Bali

Selamat pagi Bali.

Di bawah biru langit dan kebetapaan menyengatnya cuaca. Tuntun aku menujumu Jimbaran, ajak aku menyusuri lengkung bibir itu, tenggelam di kedalaman mata itu, dengan tetap menggenggam rindu sebagai nyawa.

Atau, bimbing aku melukis wujudmu berkanvaskan langit biru, Ubud, memahat lekuk demi lekuk tubuh yang denganku dulu pernah dengan hangatnya saling memeluk.

Demi sebuah nama. Yang tak pernah kalah bertarung menghadapi bajingan bernama jarak

Selamat siang Bali.

Mari, ceritakan padaku kisahmu. Berapa banyak penyair yang lahir dari rahimmu?

Umbu Landu Paranggi. Pra Umbu, Periode Umbu (I), Periode Umbu (II)? Berpuluh.

Sebab betapapun menyengatnya cuacamu. 

Suara-suara kera dari kecak. Desir angin yang tak putus. Deru ombak tinggi-tinggi. Kursi-kursi tidur dan bule-bule berjemur di sepanjang pesisir. Ketukan si pemahat, gesekan kuas di atas kanvas si pelukis. Anak-anak subak yang dialiri air pematang sawah. 

Indahmu mampu membuat imaji mereka liar-liar, kata-kata jinak di tangan mereka. Kemudian dalam teduh rahimmu, Bali, lahirlah bayi-bayi mungil bernama puisi

Selamat sore Bali.

Kini aku sampai Kuta. Hendak merengkuh senja bulat-bulat. Berharap jingganya mampu benamkan airmata yang jatuh. Karena satu dari berpuluh anak-anakmu. Tak jua tiba di hadapanku.

Selamat malam Bali.

Dengan segenap keindahan yang kau sodorkan di depan mataku.

Pantaimu, budayamu, senimu, kau bungkus rapih dengan pita warna biru. Sampai-sampai aku haru. Bukan, bukan karena telah dicemarkan seperti kata W.S Rendra. Bukan.

Hanya, anakmu yang satu itu, penyair yang telah mengenalkan aku pada puisi dan berjanji untuk bertemu disini. Membiarkan aku merengkuh senja sendirian, lalu ia merengkuh tubuh asing bulat-bulat

Sungguh, Bali. Anakmu itu, lebih bajingan dari jarak.

23.47. Jumat, 26 Juli 2013

(Selamat ulang tahun untuk sang binatang jalang, Chairil Anwar. Memperingati hari puisi nasional, sajak ini akan saya musikalisasikan di Soundcloud :) )

Garadit III

Dengan mengenakan seragam sekolah, Gara melangkah kedalam sebuah kantor redaksi majalah remaja lokal di kota Medan. Sambil membawa hasil tulisan yang akan dimuat di majalah tersebut. Gara melihat ke sekeliling kantor, kesibukan yang akan dia lalui selepas masa SMA nya akan ia lanjutkan disini. Sebulan yang lalu ia diterima bekerja sebagai jurnalis lepas. Gara berjalan menuju sebuah meja resepsionis, sudah banyak orang-orang kantor yang mengantri disana untuk mengambil tanda pengenal. Ah, ada Kayla disana. Seketika jantungnya berdebar. Sudah sebulan ini hidup Gara terasa lebih bersemangat. Bukan saja karena Bu Indah, editor senior disini yang menyukai banyak tulisannya tapi karena ada Kayla, dan sudah lumayan banyak yang Gara tahu tentangnya. Kayla Vanie namanya. Siswi kelas 3 SMA di sebuah sekolah negeri di Medan, sebaya dengan Gara, yang juga bekerja sebagai freelancer di kantor ini. Sebagai fotografer freelancer, yang tugasnya mengabadikan acara-acara yang diadakan kantor, kabarnya gadis itu bekerja disini untuk membantu orangtuanya membiayai sekolah. Gadis yang baik, pikir Gara. Hmm Kayla Vani, satu bulan belakangan ini Kayla terlihat indah di matanya, Gara tidak akan lupa pada wajahnya. Menggemaskan, misterius. Kelihatan pendiam, ada sesuatu yang membuat Gara tidak bisa lupa padanya. Gara ingat satu kali tangan mereka pernah bersentuhan di tengah kerumunan saat acara konser yang disponsori oleh majalah lokal ini, mereka berpandangan lalu saling tersenyum.

Kayla telah selesai mengantri, sementara Gara masih berada pada antrian paling belakang. Mereka berpapasan. Kartu pengenal yang baru saja Kayla ambil terjatuh tepat di depan kaki Gara, tanpa pikir panjang Gara langsung mengambilnya dan memberikannya pada Kayla.

“Makasih ya, Gara.” Kayla tersenyum tipis menerimanya dan langsung pergi berlalu. Tapi, apa yang baru dikatakannya? Gara? Dia tahu nama Gara. Gara temenung bingung. Apa tadi Kayla grogi mendapati ada Gara disana sehingga kartunya terjatuh, dan dia tahu nama Gara. “Ah jangan geer deh, tau dari orang kali. Tapi tadi beneran kaya adegan sinetron ya? Haha.” batinnya sambil tertawa dalam hati, di hatinya yang berbunga-bunga saat ini.

Setelah mengambil tanda pengenal, Gara naik ke lantai dua, berjalan sepanjang koridor kantor yang terdapat banyak pintu ruangan di kanan dan kirinya, hingga terhenti pada sebuah ruangan dan mengetuk pintu perlahan.

“Masuk!” Terdengar suara seorang wanita dari dalam ruangan. Gara memutar knop pintu, lalu masuk. Ia tersenyum tipis kemudian duduk di depan sebuah meja. 

Indah Ardina, Editor Senior. Sebuah plat nama terpajang di atas meja.

“Ini buk.” Gara menyerahkan tulisannya kepada Bu Indah.

Bu Indah membaca kertas yang diserahkan Gara sebentar lalu tersenyum.

“Menarik, kaya biasa. Makasih ya Gara, besok datang lagi. Ohya, selamat ulang tahun.” Bu Indah tersenyum ramah, menampilkan deretan giginya yang rapi.

“Pasti buk, besok saya datang lagi. Iya, makasih ya buk udah inget.”

“Sama-sama. Kapan pengumuman kelulusan Gar?” tanya Bu Indah.

“Ujian nasionalnya juga belom buk, udah ditanya kapan lulus aja, hehe. Mungkin bulan Mei.”

“Oh ya nggak apa-apa. Soalnya kalo kamu udah lulus kan bisa jadi jurnalis tetap disini. Ibuk yang rekomendasiin lho, soalnya ibu suka banget sama tulisan-tulisan kamu.”

“Wah bener buk?”

“Iya, bayaran jurnalis lepas kan cuma dihitung per tulisan aja sih Gar. Masa kamu mau gitu-gitu aja? Apa nggak lebih bagus jadi jurnalis tetap.”

“Makasih ya buk. Wah saya jadi nggak sabar buat cepet-cepet lulus ini.”

“Nulisnya juga harus lebih giat ya.”

“Pasti, yaudah saya permisi buk. Besok saya kesini lagi. Sekali lagi, makasih banyak ya buk.” Gara bangkit dari duduknya lalu menyalami Bu Indah. Sepeninggalnya dari ruangan editor senior, Gara ingin berteriak sekencang-kencangnya. Betapa bahagia hari ini, menjadi jurnalis adalah salah satu impiannya dan sebentar lagi akan menjadi kenyataan, jatuh cinta? Ya, di hari ulang tahunnya ke delapan belas.


***

Bersambung...

(Udah lama banget cerbung ini diabaikan ehehe. Walaupun lanjutannya dikit, karna belum tahu lagi mau dibawa kemana Garadit ini. Enjoy the first and second part di label Garadit di paling bawah Tulisan Feby ya :) )

Seorang: Natan

“Kalo bisa nulisnya jangan pake bahasa baku ya...” Okelah, sesuai pesanan. Here they are...

Gimana rasanya ngegambar sesuatu yang nggak pernah kamu lihat? Gimana rasanya kalau kamu disuruh mendeskripsikan sesuatu yang sama sekali nggak kamu kenal? Sulit. Tapi untuk ‘sesuatu’ yang satu ini, saya amat sangat mengenalnya, walaupun dia memang absurd untuk dituliskan.

INTAN, namanya.
I: Imut orangnya
N: Narsis hobinya
T: Tak tahu malu sekali
A: Anaknya baik
N: N bukannya udah ya tadi?

Ya mungkin itu saja yang bisa saya tulis tentang dia. Karena dia maksa, jadi agak susah inspirasi ini keluar. Selamat siang...

..........

Hahaha becanda becanda. Emang benar-benar random kalau udah menyangkut Natan. Panggil dia Natan. Seorang perempuan berumur 19 tahun, rambutnya pendek, cantik, badannya tinggi dan ehm, proposional *Ingat yol, harus nulis yang bagus-bagus.. Elus-elus jari*

Saya cuma pengen bilang kalau saya sangat amat sayang sama dia. Sahabat paling kece sepanjang masa. No offense. Emang bener. Disamping dia, saya ngerasa punya kakak perempuan yang nggak pernah saya punya. Kalau ada dia saya nggak pernah jauh-jauh dari tawa. Dia selalu ada waktu saya susah, waktu saya kesepian.

Natan itu kaya matahari. Tau kok tau, mainstream dan gombal banget, tapi apalagi coba yang bikin bumi seterang ini kalau bukan matahari? Semua orang nyari-nyari keberadaan dia, kalau dia nggak ada rasanya gelap. Kenapa? Dia selalu punya cara bikin semua orang ketawa. Entah pada akhirnya itu dengan membully dia, mempermalukan dia, atau dengerin cerita serta pengakuan dia yang apa adanya, polos, tapi nggak di buat-buat. Cara dia bikin mood semua orang naik itu tanpa pretensi.

Tapi kalau dia bikin semua orang seneng terus siapa dong yang bikin dia seneng? Pastinya semua orang yang kenal sama dia, semua sahabat-sahabat dan temannya yang sering dia bahagiain itu. Dia juga punya keluarga yang hebat, kedua orangtua, kakak, dan adik yang sayang sama dia. Saking disayangnya, sekarang dia nggak boleh lagi pulang malam-malam.

Kalau untuk masalah hatinya, mungkin saya nggak mau ngebahas disini. Karena bagaimanapun itu, saya hanya berharap dia mendapat yang terbaik pada akhirnya :)  Amin.

Seseorang yang sering banget telat masuk kelas, namun jadi satu-satunya anggota PASKOMDA yang dapet kehormatan bawa baki di upacara 17an di depan walikota,saya benar-benar salut sama dia. Seorang yang nggak pernah capek untuk minta diajarin sama yang lebih bisa, seorang yang taat ibadah. Seorang yang pengen banget jadi polwan tapi (belum) kesampaian, seorang yang terjebak dalam dunia kedokteran namun sedang berusaha untuk menikmatinya... Tetap semangat dan berjuang ya, Ntan. Tulisan kamu  layak untuk terukir di atas kertas resep kok :’) Seorang yang pelan-pelan mulai jadi ‘wanita’ seutuhnya, seorang yang masih selalu apa adanya. Walaupun emang (kadang) masih suka malu-maluin, tapi saya nggak pernah malu deket dia kalo dia udah malu-maluin. Yaa paling pura-pura nggak kenal aja hoho. Seorang yang sangat mengidolakan Sammy Simonangkir, fans karbitan Chelsea cuma karna warna jerseynya bagus, dan entah sejak kapan tergila-gila sama Mr. Bean. Mungkin karena sama-sama anehnya uhuhu.


Seorang yang sangat mampu dan mudah untuk dikangenin. Yang punya dua orang lelaki yang sama aneh dan absurdnya, bersama-sama mereka menjelma menjadi 3 sekawan yang tak terpisahkan. Dua lelaki yang selalu menemani dan ada untuknya, menjaganya sekaligus memalaknya dalam satu waktu, Rija dan Mano. Teruslah memalak sampai tas kalian jebol dikais melulu dan sampai kalian overdosis bakso dan nasi goreng ya! Saya mendukung kalian *evil laugh* Ya walaupun sekarang kalian bertiga udah terpisah pulau.


Tapi, saya sangat tahu mereka berdua selalu rindu kamu, Ntan. Sangat.

Apa lagi ya?

Ohiya, terimakasih buat dua tahun terakhir ini ya. Setiap tanggal 25 Agustus saya nggak pernah dapet ucapan dari kamu, Rhe juga. Padahal kalian yang paling saya tunggu. Huh, traktir saya McDonals yang ada hadiah Minions Papoy nya!


Tapi, saya juga sangat tahu Natan dan Rhe sangat sayang sama saya. Terimakasih sudah jadi sahabat yang hebat ya, kalian.

Intan Darmawanti Siahaan, maaf ya kalau masih ada yang kurang ditulis disini. Kenapa? Seperti yang saya pernah bilang, you are more than words..

Makasih buat hadiah menara eiffel kecilnya yang buat saya nangis di ankot dua hari lalu. Jujur, nggak pernah dapet hadiah seindah itu. You know me so well.


Salam,
Gadis hujan.

Pria Pejalan-jalan

Sudahkah kamu mengenalnya? Seorang pria petualang. Hmm, terlalu kaku. Pria penjelajah? Pria pejalan-jalan, mungkin. Entahlah, namun jika kau terjemahkan dalam Bahasa Inggris kau akan menemukan dia sebagai Traveler Man.  

Kukenalkan kau pada seorang pria, yang menghabiskan uangnya untuk menggembelkan diri di jalan-jalan sebuah kota yang ia impikan untuk dikunjungi daripada kegiatan ala ‘pria kebanyakan’ yang membuatnya (memaksa) kelihatan macho. Ia yang tak pernah berpura-pura, menjalani hidup apa adanya dengan realitas yang ia temukan di perjalanan.

Kenalilah ia, seseorang yang begitu menyayangi Ibunya. Ia yang dengan utuh menemukan kecantikan seluruh wanita dalam wajah Ibunya. Tentunya seluruh wanita yang ia temui di perjalanan.

Sebab hidupnya adalah tentang pertemuan, tanpa perpisahan dengan penuh drama seperti di film-film.


Kau akan dengan mudah mengenalnya dengan kulit yang menghitam terbakar matahari di pantai, namun ia tak peduli. Bibirnya yang sering mengering karena hawa gunung yang ia daki. Dan kemampuannya berbicara bahasa daerah yang ia kunjungi meski sedikit, ia tak malas untuk mempelajari dan menyesuaikan diri.

Dia yang dengan rajin mengumpulkan tiket pesawat, kereta  api, kapal, atau apapun itu di sebuah kotak sebagai kenangan daripada mengumpulkan berkotak-kotak sepatu. Sebuah sepatu di kakinya, adalah yang semakin hari semakin usang sekaligus semakin hari semakin layak pakai baginya.

Jiwanya terisi semangat dan tidak takut untuk tersesat.

Pendakian-pendakian telah menghadapkannya pada berbagai macam karakter manusia. Bukankah kau pernah mendengar perkataan “Di atas gunung, kau akan menemukan sifat asli seseorang.”? Segelintir orang mungkin pernah mencibirnya, namun ia tetap tenang, sebab baginya, mereka tak cukup berharga untuk didengarkan. Ya, dia sudah menghadapi itu semua dan dengan mudah menemukan mana seseorang yang pantas dihargai mana yang tidak.

Saat kau sudah mengenalnya, kau akan dengan mudah mencintainya.

Dan bersiaplah dicintai kembali olehnya. Kau hanya harus bersabar menunggu, karena sejauh apapun pria pejalan-jalan itu berjalan, ia hapal betul jejak-jejak yang ia tinggalkan. Ia akan selalu mencarimu di tengah keramaian, akan selalu mengingat hangatnya senyummu di tengah dinginnya gunung dan kota hujan. Akan selalu mengingat dinginnya sikapmu saat ia mulai sulit diingatkan untuk makan di tengah teriknya pesisir pantai dan jalanan kota.

Segala yang ia jalani adalah tentang proses, bukan tujuan.

Dan sebagai bonusnya, di suatu senja kau akan menerima sebuah kartu pos dengan puisi ciptaan semampunya yang ia tulis dengan pena pinjaman dari kantor pos. Namun senyum manis akan merekah dari bibirmu. Sebab pada akhir puisinya, ia akan mengajakmu untuk menemaninya, menemaninya berjalan.

Teruntuk Riady Putra, pria pejalan-jalan, yang di usianya kini telah memiliki KTP.
Selamat (telat) ulang tahun, semoga sehat dan bahagia selalu.

Salam,

Gadis Hujan.


(Terinspirasi dari sajak Rosemarie Urquico ‘Date a Girl Who Reads’)

Di Suatu Rabu Pagi

Selamat pagi dinding kamar yang lembab. Entah jamur atau aku yang akan membasuhmu terlebih dulu.

Kasihan kau kayu yang menjelma jadi kaki-kaki kursi. Remuk-remuk seumur jagung, memikul beban yang tak tanggung.

Pada malam di penghujung Juni.

Dan pada pagi di penghantar Juli.

Ada tulang-tulang lelah yang memaksa masuk ke palung persembunyian terdalam. Agar riaknya tak mengganggu bahagia kecil itu berlayar.

Dia, si pesimis kelas kakap itu. Dengan gagah berani menirukan gaya takdir.

Akhirnya ia jadi nyamuk yang tak menghisap apapun di kubangan darah. Kakinya gemetar, sayapnya lemas. Tak sanggup terbang.

Selesailah sajak kecil pagi hari yang tercipta di atas kasur.


Selamat menikmati Rabu yang (semoga) seru. 

Di Antara

: batubadaon

Di antara wajah-wajah dihiasi senyum.

Di antara kepala-kepala dengan niat-niatnya.

Di antara semua ada aku. dengan jiwa yang terpecah-pecah.

Tapi beberapa kepingannya ada disini.

Di antara mereka.

Di antara senyum-senyum itu.

Di halaman masjid. Di atap hijaunya.

Di lampu-lampu dan spanduk yang berkibar.

Dalam bunyi keping receh. Dalam kotak amal. Bunyi air dari keran.

Dalam jerit ponsel yang lupa dibisukan.

Langkah bocah-bocah dan orang tua.

Dalam takbir, rukuk, sujud, salam...

Aku utuh.

Hanya jika diizinkan oleh-Nya untuk utuh.

Setahun

Setahun.

Sekujur tubuhku kaku.

Tapi dengan rapih ku sembunyikan.

Wujud nyata itu. Yang hanya mampu kujangkau melalui gambar dua dimensi dan teks.

Badanku kaku. Rasanya seperti orang tolol, hampir menangis.

Semua buyar, cerita yang ingin disampaikan, cerita yang ingin kudengar, tak ada sama sekali, yang ada hanya basa-basi yang benar-benar basi.

Dari luar. Senyum yang sama, bau tubuh yang sama, kebiasaan yang sama.

Dari dalam. Aku tak tahu.

Hari ini. Hari dimana rindu yang tak tahu diri ini sedikit lepas bebannya, hanya dengan memandang dari jauh.

Masih seperti dulu.

Aku kalah.

(15 Juli 2013)

Catatan Kecil di Dua Kota

- Jogja

Akhirnya sampai juga aku di kota yang dulu tanpa sengaja kutulis menjadi sebuah sajak dan ku musikalisasi. Dan tanpa sengaja pula banyak yang menyukainya. Terima kasih yang sudah mendengarkan dan mendownloadnya di Soundcloud :)

Aku menginjak kota ini tanpa sengaja. Dengan mendadak dan jiwa liar yang tiba-tiba menyeruak untuk berjalan sendiri (lagi). Dua setengah hari di Jogja memberiku ruang untuk berpikir. Memberiku kehampaan yang tak kosong, hampa yang kemudian kuisi dengan hal-hal apa saja yang membuat penat dan dengan segera kucari penyelesaiannya. Kucari titik terang yang membuatku (setidaknya akan) bahagia. Nyatanya aku gagal. Lagi-lagi, tetap satu itu yang memenuhi pikiranku. Sial.

Bayangkan sakitnya memikirkan sesuatu yang sia-sia. Kau tahu itu sia-sia, tapi kau tak mampu menguras habis pikiran itu. Sama sekali tak mampu. Sial.

Ohya omong-omong, memang benar. Jogja adalah kota yang membuatku ingin kembali lagi. Kota yang kangen-able.

Untuk perjalanan kali ini, yang kukira akan bersih dari pikiran itu, aku gagal (lagi).

Mungkin di perjalanan selanjutnya.

(5 Juni 2013)

- Tangerang – Jakarta

Hampir pulang ke rumah. Singgah sebentar di ibukota yang gerah.

Panas. Tapi menyenangkan.

‘Itu’? Hal itu? Di kota ini aku dan hal itu dekat, dekat sekali jaraknya. Namun tak diizinkan bertemu.

Kesimpulannya, aku tak pernah ingin berhasil. Aku ingin selalu gagal. Dan di rumah. Kota dimana pikiran itu tak hanya pikiran, ia akan berwujud nyata. Aku pasti akan bertekuk lutut.


(13 Juni 2013)

Ketuk Pintu Rumah Hati

Gambar diambil dari Google
Rumah?

Aku ingin jadi tempat dimana hatimu selalu pulang. Aku tak akan pernah iri pada setiap persinggahan yang seluruhnya kau tawar segala manis. Biarlah aku mengecap pahit. Namun bukankah ada banyak waktu untuk menabur gula dan mengaduknya jadi manis? Aku hanya ingin sederhana, bukan dengan madu.

Terus Ketuk!

Hati itu bagaikan rumah, dan punya pintu yang berbeda-beda. Ada yang terbuka dengan hanya satu, dua, atau tiga ketuk. Namun ada pula yang hingga seratus ketuk baru terbuka. Maka, jangan menyerah. Teruslah mengetuk.


Tok. Tok. Tok.

Penulis Adalah tuhan

Penulis adalah tuhan.

Dalam film, penulis skenario menciptakan tokoh dan jalan hidupnya. Dari awal hingga akhir. Sang penulislah yang menentukan akan jadi ‘apa’ ciptaannya itu. Lalu, sang sutradara adalah pengatur ‘bagaimana’ ciptaan sang penulis menjalani hidupnya, dengan dramatis, sederhana dan apa adanya, luar biasa, membosankan, apa saja. Sutradara hanya mewarnai kanvas hidup sang tokoh namun tak dapat menentang ‘takdir’ yang ditetapkan penulis sang pemegang kendali.

Ya, penulis adalah tuhan.

Penulis mampu menciptakan jutaan dunia yang ia inginkan. Dunia macam apa yang ia inginkan. Makin liar imajinya, makin gilalah dunianya.

Penulis mampu mengadakan yang tiada. Ia mampu menciptakan kecelakaan paling hebat di dunia. Buasa, misalnya. Kecelakaan persilangan antara rusa dan buaya. Ia adalah rusa melata dengan gigi tajam-tajam, tubuh manusia jadi makan siangnya. Kau bisa dapat hidup super 'futuristik' sampai-sampai kau bisa mandi di Uranus. Merasakan air mengalir dari shower ke sekujur tubuh dalam gravitasi yang nol.

Penulis punya arsip kenangan paling lengkap. Kelak, di beranda pada satu sore yang senja, ia duduk sambil membacakan kisah hidup yang ia bekukan dalam tulisan pada cucu-cucunya. Padahal pagi harinya semua air di panci menguap sebab ia lupa mematikan api di sumbu kompor. Padahal ia tak ingat nama cucunya yang paling lucu sekalipun. Namun dengan fasih menceritakan kisah hidupnya tanpa cela.

Dan penulis, mampu membetulkan hidupnya yang salah. Dengan menciptakan hidup baru, dan ia sebagai tokoh utamanya.

Penulis adalah tuhan. Untuk kita sang penonton dan pembaca, bersiaplah tersesat, berpegang erat dan bersiap terhempas ke tanda tanya.


(#now playing Banda Neira – Ke Entah Berantah)

Lelah

Di hadapanku ada gelas plastik kosong bekas teh hangat. Perutku tak karuan.

Di sekelilingnya ada sampah makanan ringan. Dihabisi mereka dengan beringas saat aku tertidur.

Di hadapanku berpasang mata-mata masih hidup dan terbuka lebar. Kontras dengan sepasang di wajahku. Sayu.

Tubuhku gemeretak, tubuh mereka bergerak tergelak.


Aku butuh kasur, dan sedikit nasi putih.

(pukul satu pagi di kereta menuju ibukota, 6 Juli 2013)

Masih Malas?

Dulu,

harusnya wajah ini ku basuh tiap jam empat pagi.

Harusnya aku menyisihkan lima menit lima kali dalam sehari. Menghilang dari dunia, menghadap yang disana.

Harusnya aku melantunkan deretan huruf bersambung yang indah itu walau seayat sehari.

Harusnya aku salah satu dari beberapa cahaya kala dunia meredup. Mengadu, memohon, berbincang, bersyukur padaNya. Bukan terus dan terus mengeluhm mengumpat pada mereka yang tak seharusnya.

Kini,

sayangnya aku terlalu malas.

Sayangnya aku terlalu malas.

Sayangnya aku terlalu malas.

Sayangnya aku terlalu malas.

Tubuhku kotor. Sangat kotor.

Dan harusnya, aku minta ampun. Sebelum terlambat.

Masih malas?

Drama Hidup: Terima Kasih, Semesta

Gambar diambil dari Google
Terima kasih, Semesta.

Semesta, lagi-lagi aku dikejutkan oleh kemisteriusanmu. Kau benar-benar hebat merancang pentas drama hidup. Segala kamuflase yang kau ciptakan pada awalnya membuat aku menguras air mata tanpa sisa setetespun, sampai aku tak tahu lagi cara memuaskan dan melepas emosi. Hingga pada satu waktu, kau, semesta yang keren, membuat aku tersenyum dan tertawa sendiri. Gila. Karena nyatanya aku jatuh miskin, rugi kehabisan air mata.

Oh semesta.

Kau membuatku heran. Dekorasi ini, skenarionya, para aktor, keren. Terima kasih telah membuat drama hidupku sekeren hingga detik ini. Detik dimana aku masih terheran-heran membandingkan dulu dan kini, saat aku menulis segala keheranan ini.

Perjalanan

Gambar diambil dari  Google
Abu-abu,
ini tubuh sedang berada di atas gesekan dua besi. Berbeda bentuk. Satu berjalan, terus berjalan menuju yang dituju. Satu hanya diam membeku, dingin, pasrah tergesek. Namun darisana tercipta jalan-jalan yang menuntun tubuh ini menuju kota di ujung sana. Layaknya aku dan kau. Masih seperti itu.

Abu-abu,
ini sudah ke entah berapa yang kujalani. Berharap angin menampar pipi untuk menyadarkanku bahwa penantian ini tak masuk akal lagi. Berharap segala potret yang tertangkap membekukan segala ingin yang (sialnya) tak pernah sanggup kuhancurkan. Hanya beku jadi es.

Berharap dari sekian rupa dan jiwa yang kutemui menggesermu ke sekat paling gelap, hingga akhirnya aku benar-benar buta akan kau.

Pahamkah kau bahwa aku telah terluntang-lantung untuk melupakan. Sudah pahamkah kau semua usaha itu hampir kehabisan nafas dan sesak kerana (brengseknya) kau tetap yang aku ingat?

Dan dari semua keluh yang telah tertuang dalam wadah yang entah hingga tumpah. Kau tetap tak memahami. Bahkan (brengseknya lagi), kau tak tahu.


Perjalanan macam apa lagi yang harus aku tempuh?

[kepada yang]

Setiap jejak yang ditinggalkan adalah pengingat bagi yang akan selalu menuntun kita kembali ke tempat dimana jejak itu pertama dibuat. Suatu hari mungkin kita akan bercerita banyak tentang angin. Kita akan bersenandung sepanjang jalan. Kita tidak akan hanya melukis rumah di pasir. Suatu saat nanti rumah kita dengan pintu dan jendela bukan hanya gambar. Dia akan berdiri di sana. Kita akan hangat bersama bukan karena air mata. Bukan.

Mungkin suatu saat kita akan saling berbagi pelukan. Dan semua yang sudah kita tinggalkan ini akan menuntun kita kembali pulang. Kembali kepada yang ikhlas menerima kita.
Kepada yang akan membagi bahagia. Kepada yang akan memahami melewati subuh. Kepada yang menghantarkan dalam kedamaian alam bawah sadar,
Kepada yang akan membuatku selalu ingin diam ketika melihat dia tersenyum. Kepada yang selalu berat untuk meninggalkan dan ditinggalkan olehmu...


Ini bukan puisi kehilangan. Bukan. Ini puisi cinta. Hanya saja cinta ini terlalu banyak jeda. Isi saja dengan sabar. Dan jika sudah selesai. Kau baru akan mengerti ini puisi cinta. Ini cinta. Bagi yang menunggu. Bagi yang ditunggu. Bagi yang berjanji. Dan bagi yang meninggalkan janji.

(batubadaon)