Garadit I

Di pinggiran kota Medan, pada sebuah tempat pemukiman yang tak jauh dari pusat kota. Malam itu memberikan pemandangan kelam, beberapa orang berlalu lalang melewati  jalan-jalan kecil di tengah derasnya hujan. Parit-parit disepanjang jalan sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsinya sebagai pengalir, penuh dan macet. Sehingga pada jalan tersebut air telah menggenang semata kaki. Dari kejauhan seorang pria tampak berjalan terburu-buru mengenakan jaket berhoodie biru tua, kedua tangannya dimasukkan kedalam kantung jaket. Sepatu kets yang dikenakannya telah kelebas seluruhnya. Ia menggigil, mempercepat langkahnya. Dan berhenti pada sebuah rumah. Rumah bergaya tahun empat puluhan, dengan cat putih dan terdapat sebuah teras kecil penuh dengan jejeran pot-pot berbagai jenis bunga yang tampak terawat. Halaman rumah itu cukup luas, ada sebuah lapangan bulutangkis. Pintu depan rumah kayu coklat tua berukiran ke-jawa-an, dinding serupa penyangga dengan ukiran unik, gambaran rumah tersebut telah menjadi saksi kerasnya kolonialisme Belanda. Pria itu langsung membuka pintu dan masuk kedalamnya.
Suasana didalam rumah sepi, seluruh lampu padam. Pria itu menekan tombol saklar pada dinding disamping pintu untuk menyalakan lampu lalu ia berbalik menuju ruang tamu dan terkejut melihat seorang pria yang tampak lebih tua darinya duduk di sana langsung menghadap ke arahnya. Sebagian rambutnya telah memutih dan ia mengenakan kacamata plus-minus, sebuah kacamata yang didesain khusus untuk usia lanjut, terdapat bagian setengah lingkaran dibagian bawah kedua lensa kacamata itu yang merupakan lensa positif dan sisanya berlensa negatif. Sorot matanya teduh namun rahangnya yang menonjol menimbulkan kesan tegas pada wajahnya.
“Dari mana lagi, Gar?” tanya pria tua itu.
Raut keterkejutan terpancar jelas dari wajah pria yang dipanggil Gara oleh pria tua itu. Namun setelah mendengar pertanyaan tadi, Gara langsung menatap tajam kearahnya.
“Berapa kali sih aku harus kenyang ayah panggil dengan nama itu? Lihat aku! Adit, ingat? Adit. Hah, nampaknya ayah harus lebih banyak belajar lagi untuk membedakan antara aku dan Gara. Dia memang anak yang cerdas mengambil hati semua orang.” Gara tersenyum miris sambil melepas jaketnya lalu langsung beranjak meninggalkan ruang tamu.
Pria tua tadi hanya bisa terdiam menangkupkan kedua telapak tangan pada wajahnya yang menegang, ia ayah Gara, Alvin Widjaja. Seorang kontraktor, pemilik Balada, sebuah perusahaan penyedia jasa layanan konstruksi terkenal di Malang. Lahir dari keluarga Widjaya, asli jawa yang seluruh keturunannya mewarisi jiwa enterpreneurship. Ia menikah dengan seorang wanita keturunan Tasik. Mereka bertemu saat Pak Alvin sedang memimpin langsung proyek pengerjaan pemasangan instalasi asesori bangunan sebuah perusahaan baru yang akan dibangun di Tasikmalaya. Saat itu ia masih berusia 23 tahun, masih sangat muda untuk memimpin langsung proyek sebesar itu, namun itulah tujuan ayah seorang Alvin Widjaya, untuk melatih mentalnya, meneruskan Balada. Proyek tersebut mengharuskannya tinggal disana selama empat bulan, dalam waktu singkat itulah ia bertemu dengan Hanum, seorang wanita pelayan warteg yang menjadi tempat favoritnya makan siang saat disana. Meski kaya, ia sangat rendah hati.
Hanum adalah anak dari pemilik warteg tersebut, seorang wanita sederhana yang dianugrahi hidung bangir dengan kulit putih bersih, wanita Tasik asli. Saat Hanum tersenyum, terlihat dua buah lesung pada pipinya yang meluluhkan hati setiap orang yang melihatnya. Saat itu, ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka menikah saat Pak Alvin menginjak usia 26 tahun, sedang Hanum 23. Lahirlah seorang bayi tampan mewarisi lesung pipi dan kulit putih ibunya serta pancaran mata teduh ayahnya yang tampan. Ia Gara. Saat Gara berusia 6 tahun, Hanum melahirkan anak kedua, hidung bangir Hanum melekat pada wajah bayi perempuan manis yang mereka beri nama Disa, adik Gara. Sayangnya, saat melahirkan Disa, Hanum meninggal. Pak Alvin begitu terpukul kehilangan istri yang begitu ia cintai. Saat itu ia berjanji pada diri sendiri tidak akan mengganti Hanum, dengan siapapun.
Dua tahun setelah meninggalnya Hanum, Alvin Widjaya melebarkan sayap Balada ke berbagai kota, ia beserta kedua anaknya pindah ke kota Medan, sebab Malang selama dua tahun terakhir menyisakan kepedihan dan kesepian dalam hidupnya, disinilah Balada mendirikan cabang terbesar kedua.
Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas dan memiliki banyak teman. Namun, sejalan pula dengan berbagai bisnis baru yang dibuat oleh Pak Alvin, mereka kehilangan sosok seorang ayah. Alvin menjadi ayah yang baik, dengan melimpahkan kelebihan materi pada mereka, namun tanpa sadar ia melupakan satu hal yang begitu penting. Perhatian. Ditengah kesibukannya, sehari-hari untuk mengurus segala yang dibutuhkan Gara dan Disa, ada seorang pembantu yang telah tinggal bersama mereka sejak di Malang, saat Hanum mengandung Gara, Bu Leni, saat ini usianya telah menginjak 48 tahun, Bu Leni adalah istri dari supir pribadi Pak Alvin dulu yang meninggal akibat serangan jantung, mereka tidak memiliki anak. Sejak kepergian suaminya, Bu Leni mengabdikan dirinya untuk menjadi pembantu keluarga Pak Alvin. Ia menyiapkan makan, menemani membeli keperluan dan kadang ikut bermain dengan Gara dan Disa. Bahkan Bu Leni yang lebih mengetahui apa kebiasaan mereka serta makanan kesukaan mereka. Bu Leni pulalah yang pertama mengetahui bahwa ada suatu kejanggalan dalam diri Gara.
Pada satu pagi, Bu Leni baru selesai menyiapkan sarapan untuk Gara dan Disa, Pak Alvin sedang berada diluar kota sejak dua hari yang lalu, entahlah dikota mana, Bu Leni sudah lelah bertanya, terlalu sering ia meninggalkan anak-anaknya yang masih begitu kecil seperti ini. Hari itu hari pertama Gara berseragam SMP. Disa telah duduk di bangku kelas 3 SD. Disa dengan cepat melahap habis sarapannya, sementara Gara belum juga duduk di meja makan. Karna bingung, Bu Leni mengetuk pintu kamar Gara dan memanggilnya.
“Gara, udah siap pakaiannya? Lama amat, sarapan dulu toh.”
Tak ada jawaban dari Gara. Bu Leni pun perlahan membuka pintu kamar Gara. Dan ia terkejut mendapati Gara sedang tertidur pulas di atas tempat tidur memakai seragam.
“Ndok. Bangun toh, kok tidur lagi? Udah jam berapa ini? Nanti telat lo.” Bu Leni mengguncang tubuh Gara.
Gara bangun dengan malas, ditatapnya Bu Leni yang masih kebingungan.
“Bu Leni. Ngapain juga datang cepat-cepat ke sekolah?” Ia bertanya tanpa beban sedikitpun.
“Lah piye toh? Kamu kenapa, sakit?” Bu Leni balik bertanya, bingung, pikirannya bergumul pada satu hal, bagaimana saat saban subuh tadi, Gara berteriak-teriak membangunkan Bu Leni.
“Ibuuuk.. Bangun, nggak mau telat, nggak mau telat hari pertama SMP loh. Bangun cepetan!” Gara berteriak-teriak sambil menggedor-gedor pintu kamar Bu Leni.
Bu Leni langsung terbangun dan keluar kamar.
“Ya semangatnya anakku ini. Yauwis mandilah sana.” Bu Leni telah menganggap Gara dan Disa sebagai anaknya sendiri.
Gara mengangguk  dan langsung berlari ke kamar mandi, Gara hanya ingin memastikan bahwa Bu Leni telah bangun dan segera menyiapkan sarapan.
