Fach

Kini kamu telah berubah menjadi sesosok orang yang berbeda dengan yang pernah kukenal. Aku tak pernah menyalahkan hal itu, nyatanya ketika waktu berjalan semua hal yang ada di bawah kuasa-Nya mau tak mau harus berubah. Sejauh ini, entah kamu menyimak apa saja yang kutuliskan atau tidak, atau mari bertaruh, kamu sekarang tak sepeka itu lagi menyimak apa saja yang kututurkan kembali tentangmu. Tapi begitulah adanya, ketika hingga saat ini sekalipun aku masih menganggapmu sebagai sebuah kisah yang tak akan pernah usang dimakan waktu. Kamu, Sang inspirator yang dulu pernah rutin kusebut namanya dalam doa. Kupinta yang terbaik untuk terjadi padamu. Tapi kini tak lagi, aku belajar untuk bisa perlahan melupakan namamu, mulai mencoba tak menyebutnya atau tak mengingatnya lagi. Karna kamu pun juga melakukannya bukan? Bahkan kamu sang pencuri startnya.

Terima kasih karena dengan sedemikian rupa, cerita tentangmu menjadi indah. Terima kasih karena kehadiranmu telah pernah menghias hari-hari dengan indahnya. Terima kasih untuk segala inspirasi yang sempat kamu berikan. Tetaplah kamu disana, jangan pernah sekalipun berubah menjadi orang yang lain lagi. Dan aku disini selalu ada untuk menyayangi dan mencintai, untuk menjadi teman terbaikmu.

Kutujukan kepada seseorang yang daripadanyalah segala inspirasi bermuara. Kepada orang yang sangat aku rindukan, namun akhirnya kujadikan ia penutup yang indah di tulisan tanpa pembuka ini, agar segala cerita dapat mengalir lancar di hari-hari akhir dan aku melunaskan segala kata yang tak terucap kemudian, jika kita tidak bisa bertemu lagi. Apa kabar Fach? Apa kabar?

Oleh: Bernard Batubara

Kalau kamu tidak peduli saat saya sedang lelah, kenapa saya harus peduli ketika kamu sedang susah. Kalau kamu tak berusaha bertahan denganku, kenapa aku harus bersusah-payah mempertahankanmu. Tak seperti kau dan dia yang sudah. Kita hanya sanggup mencapai hampir. Tak seperti kau dan dia yang bersatu. Kita hanya bisa mengumpulkan puing rindu satu demi satu. Tak seperti kau dan dia yang berdua. Kita hanya mampu saling raih dalam doa. Tak seperti kau dan dia yang bisa saling tatap. Kita hanya bisa membayangkan hangatnya saling dekap. Tak seperti kau dan dia yang selalu bertemu. Kita hanya mampu saling mengabarkan ragu. Tak seperti kau dan dia yang mudah berjumpa. Kita hanya bisa tunduk oleh jauhnya jarak dan jeda. Tak seperti kau dan dia yang telah terjalin kuat. Kita bahkan tak sempat untuk sekadar sejenak mendekat. Kau bisa bercanda soal apapun. Tapi kau tak bisa membuat rindu menjadi lucu. Kamu mungkin bisa tertidur. Tapi rindumu akan selalu terjaga. Jika jauh jarak memisahkan kita, biarkan rekat rindu memasihkan cinta. Jika waktu selalu menantangmu untuk pergi, biarkan rindu tabah menuntunmu kembali. Jika aku dan kau memang belum sempat bertemu, biarkanlah doa kau dan aku saling bertamu.

Andai Aku Seperti Sarah

Andai aku seperti Sarah, yang kulitnya putih bersih bak porselen.
Aku akan tebar pesona ke semua penduduk bumi supaya mereka tahu kulitku bagus. Jangan bilang aku berlebihan, sebagian besar remaja sepertiku pasti memilih ingin seperti dia.
Andai aku seperti Sarah, yang punya tubuh tinggi semampai.
Aku pasti sudah menjadi atlit voli internasional. Jangan bilang mimpiku terlalu tinggi, karna tanpa mimpi, orang seperti aku akan mati.
Andai aku seperti Sarah, yang senyumnya, aduh, manis sekali.
Aku akan tersenyum setiap hari, seremuk-remuknya hatiku, aku akan tetap tersenyum. Jangan bilang aku munafik, karna yang melihat senyumku nanti pasti ingin lagi dan lagi.
Hem, andai aku seperti Sarah...
Sayangnya aku tidak ingin seperti Sarah. Tanya pada orang-orang Eropa sana, betapa mereka berusaha mati-matian melakukan tanning di salon dan pantai hanya ingin mendapatkan kulit gelap. Sebab yang berkulit putih juga belum tentu lebih indah. Anggaplah yang putih secantik boneka Barbie, tetapi yang hitam secantik boneka Popi.
Sayangnya aku tidak ingin seperti Sarah. Karena bermain voli bersama teman-teman saat jam pelajaran olahraga juga melihat pria-pria keren bermain voli di taman yang sering kukunjungi setiap sore saja sudah cukup. Lagipula aku tidak mampu jadi sorotan jika masuk ajang Internasional.
Sayangnya aku tidak ingin seperti Sarah. Senyumku? Kata ibu, manis. Saat aku tersenyum semut-semut bertekuk lutut.
Setiap manusia diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihannya tersendiri. Dan aku cinta diriku Tuhan. Terima kasih atas semua berkah yang telah Kau berikan padaku hingga detik aku menghirup nafas ini. Aku tidak ingin seperti Sarah, berandai-andai saja boleh kan? Aku rasa semesta serempak mengangguk setuju dan tersenyum padaku.

(Tulisan ini terinspirasi dari tadi pagi satu ankot sama Sarah. Sarah itu salah satu teman sekolahku, kelas 3ts1, mungkin banyak yang tahu dan kenal sama dia. Hehe soalnya dia cantik sih, lucu lagi orangnya. Intinya, yla minta ijin ya Sar buat make namanya hehe. Senyum 5 jari :))

Memories

Thanks for everything :)

Buat Kartika, taman sederhana yang nggak pernah ngeluh yla dateng dengan semua beban setiap sore yla yang senggang. Makasih :)


Sosok renta ini yang ngajarin saya arti sebuah perjuangan. We’ll meet, right? Makasih Kek :)

Dari Balik Hujan. Bayi pertama yla hehe :)


Teman-teman setia yla:


Keep my eyes open widely when I'm so tired. An half of my soul everyday. Thank you :)


Partner in action :) makasih buat kesetiaannya, hehe. Kacamata setia yang udah lepas penyangganya sebelah, earphone angry bird (hadiah ulang tahun dari yla buat Alda sebenernya hihi), meja kayu upin ipin. Yang utama, lappy yang engselnya juga udah cacat dikit sebelah. Makasih, buat acara malem-malem yang kita buat panjang, nulis nggak jelas, tugas-tugas, dan pertempuran nyelesain mimpi yla, hehe. Semoga kita masih sanggup nyelesainnya ya, semoga :) keep struggling guys..


Binder jaman kelas dua SMP yang masih manis sampe sekarang. Sama semua kenangan di dalemnya. Makasih udah nyimpen semua catatan, kalimat-kaimat absurd yang tiba-tiba lewat di kepala. Ide yang tiba-tiba muncul. Makasih :)

Papercraft Eiffel :)
Makasih udah ngasih semangat kalo yla lagi sakit, lemes nggak jelas, down, hilang inspirasi. Karna setiap ngeliat replika ini, yla ngeliat masa depan. Satu hari nanti, kaki ini bakal berpijak disana. But now I must realize that... Hhh just thankyou :)




Malaikat berwujud manusia yang diciptakan Allah buat yla:

Makasih Runi, buat semua larangan-larangannya. Runi yang nggak pernah capek bilangin yla jangan minum ini makan itu. You such a great listener Run! Nih, sekarang yla turutin Runi, udah telat sih. Tapi makasih ya :)


Dewot!!! Aaaaaak, peri cintanya yla. Makasih buat peluknya tiap pagi, setiap hari. Makasih buat kegilaan anda, lima puluh persen senyum sama tawa ini dari Dewi, Wi.. Makasih banget.


Rini, Nisa, Kak Bayu. Rini yang nggak pernah capek nemenin yla kemanapun. Masih ada Rini dengan semua kebodohan yang pernah kelintas. Inget waktu hari kedua yla les di Medica? What the hell we are!! Haha. Nisa, betapa Nisa udah yla anggap kaya kakak sendiri. Nisa yang dewasa, lembut, pengertian. Yang sekongkol sama Runi ngelawan nafsu sesat yla dan Rini. Fight, huh? Go to the jail, we are Fine.. Kak Bayu, dengan sejuta rumus ajaibnya, cubitan mautnya, kesesatannya.



Saudara sehidup semati :) makasih buat semuanya Rhe. Makasih :)

Gift from universe :')
Dari Alda.
Sebelum yang hitam ini gugur, sebelum mahkota yang dulu selalu terbanggakan ini jatuh satu per satu. Biarkan butir-butir mutiara ini menghiasinya :)



Thank you, to make a piece of smile in this face. Before the day's come.

Hasil jepretan kamera hape yang kabur dan nggak seberapa.



Senja terakhir itu nggak bisa ditebak kapan datengnya :)

Seindah-indahnya senja, seduniapun teman. Keluarga yang menopang segalanya kini jauh lebih indah, jauh lebih luar biasa dari dunia. Ucapan terima kasih nggak sanggup membayar semua yang telah dianugerahi buat saya. Tapi, untuk terakhir kalinya, terima kasih :)

"I'll never gone. I promise, never. Just close your eyes, take a deep breath and someday, you know that I'll be there."
-fay-

Sakitnya Keikhlasan

Selamat siang, Kisha tersayang..

Apakah tidak terlalu dini meraih suratku saat ini? Semoga kau telah membereskan semuanya dengan baik. Satu-satunya yang kutakutkan adalah, bahwa aku hanya akan menjadi lalat pengganggu bagimu.

Bagi seorang pecinta, impian terbesarnya adalah menjadi penyejuk, pengayom, sekaligus penghibur bagi yang dicintai. Namun kadangkala bukan perkara mudah untuk mendapatkan kesempatan berharga itu. Kecuali jika mereka telah terikat dalam penyatuan sempurna yang bernama pernikahan. Itulah mengapa pernikahan dianggap sebagai puncak dari pencapaian perjuangan cinta. Karena hanya dengan melalui pernikahan maka impian seorang pecinta dapat terwujud dengan mudah.

Ngomong-ngomong soal pernikahan, masih ingatkah kau bahwa dulu kita sering bermain pengantin? Tentu saja pengantin bohong-bohongan. Kita lah yang berpura-pura menjadi pasangan pengantin. Kau senang sekali memakai mahkota dari jalinan rumput liar yang dipilin-pilin. Kau selipkan kembang sepatu di telinga kirimu. Bagiku, kau tampak cantik sekali meski kawan-kawan kita cekikikan saat melihat dandananmu. Aku, yang berpura-pura menjadi pengantin pria, menyematkan cincin di jari manismu. Cincin itu terbuat dari serabut akar yang telah kujalin. Kemudian teman-teman yang lain berbaris berderet untuk menyalami kita, pura-pura memberi selamat. Selanjutnya para tamu dan juga kita disibukkan dengan pesta jamuan yang juga bukan sungguhan. Sajian penganan itu terbuat dari tanah, batu bata, bunga, dan dedaunan. Kita semua bergembira seolah benar-benar merayakan pesta. Namun jauh di lubuk hatiku, sempat terselip doa diam-diam, semoga permainan ini kelak menjadi kenyataan.

Tapi aku pun ingat pada suatu momen ketika kita bermain pengantin-pengantinan. Di tengah keasyikan permainan kita, tak sengaja mataku menangkap bercak merah pada rok bagian belakang yang kau pakai. Kau sendiri tampak tak menyadarinya, terus saja sibuk mondar-mandir dan tertawa-tawa dengan teman-teman yang lain. Kupikir, apakah kau sedang terluka atau bagaimana. Tapi sepertinya kau tak tampak kesakitan. Mustahil jika itu adalah bekas bercak darah yang telah lama, karena sepertinya masih baru. Maka saat kau sedang menyusun bebungaan di sampingku, kugamit lenganmu. Kau menoleh padaku. Kutanyakan apakah kau sedang sakit atau terluka, kau menggeleng. Aku bersikeras bahwa kau sedang terluka — mungkin tersayat. Kukatakan bahwa aku melihat bercak darah di rok bagian belakangmu. Kau terkejut dan segera memeriksa bagian belakang rokmu. Keterkejutanmu semakin tergambar jelas. Saat itu juga, dengan gugup kau katakan bahwa kau hendak pulang, tak lagi meneruskan permainan. Aku menawarkan diri untuk mengantarmu.

Sepanjang perjalanan kau hanya terdiam, dan aku pun ikut-ikutan diam. Kita saling berjalan bersisian dalam keheningan. Langkahmu tergesa, membuatku semakin merasa khawatir. Kupikir kau memang benar-benar sakit.

Sesampai di halaman depan rumahmu, secepat kilat kau berlari ke dalam rumah. Aku memilih duduk di teras rumah, menunggumu sembari membolak-balik halaman koran yang tersedia disitu. Kutunggu-tunggu sampai beberapa lama, kau tak kunjung keluar menemuiku. Aku semakin tak sabar, sekaligus penasaran. Bagaimana keadaanmu? Apakah kau baik-baik saja atau memang sedang sakit? Karena ketaksabaranku, kemudian aku mencoba untuk melongok-longok melalui pintu ruang tamu sembari memanggil-manggil namamu. Kau tak jua menjawab.

Namun tak seberapa lama ibumu muncul dan menemuiku. Pada beliau, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Kisha dimana, mama?” Lagi-lagi, senyum ibumu terkembang sempurna. “Sepertinya hari ini Kisha tak bisa bermain, Ramu.” katanya lemah lembut. “Memangnya kenapa, mama? Apa Kisha sakit? Tadi aku melihat bercak darah di belakang roknya… Aku takut Kisha kenapa-napa, mama..” Aku tak lagi bisa menyembunyikan kekhawatiranku. “Tenang saja, Ramu. Kisha nggak kenapa-napa kok. Kamu tak perlu cemas, ya. Kisha sekarang sudah jadi wanita yang lebih dewasa, bukan anak-anak lagi. Sepertinya sekarang Kisha sedang ingin istirahat. jadi besok baru bisa ketemu Ramu lagi, ya.” tuturnya lembut. Sejenak aku merasa bingung. Apa maksud ucapan ibumu? Mengapa ia mengatakan sekarang kau sudah menjadi wanita yang lebih dewasa dan bukan anak-anak lagi? Tapi aku merasa tak enak bersikap terlalu cerewet di depan ibumu. Maka dengan masih menyimpan sejuta pertanyaan, kuputuskan untuk pulang.

Sesampai di rumah, aku enggan bergabung bersama adik-adikku yang sedang menonton kartun di ruang tengah. Aku masih memikirkan kamu sekaligus ucapan ibumu. Kulihat ibu sedang menata talam untuk persiapan pengajian. Tiba-tiba terbersit pikiran untuk membagi pengalaman dan ceritaku mengenai kamu kepada ibu. Biasanya, aku memang senang mencurahkan segala kisah maupun isi hatiku kepada ibu, terutama ketika aku sedang merasa galau. Maka kuhampiri ibu dengan hati-hati, kemudian duduk di sisinya. Aku mulai bercerita tentang kejadian mengenai kamu. “Itu namanya Kisha sedang dapat menstruasi. Perempuan yang sudah akil baligh akan mendapatkannya setiap bulan. Mungkin yang dialami Kisha itu adalah menstruasi pertamanya.” Ibu mencoba menjelaskan. “Memangnya mengapa perempuan harus mendapat menstruasi, ibu?” tanyaku, masih tak mengerti. “Kalau perempuan sudah mens berarti sudah boleh menikah dan sudah bisa punya anak.” Jawab ibu enteng. Aku masih tak yakin, tapi mencoba menerima jawaban ibu. “Apakah menstruasi itu sakit, bu?” tanyaku lagi. “Tergantung. Ada beberapa perempuan yang merasa sakit, ada yang tidak.” Sejenak aku mengkhawatirkanmu. Bagaimana jika kamu termasuk yang mengalami sakit saat menstruasi? Namun teringat pada penjelasan ibu bahwa perempuan yang sudah mendapat menstruasi boleh menikah dan punya anak, aku tersenyum. Kubayangkan sebuah pelaminan dimana aku dan kau duduk disana. Dan aku pun mulai membayangkan bayi-bayi…

Baru keesokan harinya aku dapat menjumpaimu di sekolah. Tapi tingkah lakumu tak seperti biasanya. Saat jam istirahat berdenting, kau memilih tetap tinggal di kelas, duduk di bangku belajarmu sembari membaca-baca buku yang kau pinjam dari perpustakaan tempo hari. Kuajak engkau bermain di halaman sekolah, kau menolak. Kurayu pergi ke kantin, kau pun tak hendak. Aku pantang menyerah, terus saja mencoba mengajakmu mengobrol. Tapi sepertinya kau sedang tak minat bicara banyak. Yang ada, kau justru seringkali senewen. Kurasakan senyummu pun mahal.

Nyaris selama tujuh hari berturut-turut kau menjadi sosok Kisha yang menjengkelkan. Kau jadi sedemikian sensitif bahkan terhadap hal-hal sepele dan gemar marah-marah. Tentu saja aku yang seringkali menjadi sasaran kemarahanmu karena memang akulah yang kerap memancing emosi marahmu. Sempat aku merasa sedih, mengira kau telah bosan berteman denganku. Kadang aku juga berpikir, jangan-jangan perubahan sikapmu adalah efek samping dari menstruasi yang kau alami. Apakah seorang anak yang telah menjadi gadis akan berubah menjadi semenyebalkan ini? Bukankah itu sama sekali tidak menyenangkan? Kalau begitu, mengapa anak-anak perempuan suka sekali berangan-angan untuk menjadi wanita dewasa? Aku sungguh tidak mengerti.

Kisha yang seorang gadis cukup berbeda dengan Kisha kecil yang pertama kali kukenal, meski perbedaan itu tak terlalu jauh. Setidaknya, Kisha yang beranjak remaja tak lagi mau bermain lompat tali atau memanjat pohon. Tak lagi mau mandi bersama-sama di sungai bendungan atau berenang di tepi lautan karena kau tak mau mencopot baju sembarangan. Begitulah alasan yang kau utarakan. Saat kita beranjak lebih besar, satu-satunya aktivitas yang masih menjadi kegemaran kita adalah membaca dan membicarakan cerita. Entah itu di bawah pohon di atas bukit, di pantai, atau di rumahmu. Kita pun senang bermain monopoli, permainan yang baru dibelikan oleh ayahmu. Di sekolah, kita semakin sering menghabiskan waktu di perpustakaan.
Saat itu kita memang sudah menginjak kelas tujuh di sekolah menengah. Kita masih tetap bersama-sama meski mulai jarang memainkan permainan-permainan di masa kecil. Pelan-pelan, Kisha dan Ramu kecil menapak masa-masa pra remaja yang menjanjikan gairah yang berbeda. Kita mulai sibuk mencari-cari eksistensi pada dunia yang baru. Tapi aku pun juga disibukkan oleh geliat rasa cinta terpendamku kepadamu. Seperti mencermati gelegak air mendidih dalam ketel yang tertutup.

Sedangkan kau, semakin hari terlihat semakin cantik. Wajahmu yang oval mulai terpulas bedak, membuatmu semakin bersinar. Aku senang sekali memandangmu di kala pagi. Bahkan kesejukan yang kau timbulkan pada mataku jauh lebih dahsyat daripada aku memandangi hijaunya rimbunan semak. Tapi pernah pula aku melihat sebuah benjolan merah di sebelah kanan hidungmu. Semula aku tak terlalu memperhatikanmu. Namun karena kau bertingkah aneh dengan terus-terusan menutupi wajah bagian kanan dengan tanganmu, aku pun jadi curiga. Saat kau lengah, aku baru dapat mengetahui apa sebenarnya yang kau tutup-tutupi. Ah, rupanya kau sedang berjerawat. Kau punya satu jerawat yang besar sekali! Memerah, membengkak, dan menantang. Tentu saja aku tak asing dengan jerawat karena wajah ibuku senantiasa dipenuhi jerawat. Tanpa peduli perasaanmu, aku menggodaimu, mengolokmu tak bosan-bosan. Kupikir inilah saat yang tepat untuk membalasmu setelah masa-masa murammu yang menyebalkan itu. Kau semakin kesal padaku. Sambil mengejar-ngejar aku, kau lempar dengan penuh emosi buku matematikamu hingga tepat mengenai kepalaku. Aku meringis kesakitan, namun juga senang.

Aku telah cukup lama mengenalmu. Aku tahu betul bagaimana sifat dan watakmu. Kau bukanlah seorang pemarah, dan sejatinya kau pun bukanlah seorang pendendam. Yang tidak pernah berubah darimu, kau adalah seorang anak, seorang gadis yang periang. Sejengkel apapun kamu terhadapku, esok aku selalu masih menemukan senyum ceriamu. Esok aku selalu dapat bermain bersamamu, berada di dekatmu.
Saat itu kita memang masih sering bermain ke pantai. Namun selain pantai, sebenarnya ada pula tempat indah dan mengasyikkan yang menjadi favorit kita. Bukit Mahligai, begitu orang-orang menyebutnya. Bukit itu tak terlalu tinggi. Puncaknya hanya setinggi dua puluh meter dari permukaan laut. Terdapat banyak bebatuan besar yang tersusun acak. Tanahnya menghijau oleh rumput-rumput liar pendek. Beberapa penduduk gemar memangkasi rumput disana demi memberi makan ternak mereka. Selain semak-semak perdu, terdapat pula sebuah pohon akasia yang cukup besar dan rindang. Kita seringkali bermain dan beristirahat di bawahnya. Anak-anak yang lain pun kerap menjadikannya sebagai tempat bermain. Jika siang hari, suasana disana lebih sepi ketimbang sore hari. Tapi kita lebih senang kesana pada siang hari selepas pulang sekolah. Rasanya lebih nyaman karena kita dapat menikmati semilirnya angin segar. Kadangkala kau membawa buku. Aku senang sekali tidur-tiduran di salah satu batu besar di bawah pohon itu sembari mendengarmu membaca buku keras-keras. Kadangkala kita membaca berganti-gantian.

Di bukit itu kau pernah mengungkapkan sesuatu yang kemudian membuat hatiku pecah berkeping-keping, patah hati sejadi-jadinya. Kala kita sedang asyik berdua membicarakan sekolah, teman-teman kita, guru-guru kita, tugas terakhir, sambungan serial televisi dan komik terbaru yang kau miliki, tiba-tiba kau bertanya sesuatu dengan sikap diluar kewajaran. “Ramu, menurutmu Andrea itu bagaimana?” Aku sempat bingung, hal apa yang membuatmu tiba-tiba menanyakan soal Andrea. Sepanjang obrolan, kita sama sekali tak pernah mengulas apapun yang menyangkut murid pindahan itu. Tapi tiba-tiba kau menanyakannya. Aku was-was. Yang menjadikan perasaanku tak enak, Andrea adalah seorang anak laki-laki yang sepatutnya kucemburui. Ia adalah siswa pindahan yang masuk ke kelas tujuh. Menruut banyak cerita, ia datang dari kota besar nun jauh disana, kemudian ayahnya dipindahtugaskan.

Andrea seorang anak yang kaya raya, dari keluarga yang terhormat pula. Wajahnya tampan, perawakannya menawan. Ia benar-benar berpotensi menjadi idola murid-murid perempuan. Tapi aku sungguh tak berani membayangkan jika Kisha-ku, Kisha yang kucintai diam-diam, pun menaruh hati pada anak sombong itu. Kukatakan sombong karena sejauh ini ia begitu pemilih dalam bergaul. Tatapan matanya terlihat merendahkan. Gerak-geriknya terlihat sok, dan ia hanya mau berbicara dengan guru ataupun teman yang sepadan dengannya. Mengetahui kau menyebut nama Andrea saja sudah membuatku mulas. Dan yang membuatku merasa kesemutan, kau menyebut namanya dengan tersipu malu, dengan wajah merah merona.

“Mengapa kau tiba-tiba menanyakan soal Andrea?” Aku menyelidik. “Aku hanya sekedar bertanya. Menurutmu dia seperti apa? Apa kira-kira anak seperti dia sudah punya pacar?” Jawabmu setengah berbisik, setengah malu-malu. Ah, Kisha… Siapapun yang bertanya seperti itu, semua orang pasti tahu bahwa ia memiliki perasaan tertentu pada orang tersebut. Memiliki dugaan ini saja membuat hatiku rontok seketika. “Aku tahu! Kau pasti menyukainya! Iya, khan?” Aku mencoba menyimpulkan. Sedapat mungkin aku bersikap sewajarnya, seolah sama sekali tak terpengaruh. Aku harus menjaga sikap seolah-olah aku memang benar-benar sahabatmu yang dapat kau ajak berbicara apa saja – termasuk tentang seseorang yang kau taksir sekalipun.

Kau justru makin tersipu. Mukamu benar-benar memerah, tawamu pun merekah. Kau bahkan berusaha untuk meutupi wajah dengan kedua tanganmu. Aku mencoba untuk ikut tertawa, menggodamu, membuat diri pun merasakan senang seperti yang kukira sedang kau rasakan. “Dengar, Ramu. Aku hendak menceritakan rahasia kepadamu. Tapi berjanjilah untuk tidak membocorkannya pada siapapun, terutama pada teman-teman kita.” Mimik mukamu berubah serius, dan sepertinya kau hendak membicarakan hal besar kepadaku. Aku lebih mendekat, bersiap mendengarmu. “Dua hari yang lalu Andrea mengirimiku surat cinta. Dia bilang dia suka padaku, dan ingin menjadi pacarku. Tapi sampai saat ini aku belum menjawabnya. Menurutmu bagaimana, Ramu?”

Hatiku mencelos kala mendengar apa yang kau katakan. Ah, ternyata tak cukup hanya Romi yang menyatakan cinta padamu. Dulu aku sudah dapat menduga dengan tepat bahwa Romi takkan punya peluang sama sekali. Namun kali ini sepertinya berbeda. Anak laki-laki itu adalah Andrea! Dan ia punya segalanya untuk menarik hatimu. Tiba-tiba tubuhku serasa kehilangan tulang. Tapi kucoba menguatkan diri, bersikap sewajarnya seorang sahabat. “Wah, itu bagus!” Seruku. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku telah berekspresi keliru. “Kau sendiri menyukainya, tidak?” tanyaku supaya terlihat lebih perhatian. “mm… entahlah… Kurasa dia cukup menarik…” Kau menjawab dengan setengah melamun. Benakmu mulai mengembara. Kupikir aku tahu kau sedang mengembara kemana. Karena aku pun mulai membayangkan sosok Andrea.

Sejak itu, aku dihujani mimpi buruk tentang kau dan Andrea. Hatiku pedih tiap kali membayangkan kau akan menerima cinta Andrea dan bersedia menjadi pacarnya. Bagaimana dengan perasaanku sendiri? Aku telah cukup lama memendam cinta kepadamu. Sedangkan Andrea hanyalah seseorang yang tiba-tiba muncul. Namun kemunculannya itu telah sanggup memporakporandakan seluruh mimpiku, harapanku. Apalagi mengingat apa yang dimiliki Andrea, membuatku harus menelan ludah menerima kenyataan pahit. Aku bahkan tak layak untuk dibedakan dengan Andrea yang jelas lebih kaya dan lebih tampan daripadaku. Aku sadar siapa dan bagaimana diriku. Karena itulah yang membuatku tetap bertahan untuk lebih baik memendam cintaku terhadapmu. Barangkali aku memang hanyalah pungguk yang merindukan bulan. Kemarin aku mencoba untuk senantiasa berbesar hati menerima cinta yang terpendam karena keadaanku sekaligus tipisnya nyaliku. Tapi sekarang, ketika sosok Andrea tiba-tiba muncul, aku tak tahu seperti apa sikap berbesar hati itu. Aku terpuruk. Aku kesal. Aku marah.

Beberapa hari kemudian kau tergesa-gesa mengajakku kembali ke bukit. Kau tak peduli meski langit sedang menggantung mendung. Katamu, ini lebih penting daripada hujan. Sepertinya kau tak sabar hendak mengatakan sesuatu padaku. “Ramu, aku mau minta tolong padamu. Kuharap kau tidak menolaknya. Aku mohon, ya…” Kau merayuku. Kutatap wajah dan sorot matamu yang tanpa dosa, menghiba dan penuh pengharapan. Melihatmu demikian, siapa yang sanggup menolak? Andaikan saat itu kau minta aku untuk memindahkan bukit pun barangkali aku bersedia. “Aku minta tolong padamu untuk menyampaikan surat ini pada Andrea.” Kau mengeluarkan sebuah amplop dari balik lipatan buku cerita yang kau bawa. “Surat apa ini?” Aku tak tahan untuk ingin tahu. “Surat balasanku untuknya.”jawabmu. Aku teringat cerita tentang Andrea yang mengirimkan surat cinta untukmu. “Kau balas apa? Apa kau menerimanya?” Aku bertanya dengan dada yang bergemuruh. Kau tak menjawab, melainkan hanya tersenyum lebar. Senyum yang membuatku menyadari bahwa kau telah menerima cinta Andrea. “Baiklah. Aku akan menyampaikannya besok di sekolah, ya.” Kataku sedikit kaku. “Jangan, Ramu. Aku ingin kau menyampaikannya sekarang. Di sekolah sangat berbahaya. Bagaimana jika anak-anak tahu? Pergilah ke rumah Andrea sekarang. Kau tahu rumahnya, bukan? Aku mohon, Ramu…” Kau kembali memohon. Kutangkap cinta di matamu. Tapi aku tahu, bahwa cinta itu jelas bukan untukku. “Tapi sebentar lagi akan hujan, Kisha. Lagipula, rumah Andrea cukup jauh… Perlu tiga puluh menit naik sepeda.” Aku mencoba memberimu pengertian. Tapi tatap matamu terus menghiba. Tatap mata yang penuh pengharapan, menyimpan sejuta asa, kerinduan, dan cinta. “Baiklah, aku akan berangkat.” kataku pada akhirnya.

Dengan membawa surat cintamu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil sepeda. Sementara itu, gumpalan awan kelabu yang terlihat berat menanggung beban berarak memayungi kampung Sammoa. Kukayuh cepat-cepat sepeda bututku menyusuri jalanan tanah yang berkerikil hingga mencapai jalan besar beraspal. Kuterjang batu-batu kecil yang menghadang. Beberapa ayam kampung yang melintas dengan melenggang berlari terbirit-birit hingga merontokkan helai bulu-bulu mereka. Kukayuh pedal dengan kekuatan maksimal. Aku bersepeda seperti orang kesetanan. Mungkin jiwaku pun sedang kesetanan. Mataku nanar menatap jalan lurus ke depan, tapi benakku penuh berisi kamu, Andrea, melintas-lintas, berganti-gantian. Kubayangkan kamu dan Andrea sedang tertawa. Terus saja tertawa. Bukan tertawa karena memadu bahagia, tetapi menertawaiku. Menertawai kebodohanku, kemalanganku, ketragisan nasib cintaku. Bunga mawar yang kutanam dan kurawat sepenuh hati dalam hatiku telah merontokkan kelopaknya satu persatu, pun dengan dahan yang telah mengkerut layu.

Mendung semakin gelap, segelap hatiku. Kurasakan titik-titik air yang mulai berjatuhan memerciki tubuhku, sepedaku, jalan-jalan, dan apapun yang kulintasi. Aku sudah berjanji padamu. Apapun yang terjadi, meski hatiku terkoyak, suratmu harus sampai di tangan Andrea. Ah, mengapa harus Andrea? Anak itu selalu beruntung sejak lahirnya. Tidakkah pernah terlintas dalam pikirannya bahwa keberuntungannya pun acapkali menggerus keberuntungan orang lain? Lihat apa yang telah dia lakukan. Kau jatuh bertekuk lutut menyerahkan cinta dengan begitu mudahnya. Padahal ia baru beberapa bulan di sekolah kita. Seberapa jauh dia mengenal sosok Kisha? Dan lihat! Betapa mudahnya ia menyatakan cinta dengan hanya perkenalan dan kebersamaan yang takkan bisa dibandingkan denganku! Lagipula, tidakkah kau menemukan kekurangan atau kelemahannya – yang setidaknya mampu membuatmu mempertimbangkan lebih lama untuk menerima cintanya? Perasaan dan emosiku terus berkecamuk hingga membuatku tak lagi peduli dengan perjalanan yang dihempas hujan. Kaos dan celana pendekku telah basah kuyup. Rambutku basah, wajahku basah, pipiku pun basah. Basah oleh hujan dan air mata yang semakin deras. Barangkali suratmu pun juga basah. Tapi aku tak mau ambil peduli. Biar saja basah, biar saja air hujan melunturkan tulisan dalam suratmu yang telah meruntuhkan harapanku, menghanguskan semangatku. Biar saja. Kalau perlu, biar saja surat itu hancur menjadi bubur oleh hujan lebat yang terus mengguyur. Itu bukan salahku! Salahkan saja hujannya. Salahkan Andrea!

Kekacauan yang menguasai pikiranku membuatku tak awas melihat jalan. Ditambah dengan air hujan yang menghalangi pandanganku, membuatku merasakan kesialan yang bertubi-tubi. Sekonyong-konyong rodaku menumbuk sesuatu yang membuatku jatuh dan terpelanting. Lulutku memar membentur aspal, membentuk goresan luka yang kemudian terasa perih saat terguyur hujan. Beberapa jari kakiku terkilir, sakit sekali rasanya. Aku berteriak dalam kesendirian. Aku merasa sakit keseluruhan. Sakit kakiku, sakit juga hatiku. Kuurut-urut sejenak jemariku hingga sedikit merasa lebih baik. Ah, mengapa aku selalu tidak beruntung? Bahkan sekedar hendak menyampaikan surat pun aku masih juga tidak beruntung! Kuperiksa keadaan, ternyata ada sebuah kayu lapuk yang tergeletak melintang di tepi kiri jalan. Dengan mengabaikan luka yang kualami, aku segera bangkit dan kembali meraih sepedaku. Kutabahkan diri untuk meneruskan perjalanan. Luka di lututku terasa pedih. Namun hatiku jauh lebih pedih.

Andrea berdiri kaku di hadapanku. Ia terkejut dan terheran-heran dengan kedatanganku. Ia menyuruhku masuk, tapi kutolak. Segera kuserahkan suratmu yang kusimpan dalam saku celanaku. Surat cinta itu telah benar-benar basah, namun tidak hancur – seperti harapanku. “Dari Kisha”, kataku lirih. Aku mencoba tak banyak bicara demi menyamarkan emosiku yang belum pulih.

Pelan-pelan Andrea membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Ternyata ia pun masih dapat membaca baris-baris tulisan Kisha yang indah. Ternyata hujan tak cukup banyak melunturkannya. Kulihat Andrea tersenyum setelah membaca suratmu yang singkat. Ada binar bahagia pada matanya yang teduh. Sialan! Anak laki-laki ini memang pantas disukai! Meski seribu tahun aku sibuk mengorek-ngorek kekurangan dan kecacatannya, aku pasti tak akan dapat menemukannya. Meski sebelumnya aku sempat menduga bahwa ia adalah anak yang sombong dan angkuh, nyatanya ia tersenyum ramah padaku dan mempersilakanku masuk. Hatiku lah yang sebenarnya belum sanggup menerima kebaikannya. Ah, melihat kesempurnaannya secara langsung, betapa jauhnya ia dibanding diriku. Rasanya aku ingin mengecil serupa semut kemudian menghilang dari hadapannya.

Terlalu lama berdiri di depan Andrea membuatku kikuk. Maka tak menunggu lebih lama, aku berpamitan pulang. Ia sempat menahanku karena hujan masih juga belum reda. Kupikir dia itu sedikit tolol. Jelas sekali ia melihat aku datang dengan keadaan basah kuyup. Bisa-bisanya ia masih mengkhawatirkanku dengan alasan hujan.

Meski luka itu masih menganga, tapi aku pulang dengan perasaan yang lebih ringan. Setidaknya, surat yang ‘memberatiku’ itu telah kusampaikan dengan sukses. Kurasa kau pasti akan senang. Kemudian kubayangkan senyummu yang biasa terkembang saat sedang senang. Bukankah itu juga akan menyenangkan hatiku? Apalagi yang bisa kuperbuat selain membuatmu senang? Kau memilihku atau tidak, kau tetap adalah cintaku. Demi kamu aku bahkan rela mengorbankan diriku di hadapan maut dengan terjun ke laut. Mengapa sekarang aku tak rela menghancurkan hatiku sendiri? Bukankah itu toh juga untuk kesenangan kamu, kebahagiaan kamu? Dibandingkan dengan rasa cintaku terhadapmu, keegoisanku masih jauh lebih kecil dan masih bisa kuatasi, meski dengan terpaksa. Barangkali aku memang harus lapang dada menerima kenyataan ini. Aku harus tabah, aku harus ikhlas, aku harus sabar. Bukankah orang sabar adalah orang yang beruntung? Pak ustad mengatakan itu berkali-kali.

Aku membayangkan kau sedang diliputi perasaan bahagia dan jatuh cinta. Tak bisa tidur karena memikirkan si dia sambil tersenyum-senyum. Aku pun tak bisa tidur karena memikirkanmu, memikirkan hatiku. Kadang aku menangis, tapi lebih sering kutahan-tahan. Saat kita bermain bersama, kau pun mulai kerap membicarakannya. Tentu saja dengan hati yang berbunga-bunga, dengan wajah yang berbinar-binar. Kau membicarakan apa saja tentangnya dengan tertawa-tawa senang. Kau pun ingin aku antusias dengan semua ceritamu, luapan perasaanmu. Aku melakukannya. Aku ikut tertawa, menggodamu, mendengarkan dengan penuh perhatian mengenai kisah-kasihmu bersama dia. Begitulah caraku membuat diriku sempurna di hadapanmu. Apakah aku sudah benar-benar tampak sempurna waktu itu, Kisha?

Sekedar itu tentu saja belum cukup. Bukankah aku juga cukup setia menemanimu? Maksudku menemani kalian? Kadangkala kau memintaku bergabung diantara kemesran kalian yang malu-malu. Entah itu di perpustakaan sekolah, di kantin, atau dimanapun kalian memiliki kesempatan untuk berduaan. Aku seolah menjadi penjaga yang siap mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan kalian. Masihkah kau ingat bahwa kita bertiga pernah berjalan-jalan di pusat perbelanjaan yang terletak di pusat kota? Andrea yang mengajakmu, dan ayahnya yang mengantar kita. Kau tentu takkan mendapat ijin dari orang tuamu jika pergi seorang diri. Akulah yang menjadi penyelamatmu, bukan? Di mobil Andrea yang besar, kalian berdua duduk di tengah, sedang aku duduk sendiri di bagian belakang, menonton kalian yang sedang saling curi-curi pandang. Bukankah orang tua Andrea pun menyukaimu? Tentu saja menyukaimu karena derajatmu sepadan dengan mereka. Lagipula, orang tuanya pun terlihat ramah dan baik, tak kalah dengan orang tuamu. Nah, betapa kalian adalah pasangan yang sangat serasi!

Tidakkah andilku memuaskan bagimu? Aku pun kerap menjadi penengah diantara kalian. Seorang penghubung yang baik. Di minggu-minggu pertama pacaran, kalian masih senang saling surat-suratan. Kau pikir siapa yang menjadi tukang pos cinta diantara kalian? Di tengah hubungan, acapkali kalian saling marahan. Apakah kau pikir hanya kau saja yang melampiaskan segenap perasaanmu? Bahkan kekasihmu yang tampan itu pun bertingkah laku sama denganmu. Ia kerap memintaku menjadi pendengarnya, menjadi corong atas hasrat hatinya supaya engkau lebih mendengar, lebih mengerti. Ia sering memintaku merayumu untuknya, dan kau pun sering memintaku untuk membetikkan pengertiannya. Tidakkah kau merasa beruntung berteman denganku, Kisha?

Andaikan ada yang mengetahui keseluruhan tentang sepak terjangku, perasaanku, tentu mereka akan menganggapku gila. Menilaiku konyol. Mau-maunya aku melakukan itu semua! Tapi bukankah sudah kukatakan bahwa seseorang yang mencintai seringkali berlaku gila dan berbuat konyol? Kecintaanku padamu membuatku gila, dan kebodohanku membuatku bertingkah konyol. Antara gila dan konyol dalam diriku beda tipis. Aku gila sekaligus konyol.

Lagipula, lambat laun aku pun mulai terbiasa. Terbiasa menerima kenyataan bahwa selain ada aku dan kamu, juga ada dia. Pun terbiasa untuk kembali menyimpan cinta cukup di dalam dada. Bukankah dari dulu juga demikian? Barangkali aku memang harus mengikhlaskannya. Mencoba untuk memiliki sikap demikian membuatku merasa sedikit lebih nyaman dan tenang. Tapi entahlah, kadangkala kupikir pun beda tipis antara mengikhlaskan atau menyerah karena tak lagi dapat melakukan apapun. Pada kondisi yang sepesimis itu, tak ada yang lebih baik selain sekedar mengharap kamu bahagia dengan cara apapun yang kau kehendaki. Karena bahagiamu, kusadari pun adalah bahagiaku. Bagiku, lebih baik kutahan-tahankan diriku menatap keriangan kalian berdua daripada kehilangan senyummu sama sekali.

Tapi entahlah, apakah kemudian aku harus bersyukur atau turut bersedih. Tiga bulan menjelang, kujumpai kau terduduk murung di kursi terasmu. Saat melihatku, seperti biasa, kau tak sabar untuk menumpahkan segenap curahan hatimu. Kau ajak aku bergegas ke atas bukit. Disana kita saling duduk bersisian. Saat kutanya ada apa, kau malah menutup wajah dengan tanganmu. Di antara isak tangismu yang tertahan-tahan, kau katakan dengan terbata bahwa hubungan cintamu dengan pangeran yang sempurna itu telah berakhir.

Kisha yang kucintai,

Sesungguhnya apapun yang telah kita alami adalah anak tangga menuju posisi kita yang sekarang. Jangan pernah disesali, jangan pernah merasa bersalah, dan jangan pula membenci. Saat mengungkap semua ini kepadamu, kuharap kau tak kecewa padaku dan menganggapku menggenggam belati di balik punggungku. Kau tahu bahwa aku takkan pernah menyakitimu. Andaikan belati itu memang melukai, maka ia hanya akan menusuk jantungku sendiri. Namun itu tiadalah mengapa. Bukankah aku terbiasa dengan rasa sakit? Bukankah sudah kukatakan bahwa bagi seorang yang mencinta, bahkan rasa sesakit apapun takkan pernah dirasakannya? Maka janganlah kau mengkhawatirkanku. Sejak dulu hingga detik ini, yang kupedulikan hanyalah kebahagiaanmu. Andaikata kebahagiaanmu adalah dengan mencabik-cabik diriku, hatiku, aku rela dengan sepenuh hati. Jauh lebih baik daripada kehilangan senyummu sama sekali.

Kisha yang kucintai,

Barangkali kau merasa lelah sekarang. Aku pun mulai merasa lelah. Aku telah mengungkap banyak hal kali ini. Regangkan sejenak otot-ototmu supaya tak kaku. Tersenyumlah. Kau selalu lebih cantik jika tersenyum. Lihatlah ke arah luar. Apakah masih terdapat cahaya disana? Jika iya, berarti masih terdapat cahaya pula dalam hatimu, dalam rentang asa dan harapanmu. Bersabarlah. Aku akan kembali menjumpaimu esok.

Yang mencintaimu,

A Ramu
Ya Allah.,malam ini Kau tegur aku lagi lewat pukulan yang begitu tajam pada jiwaku. Kau beri lagi aku cobaan Ya Allah. Ya Allah, aku merasa tak sanggup melewati ini semua, aku takut aku menyerah di tengah jalan, lalu aku patah semangat. Aku takut salah langkah Ya Allah. Malam ini hatiku harus tercabik mendengar apa yang sedang terjadi pada sebagian nyawa untuk kelanjutan hidupku, Engkau menitipkan cobaan pada raga ini. Ya Allah, aku tahu dibalik semuanya, dan jika aku sanggup melewati semuanya aku mohon Ya Allah, sudikah Engkau menaikkan derajat hambamu yang hina ini?Ya Allah, aku tahu tidak mudah melewati ini semua, setidaknya buat aku bertahan hingga nanti Ya Allah. Hingga aku mendengar satu kata yang aku perjuangkan selama ini. Setidaknya kuatkan aku hingga saat itu, sebentar lagi saja. Setelahnya, aku ikhlas Ya Allah. Raga ini milikMu, kepadaMu aku kembali Ya Allah. Ya Allah Ya Robb, aku tahu senyum pada wajahku tidak mampu menyejukkan. Tapi kuatkan aku untuk tetap memberikannya pada semua teman2 setiap hari selama aku masih mampu. Ya Allah, aku tau lisan ini tdak berarti. Tapi ijinkan aku untuk tetap bercerita dan bercaanda dengan teman2, selama aku masih mampu.selama aku masih mampu Ya Allah, beri aku napas untuk melihat senyum di wajah orangtuaku dengan perjuangan selama ini Ya Allah.kuatkan hati mereka pula Ya Allah dengan smua cobaan ini. Selama aku masih Kau mampukan Ya Allah, murahkan lah rezeki mereka agar aku tetap bertahan hidup. Nanti, waktu aku Kau mampukan Ya Allah, aku berjanji akan membalas semuanya. Aku akan berjuang. Buat aku menjadi perempuan tegar, beri aku kesabaran dariMu Ya ALLah. Mungkinkah selama ini kesabaran ini begitu kurang di mataMu. Mungkinkah rasa syukur kurrang kupanjatkan padaMu Ya Allah. Kuatkan aku berjuang sendiri sekarang Ya Allah.kuatkan aku.

24 Maret 2012

Malam ini, di malam yang terasa sepi dan dingin. Aku menggenggam hujan di sela-sela jemariku, menggenggamnya erat untuk kemudian kutebarkan agar dapat bercanda di bawah derasnya nanti bersama dia, entah kapan, aku benar-benar tak tahu. Sekarang, rindu hanya bisa kusingkirkan dengan membayangkannya. Dia, aku melihat langit senja membias di matanya, dan kutemukan keteduhan di sana. Juga kedamaian di setiap alunan suaranya.
Aku ingin membawakan senyum yang akan menghiasi bibirnya setiap waktunya, semampu yang aku bisa. Berpetualang menuju tempat ternyaman. Lebih banyak menghabiskan waktu berdua. Berbagi banyak hal yang akan membuat kami tersenyum dan tertawa. Menghabiskan malam di bawah bintang, di antara embusan udara malam, di antara hangatnya jemari yang saling menggenggam. Tapi aku bermimpi dan harus benar-benar terbangun saat ini.
Sekarang, di sini, hujan, turun teramat deras, seperti kerinduan yang pekat dan berjatuhan bebas. Seperti hati yang ingin kembali lagi dan tak akan pernah pergi. Di balik secangkir kopi hitam, ada harap yang tak henti digumamkan. Semesta, aku rindu dia...
:fach

"Fach, apa kabar?"

Terus Berputar



Bagai sebuah sepi yang merupakan buah dari seluruh amarah beratus hari terpendam, serta luka yang berwindu-windu tak juga menemukan penyembuhnya. Berputar dalam sebuah lingkaran yang kau ciptakan.

Hingga akhirnya tunduk pada airmata untuk menyempurnakannya. Airmata yang sadar akan kau yang melupakan dengan tergesa-gesa. Kau punya rindu yang lumpuh disepanjang jalan dan cinta yang tak pernah terlambat bersinar. Terus berputar, hingga pada satu titik kini menolak untuk mengingat apapun. 

Dan teriakan dari dalam hatiku, samar kau dengar. Kemudian hilang. Airmata tak pernah lengah mengingat bahwa kau tak pernah terlalu jauh, masih denganku, masih didalam bumi yang tidak pernah lelah berputar.

Menghitung Langkah



Tak pernah dapat kuraih kepastian dalam hal memperhitungkan berapa langkah yang telah kau ambil dari tempatku berdiri. Sebab kau terlalu lihai menyembunyikan langkah sedang aku terlalu mudah percaya bahwa kau tak kemana-mana. Tulangku telah begitu rapuh untuk tetap mengais receh demi receh. Aku tetap tak punya sepeserpun untuk membeli setiap langkahmu. Biarkan aku membiarkanmu pergi, sejauh-jauh kau ingin. Sekeras-keras kau derapkan langkahmu. Biarkan aku membiarkanmu pergi.

Dalam kepergianmu, dadu-dadu telah kulempar sebagai teman mengisi hari yang sesak namun penuh kekosongan. Sesak bagi rindu dan kenangan yang terlanjur tak tahu diri, kosong sebab pemiliknya pergi meninggalkan kunci yang masih tergantung dari sisi dalam pintu. Entah siapa yang dapat membukanya.

Perihal ruang bawah tanah hanya kau yang tahu.
Kini dadu-dadu itu berkarat, entah bagaimana kisahnya, hanya kau yang tahu. 

Aku Mengerti


Aku mengerti. Ada sebuah tatap yang tak lagi sama saat kau layangkan tepat di wajahku. Sebuah kerling yang menyimpan luka di sudut-sudutnya. Terlalu jauh untuk bersanding dengan luka yang menenggelamkan mataku. Ada sumbang yang memekakkan telinga saat kau bersuara. Aku hampir tak mengenalinya, suaramukah? Kudengar luka berbisik disana, mengajakku mengerti bahwa kau terlalu lelah. Tapi masih terlampau jauh pula untuk berjalan beriringan dengan luka yang melelahkan bahkan melemahkan seluruh hidupku. Ada sedengus nafas yang terlampau berat kau hembuskan kala dunia memaksamu untuk terus melangkah. Hembusan yang meniupkan luka sebagai materinya. Namun tetap, jarak masih terbentang lebar dengan luka yang menghentikan nafasku. Aku mengerti.

Pada Satu Senja yang Tak Lagi Memerah


Pada satu senja yang tak lagi memerah. Pada hari dimana lelah tertiup angin. Seolah tak pernah surut datang mengetuk pintu yang terekat erat dan rapat. Aku menopang dagu menahan segala letih. Kubayangkan pantai, pada pinggiran bangku-bangku kecil, duduk dan menggantungkan kaki. Membiarkannya bergoyang dibawa angin. 

Seperti kau yang semakin dingin. Kau begitu fasih menggores luka pada kedua genggam tanganku. Tanpa pernah berpikir bahwa tangan ini masih tangan yang sama saat menggenggam tanganmu untuk menghadapi dunia. Pada satu senja yang tak lagi memerah, kering dan menguning. Sebab bayangmu menjelma menjadi biru yang menyamarkannya. Satu senja yang meniupkan segala rasa rindu yang masih sanggup kudekap dalam hati. Hati yang ringan kau lemparkan tanpa beban sambil memunggungiku. Hati yang kau kembalikan saat pendarahan hebat, tanpa pernah mengingat bahwa hati ini masih hati yang sama saat kau sentuh dengan cintamu.  

Pada satu senja yang tak lagi memerah, karna kau ingin pergi sementara aku tetap disini. Sementara luka masih menganga dan darah belum mengering. Sementara kenangan telah menguning. 

(Kartika, 21 Maret 2012)

Sesal

Oleh: Talitha Marcia

Kalau saya diizinkan sekali lagi bersamamu,
Saya akan mengenalkanmu kepada teman-teman terbaik saya. Seperti yang selalu kau lakukan kepadaku. Dan saya yakin kamu akan menikmati tiap kebahagiaan yang kita bagi bersama seperti saya menikmatinya. Mungkin kita bisa berbahagia lebih banyak, jika kita terlebih dahulu membaginya pada sekitar kita.

Kalau saya diizinkan sekali lagi bersamamu,
Saya akan berhenti berusaha membahagiakanmu, dan membiarkanmu untuk berbahagia dengan caramu sendiri. Saya akan mengizinkanmu membangun duniamu sendiri, yang bahagia, tanpa campur tanganku. Mungkin saat itu saya bisa menghabiskan waktu dengan memperjuangkan kebahagiaanku sendiri. Membangun duniaku sendiri. Sehingga ketika kamu pergi, duniaku tidak runtuh seluruhnya.

Kalau saya diizinkan sekali lagi bersamamu,
Saya akan menunjukkan kecanggungan dan ketakutanku. Saya akan menunjukkan bahagia dan dukaku. Saya akan memberitahumu hal-hal yang kusukai, dan yang tidak kusukai, dan yang tidak pernah ku ambil  peduli. Saya akan menunjukkan amarah dan kecewaku, meski kau benci. Mungkin itu akan lebih adil untuk kita berdua, dibanding senyum palsu dan airmata kelelahanku.

Kalau saya diizinkan sekali lagi bersamamu,
Saya akan memelukmu lebih erat, mencium bahumu kian lembut, dan membiarkan wangi tubuhmu disimpan rapi hatiku. Memastikan aku bisa mengingat kembali harumnya dengan tepat, kelak, saat rindu menerjangku bagai ombak. Mungkin itu bisa meringankan sakitku barang sesaat. Sekalipun aku tak yakin juga.

Kalau saya diizinkan sekali lagi bersamamu,
Saya akan berhenti berkata dan lebih banyak mendengarmu. Sekalipun kamu tidak berkata. Saya akan berhenti melihat dunia, dan menatapmu lebih lama. Sekalipun kamu tidak balas menatap saya. Saya akan menggenggam tanganmu sepanjang hari, karena saya tahu saya tidak akan bisa menggenggamnya lagi nanti. Mungkin dengan melakukan semuanya dengan lebih tulus, kita bisa mengerti satu sama lain dengan lebih baik.

Kalau saya diizinkan sekali lagi bersamamu,
Saya akan mengucapkan terima kasih untuk tiap cinta yang kau beri. Untuk tiap cinta yang buatku terlalu sepele. Terlalu sederhana. Dan tidak pernah cukup. Saya akan berhenti merengek dan meminta. Saya akan menerima dan menerima dan berterima kasih tanpa henti. Sampai kata-kata tak lagi punya arti. Sampai cinta membuat hati kita mati rasa. Mungkin dengan begitu kita tidak perlu saling menyakiti seperti ini.

Kalau saya diizinkan sekali lagi bertemu dengamu,
Saya akan tetap menangis, sekalipun kau benci. Karena saya tahu saya akan tetap kehilanganmu, bagaimanapun juga. Saya akan tetap mencintaimu dan mengatakannya, sekalipun kau bosan. Karena tidak akan ada lain kali lagi. Saya akan tetap mengingatmu, sekalipun kau bilang tak perlu. Karena kamu tetap salah satu bagian terindah di hidupku.

Dan saya akan tetap menjadi diri saya sendiri, sekalipun kamu bilang saya keras kepala. Karena cuma ini yang saya punya. Dan cuma ini yang bersikeras untuk mencintaimu. Bahkan setelah semua yang telah terjadi. Bahkan sek ali pun kamu sudah tak punya hati. Bahkan sekali pun kamu memutuskan untuk pergi.
Aku mendoakan kebahagiaanmu, sekalipun kau bilang itu percuma. Karena mencintaimu sama sekali bukan sesal.

Cuma Fiksi II

:fach

Apa rasanya jadi dia? Pria yang selalu aku perjuangkan tanpa kenal lelah. Dia bilang aku berlebihan. Dia menganggapku keterlaluan. Dia merasa terganggu dengan keberadaanku. Aku ingin marah. Tapi sungguh. Aku mencintainya. Aku tak bisa marah padanya.
Aku muak dengan semua yang dia katakan. Ingin rasanya aku teriak, dia terlalu berlebihan. Mencintainya? Dulu, ya.

Andai dia sedikit saja lebih mengerti. Baru kali ini saja aku begini, karna aku terlalu takut kehilangannya. Apa kesabaranku masih kurang untuknya? Andai ia kembali selalu ada, sedikit lebih peduli. Betapa aku selalu mengkhawatirkannya, sesuatu yang mustahil untuk tidak peduli, dan tidak tahu keadaan seseorang yang kita sayangi. Apa aku salah?
Dia berlebihan.


Apa yang berlebihan dari aku? Ingin tahu apa saja yang dia lakukan seharian, ingin sekali menjadi tempat ia melepaskan lelahnya, mencoba menjadi pendengar yang baik untuk semua ceritanya. Ingin rasanya bertemu setiap hari, namun dunia seakan tak mengizinkan. Semesta? Apa yang salah? Dosakah aku ingin mencintainya dengan tidak sederhana sekali saja. Sebab yang sederhana hanya ada aku dan dia. Sedang aku ingin berteriak pada dunia bahwa aku menyayanginya, dengan lantang menyebut namanya bahwa ia pria yang aku cintai. Aku ingin mencintainya dengan segala yang ricuh, yang gaduh, dengan segala tawa bersama dunia. Semesta, sesekali aku ingin dunia iri melihat kebersamaan ini. Kebersamaan yang hanya dapat kusembunyikan rapat-rapat.
Mencintai haruslah memiliki.

Aku ingin memilikinya! Aku ingin menjadi orang yang ia cari saat bangun pagi dan seseorang yang menjaga tidurnya saat malam. Aku sangat bahagia saat mendapat kesempatan untuk sekedar saling mengirim pesan singkat dengannya, aku tersenyum walau isi pesan darinya hanya tiga huruf saja. Setidaknya aku merasakannya, sedikit melepas rindu padanya, menanyakan keadaannya. Tapi dia terlalu abu-abu bagiku. Selalu ia menghilang, apa yang lebih menyedihkan dari semua ini? Dia yang tertidur pulas disana, mataku disini terbuka lebar menahan sesak di dada. “Tidurlah, aku (masih) disini menunggumu bangun. Tak henti berharap ada satu ucapan selamat tidur lagi untukku. Lalu kita kembali tertawa ceria seperti biasa. Peluk dan cium untuk kamu.” batinku.
Aku lelah, aku mengantuk. Ia yang kucintai sudah tidur, akupun harus menemuinya dalam mimpi.

Masih adakah sedikit rasa untukku? Adakah satu kalimat indah untukku? Dia pernah berjanji untuk membuat satu tulisan untukku, sakit, saat membaca semua kata-kata indah yang ia ciptakan. Dan itu bukan untukku. Aku selalu menunggu. Aku mencintainya, aku bisa apa lagi? Aku sudah begitu lelah. Keberadaanku saja tidak pernah berarti baginya, bagaimana dengan ketidakberadaanku. Ia tak pernah mencariku, menanyakan keberadaan dan keadaanku lagi. Mengirim kata-kata yang selalu kutunggu. Semesta... Hatinya telah tertutup.
Aku muak dengan kata-katanya. Aku punya duniaku sendiri. Masih untung saja aku masih bertahan membalas semua kata-kata tak bergunanya.

Aku menemukan sepenggal kalimat dalam tulisannya. “Semua akan indah pada waktunya.” Dulu itu darinya untukku, tapi sekarang itu darinya untuk orang lain. Andai ia tahu betapa sakit mengetahui ia memberikan kalimat itu untuk orang lain. Dan kesakitanku bertambah pahit, ketika harus ku akui, aku menahan rasa cinta untuknya namun dia tetap tak ada.
Aku punya hak. Aku yang menentukan masa depanku.

Aku lelah, aku sudah tidak tahu lagi apa yang akan terjadi. Aku tak sanggup kehilangannya. Aku merindukannya. Aku mencintainya. Aku hanya percaya, semua akan indah pada waktunya.
Entahlah, aku ingin pergi.


-Dan kita berpisah meninggalkan dinding yang kita takuti meneriakkan kebersamaan kita pada dunia. Aku pergi meninggalkanmu dengan tangis tanpa air mata. Kau tak sedikitpun melihat punggungku menjauh. Kau pun pergi dengan hati dan perasaan yang datar. Sementara aku hancur. Setelah duduk berdua di bangku sekolah untuk sebentar saja, untuk kali pertama sejak kita berpisah. Entah apa lagi yang masing-masing kita pikirkan selanjutnya dalam hidup. Dan bagaimana kita mengahadapi kenyataan.

Sabar Dulu


Aku rindu priaku.
Yang dibelakangnya aku bersenandung.
Di atas sepeda yang santai ia kayuh.
Tak peduli ada hujan yang memburu.
Aku tahu.
Ada priaku menjagaku didepan.
Kupeluk erat pinggangnya.
Sabar dulu.
Jangan sampai rumah dulu.
Selesaikan satu puisi untukku.

Aku rindu gadisku.
Yang bersenandung di belakangku.
Di atas sepeda yang santai kukayuh.
Tak peduli ada hujan yang memburu.
Aku tahu.
Ada gadisku di balik punggungku.
Memeluk erat pinggangku.
Sabar dulu.
Jangan sampai rumah dulu.
Kuselesaikan satu puisi untukmu.

Milli & Nathan


“Kamu itu terlalu 'abu-abu', dan aku capek dengan ketidakpastian kamu selama ini. Kamu datang ke hidup aku terus pergi gitu aja, kamu tuh gak jelas. Kamu abu-abu buat aku.”
Milli




Langit
"Setelah matahari dan langit, yang bersinar cerah adalah harapan.”




“Saat kamu baca ini pasti kamu sedang bahagia. Akulah orang dalam tulisanmu. Dia adalah manusia yang selalu bingung untuk menentukan arah, belok kanan, belok kiri, atau lurus saja. Mencari tapi tak tahu apa yg dicari. Tiap manusia bisa terbang, yang dibutuhkan hanya seseorang tuk melebarkan sayapnya. Kerinduan, pada satu hari milik kita. Pada satu persimpangan di mana kita pertama kali bertemu. Tersentuh dengan ketulusan cinta-nya, dan ingin selalu melihat senyuman-nya walau dari jauh tanpa bisa menyentuh sosok tercintanya. Aku pergi bukan untuk meninggalkanmu, tapi untuk abadi bersamamu.”
Nathan