Tampilkan postingan dengan label Garadit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Garadit. Tampilkan semua postingan

Garadit III

Dengan mengenakan seragam sekolah, Gara melangkah kedalam sebuah kantor redaksi majalah remaja lokal di kota Medan. Sambil membawa hasil tulisan yang akan dimuat di majalah tersebut. Gara melihat ke sekeliling kantor, kesibukan yang akan dia lalui selepas masa SMA nya akan ia lanjutkan disini. Sebulan yang lalu ia diterima bekerja sebagai jurnalis lepas. Gara berjalan menuju sebuah meja resepsionis, sudah banyak orang-orang kantor yang mengantri disana untuk mengambil tanda pengenal. Ah, ada Kayla disana. Seketika jantungnya berdebar. Sudah sebulan ini hidup Gara terasa lebih bersemangat. Bukan saja karena Bu Indah, editor senior disini yang menyukai banyak tulisannya tapi karena ada Kayla, dan sudah lumayan banyak yang Gara tahu tentangnya. Kayla Vanie namanya. Siswi kelas 3 SMA di sebuah sekolah negeri di Medan, sebaya dengan Gara, yang juga bekerja sebagai freelancer di kantor ini. Sebagai fotografer freelancer, yang tugasnya mengabadikan acara-acara yang diadakan kantor, kabarnya gadis itu bekerja disini untuk membantu orangtuanya membiayai sekolah. Gadis yang baik, pikir Gara. Hmm Kayla Vani, satu bulan belakangan ini Kayla terlihat indah di matanya, Gara tidak akan lupa pada wajahnya. Menggemaskan, misterius. Kelihatan pendiam, ada sesuatu yang membuat Gara tidak bisa lupa padanya. Gara ingat satu kali tangan mereka pernah bersentuhan di tengah kerumunan saat acara konser yang disponsori oleh majalah lokal ini, mereka berpandangan lalu saling tersenyum.

Kayla telah selesai mengantri, sementara Gara masih berada pada antrian paling belakang. Mereka berpapasan. Kartu pengenal yang baru saja Kayla ambil terjatuh tepat di depan kaki Gara, tanpa pikir panjang Gara langsung mengambilnya dan memberikannya pada Kayla.

“Makasih ya, Gara.” Kayla tersenyum tipis menerimanya dan langsung pergi berlalu. Tapi, apa yang baru dikatakannya? Gara? Dia tahu nama Gara. Gara temenung bingung. Apa tadi Kayla grogi mendapati ada Gara disana sehingga kartunya terjatuh, dan dia tahu nama Gara. “Ah jangan geer deh, tau dari orang kali. Tapi tadi beneran kaya adegan sinetron ya? Haha.” batinnya sambil tertawa dalam hati, di hatinya yang berbunga-bunga saat ini.

Setelah mengambil tanda pengenal, Gara naik ke lantai dua, berjalan sepanjang koridor kantor yang terdapat banyak pintu ruangan di kanan dan kirinya, hingga terhenti pada sebuah ruangan dan mengetuk pintu perlahan.

“Masuk!” Terdengar suara seorang wanita dari dalam ruangan. Gara memutar knop pintu, lalu masuk. Ia tersenyum tipis kemudian duduk di depan sebuah meja. 

Indah Ardina, Editor Senior. Sebuah plat nama terpajang di atas meja.

“Ini buk.” Gara menyerahkan tulisannya kepada Bu Indah.

Bu Indah membaca kertas yang diserahkan Gara sebentar lalu tersenyum.

“Menarik, kaya biasa. Makasih ya Gara, besok datang lagi. Ohya, selamat ulang tahun.” Bu Indah tersenyum ramah, menampilkan deretan giginya yang rapi.

“Pasti buk, besok saya datang lagi. Iya, makasih ya buk udah inget.”

“Sama-sama. Kapan pengumuman kelulusan Gar?” tanya Bu Indah.

“Ujian nasionalnya juga belom buk, udah ditanya kapan lulus aja, hehe. Mungkin bulan Mei.”

“Oh ya nggak apa-apa. Soalnya kalo kamu udah lulus kan bisa jadi jurnalis tetap disini. Ibuk yang rekomendasiin lho, soalnya ibu suka banget sama tulisan-tulisan kamu.”

“Wah bener buk?”

“Iya, bayaran jurnalis lepas kan cuma dihitung per tulisan aja sih Gar. Masa kamu mau gitu-gitu aja? Apa nggak lebih bagus jadi jurnalis tetap.”

“Makasih ya buk. Wah saya jadi nggak sabar buat cepet-cepet lulus ini.”

“Nulisnya juga harus lebih giat ya.”

“Pasti, yaudah saya permisi buk. Besok saya kesini lagi. Sekali lagi, makasih banyak ya buk.” Gara bangkit dari duduknya lalu menyalami Bu Indah. Sepeninggalnya dari ruangan editor senior, Gara ingin berteriak sekencang-kencangnya. Betapa bahagia hari ini, menjadi jurnalis adalah salah satu impiannya dan sebentar lagi akan menjadi kenyataan, jatuh cinta? Ya, di hari ulang tahunnya ke delapan belas.


***

Bersambung...

(Udah lama banget cerbung ini diabaikan ehehe. Walaupun lanjutannya dikit, karna belum tahu lagi mau dibawa kemana Garadit ini. Enjoy the first and second part di label Garadit di paling bawah Tulisan Feby ya :) )

Garadit II

Medan,  31 Agustus 2009.
“Selamat ulang tahun bang. Baik-baik ya, jangan jadi tua dan menyebalkan. Kadonya mana?” ucap Disa sambil mengecup pipi Gara di meja makan saat sarapan. Hari ini ulang tahun Gara yang ke 18.
“Yang ulang tahun siapa sekarang? Hehe makasih dek, nanti malem abang traktir makan mi aceh ya.” balas Gara yang sedang melahap sarapannya.
“Oke. Papa nggak diajak?”
“Nggak tau dek, lihat aja apa ada di rumah malam ini. Kalo ada ya ikut, kalo gaada ya kita berdua aja. Memang kapan sih terakhir kita kumpul bertiga?” Gara tersenyum masam.
“Yaelah, baru kemaren. Nyebar uang ke kita, 5 menit aja sih.” jawab Disa dengan wajah sedikit murung. Baru dua hari yang lalu mereka duduk bersama di meja makan, tetapi hanya untuk membicarakan tentang biaya-biaya sekolah dan memberikan kepercayaan kepada mereka untuk memegang seluruh biaya yang telah diberikan dan membayar sendiri. Disa sekarang duduk di kelas 1 SMP, Gara tahun ini lulus dari bangku SMA dan akan menjadi seorang mahasiswa.
“Ha,ha,ha.” tawa Gara sedikit dipaksakan. “Kadang abang capek dek, kita kaya nggak punya papa. Mau cerita apa-apa abang sama adek, kadang agak nggak nyambung. Abang ini laki, cocoknya ya sharing sama laki juga. Kadang kalo rindu mama, yang abang pengen itu bilang ke papa.”
“Lelah juga jadi anak manis? Aku ngerti bang, oke maaf kalo yang urusan kelaki-lakian aku jarang bisa kasih solusi, tapi kalo masalah ‘wanita’ aku pasti bisa bantu, bisa banget, ya emang sih abang belum pernah ngurusin yang namanya ‘wanita’ tapi kan satu saat nanti ada masanya. Oiya, Adit masih belum bisa di stop bang?” terang Disa.
Disa memang masih berumur 12 tahun, tetapi sifatnya sangat dewasa dan caranya berbicara begitu intelektual.
“Pertanyaan aneh itu yang masih belum bisa adek stop ya? Buat apa si Adit abang stop? Emang dia taksi pake di stop segala? Eh kemana dia? Katanya baru punya pacar tuh.”  Gara tertawa.
“Bang..” Disa menatap Gara penuh prihatin.

“Abang berangkat dulu ya.” Gara langsung pergi keluar rumah dan meninggalkan Disa yang murung.

Selama 9 tahun ini Pak Alvin dan Bu Leni mencoba membantu keanehan yang terjadi pada Gara. Saat menginjak 14 tahun, Bu Leni menceritakan semuanya pada Pak Alvin, ia tidak percaya dan membawa Gara ke psikolog.

