Cinta, Kenangan dan Hal-hal yang Belum Selesai (CKHBS)

Cinta
Dini melangkah dengan gontai ke taman tempat ia biasa menyendiri, dengan membawa buku catatan kecil yang selalu ia tulisi dengan apa saja yang sedang terlintas di pikirannya, masih dengan seragam dan tas sekolah. Ia duduk di salah satu bangku taman itu dan mulai menulis. Sejenak segalanya terlihat sempurna, seorang gadis berseragam SMA sedang duduk manis di salah satu bangku taman dengan rambut yang tergerai menulis di  atas kertas. Sebuah pemandangan yang sulit sekali ditemukan di tengah kesibukan kota Surabaya.
Hujan sanggup menganologikan air mataku yang tidak dapat terjatuh saat ini
Tapi bagaimana?
Hujan pun tak mau menemaniku sekarang ini
Kamu dimana?
Sepenggal puisi tertulis dari tangan Dini ke dalam buku catatan itu, dengan mata yang berkaca-kaca, hampir menangis. Tanpa ia sadari ada seseorang dari jauh yang tengah memotret sosoknya. Tak lama pria itu menghampiri Dini, dan langsung duduk di sebelahnya.
Untuk beberapa saat Dini tidak begitu memperhatikan pria di sebelahnya, saat Dini menoleh, pria itu tersenyum.
“Hai.” sapa Adit sambil tersenyum.
Dini segera menyeka airmatanya, lalu tersenyum juga untuk membalas sapaan Adit.
“Maaf aku ganggu kamu ya, ndak usah diusep aku tau kok adek mau nangis, aku sering motret disini, sering juga nggak sengaja ngeliat kamu.” Adit membuka pembicaraan dengan logat Jawanya yang sangat kental.
“Oh nggak kok nggak papa.” Dini mencoba ramah dan tersenyum lagi, sejujurnya Dini tidak begitu suka dengan orang asing seperti ini, ia lebih suka menyendiri disini, dan lagi ia merasa sedikit takut.
“Jangan takut lo dek, aku bukan orang jahat hehe. Pasti kamu mikirnya gitu ya?” Adit mencoba mencairkan suasana dan membaca pikiran Dini. Dan tanpa sengaja Dini tertawa dibuatnya. “Bagaimana mungkin pria ini bisa membuatku tertawa hanya dengan kalimat yang pas dengan hatiku ini?” batin Dini.
Adit memperkenalkan diri pada Dini, ia seorang mahasiswa kedokteran yang sedang menginjak semester enam, Adit juga bekerja pada sebuah kantor redaksi koran lokal di kota Surabaya sebagai editor, sangat jauh dari pendidikan yang sedang ia jalani sekarang. Adit orang Surabaya asli sehingga logat Jawa tidak bisa dilepaskan dari bicaranya. Ia memiliki senyum yang dapat menyejukkan hati setiap orang yang melihatnya. Saat ia tersenyum alis matanya ikut sedikit menurun sehingga menimbulkan kesan teduh, penampilannya rapi, rambutnya tiga sisir dengan jambang yang sedikit panjang. Kumis tipis dan kulit kuning langsat menghiasi wajah Jawanya. Seorang pria yang tidak tampan, sederhana, tetapi sangat menyenangkan untuk dilihat.
“Wess kok melamun dek?” tanya Adit membuyarkan pikiran Dini yang tanpa sadar memikirkan penampilan pria di depannya itu.
“Eh nggak kok, maaf. Iya salam kenal mas Adit, aku Dini.”
“Sekolah di mana dek? Kelas berapa?” tanya Adit.
“Di SMAN 108 kelas dua belas, udah mau tamat hehe.” tiba-tiba Dini merasa nyaman berbincang dengan Adit. Seakan melupakan perasaannya saat ini, Dini pun terbawa dengan keramahan dan obrolan dari Adit yang menyenangkan, ia lupa pada airmatanya tadi, ia tertawa. Mereka seperti sudah akrab sekali.
Tak terasa perkenalan singkat itu membuat mereka berbincang selama satu setengah jam, hari sudah senja. Dini pamit pulang pada Adit.
Di perjalanan pulang, di angkutan kota Dini tak henti-hentinya membayangkan senyum Adit yang tak henti tersungging saat mengobrol dengannya. Dini membuka catatan kecilnya, dan mulai menulis, dimanapun ia bisa, Dini selalu menulisi apa yang sedang ia rasakan ke dalam tulisan.
Sore ini
Sebelum senja aku bertemu dengan sebuah bintang yang terlihat terang
Aku mendekatinya
Ternyata ia bukan hanya sekedar terang
Ia begitu menyejukkan
Bintangku yang jauh di sana
Sejenak
Bayangmu hilang
Dini kembali menangis, ia sangat merindukan bintang yang jauh disana itu.
Sementara sambil mengendarai motor menuju kampus, Adit meratapi kebodohannya mengapa ia tidak meminta nomor telepon gadis itu. Adit sering melihatnya duduk sendirian di taman itu, tapi baru hari ini ia berani mendatangi Dini, dan dengan bodohnya ia lupa bertanya nomor teleponnya. “Apa kita bisa bertemu lagi? Apa sama lagi nantinya seperti tadi.” batinnya dalam hati. Hari itu, semesta menyaksikan seorang pemuda sedang jatuh cinta.
***
Kenangan
Fandi
“Jadi ini yang terakhir, jadi aku maunya ketawa terus.” kata Dini pada Fandi.
“Siapa bilang? Kita masih bisa kaya gini lagi kok.” Fandi menatap Dini.
Dini tak mampu menatap mata Fandi, ia tidak ingin menunjukkan betapa hancurnya perasaannya saat itu. Jadi yang dapat ia lakukan hanya mencoba selalu tertawa, dan menatap ke sekeliling taman.
“Nggak nggak mungkin bisa. Aku nggak yakin walaupun aku ingin.” Dini mencoba tersenyum. “Fan, hati perempuan itu rapuh, jangan sampai ia tersakiti karena percaya atau nggak, perjuangan untuk nyembuhin luka itu bakalan lama dan lebih sakit dari luka itu sendiri. Kamu ngerti kenapa aku ngomong kaya gini kan?” ia melanjutkan.
Fandi hanya mengangguk, itu adalah pertemuan terakhir mereka sebagai dua orang yang saling mencintai, sebagai dua orang yang pernah saling merindukan.
Tetapi semua yang mereka jalani tidak biasa, tanpa kejelasan, hubungan mereka tidak pernah dimulai, sebab itulah untuk mengakhirinya adalah sebuah kejanggalan, dan tidak pernah terlaksana saat Fandi bertemu dengan Naya, dan langsung pergi begitu saja dari Dini. Dini merasa bingung, ia tak tahu apa yang harus ia perbuat sedangkan ia bukanlah siapa-siapa Fandi, ia hanya perempuan yang jatuh terlalu dalam pada Fandi tanpa ia tahu betapa menyedihkan sakit yang ia terima dengan hubungan yang tak berujung ini, ia tidak dapat marah, menuntut dan menyalahkan Fandi, karna ia tak memiliki hak sama sekali. Telah banyak kenangan yang mereka lewati.
Lalu segalanya barjalan begitu saja, Dini jarang berjumpa dengan Fandi lagi, dan Dini pun tidak ingin, meski ia begitu merindukan Fandi. Dini tidak pernah mampu menghapus perasaan itu, dan entah mengapa ia tak mau. Dan yang hanya bisa ia lakukan hanya menjalani hidupnya dengan kehampaan, sendiri dan menutup diri ke banyak orang. Ia seperti tidak bersemangat menghadapi hidupnya lagi. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, masih menyimpan harapan. Juga mimpi.
Hidup terus berjalan, ia yang kita cintai akan pergi meninggalkan kita. Tetapi kenangan akan tinggal selamanya.
-
Adit
Dini sedang duduk di taman itu lagi, saat waktu senggang ia suka menghabiskan waktu di taman ini. Kali ini ia tidak memegangi buku catatan kecilnya, ia hanya memandang sekeliling taman.
“Nyariin aku yo dek?” tiba-tiba suara seseorang mengagetkannya dari belakang.
Dini terbelalak, ia tidak percaya bahwa itu Adit. Ya, memang tujuan Dini datang ke taman hari ini adalah untuk bertemu Adit, kalau-kalau kebetulan Adit juga sedang berkunjung lagi ke sini.
“Eh apaan sih, ndak kok.” dan tanpa sadar Dini telah sedikit terpengaruh logat Jawa Adit yang khas, pipi Dini berubah semerah tomat.
“Walah itu kok ngomongnya udah macem aku dek? Jangan-jangan betulan ini kamu memang nyariin aku, apa mikirin aku? Hehehe.”
Entah kenapa mereka berdua seperti dua orang yang sudah berkenalan lama sebelumnya, padahal ini baru pertemuan mereka yang kedua, itupun secara tidak sengaja. Mereka tertawa bebarengan.
“Ndak sekolah?” tanya Adit.
“Sekolah mas, tapi sempet pulang ke rumah tadi buat ganti baju terus ke sini. Mas sendiri nggak kerja? Masih jam tiga ini.” Dini masih ingat saat perkenalan pertama mereka, Adit mengatakan bahwa ia bekerja dari pagi hingga sore pukul empat, lalu melanjutkan kuliah pada malam hari.
“Wah inget kamu dek, kaget toh aku. Udah kayak kenal lama aja yo haha.” terdengar tawa Adit yang selalu sukses membuat Dini ikut tertawa kecil. “Hari ini memang sengaja pulang agak cepet dek, kukejer iku kerjaan biar cepet selesai, lagi agak ndak enak hati jadi pengen kesini cepet-cepet.” padahal Adit hanya tidak sabar untuk mencari sosok Dini lagi di taman ini. Dan semesta mengizinkan mereka bertemu.
“Nggak enak hati kenapa mas? Wah sama dong.” baru kali ini Dini berhasil terbuka akan perasaannya kepada seseorang, aneh pikirnya, Adit benar-benar seperti merubahnya dalam sebuah pertemuan singkat.
“Tiba-tiba aja gini, kalo kamu ndak enak hati kenapa cah ayu?” Adit mencoba untuk mengenal Dini lebih jauh.
“Sama juga, tiba-tiba mas.” jawab Dini yang seolah kembali menutup diri.
Adit tiba-tiba teringat penyesalannya yang tidak sempat meminta nomor telepon Dini untuk lebih dekat dengannya semalam.
“Dek boleh minta nomor kamu ndak? Aku liat kamu suka nulis, manatau nanti ada kerjaan atau magang gitu buat kamu di kantor aku, aku bisa nawarin kamu.”
“Bilang aja mau gangguin aku tiap malem.” Dini bercanda, lalu langsung memasukkan nomor teleponnya ke telepon genggam Adit.
Dan mereka menghabiskan sore itu dengan mengobrol lagi hingga tak terasa senja turun, membentuk jingga.
***
Pesan-pesan singkat dari Adit.
“Walah ndug, pelajaran SMA ndak inget2 lg aku dek.”
“Belon, ni baru nympe rumah non. Kok bangun jam segini? Seng nmenin kunti manggung? Wkwk.”
“Wong cilik jam segini males bobok, bsk sekolah toh. Aku tidur km jg tidur, harus kompak pokoke, toss dulu...”
“Selama kenal aku tidurmu musti tratur lho yo dek, jgn sering bgadang.”
“Yg jelas km satu2nya yg nularin aku banyak hal :) ”
“Ayukk kalo mau curhat monggo, aku bkal jd pndengar yang baik kok.”
“Tiga kali? Aiss pdhal mau tak ajak makan, tp yauwiss kapan2 aja.”
“Walah tak kira wes tidur, smsku ndak dbalas semua.”
“Suka namane tok? Orgnya ndak? Hhehe ngarep iki.”
“Nduut, mau tak ajak makan? Mumpung lg dket rumahmu.”
“Mau cerita apa lagi kamunya?”
“Lg sibuk ndak? Mau tak telpun ga?”
“Kan yg penting ndak pindah hati ndut :) “
“Selamat pagi syg, mav smlm ketiduran jd ngak bisa nmenin.”
“Uda sampe ruma ini non, masi baca buku? Jgn tidur malem2 lho ya, awas nanti tak tuktuk.”
“Good morning, *cium kening dulu*. Aku tak kerja dulu ye, agak berlimpah kerjaanne hari ini.”
 “Aku ngelembur lagi, jgn lupa makan ya syg.”
“Tidur dek? Pengen ndang ketemu, di mimpi aja kali ya :p selamat tidur.”
“Lg dimana? Ntar jam 7 an makan yuk non.”
“Mav ya dek, aku tau km gak suka kaya gini tp tlg sementara ngerti ya dek :) “
“I’m home :) kangen ndutku rekk :( “

Dan Adit menjadi orang yang begitu berarti di hidup Dini kini, perlahan Dini mulai bisa melupakan Fandi, tapi tak seutuhnya, Adit pun tau itu. Adit berusaha menjadi apapun yang membuat Dini bahagia. Satu hari mereka bertemu lagi di taman itu, Adit berkata kepada Dini untuk menggenggam balik tangannya jika Dini mau menjadi orang yang penting untuk Adit, Dini masih menggenggam harapan pada Fandi, tetapi Adit dengan sungguh-sungguh menunjukkan besarnya perjuangannya untuk membuat hari-hari Dini lebih berarti, maka Dini pun menyambut tangan itu dengan ragu.

Hal-hal yang Belum Selesai
“Mas, ini kuping aku yang kekecilan atau earphone yang kamu kasih ini kegedean toh?” Tanya Dini sambil daritadi membetulkan earphone biru itu dengan gemas karena tidak bisa menyangkut pada telinga kanannya.
“Haha, iku bisa dipake ke semua ukuran kuping toh dek, ya dicoba lagi manatau kamu makenya yang salah ndak?” Adit berusaha menahan tawa mendengar tingkah Dini.
“Oh udah, udah mas. Udah bisa ini, makasih loh earphonenya. Aku suka banget, apalagi warnanya, biru.” Dini tidak mampu menyembunyikan kebahagiaannya mendapat hadiah kecil dari Adit. Ini bukan hari yang spesial bagi Dini, tapi seperti itulah Adit, selalu memberikan kejutan-kejutan kecil untuk Dini. Sudah sekitar lima bulan sejak Dini membalas ajakan tangan Adit untuk menyembuhkan luka di hati Dini, di taman itu.
“Mas, nanti aku mau belanja sama mama, beli baju baru hehe.” sambung Dini di telepon.
“Walah yang mau ke Jogja nih yee.”
“Hehe, ikut tak?” tanya Dini. Ia tidak tahu di seberang telepon sana Adit hampir meneteskan air mata, “Tugas aku ngebahagiain kamu mungkin juga sedikit lagi selesai disini, dek.” lirihnya dalam hati. Tak menjawab pertanyaan Dini.
“Mas.” panggil Dini.
“Hah, iya, iya dek?” Adit tersentak dari lamunannya.
“Ikut tak? Belanja nanti. Temenin aku juga, kangen ini.”
“Aih maaf ndut ndak bisa, aku ngelembur lagi, ngelembur jaya sayang. Hehe kangen ndutku juga rekk.” canda Adit untuk menutupi kesedihannya.
“Ohyauwiss, nggak apa-apa kok. Hehe, yaudah aku mau mandi dulu ya, doain selamat di jalan nanti aku bawa motor gonceng mama sama seubrek belanjaan pasti ini mas.”
“Oh ancene, yauwiss. Hati-hati di jalan, ojo lupa ngriting sebelum belokkan. Awas kalo lupa, tak kriting nanti rambutmu dek. Jangan lupa makan.” tutup Adit.
“Iya mas. Kamu juga, daah.” Dini langsung menutup telepon dan bergegas ke kamar mandi.

***

Sementara di kantornya, Adit menerawang jauh mengingat seluruh kenangannya bersama Dini, ia begitu menyayangi Dini, sudah sekitar lima bulan ia menjaga dan memperindah hari-hari Dini, membantu Dini untuk tersenyum kembali dari keterpurukannya. Tak peduli seberapa sering Dini masih saja suka mengingat masa lalunya dengan menangis tiba-tiba dihadapannya, Adit tetap bertahan.
***
Fandi & Adit
“Jadi selama ini kamu beneran cinta sama Dini? Fandi meninggikan suaranya.
“Kamu kira lima bulan aku nemenin dia ndak buat dikitpun perasaan ke dia nimbul toh Fan? Malah dari pertama kamu nyuruh aku deketin dia toh aku udah cinta sama dia. Jadi maap yo Dit, aku ndak bisa ninggalin dia kaya yang udah aku janjiin. Aku yang udah jaga dia. Maap aku nyembunyiin semuanya selama ini.” Adit berusaha tetap tenang.
Bagaimana kamu bisa mengakhiri sebuah hubungan yang bahkan tidak pernah dimulai?
Tamat


Tentang CKHBS

Jadi begini, CKHBS ini sebuah project novel mini yang iseng2 saya buat untuk insyaAllah (kalo Allah SWT mengizinkan dan saya nggak males hhe) dipanjangin jadi sebuah novel. Nah, berhubung masih pemula buat sebuah cerita bersambung semacam novel beginian, ide ceritanya masih stuck disitusitu aja, nggak berkembang dan nggak layak buat dijadiin satu novel. Nah, terpikirlah untuk buat semacam novel mini beginian (ngusep2 mata yg udah ngantuk hoam) bagi yang udah baca cerita ini diharap kesediaannya untuk ngasih ide gimana caranya cerita yang nggak seberapa ini yang ngabisin waktu yang lumayan lama dan cuma dapet 7 halaman A4 bisa sampai minimal 80 halaman dan terbentuklah sebuah novel. Ohya nanti juga judulnya bukan ini,  dikarenakan terlalu panjang dan masih minjem judul dari kak @ sajakcinta. Boleh diubah dari sisi manapun, kasih sarannya lewat apa aja boleh. Anyone? :)
Thanks...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar