Aku Tahu Mereka Menangis

Aku membuka pintu rumah. Hujan deras sudah mengguyur kota tempatku tinggal sejak lahir ini, petir bersahut-sahutan. Aku tak peduli. Yang aku inginkan hanya berdiri di sini, di depan pintu rumah meski cipratan air hujan sedikit demi sedikit masuk dan membasahi lantai rumah. Meski sebenarnya aku takut petir. Aku ketakutan, bajuku mulai basah. Atap rumah hanya mampu menampung hujan sekedar. Kakiku gemetar, begitupun bibirku. Dingin. Tak terasa aku mulai menangis.

Diantara semua yang dingin detik itu, hanya pipiku yang panas oleh airmata. Hujan semakin deras, petir mulai berkurang. Tangisanku masih berlanjut. Sepertinya aku harus menerabas hujan ini, namun aku takut sakit. Aku tak tega Ibu mengeluarkan uang untuk mengurusi sakit karna kebodohanku, untuk makan saja sudah terlalu susah.

Sungguh, yang kubutuhkan hanya wajah itu. Wajah yang ingin kujemput sedaritadi, wajah yang aku tunggu kepulangannya sejak tiga jam yang lalu. Aku khawatir.

Hujan deras melenyapkan senja. Dari balik hujan yang tak kunjung reda, sayup-sayup adzan maghrib masih terdengar. Aku bergegas masuk ke dalam rumah dengan berat. Aku berbalik sekali, namun wajah itu belum muncul juga.

Aku Sedang Menunggu

Aku sedang menunggu. Aku menunggu seseorang biasa. Yang memiliki hati lapang dan ikhlas menempatkan seluruh hatiku disana. Hati yang kupercayakan untuk ia jaga, untuk ia obati, untuk ia lindungi seperti bayi yang baru lahir. Bukan ia yang memiliki hati lapang sehingga menempatkan banyak hati disana. Bukan. Aku hanya ingin dia yang biasa.

Aku sedang menunggu. Aku menunggu dia yang tahu kalau aku cengeng, tapi tetap mencintaiku. Sehingga berusaha agar aku tidak menangis, kalaupun cengengku kumat, dia adalah orang pertama yang menghancurkan airmata ku dengan punggung tangannya.

Dia yang terima aku kalah cantik dari perempuan lain. Dia yang biasa saja, yang punya naluri lelaki dalam mengagumi keindahan perempuan. Tanpa kupaksakan menanggapku yang tercantik di matanya. Karna aku tahu itu tak mungkin. Tapi ia tetap mencintaiku.

Aku sedang menunggu. Aku menunggu dia yang menjadikanku rumah untuknya pulang. Dia yang marah-marah membuang kekesalannya sebab harus mendorong motor yang mogok sepanjang satu kilometer untuk menambal ban, kemudian menutup keluhnya dengan tersenyum dan kata terima kasih yang manis. Dia yang jika tak berkabar seharian kemudian pada malam hari meneleponku untuk bertanya ‘Bagaimana harimu?” dan mengantarkanku tidur dengan sekadar kata selamat tidur.

Saya Itu...

Sebenarnya saya nggak tahu mau nulis apa. Saya teringat saat saya membaca sebuah website yang membahas 100 fakta tentang Zayn Malik. Mulai dari tanggal lahirnya, makanan kesukaan, sampai segala hal kecil tentang dirinya. Ya, itu karna dia artis. Tapi entah kenapa ingin sekali bikin yang kaya begitu. Jadi ceritanya postingan kali ini ya tentang saya semua. Walaupun nggak sampai 100, tapi inilah 100 fakta (kurang) tentang Feby. Hingga kalimat terakhir dari paragraf ini selesai saya tulis, saya sudah senyam senyum sendiri berasa artis.

Saya Febiola Aditya Yusuf. Satu dari jutaan perempuan di dunia yang lahir pada hari Kamis, itu sebabnya saya menyukai hari Kamis. Hari keseimbangan, berada di tengah-tengah dari ketujuh hari dalam seminggu.

Saya itu lahir tanggal 25 Agustus 1994. A Virgoist. Feminim? Hemm...

Saya itu nggak pernah suka boneka, menurut saya mereka itu menghabiskan tempat saja.

Saya itu suka membaca segala jenis novel kecuali novel horror, segala jenis. Mulai dari yang bisa dibaca sambil mendengarkan musik, sampai yang membutuhkan kerutan kening untuk memahami isinya.

Saya agak malas membaca buku pelajaran, saya lebih suka mencatat intisari dalam buku tersebut ke buku catatan kemudian memahami dan menghapal jika ada ujian. Jika dalam keadaan terpaksa harus menghapal melalui buku pelajaran langsung, saya menghabiskan waktu agak lama. Ya, saya menghapal pelajaran dengan menuliskannya terlebih dahulu.

Di bangku sekolah, saya paling suka pelajaran Bahasa Inggris dan sangat amat tidak suka Fisika.

(Tak) Mustahil



Pernah ku tampung air hujan di atas daun talas. 
Tapi ingatkah kau pepatah ‘bagaikan air di daun talas' yang dulu ada di pelajaran sekolah dasar? 
Mustahil. 
Namun dengan bodohnya tetap kulakukan.

Kau tahu sulitnya berdamai dengan hari yang tanpamu? 
Seperti kedua tanganku dilekatkan barbel sambil memanjat pinang pada perayaan hari kemerdekaan. 
Berat sekali. 
Namun aku masih punya kamu di dalam ingatan untuk kutemui suatu hari nanti.

Tak mudah memaksa matahari buru-buru tergelincir dan bulan kembali ke singasananya. 
Sebab suatu hari itu datang hari ini, matahari menginjak daun pisang dan bulan ingin cepat pulang. 
Satu hari berjalan sekelebat mata, satu tarikan napas.

Hingga kini tak mustahil lagi kutampung air di daun talas.  
Aku bukan orang bodoh walau aku tak ada lelahnya menanti. 
Karna aku mencintaimu. 
Dan karna dengan cinta, aku mendorong logika jatuh ke jurang terdalam.