaha acuh padahal sebenarnya hatinya sangatlah hancur melihat gadis itu seperti itu. Setelah puas memaki Aran gadis itu pun berbalik dan mulai berlari menjauh. Berlari menyeberangi jalan raya yang ramai dan padat. Terus berlari sampai-sampai gadis itu tak sadar kalau ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya.
Dan segalanya setelah kejadian itu terasa begitu cepat. Tubuh mungil dan rapuh itu tertabrak kemudian terpental cukup jauh hingga ke pinggir jalan. Semua kendaraan berhenti melaju. Orang-orang mulai berkerumun. Dan Aran? Ia berteriak histeris sambil berusaha menerobos kerumunan tersebut.
“Aku sayang kamu….. Aku sayang kamu….. Aku sayang kamu.....” Kalimat itu terus mengalir keluar seperti mantra. Pancaran keputusasaan tersirat dari kedua bola matanya.
Pintu ruang UGD kemudian terbuka perlahan. Dokter keluar dari dalemakin menggerogoti semua orang.
“Kami sudah berusaha semampunya... Kami minta maaf.” Kata dokter itu pada mereka bertiga – Aran, Disa, dan Ibu- yang mengerubungi dokter tersebut.
“Apa? Apa? Nggak mungkin. Ngaaaakk! Ini nggak boleh terjadi!” Aran bergegas masuk ke dalam dan mendapati sosok wanita cantik terbaring tanpa nyawa di atas salah satu tempat tidur. Wajahnya pucat, tidak akan ada lagi senyuman dari wajah indah itu. Tidak lagi. Aran meraung sejadi-jadinya. Mengutuki dirinya sendiri. Aku bodoh. Aku bodoh. Aku bodoh. Begitu pikirnya getir.
“Aku laki-laki yang sangat bodoh dan juga sangat mencintaimu.”-
Aku kembali kehilanganmu. Kali ini untuk waktu yang sangat lama, lebih dari selamanya. Sekali lagi, Aran kembali berteriak pilu dari dalam hatinya. —