When the little things can be laughed as a 'move on' action.

Ingin sedikit bercerita tentang apa yang terjadi belakangan ini.
Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini, yang ada di pikiranku hanyalah tekad untuk melepas rasa sakit. Ya, seperti kebanyakan orang bilang “move on”, aku melakukan move on itu dengan cara menertawai hidup, menertawai hidup dari hal2 kecil.
Terkadang aku menertawakan hal2 kecil yang sering membuat kebanyakan orang katanya galau. Seperti aku melihat mereka yang ramai membicarakan rencana tahun baruan. Haha melihatnya saja aku sudah tersenyum miris sendiri, aku telah membayangkan saat mereka semua bersenang2 menikmati tahun baru, aku pasti sedang duduk santai di depan TV, dan makan mi instan, miris, tapi aku tidak sendiri pasti banyak yang merasakan hal yang sama sepertiku, toss ;) Juga melihat mereka yang berlibur keluar kota, atau kemanapun, rasanya ingin juga berlibur, tapi apa daya, belum kesampaian, melihat mereka yang berlibur bersama pasangannya, sungguh sesuatu yang begitu diidam-idamkan oleh semua orang. Tapi kemudian aku sadar, bahwa aku tidak bisa seperti itu, bukan tidak mau, aku sangat, sangat mau seperti mereka, tapi kenyataannya adalah aku harus menerima bahwa papa ku masih belum pulang, mama yang sedang sakit, dan aku tidak memiliki pasangan, bagaimana mungkin aku harus bersedih dengan apa yang tidak aku miliki begitu? Ya, aku bersedih karena aku melihat ke atas, melihat mereka yang memiliki segalanya. Tapi bagaimana jika aku mengubah cara pandangku melihat ke bawah? Melihat bahwa lebih banyak lagi mereka2 yang hanya bisa duduk terpaku di rumah pada saat2 menyenangkan seperti liburan ini. Sekarang ini, aku dapat mengetahui keadaan orang2 di sekitarku dengan hanya melihat akun jejaring sosial mereka, aku sering memperhatikan timeline, dan di dalam sana ada umpatan2 kesal mereka tentang liburan yang membosankan, tentang rasa galaunya mereka saat ditegur orangtua, sms yang lama dibalas oleh sang pacar, tentang teman yang berkhianat, dan sebagainya.
Timbul pertanyaan dari mereka yang berbahagia disana:
Melihat mereka apakah aku iri? Jelas.
Apakah aku  ingin seperti mereka? Hanya orang munafik yang bilang tidak.
Apa aku harus bersedih? TIDAK
Kenapa? Untuk apa aku harus bersedih dan merasa marah, toh keadaan juga tak akan berubah. Yang bisa kulakukan hanya mengikhlaskan, mengikhlaskan diriku yang tidak bisa seperti mereka, minimal aku punya hidupku sendiri, memang tak seindah mereka, tapi apalah yang bisa kulakukan, bersenang2 sendiripun bisa membuatku bahagia, dan sadar atau tidak minimal itu dapat menjadi tabunganku untuk belajar lebih menerima hidup, karna jika suatu saat nanti aku menerima hidup yang lebih daripada ini (amin) maka rasa syukur yang ada di hatiku akan berlimpah, senyum di wajah juga lebih terkembang, dan aku akan lebih mudah merasa cukup sebab sebelum2nya hidupku diisi oleh kecukupan, cukup untuk menerima segalanya. Maka sungguh, beruntung mereka yang dari sekarang telah memiliki segalanya yang membuat mereka bahagia, membuat mereka tersenyum setiap bangun pagi, dan menjadi alasan mereka semangat untuk menjalani hidup. Terkadang aku juga ingin sempurna seperti itu, memiliki keluarga yang menyenangkan, teman2 yang banyak, kepopuleran, kekasih, dan kecukupan rezeki. Tapi aku takut saat aku kehilangan salah satunya aku akan meronta-ronta kepada Tuhan, karna telah terbiasa memiliki itu semua, maka aku cukupkanlah dengan aku yang sekarang, bersyukur Alhamdulillah aku masih punya keluarga yang lengkap dan menyenangkan, rezeki yang masih mencukupkanku rasa laparku, sekolahku, sedikit teman yang masih mengingatku, dan aku yang mandiri ini haha sedikit narsis untuk menyenangkan diri sendiri. Aku tahu aku tidak populer, tidak banyak orang yang mengenalku, tapi aku banyak mengenal orang, setidaknya aku tahu keberadaan mereka, yang tidak mengetahui bahwa aku ini ada haha. Aku tidak punya kekasih, karna memang tidak ada yang mau punya kekasih seperti aku, lebih tepatnya belum, aku yakin suatu saat nanti aku akan bertemu dengannya, siapa yang tahu dia seperti apa, mungkin kebanyakan ingin yang memiliki wajah yang tampan, dan aku adalah orang pertama yang mencibir ke arah orang yang tidak ingin punya kekasih tampan. Janganlah kita bermunafik ria, jujurlah, semua orang ingin itu. Tapi kalau memang kita tidak dipertemukan dengan yang seperti itu oleh-Nya? Apa yang dapat kita perbuat, meratapinya pun kita tak pantas, siapa tahu dia nantinya adalah laki2 yang tidak pernah membiarkan setetespun airmataku jatuh. InsyaAllah, hanya Allah SWT yg Mengetahui. Selanjutnya, aku sadar aku bukan seorang perempuan yang bisa dibilang cantik. Lagi2 aku kembali melihat kedalam dua sudut pandang itu, atas dan bawah. Jika aku melihat ke atas, ribuan, jutaan, milyaran perempuan cantik di dunia ini ada, itu membuatku harus mati2an berusaha untuk terlihat cantik juga, dan itu akan sangat merepotkanku, juga akan (lagi2) membuatku jauh dari rasa syukur, karna aku tidak mau repot, maka aku lebih memilih melihat ke bawah, dimana ada berjuta perempuan dengan kecacatan di tubuh dan wajahnya. Bagaimana aku tidak merasa cukup dengan apa yang aku miliki di wajah ini dengan melihat mereka yang seperti itu. Itu akan membuatku lebih tenang, dan jauh dari rasa gelisah karna merasa ‘tidak cantik’. Lagipula, seperti yang kebanyakan orang bilang, dan ini klise, “Cantik itu relatif, bukan?” :)
Masalahnya jika aku terus melihat ke bawah, aku tidak akan pernah maju, aku hanya akan berjalan di tempat. Maka dari itu aku gunakan pandangan itu untuk meraih mimpiku, dan jika mimpi itu sudah di dapat, pandangan yang selalu lihat ke bawah akan menyelamatkan kita menjalani hidup selanjutnya. Percayalah :)

Jadi ya beginilah, ini sudah di penghujung 2011, tahun yang kurasa cukup memberiku banyak pelajaran tentang hidup dan airmata. Untuk tahun depan, sama seperti semua orang, aku hanya berharap dapat lebih baik dari tahun sebelumnya, Amin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar