Aku Tahu Mereka Menangis

Aku membuka pintu rumah. Hujan deras sudah mengguyur kota tempatku tinggal sejak lahir ini, petir bersahut-sahutan. Aku tak peduli. Yang aku inginkan hanya berdiri di sini, di depan pintu rumah meski cipratan air hujan sedikit demi sedikit masuk dan membasahi lantai rumah. Meski sebenarnya aku takut petir. Aku ketakutan, bajuku mulai basah. Atap rumah hanya mampu menampung hujan sekedar. Kakiku gemetar, begitupun bibirku. Dingin. Tak terasa aku mulai menangis.

Diantara semua yang dingin detik itu, hanya pipiku yang panas oleh airmata. Hujan semakin deras, petir mulai berkurang. Tangisanku masih berlanjut. Sepertinya aku harus menerabas hujan ini, namun aku takut sakit. Aku tak tega Ibu mengeluarkan uang untuk mengurusi sakit karna kebodohanku, untuk makan saja sudah terlalu susah.

Sungguh, yang kubutuhkan hanya wajah itu. Wajah yang ingin kujemput sedaritadi, wajah yang aku tunggu kepulangannya sejak tiga jam yang lalu. Aku khawatir.

Hujan deras melenyapkan senja. Dari balik hujan yang tak kunjung reda, sayup-sayup adzan maghrib masih terdengar. Aku bergegas masuk ke dalam rumah dengan berat. Aku berbalik sekali, namun wajah itu belum muncul juga.



Dalam sholatku aku menangis tersedu, tak khawatir Ibu dengar sebab hujan mengalahkan segala sayup. Selesai sholat aku berlari keluar kamar dan mendapati Ibu sedang berdiri di depan pintu persis seperti yang aku lakukan tadi. Kuhampiri Ibu, namun Ibu hanya diam menatap hujan. Aku pun diam. Kami sama-sama menunggu wajah itu. Ibu tak sanggup berdiri lebih lama, jadilah ia duduk di depan pintu, seluruh tubuhnya basah. Aku memeluk Ibu dan ikut duduk di sampingnya. Kami sepakat dalam diam kalau wajah itu akan datang, dan kami akan menunggunya disini, di depan pintu rumah. Duduk berpelukan dengan tubuh basah terguyur hujan. Berapa lamapun.

Dalam doa tadi aku meminta agar hujan berhenti, hanya itu.

Bapak berjalan sambil memanggul cangkul di bahu kanannya, memegang sebuah plastik kresek di tangan kirinya. Dengan tubuhnya yang berjalan menunduk kelelahan, menyelamatkan sepetak sawah, satu-satunya yang kami miliki, baru ia tanami benih kemarin sore, dan nasibnya bergantung pada hujan. Kemarin bapak pulang dengan senyum merekah di wajah, ia sudah mampu membeli benih dan baru saja ia tanam. Aku dan Ibu tersenyum bahagia mengetahui jika berhasil panen maka kami akan mudah makan, tidak seperti sekarang. Namun pagi ini, di bulan April yang harusnya kemarau, hujan turun terus menerus, tanpa henti. Bapak resah, hingga sore tadi bergegas berjalan ke sawah tanpa peduli hujan yang mengguyur tubuhnya demi menyelamatkan benih-benih itu.

Bapak mengangkat plastik kresek itu setibanya di depan pintu. “Benihnya rusak semua, tapi bapak bawa makanan. Ayo, makan yuk.” Kemudian bapak tersenyum. Sungguh, wajah inilah yang kami nanti, senyum itu yang ingin kujemput. Ibu tak khawatir lagi, akupun sudah lega, dengan hanya melihat wajah teduh Bapak. Hanya itu.

Bapak berjalan masuk ke kamar mandi, Ibu menuju dapur. Aku masih mematung di depan pintu. Menatap kedua punggung itu berjalan berlawanan arah. Kedua punggung itu berjalan perlahan dan ada getaran di bahu keduanya. Naik turun.

Aku tahu, mereka menangis.

1 komentar:

  1. yolaa... aku suka ceritanya ^^ mengharukan banget. aku awalnya ngira" siapa sih yang dia tunggu. pacar kah? eeh ternyata bapaknya! huhu.. terharu juga ngebacanya. orang tua pasti akan mencoba tersenyum di depan anaknya, apapun yang terjadi. :*
    oh iya, mampir-mampir ke blog ku yah yola..
    followback boleh nggal, temen kos? hhehehe.. :))

    BalasHapus