Aku Harap

Salahkan aku yang menjadi terlalu bodoh untuk tak berpaling. Melihatmu bersamanya di hari-hariku tanpa henti. Rasanya tak ingin bernafas lagi saat melihat dia menggenggam tanganmu. Aku berharap aku bisa. Rasanya langit runtuh menimpa tubuhku, saat melihat dia tertawa bersamamu. Aku berharap aku yang ada disana.

Caranya menatapmu, caranya membuatmu tersenyum, caranya memperhatikanmu. Semua adalah cara yang kuharap bisa kuberikan padamu.

Seorang yang meneleponmu untuk bertanya “Bagaimana harimu sayang?” Dan kemudian aku mendengarmu bercerita dari ujung sana. Aku ingin jadi yang menenangkanmu disaat riuh dunia melelahkanmu. Aku ingin menjadi seorang yang mengingatkan makan ditengah kesibukanmu agar lambungmu tak bermasalah sepertiku. Aku ingin menjadi seorang yang kau ingat untuk mengucapkan selamat pagi sebelum mengawali hari dan selamat malam sebelum memejam.Tapi seorang itu sudah berwujud dia. Seorang itu dia bukan aku.

Ah, betapa bodohnya. Aku hanya... Berharap itu aku.

(15 September 2012)

Yogyakarta

Yogyakarta...

Aku datang lagi. Apa kabarmu? Masih menyimpan rindu? Aku harap begitu. Karna akupun memiliki rindu yang sama besarnya denganmu.  Bukan rindumu, tapi kenangan didalammu. Begitu besar.

Disini aku datang untuk menemuinya. Menemui dia yang sudah lama tak bertatap. Apa kabarnya? Masihkah dia disana? Di dalam rumah mungil yang kami beri nama, gubuk cinta. Meski aku tak dekat denganmu. Tapi hatiku tetap disini, di dalammu, Yogyakarta.

“Tok, tok, tok.” Kuketuk gubuk cinta. Tak ada sahutan, tak ada pintu yang dibuka dan senyum yang menyambut. Kemana dia? Kubuka pintu, dan mengamati sekeliling. Di atas meja, kutemukan dua cangkir teh yang tinggal bubuk. Jelas masih kuingat, itu cangkir kami. Cangkir terakhir sebelum peluk perpisahan kuberikan padanya. Dan janji yang kutinggalkan bahwa aku akan kembali. Apa sejak saat itu dia tak pernah kemari lagi? Walau hanya untuk sekedar membersihkan debu-debu yang ada di gubuk ini, apa dia tak ingin saat kedatanganku gubuk ini terlihat bersih? Mungkin dia lupa, atau malas? Akhirnya aku sadar, dia telah pergi. Rasanya hatiku pilu. Harapanku haru. Dan segalanya menjadi biru. Aku tahu, aku hanya meninggalkan janji tanpa kabar maka dari itu ia pergi dan merasa hambar.Salahku, ya salahku.

Yogyakarta...

Kau tetap seperti dulu. Semakin ramai saja para musisi jalanan mengiringi langkah gontaiku yang penuh lara kehilangannya. Masih pedagang kaki lima yang menjajakkan sajian khas berselera yang menyapaku dengan senyum sepanjang jalan, namun kini aku tersenyum sendirian, tanpa dia yang membalas senyum mereka bersamaku dulu. Biarlah gubuk cinta menjadi saksi bisu kenanganku bersamanya didalammu. Dan Yogyakarta, terima kasih akan segala rasa nyaman yang kau beri padaku. Kau adalah rumah untukku. Karna segala yang memberikan rasa nyaman adalah segala-galanya tempat kembali. Bila hati merasa hampa dan tiada yang menyapa.

Walau kini kau tlah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk slalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tiada terobati

(Yogyakarta - Kla Project)

Filosofi Pingpong

Tahukah kau apa yang sedang ada dalam pikiranku? Aku memikirkanmu seharian ini. Memikirkan bagaimana jadinya aku tanpa rindu yang sudah terlalu biasa aku pendam sendiri dalam sanubari. Sampai pada saatnya tak mampu lagi kutahankan dan membludak keluar seperti saat ini. 

Aku terbiasa membuat sesuatu yang remeh temeh bagi setiap anak manusia menjadi istimewa di imajiku. Pernahkah kau berpikir mengapa pingpong itu bukan ping pong atau ping-pong. Karna diantara mereka tidak ada spasi. Tidak ada seorangpun yang bermain ping saja, atau hanya bermain pong.


Sederhana? Sangat. Dan ya, begitulah aku memaknai. Kau akan selalu memberikan sebuah hal yang tak berkesudahan selama masih dalam permainan, kau akan selalu memberikan sesuatu yang timbal balik tanpa pemaksaan hanya atas dasar bersenang-senang. Namun saat kau lelah, kau harus menghentikan permainan dan jika lawan mainmu tetap ingin bermain, ia tak dapat bermain sendiri, dan pada akhirnya ia harus mencari ping atau pong yang baru. Karna diantara pingpong tidak ada spasi, kalaupun ada, hanya harus berisi kita, entah itu kau dan aku, aku dan dia, ataupun dia dan kau.


Lalu apa inti yang mampu dikaitkan dari ini semua? Antara rinduku, pingpong, dan kita?


Jawabannya adalah tak akan pernah ada spasi.

Kita Adalah

Kita adalah sepasang mata yang tak mampu bergerak berlawanan arah. Ketika satu dari kita memaksa untuk bergerak sendiri tak terelakkan satu lainnya mengikuti.

Kita adalah ampas kopi yang ada dalam secangkir gelas pada malam-malam yang sunyi, malam yang terlupakan, dan tak tersentuh. Yang bersama-sama menjemput pagi untuk dibersihkan dan kemudian menjadi ampas lagi dan lagi. Tanpa lelah.

Kita adalah hujan dan petrichor yang kehadirannya tetap disambut hangat meski dalam dingin yang sendu. Adalah pelangi yang warnanya tetap tujuh. Meski hadir terus menerus tanpa peluh.

Kita adalah lubang dalam berisi emas. Yang perlu untuk diisi air hingga penuh dan terapung ke permukaan. Membuat emas lebih mudah untuk diraih.

Kita adalah layang-layang yang terukir indah di langit, meski dengan tarik dan ulur yang menyulitkan, meski dihembus angin yang melawan arah layang kita.

Kita adalah detik dan detak yang jalannya mampu berjalan tanpa kenal lelah.

Karena kita adalah seluruh alam yang tak akan pernah kehabisan perumpamaan.

Kita adalah mozaik kenangan, yang tak lekang oleh usia, yang setianya siap diuji dengan sedia, yang mempunyai rangkaian paling lekat sedunia, hingga semesta serta merta menghistoriskan semua analogi kita.

Kita adalah...

(11 September 2012)

Aku Harus Segera Pergi Sebelum Matahari Melenyapkan Segala Yang Aku Punya


Aku harus segera pergi sebelum matahari melenyapkan segala yang aku punya.

Bagaimana aku mengawali? Karena semua ini bahkan tak pernah dimulai. Aku hanya lintasan tanpa pemberhentian yang terus dilalui tanpa permisi, yang dengan lapang menyerahkan diri pada apa, siapa, dan bagaimana dilewati.


Apa yang membuatku berderit adalah apa yang membuat anak-anak burung menjerit dalam sangkar menanti cacing dari sang induk. Siapa yang membuatku berderit adalah siapa yang selalu terkait di tiap gerbong kenangan. Dan bagaimana aku berderit adalah bagaimana sakit yang tak mampu terungkap.

Aku adalah lintasan yang memuai akibat matahari, maka tercipta celah diantara diriku sendiri. Bagaimana bisa? Seorang diri memiliki celah yang menunggu dingin untuk menyatukannya. Aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Sampai kapan?


Biar kuberitahu. Sampai malam yang dingin datang dan memberi aku harapan untuk menyusut, menyatukan kembali celah yang sempat terpisah pada siang hari. Siang masih panjang, tapi aku harus bergegas, agar saat kau lewat, tak ada celaka karna celahku yang bisa saja membuatmu jatuh dan terluka. 

Aku harus segera pergi sebelum matahari melenyapkan segala yang aku punya, termasuk kamu, pergi menjemput malam yang dingin.


(11 September 2012)

Iseng-iseng

Halo-halo, sebenarnya ini postingan iseng-iseng. Jadi dua hari yang lalu, Feby pergi bareng Tiara, temen kos Feby , buat beli rice cooker di matos. Jadi setelah rice cookernya kebeli, Tiara pengen mampir ke Strawberry sebentar. Berhubung Feby males masuk karna ramai dan yang paling penting sih musti jagain troli yang isinya rice cooker, jadilah Feby nunggu diluar aja. Dua kata: Lama Banget, Feby Jadi Bosen. Bukan dua kata lagi sebenarnya, ah lupakan. Nah, muncul keisengan dari kepala ini untuk buat satu postingan tentang pandangan Feby buat fenomena yang terjadi di depan mata saat itu. Dengan kamera handphone seadanya yang hasilnya kabur, maklum ngambilnya diem-diem. Pssstt...



Cowok baju putih: “Duuh, lama yaa cinn..”

Liatliat? Ada 4 orang cowok yang berdiri manis di depan Strawberry. Ngapain? Yang pasti mereka bukan lagi mikir apa yang mau dibeli, atau cuci mata dengan pernak-pernik pink yang ada disana dari luar karna malu untuk masuk kedalam. Mereka lagi nungguin pacarnya yang lagi belanja disana. Semangat! Kalo kata Indra Widjaya: “A true man never say Huft.”


Baju putih sudah selesai dieksekusi, masuklah baju hitam (tanpa jaket) dan jaket coklat. Yang jaket hitam masih setia daritadi. Cemungudh!


Baju abu-abu pun masih setia dengan dua botol minuman. Aaah, so sweet :’)


Baju ungu daritadi ikutan masuk: “Aaah senangnya..” Terlihat wajah sumringahnya walaupun agak kabur. Baju merah masuk.


Baju merah: “Tinggallah aku sendiri. Huohuo...”

Feby rasa sih, kalau mereka berkumpul bisa buat boyband. #salahfokus Hhaha. Intinya, ada sesuatu saat melihat ini. Entah dari diri sendiri atau memang kalau setiap orang yang jeli melihat satu fenomena yang ada disekitar seperti ini pasti ada minimal satu kalimat saja yang keluar. Kalau dari Feby sendiri sih “Kenapa bisa-bisanya buat postingan begini coba? Uda berapa cowok yang datang dan pergi dan terfoto, tapi saya masih disitu aja? Baru sadar, ternyata Tiara lama banget disana. Huft.”

Ya begitulah cinta, rela untuk menunggu sampai yang ditunggu datang membawa senyuman untuk kembali bergandengan tangan berjalan bersama lagi...

Salam Iseng dan Senyum,
Feby.

Aku Yakin


Aku yakin...
Saat melihatku, kamu hanya melihat perempuan biasa lainnya, diantara seribu lebih manusia berkaus biru disini.
Bagimu, aku hanya sebutir diantara jutaan pasir di laut yang kamu injak dan lalui.
Tapi,
Aku yakin...
Akan tiba hari dimana semua orang memakai warna baju yang sama, dan aku biru satu-satunya, hingga seluruh perhatianmu tertuju padaku karna aku berbeda.
Dan aku yakin, akan ada hari dimana pasir itu menggunung menjadi istana yang megah, sehingga tak hanya kau lihat sambil lalu, tapi kamu, menatapnya lama, bermain-main, dan tertawa bersamanya.

04.43 , 31 Agustus 2012
(Surat cinta untuk ospek, dibuat satu jam lebih sebelum ospek fakultas dimulai -_-)

Dia Abu-abu

Dia abu-abu. Salah satu dari milyaran Homo Sapiens yang kukenal. Satu bukti kecil dari Maha Misteriusnya Tuhan.

Dia yang pagi hari berwujud matahari, cerah dan ceria menyinari. Namun, seketika berubah menjadi bulan, yang diam memandang dari kejauhan, dingin dan bisu.

Dia abu-abu. Yang membuatku tersenyum kecil karna leluconnya dan tertawa lebar karna tingkahnya sepenuh hidup. Yang membuatku memutar otak hanya untuk membuatnya tertawa dan mengerut dahi karna keanehan dan betapa mengesalkan dirinya setengah mati.

Dia abu-abu. Yang sekejap merangkul dan sekejap kemudian berjalan menjauh. Hangat menyapa kemudian acuh sama sekali.

Dan pada akhirnya, dia tetap abu-abu. Yang tak dapat kutebak dan kugapai, seperti itu.

(Catatan kodok kecil yang terjebak di dasar sumur. Di langit yang tak lagi malam namun bukan pagi, langit abu-abu)

3 September 2012