Gara merupakan anak yang pintar. Ia selalu berprestasi di sekolahnya. Sifat disiplin diturunkan Pak Alvin pada Gara, tampak padanya yang selalu bangun awal setiap pagi dan tak pantang jika tidak tepat waktu. Gara begitu perfeksionis, ia ingin segala yang ia lakukan berjalan sesuai perkiraannya, sentimentil pula, dengan menganggap hal-hal yang bahkan terlalu kecil menjadi sangat penting. Jiwa pemimpinnya telah terlihat saat ia tak absen terpilih menjadi ketua kelas sejak kelas 3 SD. “Tapi kini apa yang sedang merasuki anak ini?” Batinnya. Apa benar Gara sedang sakit.
“Aku masih ngantuk, keluar ya Bu.” Gara tak menjawab pertanyaan Bu Leni. Ia dengan santainya tidur kembali.
“Jadi ndak sekolah? Lah piye toh?” Bu Leni semakin bingung, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Akhirnya ia keluar dari kamar Gara dan mengantar Disa ke sekolahnya, sekolah Disa tak jauh dari rumah. Sekembalinya, Bu Leni melihat Gara sedang santai menonton televisi, seragamnya sudah diganti.
“Gara, udah sarapan?” tanya Bu Leni.
“Ibuk jangan berlagak amnesia, aku Adit. Ingat ya. Ohya enak ya bolos. Hahaha.”

Bu Leni membelalak, ia langsung masuk ke kamarnya, ia ingin menelepon Pak Alvin untuk menceritakan apa yang terjadi pada Gara pagi ini. Ia merenung sejenak, Gara tidak terlihat sedang sakit, tapi ia merasa ada yang aneh. Tidak biasanya Gara bersikap tidak bersahabat seperti itu dengannya, dan bagaimana bisa Gara menganggap bolos sebagai suatu hal yang menyenangkan kini. Yang lebih membingungkan lagi, Adit? Gara Widjaya, dalam nama itu tidak lengkap huruf-huruf untuk dapat merangkai sebuah nama, Adit. Sangat aneh. Namun sebelum sempat mengambil handphonenya, tiba-tiba ia mendengar suara isak tangis, ia tahu itu pasti Gara. Ia berlari keluar, mencari ke kamar Gara, tidak ada. Akhirnya ia menemukan Gara sedang menangis tersedu-sedu bersandar pada sudut dapur, kepalanya tertunduk, menekuk lutut dan memeluknya dengan kedua tangan. Bu Leni langsung menghampirinya.
“Eeh kamu kenapa ndok?” Bu Leni panik, ia takut terjadi apa-apa pada Gara.
Gara mengangkat kepalanya, “Ibuk tahu ini jam berapa? Delapan! Buk Leni jahat ya, nggak bangunin aku, aku nggak pernah bangun sesiang ini. Ibu mau aku dimarahin Ayah? Aku nggak sekolah, padahal ini hari pertama SMP! Bisa-bisa aku dicap jadi anak yang sombong dan seenaknya disana.” Rentetan protes keluar dari mulutnya.
“Gara, tadi pagi kan kamu yang bangunin ibuk malahan. Tapi pas disuruh sarapan kamu tidur lagi, ndak mau sekolah pula. Terus kamu bilang baru bangun? Lha yang tadi nangkring didepan tipi siapa toh? Hantu?” Bu Leni semakin bingung.
“Ibuk, aku baru bangun. Aku nyesel, bener-bener takut dimarahin Ayah.” Suara Gara melemah, rasa ketakutan terlihat jelas di wajahnya.
Bu Leni terdiam, ia hanya dapat memeluk Gara.
“Ndak apa-apa, nanti ibuk telepon ayah, ibuk bilang kamu ndak enak badan. Tenang ndak dimarahin kok.” Ia mengelus-ngelus kepala Gara.
Apa yang terjadi pada anak ini? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Beberapa menit yang lalu Gara menjadi sosok paling dingin yang tak dikenalnya dengan ke tidak pedulian menyebut diri sendiri sebagai Adit lalu dalam sekejap kembali menjadi anak manis yang sosoknya ia cari pagi ini, Gara. Gara seperti terpecah menjadi dua lalu terjebak dalam tubuh yang sama.

**Bersambung**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar