Meracau Tentang Angka

18 adalah angka dimana saya lagi berlayar, bukan untuk sampai ke tujuan, tapi untuk mencari tujuan. Dalam pelayaran ini sebenarnya saya nggak tau mau kemana. Sering saya kehabisan stok pangan, sering saya kena badai, sering saya hampir tertelan pusaran di tengah laut, dan awak di dalam kapal saya nggak ada. Saya berlayar sendirian.

Di akhir 18 saya belum juga menemukan tujuan itu sebenarnya, tapi akan, saya akan menemukannya. Walaupun kadang suka hilang arah, tapi nggak bakal ada yang tau, kenapa? Ya karena saya berlayarnya sendirian.

19 adalah angka dimana saya ingin mengisinya dengan harapan. Harapan untuk menemukan tujuan, untuk menikmati pelayaran-pelayaran selanjutnya menuju tujuan itu, untuk belajar mendapatkan stok pangan lebih banyak dan bervariasi lagi, untuk lebih kuat menghadapi badai, untuk memperbanyak pahala kalau-kalau saya betulan tertelan pusaran di tengah laut, untuk merapihkan kapal saya yang compang-camping agar setidaknya, saya nggak berlayar sendirian lagi.

Hujan, layukan semua keburukan dan mekarkan semua kebaikan dari satu tahun ke belakang untuk tahun-tahun ke depan yang akan dijalani.
Ya setidaknya dalam dunia yang tercipta di dalam kepala ini. Hanya itu yang melintas dalam pikiran saya malam ini.

- Gadis Hujan

(Ini) (Bukan) (Puisi) Aku (nya Chairil Anwar)

Aku adalah awan, yang menentang tuhan. Enggan merebak keikhlasan atas turunnya hujan.

Aku adalah tanah, yang enggan memikul beban bumi. Biarkan bumi menggenang dan semesta kalang kabut.

Aku adalah cermin, yang retak pula buram. Buang saja aku, buang.

Aku adalah tasbih, yang sebutirnya tak sempat disusun dalam selingkar tali. Terabai, diabai.

Inverted

Hidupku datar, lebih datar dari TV flat yang tidak benar-benar datar. Menjadi seorang editor adalah pekerjaan yang menyenangkan, namun setelah selama 3 tahun aku berada di balik meja dan diatas kursi yang sama ini aku merasa semuanya jadi membosankan. Aku jadi membenci hal bernama ‘kebiasaan’. Kemarin, hari ini, besok yang kuhadapi hanyalah naskah, kamus, dan buku-buku yang menyangkut pendalaman ilmu tentang naskah yang sedang kutangani. Yang membuatku senang hanyalah saat aku menghadapi penulis pintar, yang punya ide tak tumpang tindih dan bahasa yang bagus, namun aku hanya bisa menghembuskan napas saat penulis ‘kejam’ datang, aku tetap harus tersenyum dan menghadapi tugasku sebaik-baiknya. Saat jam makan siang, aku enggan makan di luar, kantin kantor adalah pilihan tetapku, sebab Rani, layouter kantor yang kusukai dan merupakan perempuan paling ayu di kantor selalu makan disana. Semua pria yang ada di kantor menyukainya. Aku sering mendekati dan mengajaknya ngobrol di kantin namun tak pernah berani mengatakan perasaanku, aku grogi dan ragu karena dia juga sepertinya cuek dan menganggapku tak lebih dari sekedar rekan kerja. Dan belakangan ini aku lebih memilih melihatnya dari meja seberang saja.
Jam pulang kantor adalah saat aku mau tak mau menonton Gara, si preman pasar dan kawan-kawannya memalak pedagang dan tukang becak karena kosanku berada di belakang pasar, aku harus berjalan melewati pasar terlebih dahulu dan melihat orang-orang tidak berani melawan Gara dan kawan-kawannya itu sebelum pulang setiap hari.  Malam-malamku selalu diisi dengan imajinasi seandainya Rani menyukaiku juga dan hidupku menjadi lebih menyenangkan. Selalu. Ah, kebiasaan lagi.

*

Rasanya tidurku panjang sekali, benar saja, sekarang pukul setengah 9 pagi dan aku harus tiba di kantor pukul 9, sedangkan perjalanan memakan waktu lebih dari setengah jam. Ah, aku pasti terlambat. Badanku sedikit demam pagi ini, aku meminum obat demam seadanya yang kumiliki. Dan bersiap-siap dengan terburu-buru. Sesampainya di kantor, benar saja ini pukul setengah 10. Aku terlambat.

Mbak Dwi sedang berjalan menuju ruangan Fahri, rekan editor yang ada di sebelahku, saat melihatku ia terheran.

“Maaf, Mbak. Hari ini aku telat.”

 “Loh, ya bagus. Harusnya yang lain selalu datang terlambat seperti kamu Vin.” Mbak Dwi menepuk pundakku kemudian ia langsung berlalu.

Aku terheran mendengarnya apa mungkin karna Mbak Dwi marah padaku sehingga ia marah dengan menyindir seperti itu. Aneh sekali. Aku segera duduk di bangkuku, penulis yang hari ini janji merombak naskahnya denganku belum datang. Sambil menunggu aku menyalakan laptop dan menonton video random di Youtube, kepalaku pusing dan badanku sedikit lebih panas dari tadi pagi.

“Pagi Vino.” Sapa Rani sembari duduk di depan mejaku.

“Eh, pagi r r Rani.” Aku gelagapan, Rani tiba-tiba ada di ruanganku, sepertinya aku terlalu asik menonton sehingga menghiraukannya yang masuk ke ruanganku.

“Vin, ntar makan siang diluar yuk!”

Hah? Aku tak menyangka. Mimpi apa aku semalam tiba-tiba saja perempuan yang kusukai mengajakku makan siang bersamanya. Aku langsung mengiyakan ajakannya.

“Yaudah nanti aku kesini lagi ya tempatnya terserah kamu deh.” Rani tersenyum kemudian beranjak pergi.
Ini aneh sekali, pertama Mbak Dwi memujiku karena terlambat, kini Rani yang biasanya cuek dan selalu makan di kantin kantor mengajakku makan diluar. Namun keanehan kali ini membuatku senang, sangat senang.

*

Jam 12, sudah waktunya makan siang. Aku sudah sedari tadi bersiap menyambut Rani di ruangan, akhirnya ia datang juga.

“Yuk Vin.” Katanya.

“Yuk. Kita ke warung bakso di tempat langgananku ya, kamu harus cobain. Enak banget.”

“Ohya? Boleh-boleh.”

Kami beranjak pergi.

Kami mengobrol banyak hal, Rani bercerita tentang hal-hal kesukaannya, dan bertanya banyak tentang aku. Dia sama sekali tidak cuek terhadapku. Aku ingin mengatakan padanya kalau  aku menyukainya.

“Vin, menurut kamu yang paling cantik di kantor siapa?” Tiba-tiba ia bertanya.

Ha, ini kesempatan bagus untuk aku mulai mengatakan kalau aku menyukainya. Kebetulan sekali. Terimakasih Tuhan.

“Hem kalo menurut aku ya kamu Ran.“ Aku mencoba menahan grogi.

“Ahahaha kamu bercanda? Jangan fitnah deh. Semua cowok di kantor tuh pada suka sama Jani. Aku pengen deh cantik kaya dia. Kamu pasti suka kan.”

Di bayanganku langsung terpapar sosok Jani yang bertubuh kecil, di wajahnya penuh bekas jerawat, dan hidung yang jauh dari bangir.

“Ran, kaya Jani kamu bilang cantik? Terus yang jelek kaya gimana?”

“Ya gausah jauh-jauh deh, aku. Aku aja ngajak kamu keluar gini takut kamu ngerasa malu sama yang lain.”

“Hah? Eng, engga kok.”

Rani tertawa. Aku tersenyum tipis. Kami melanjutkan makan siang ini. Selesai makan aku hendak membayar, “Berapa Bang?” Tanyaku pada Bang Udin.

“24 ribu Mas Vin. Bentar ya.” Bang Udin mengambil uang dari laci penyimpanan uangnya. Belum sempat aku menyodorkan uang yang kuambil dari dompet, Bang Udin menyerahkan uang 24 ribu padaku.

“Nih Mas. Makasih ya.” Aku terkejut. Apa-apaan lagi ini?

“Lo kok abang yang ngasih uang ke saya, harusnya saya toh yang ngasih sebagai pembeli.” Aku menyodorkan 24 ribu yang ada di tanganku.

“Lho Mas Vino ini apa-apaan, walaupun langganan mas harusnya nerima duit dari aku toh.” Wajah Bang Udin tiba-tiba terlihat kesal.

Aku semakin terkejut. Aku tidak mau malu di depan Rani jadi aku mengalah, aku terima saja uang dari Bang Udin. Kemudian kembali ke kantor bersama Rani.

Di jalan aku berpikir, bagaimana bisa yang seharusnya memberi malah menerima? Seperti wakil rakyat sekarang ini saja, bukannya memberi jasa pada rakyat malah menerima uang haram yang harusnya untuk rakyat. Semuanya, berbalik. Alisku menyatu sedari pagi. Mataku membelalak sedari pagi. Mulutku lupa mengatup sedari pagi. Ada yang aneh dari hari ini.

Aku dan Rani akan kembali ke meja masing-masing, senang sekali rasanya hari ini walaupun aku tidak jadi mengungkapkan perasaanku.

“PLAK!” Tiba-tiba Rani menampar pipiku. Jantungku seketika berdetak kencang, salah apa aku ini?

“Ran, kenapa kamu nampar aku?”

 “Makasih ya Vin udah mau makan siang sama aku. Aku kira kamu malu keluar sama aku.” Rani tersenyum manis sekali.

“Tapi kenapa tadi?...”

“Yaudah aku balik ke meja ya.” Belum sempat aku bertanya lagi Rani sudah berlalu.

Aku begitu penasaran kenapa tiba-tiba Rani menamparku kemudian berterimakasih. Saat aku berjalan menuju ruangan, aku mendapati Fahri ditampar di kedua pipi oleh Jani, kemudian Jani pergi meninggalkan Fahri.

“Eh Ri kenapa si Jani nampar kamu?” Aku bertanya dengan rasa penasaran yang semakin menjadi.

“Ya jelaslah kita kan udah jadian. Akhirnya Vin aku bisa jadi pacar Jani, cewek idola sekantor hahaha” Fahri tertawa.

“Lho terus kenapa malah nampar?”

 “Kamu ini sok lugu banget ya Vin. Namanya juga orang sayang, ya nunjukinnya dengan nampar.”

“Bukannya cium?”

“Itu sih kalo benci, baru dicium. Lugunya kelewatan nih orang. Udah ah aku ke meja dulu Vin.”

Jawaban Fahri membuat pikiranku campur aduk. Sekarang yang aneh ini siapa? Namun aku tiba-tiba sadar mengapa Rani menamparku tadi, itu karna Rani menyukaiku. Ah, aku senang sekali. Akhirnya imajinasiku setiap malam menjadi nyata.

*

Dunia ini sudah terbalik, sangat-sangat berbalik. Di perjalanan pulang seperti biasa aku melihat Gara, si preman pasar itu dan kawan-kawannya memalak lagi. Sepertinya hanya ini kebiasaan normal yang tersisa hari ini.

Tunggu, kali ini orang-orang seperti menonton aksi mereka, tidak ada yang berusaha menghindar atau pura-pura tidak tahu. Aku melihat seksama pada Gara, ia menarik kerah baju si pedagang lalu memberikannya uang 20 ribu dengan paksa. Si pedagang menerima dengan takut-takut. Kemudian semua orang di pasar bertepuk tangan seakan salut pada tindakan mereka.

Aku melangkahkan kakiku lebih cepat. Sungguh aku lelah dengan semua keanehan ini.

*

Di depan gang kulihat seorang wanita tak sengaja menjatuhkan tas jinjing yang dibawanya. Aku hanya melihatnya karna kurasa ia sadar sudah menjatuhkannya, namun ia tetap terus berjalan. Segera kuambil tas ini dan berlari menyusul wanita itu.

“Bu, bu.” aku menepuk pelan pundak wanita tua itu.

Ia berbalik badan. “Ya?”

“Ini tadi tas ibu jatuh.” aku masih tereengah-engah.

Wanita itu membuka isi tasnya dan melihat isinya masih lengkap, namun seketika ia panik dan langsung berteriak, “Copet!!!” Apa-apaan? Bukannya bilang terimakasih karena aku telah mengembalikan tasnya aku malah dituduh copet?

Entah datangnya darimana 5 warga berlari ke arahku, aku benar-benar syok yang kupikirkan hanyalah lari, mereka berusaha mengejarku. Namun apa daya aku tertangkap sebab warga dari arah berlainan datang mengejarku juga.

Apa aku harus dihukum karena kejahatan yang sama sekali tidak kulakukan. Aku dengan jujur mengembalikan tas tadi, biasanya jujur adalah hal yang benar. Biasanya. Ah aku lupa kini duniaku berbalik, yang biasanya kini tak lagi biasa. Aku memang membenci kebiasaan tapi tidak juga harus jadi begini. Yang benar menjadi salah.

Tunggu, sepertinya...

Aku dibawa ke rumah Pak RT. Dan berharap apa yang ada dalam pikiranku benar.

“Ini, silahkan berlibur bersama orang yang kamu sayangi dengan sebebas-bebasnya.” Pak RT memberikan paket liburan ke Bali bagi 2 orang padaku.

Pikiranku tadi benar. Harusnya aku dikurung di dalam penjara namun di duniaku kini, aku dibebaskan sebebas-bebasnya. Siapa lagi orang yang akan kuajak menikmati kebebasan ini? Aku membayangkan betapa indahnya pergi liburan bersama perempuan yang kusukai. Ah...

“Mas Vino? Hei!” Cindi melayang-layangkan telapak tangannya di depan wajahku yang melamun. Aku memandangi video di Youtube dengan tatapan kosong sehingga aku menghiraukan kehadiran Cindi si penulis yang sedang aku tunggu tadi.

Alisku menyatu, mataku membelalak, mulutku menganga. Ada yang aneh dari hari ini. Aku memegangi keningku sendiri, masih panas. Mungkin ini efek obat demam yang kuminum sehingga khayalanku jadi aneh sekali.


-selesai-
Sudahkah kalian mendengarkan pembacaan sajak 'Bali'? Mampir disini sebentar, yuk! Terima kasih :)

Menggunakan Cinta di Jalan Yang Benar

Pernahkah kalian mengenal seseorang dan entah mengapa saat itu kau merasa seperti memiliki hubungan yang sangat erat dengannya? Ia memiliki lingkaran bercahaya di atas kepalanya, mungkin ia adalah malaikat yang diturunkan tangan kecil Tuhan untukmu demi sebuah tujuan yang benar-benar penting dan bisa mengarahkan hidupmu selanjutnya di kemudian hari, yang bisa memberikanmu pelajaran, dan yang menyelamatkanmu. Saat itu yang kau lakukan hanya percaya dan menyerahkan seluruh bahagia padanya. Meskipun saat  kepercayaan itu kau serahkan hidupmu dipenuhi  rasa sakit dan penderitaan.

Tapi suatu hari nanti akan terungkap alasan mengapa dia hadir dalam hidupmu. Waktu terus berjalan dan kau mencintainya tapi keadaan menetapkan kau tidak bisa memilikinya. Lalu kau merasakan sakit yang teramat sangat. Disinilah tujuannya terungkap, dia hadir dalam hidupmu bukan sebagai orang yang akan menyelamatkanmu, tapi sebagai orang yang mengajarkanmu cara untuk menyelamatkan diri sendiri. 

Dan saat tujuan itu telah tercapai, Tuhan mencabut hubungan yang kau rasakan, lingkaran bercahaya itu terangkat dari atas kepalanya, dan ia bukanlah malaikat dari tangan kecil Tuhan lagi. Ia keluar dari hidupmu. Entah dia hilang begitu saja atau memiliki orang lain dalam hidupnya. Ia asing bagimu. 

***

Pernahkah kalian merasakannya? Saya pernah dan orang itu membuat saya menggunakan cinta di jalan yang benar. Kini saya tahu tujuan mengapa Tuhan menghadirkan dia. Saya dijejali rasa sakit yang teramat sangat karena saya, entahlah, jika dibilang saya mencintainya itu berlebihan atau tidak, ya saya benar-benar mencintainya namun saya tidak boleh memilikinya karena suatu hal. Mulai saat itu saya mulai menulis, menulis apa saja, puisi, sajak, dan apapun yang ada di pikiran saya. Terlebih saat itu saya benar-benar tidak tahu harus curhat kepada siapa karena tidak ada satupun yang akan mengerti kecuali Tuhan. Saya menemukan passion saya dan saya merasa hidup saya yang tadinya datar menjadi menyenangkan.  Ini semua karena dia. Ia membuat saya mempergunakan cinta di jalan yang benar dan saya hanya berharap dia pun begitu. Dengan siapapun yang ada dalam hidupnya kini dan siapapun yang ia cintai. 

Dulu saya adalah pemegang teguh paham 'bahwa dalam mencintai tidak ada kata 'masih' ataupun 'tetap' sekali cinta ya saya tetap cinta walaupun dia tidak cinta saya lagi' saya pikir itulah bentuk kesetiaan yang saya miliki, tapi nyatanya saya terlalu naif dengan membuat hati saya luka-luka, tahu apa saya soal cinta. Tapi toh sekarang saya sudah dewasa, saya harus bisa membahagiakan hati saya sendiri. 

Saya masih mencintainya? Tidak, namun bagaimanapun, saya sangat berterimakasih padanya karena sudah menjadi malaikat itu :)

21


(22.31, Medan, 31 Juli 2013)

Dua puluh satu hanyalah angka.
Namun bagiku juga sebuah makna. Sebuah lautan.
Selamat berlayar di dua puluh satu.
Walau ini cuma tinta hitam diatas secarik putih.
Namun tertulis dalam lipatan doa dengan segala keikhlasan yang ada.
Semoga tak terhalang terik pun hujan.
Tak terdampar dan hanyut di pulau bernama lupa.

Hidup cuma sekali, kan?
Tak peduli berapa nikmat yang ingin, akan, dan mesti diraih.
Satu, dua, seribu, sama saja.
Untuk apa terus merutuk?

Perahumu sudah ada, siap berlayar di dua puluh satu.
Dengan kemudi kehendak semesta.
Awak perahumu telah lengkap.
Dua malaikat pencipta, saudara, kekasih, kawan. Mereka akan bantu tebar segala suka dan usap segala laramu.
Pasrahkan setiap arus yang menabrak dan tepi yang disinggahi pada-Nya.
Dan yang mampu kau lakukan hanya menjadi nahkoda yang sabar dan penuh syukur.
Bersama angin takdir yang menghembus layar dan akhirnya tiba pada sebenar-benarnya tujuan.
Di dalam kesementaraan dunia. 

Hidup cuma sekali, kan?
Semoga di dua puluh satu ini, milikmu bermakna.

Teruntuk, 
Kak Raka Eka Pramudito.

(Selamat 31 yang ke-21. Semoga semakin dewasa dan kreatif. Semoga kesukaannya pada tantangan dan petualangan berbuah hasil yang keren. Semoga tidak menjadi sosok yang keras kepala, mampu lebih baik lagi menjaga relasi, dan tidak mudah lupa diri kalau sudah berhasil nanti (minimal traktir bakso lah tiap gajian kalo udah kerja nanti). Semoga semakin sayang keluarga dan kekasih (p.s: dia butuh lebih banyak perhatian. Jangan sampai lama-lama dia berubah jadi papoy yang disuntik cairan ungu. You know? That is serem, banget.) Semoga jadi manusia tegar yang tidak mudah terpuruk kalau-kalau dimampirin kesedihan atau kegagalan atau diperlakukan kurang baik oleh orang-orang sekitar. Bolehlah, sesekali berubah jadi ultraman. Oke, Kak?)

Salam.

Gadis hujan.