Gara mengalami pemecahan kepribadian atau sering disebut alter ego. Suatu keadaan di mana kepribadiannya terpecah sehingga muncul kepribadian lain, Adit. Kepribadian itu biasanya merupakan ekspresi dari kepribadian utama yang muncul karena pribadi utama tidak dapat mewujudkan hal yang ingin dilakukannya. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa ada satu orang yang memiliki pribadi lebih dari satu atau memiliki dua pribadi sekaligus. Kadang si penderita tidak tau bahwa ia memiliki kepribadian ganda, dua pribadi yang ada dalam satu tubuh ini juga tidak saling mengenal dan lebih parah lagi kadang-kadang dua pribadi ini saling bertolak belakang sifatnya.

Gara adalah seorang yang dingin, penyayang, dan serius dalam apapun yang ia lakukan. Ia juga seorang yang optimis, persis Pak Alvin. Kadang muncul Adit, dalam sekejap seorang Gara dengan mata yang teduh hilang digantikan wajah dengan senyum sinis, sikap yang urak-urakan, dan terlalu santai, tidak peduli dengan  keadaan, dan menganggap dirinya sebagai saudara kembar Gara, anak Pak Alvin. Begitu kontras dengan Gara. Gara mengenal dan menganggap sosok Adit ada, begitu sebaliknya. Terapi telah dilakukan, tetapi sampai sekarang Adit masih menyatu dengan Gara.

Terdengar suara pintu kamar terbuka, Pak Alvin keluar dari kamar tidurnya menuju meja makan. “Udah makan dek? Kok belum berangkat?” tanyanya sambil mengacak rambut Disa.

“Udah. Masuk siang hari ini, ujian pa. Mau rasa apa?”

“Oh udah ujian? Semangat ya dek, jangan kecewain papa. Pake srikaya aja.”

Disa hanya tersenyum, dan langsung mengoleskan srikaya pada sepotong roti tawar. Lebih tepatnya ia ingin menangis, ini sudah yang ke entah berapa kalinya Pak Alvin melupakan saat anak-anaknya menghadapi ujian. Dan entah mengapa, meski hanya sedikit semangat dan kepedulian yang diberikan Pak Alvin, Disa dan Gara mampu mempertahankan prestasi dan menjadi anak baik-baik.

“Tadi malem abangmu dari mana? Untung nggak papa maki dia.” wajah Pak Alvin berubah serius.

“Adit apa Gara?” tanya Disa.

“Adit.”

“Punya pacar baru. Ya kerumah pacarnya.” jawab Disa.

“Semalam papa makan malam sama kawan kerja papa. Dia punya temen psikolog yang udah pernah nyembuhin kasus kaya abang dek, malam ini kita kesana ya.”

“Psikolog yang gimana lagi pa? Capek loo. Abang itu butuhnya perhatian, dari pe a pe a, PAPA, bukan dari psikolog ini itu. Ngertinya kapan sih?” Disa hampir meneteskan airmata.

Pak Alvin terdiam, raut wajahnya semakin serius.

“Apa yang kurang papa kasih dek? Adek sama abang lagi pengen apa lagi sekarang? Bilang, nanti papa beli.”

“Papa.” Disa memanggil papanya dengan tegas.

“Ya?”

“Hari ini tanggal berapa?”

“31 agustus? Kenapa dek?”

“Ada apa hari ini?” Disa bertanya dengan suara tinggi.

“Nggak ada apa-apa dek, papa nggak kerja hari ini. Mau ajak pergi? Ayo kemana?”

“Bahkan yang barusan aku kasih tau papa nggak inget. Hari ini Disa ujian pa, nggak mungkin Disa ajak jalan-jalan.”

“Yaampun maap dek. Jangan marah ya.” Pak Alvin menepuk dahinya dan merayu Disa.

“Nggak papa kok. Pa, Disa ke kamar dulu ya, mau belajar sebentar sebelum berangkat.” Disa berdiri dan bergegas ke kamarnya. Baru beberapa langkah, ia menoleh ke arah papanya, “31 Agustus 18 tahun yang lalu, mama ngelahirin bang Gara, Pa.”  Disa berbalik lagi menuju ke kamar.

Pak Alvin terbelalak dan duduk terdiam dengan tatapan kosong melihat punggung Disa menjauh.

Bersambung.

Garadit I

Di pinggiran kota Medan, pada sebuah tempat pemukiman yang tak jauh dari pusat kota. Malam itu memberikan pemandangan kelam, beberapa orang berlalu lalang melewati  jalan-jalan kecil di tengah derasnya hujan. Parit-parit disepanjang jalan sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsinya sebagai pengalir, penuh dan macet. Sehingga pada jalan tersebut air telah menggenang semata kaki. Dari kejauhan seorang pria tampak berjalan terburu-buru mengenakan jaket berhoodie biru tua, kedua tangannya dimasukkan kedalam kantung jaket. Sepatu kets yang dikenakannya telah kelebas seluruhnya. Ia menggigil, mempercepat langkahnya. Dan berhenti pada sebuah rumah. Rumah bergaya tahun empat puluhan, dengan cat putih dan terdapat sebuah teras kecil penuh dengan jejeran pot-pot berbagai jenis bunga yang tampak terawat. Halaman rumah itu cukup luas, ada sebuah lapangan bulutangkis. Pintu depan rumah kayu coklat tua berukiran ke-jawa-an, dinding serupa penyangga dengan ukiran unik, gambaran rumah tersebut telah menjadi saksi kerasnya kolonialisme Belanda. Pria itu langsung membuka pintu dan masuk kedalamnya.
Suasana didalam rumah sepi, seluruh lampu padam. Pria itu menekan tombol saklar pada dinding disamping pintu untuk menyalakan lampu lalu ia berbalik menuju ruang tamu dan terkejut melihat seorang pria yang tampak lebih tua darinya duduk di sana langsung menghadap ke arahnya. Sebagian rambutnya telah memutih dan ia mengenakan kacamata plus-minus, sebuah kacamata yang didesain khusus untuk usia lanjut, terdapat bagian setengah lingkaran dibagian bawah kedua lensa kacamata itu yang merupakan lensa positif dan sisanya berlensa negatif. Sorot matanya teduh namun rahangnya yang menonjol menimbulkan kesan tegas pada wajahnya.
“Dari mana lagi, Gar?” tanya pria tua itu.
Raut keterkejutan terpancar jelas dari wajah pria yang dipanggil Gara oleh pria tua itu. Namun setelah mendengar pertanyaan tadi, Gara langsung menatap tajam kearahnya.
“Berapa kali sih aku harus kenyang ayah panggil dengan nama itu? Lihat aku! Adit, ingat? Adit. Hah, nampaknya ayah harus lebih banyak belajar lagi untuk membedakan antara aku dan Gara. Dia memang anak yang cerdas mengambil hati semua orang.” Gara tersenyum miris sambil melepas jaketnya lalu langsung beranjak meninggalkan ruang tamu.
Pria tua tadi hanya bisa terdiam menangkupkan kedua telapak tangan pada wajahnya yang menegang, ia ayah Gara, Alvin Widjaja. Seorang kontraktor, pemilik Balada, sebuah perusahaan penyedia jasa layanan konstruksi terkenal di Malang. Lahir dari keluarga Widjaya, asli jawa yang seluruh keturunannya mewarisi jiwa enterpreneurship. Ia menikah dengan seorang wanita keturunan Tasik. Mereka bertemu saat Pak Alvin sedang memimpin langsung proyek pengerjaan pemasangan instalasi asesori bangunan sebuah perusahaan baru yang akan dibangun di Tasikmalaya. Saat itu ia masih berusia 23 tahun, masih sangat muda untuk memimpin langsung proyek sebesar itu, namun itulah tujuan ayah seorang Alvin Widjaya, untuk melatih mentalnya, meneruskan Balada. Proyek tersebut mengharuskannya tinggal disana selama empat bulan, dalam waktu singkat itulah ia bertemu dengan Hanum, seorang wanita pelayan warteg yang menjadi tempat favoritnya makan siang saat disana. Meski kaya, ia sangat rendah hati.
Hanum adalah anak dari pemilik warteg tersebut, seorang wanita sederhana yang dianugrahi hidung bangir dengan kulit putih bersih, wanita Tasik asli. Saat Hanum tersenyum, terlihat dua buah lesung pada pipinya yang meluluhkan hati setiap orang yang melihatnya. Saat itu, ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka menikah saat Pak Alvin menginjak usia 26 tahun, sedang Hanum 23. Lahirlah seorang bayi tampan mewarisi lesung pipi dan kulit putih ibunya serta pancaran mata teduh ayahnya yang tampan. Ia Gara. Saat Gara berusia 6 tahun, Hanum melahirkan anak kedua, hidung bangir Hanum melekat pada wajah bayi perempuan manis yang mereka beri nama Disa, adik Gara. Sayangnya, saat melahirkan Disa, Hanum meninggal. Pak Alvin begitu terpukul kehilangan istri yang begitu ia cintai. Saat itu ia berjanji pada diri sendiri tidak akan mengganti Hanum, dengan siapapun.
Dua tahun setelah meninggalnya Hanum, Alvin Widjaya melebarkan sayap Balada ke berbagai kota, ia beserta kedua anaknya pindah ke kota Medan, sebab Malang selama dua tahun terakhir menyisakan kepedihan dan kesepian dalam hidupnya, disinilah Balada mendirikan cabang terbesar kedua.
Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas dan memiliki banyak teman. Namun, sejalan pula dengan berbagai bisnis baru yang dibuat oleh Pak Alvin, mereka kehilangan sosok seorang ayah. Alvin menjadi ayah yang baik, dengan melimpahkan kelebihan materi pada mereka, namun tanpa sadar ia melupakan satu hal yang begitu penting. Perhatian. Ditengah kesibukannya, sehari-hari untuk mengurus segala yang dibutuhkan Gara dan Disa, ada seorang pembantu yang telah tinggal bersama mereka sejak di Malang, saat Hanum mengandung Gara, Bu Leni, saat ini usianya telah menginjak 48 tahun, Bu Leni adalah istri dari supir pribadi Pak Alvin dulu yang meninggal akibat serangan jantung, mereka tidak memiliki anak. Sejak kepergian suaminya, Bu Leni mengabdikan dirinya untuk menjadi pembantu keluarga Pak Alvin. Ia menyiapkan makan, menemani membeli keperluan dan kadang ikut bermain dengan Gara dan Disa. Bahkan Bu Leni yang lebih mengetahui apa kebiasaan mereka serta makanan kesukaan mereka. Bu Leni pulalah yang pertama mengetahui bahwa ada suatu kejanggalan dalam diri Gara.
Pada satu pagi, Bu Leni baru selesai menyiapkan sarapan untuk Gara dan Disa, Pak Alvin sedang berada diluar kota sejak dua hari yang lalu, entahlah dikota mana, Bu Leni sudah lelah bertanya, terlalu sering ia meninggalkan anak-anaknya yang masih begitu kecil seperti ini. Hari itu hari pertama Gara berseragam SMP. Disa telah duduk di bangku kelas 3 SD. Disa dengan cepat melahap habis sarapannya, sementara Gara belum juga duduk di meja makan. Karna bingung, Bu Leni mengetuk pintu kamar Gara dan memanggilnya.
“Gara, udah siap pakaiannya? Lama amat, sarapan dulu toh.”
Tak ada jawaban dari Gara. Bu Leni pun perlahan membuka pintu kamar Gara. Dan ia terkejut mendapati Gara sedang tertidur pulas di atas tempat tidur memakai seragam.
“Ndok. Bangun toh, kok tidur lagi? Udah jam berapa ini? Nanti telat lo.” Bu Leni mengguncang tubuh Gara.
Gara bangun dengan malas, ditatapnya Bu Leni yang masih kebingungan.
“Bu Leni. Ngapain juga datang cepat-cepat ke sekolah?” Ia bertanya tanpa beban sedikitpun.
“Lah piye toh? Kamu kenapa, sakit?” Bu Leni balik bertanya, bingung, pikirannya bergumul pada satu hal, bagaimana saat saban subuh tadi, Gara berteriak-teriak membangunkan Bu Leni.
“Ibuuuk.. Bangun, nggak mau telat, nggak mau telat hari pertama SMP loh. Bangun cepetan!” Gara berteriak-teriak sambil menggedor-gedor pintu kamar Bu Leni.
Bu Leni langsung terbangun dan keluar kamar.
“Ya semangatnya anakku ini. Yauwis mandilah sana.” Bu Leni telah menganggap Gara dan Disa sebagai anaknya sendiri.
Gara mengangguk  dan langsung berlari ke kamar mandi, Gara hanya ingin memastikan bahwa Bu Leni telah bangun dan segera menyiapkan sarapan.
Gara merupakan anak yang pintar. Ia selalu berprestasi di sekolahnya. Sifat disiplin diturunkan Pak Alvin pada Gara, tampak padanya yang selalu bangun awal setiap pagi dan tak pantang jika tidak tepat waktu. Gara begitu perfeksionis, ia ingin segala yang ia lakukan berjalan sesuai perkiraannya, sentimentil pula, dengan menganggap hal-hal yang bahkan terlalu kecil menjadi sangat penting. Jiwa pemimpinnya telah terlihat saat ia tak absen terpilih menjadi ketua kelas sejak kelas 3 SD. “Tapi kini apa yang sedang merasuki anak ini?” Batinnya. Apa benar Gara sedang sakit.
“Aku masih ngantuk, keluar ya Bu.” Gara tak menjawab pertanyaan Bu Leni. Ia dengan santainya tidur kembali.
“Jadi ndak sekolah? Lah piye toh?” Bu Leni semakin bingung, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Akhirnya ia keluar dari kamar Gara dan mengantar Disa ke sekolahnya, sekolah Disa tak jauh dari rumah. Sekembalinya, Bu Leni melihat Gara sedang santai menonton televisi, seragamnya sudah diganti.
“Gara, udah sarapan?” tanya Bu Leni.
“Ibuk jangan berlagak amnesia, aku Adit. Ingat ya. Ohya enak ya bolos. Hahaha.”

Bu Leni membelalak, ia langsung masuk ke kamarnya, ia ingin menelepon Pak Alvin untuk menceritakan apa yang terjadi pada Gara pagi ini. Ia merenung sejenak, Gara tidak terlihat sedang sakit, tapi ia merasa ada yang aneh. Tidak biasanya Gara bersikap tidak bersahabat seperti itu dengannya, dan bagaimana bisa Gara menganggap bolos sebagai suatu hal yang menyenangkan kini. Yang lebih membingungkan lagi, Adit? Gara Widjaya, dalam nama itu tidak lengkap huruf-huruf untuk dapat merangkai sebuah nama, Adit. Sangat aneh. Namun sebelum sempat mengambil handphonenya, tiba-tiba ia mendengar suara isak tangis, ia tahu itu pasti Gara. Ia berlari keluar, mencari ke kamar Gara, tidak ada. Akhirnya ia menemukan Gara sedang menangis tersedu-sedu bersandar pada sudut dapur, kepalanya tertunduk, menekuk lutut dan memeluknya dengan kedua tangan. Bu Leni langsung menghampirinya.
“Eeh kamu kenapa ndok?” Bu Leni panik, ia takut terjadi apa-apa pada Gara.
Gara mengangkat kepalanya, “Ibuk tahu ini jam berapa? Delapan! Buk Leni jahat ya, nggak bangunin aku, aku nggak pernah bangun sesiang ini. Ibu mau aku dimarahin Ayah? Aku nggak sekolah, padahal ini hari pertama SMP! Bisa-bisa aku dicap jadi anak yang sombong dan seenaknya disana.” Rentetan protes keluar dari mulutnya.
“Gara, tadi pagi kan kamu yang bangunin ibuk malahan. Tapi pas disuruh sarapan kamu tidur lagi, ndak mau sekolah pula. Terus kamu bilang baru bangun? Lha yang tadi nangkring didepan tipi siapa toh? Hantu?” Bu Leni semakin bingung.
“Ibuk, aku baru bangun. Aku nyesel, bener-bener takut dimarahin Ayah.” Suara Gara melemah, rasa ketakutan terlihat jelas di wajahnya.
Bu Leni terdiam, ia hanya dapat memeluk Gara.
“Ndak apa-apa, nanti ibuk telepon ayah, ibuk bilang kamu ndak enak badan. Tenang ndak dimarahin kok.” Ia mengelus-ngelus kepala Gara.
Apa yang terjadi pada anak ini? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Beberapa menit yang lalu Gara menjadi sosok paling dingin yang tak dikenalnya dengan ke tidak pedulian menyebut diri sendiri sebagai Adit lalu dalam sekejap kembali menjadi anak manis yang sosoknya ia cari pagi ini, Gara. Gara seperti terpecah menjadi dua lalu terjebak dalam tubuh yang sama.

**Bersambung**