Sajak Tsunami Aceh


-Kampung yang lenyap dalam semalam
Dalam perjalanan masuk menyusuri kampung kecil ini
Dimana di dalamnya ada hidup-hidup yang mengharukan
Hidup para penjahit yang tak lelah menusukkan jarum-jarum pada kain
yang terkadang pada jari
Hidup pemulung yang membiarkan kulit legam terbakar matahari
Terlihat pada mata jalan-jalan yang lenggang
Jikalau hujan mereka tenggelam
Membuat para anak-anak dengan senang hati bermain air layaknya sungai
terlupa akan nasihat orangtua mereka
Tetap kususuri
Dengan rasa gamang
Kususuri
Lalu kulihat
Sesuatu datangnya seperti gelombang
di depan mataku, di tanah yang kupijak, di atas kakiku
Sesuatu yang membuatku hampir mati rasa
Bergulung-bergulung

Gelombang hitam itu bangkit ketika gempa mengguncang hampir seperempat permukaan bumi. Gelombang itu menghapus segala kenangan, kenangan tentang kehidupan yang dijamaahkan di dalam kampung itu. Kenangan tentang kehidupan yang dibangun. Kenangan tentang sanak keluarga yang tidak berhasil menerobos gulungan ombak hitam itu. Rasa gamang muncul, mengelus-ngelus batinku. Rasa gamang kepada teriakan ketakutan, haru seorang ibu yang tak sengaja melepaskan genggaman tangan anaknya, pada berjuta langkah lari yang kalah oleh gelombang hitam itu, gamang pada gelepar tubuh yang segera terendam, pada kenaasan yang disusul hampa yang tiba setelahnya. Hampa yang gelap, mengalir lambat dan enggan.
Ditemani langit Desember, angin dan titik-titik cahaya bersatu perlahan mengantarkan kepada mereka kenangan tentang sepi yang datang setelah tsunami tujuh tahun lalu, paksaan dan kewajiban untuk meneruskan kehidupan. Untuk meneruskan kehidupan dan membiarkan kenangan menjadi empedu. Bukan karena rasa pahitnya, tapi karena fungsinya untuk mengelola kepedihan.


untuk segala yang asing dan terlanjur kucinta, tanah Aceh
Desember, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar