Curhat Lara Kepada Lirih

Suatu malam Lara berbisik padaku...

Kapan ya Lara nggak sedih lagi? Lara capek. Lara ingin dicintai Lirih, Lara nggak ingin lagi memendam-mendam. Sakit rasanya melihat orang yang Lara cinta dekat dengan orang lain. Lara ingin jadi yang dekat dengan dia. Tapi entah kenapa Lara nggak pernah mampu jadi yang terpilih. Sampai kapan Lara begini?

Lara menyukai malam meski malam-malamnya selalu sepi. Kadang Lara menginginkan sedikit saja kegaduhan yang mengisi malam-malamnya. Entahlah, kadang ia cinta malam, kadang membencinya.
Lara sedih. Akan ketulusannya yang terabaikan. Yang ingin sekali ia berikan kepada seseorang. Namun ia bisu, bukan tak mampu bicara, raganya yang bisu. Ia seperti burung yang tak pernah berani untuk terbang, hanya bersembunyi dalam sangkar. Burung-burung lain datang menemaninya sebentar lalu pergi lagi. Lara tak tahu harus berbuat apa. Ia membenci dirinya yang hanya mampu terlihat indah diluar, di mata orang-orang yang memandangnya, tapi di dalam ia rapuh.

Rumah Jamur



Hari ini aku bermimpi, tinggal di sebuah rumah jamur. Rumah itu berada di tengah-tengah hutan yang rimbun. Di sekeliling rumah jamur tumbuh bunga-bunga yang indah. Seperti taman bunga kecil. Ada sebuah pohon yang digantungi ayunan. Rumput-rumput hijau dihuni dua pasang ekor kelinci yang berlari kesana-kemari. Rumah jamur itu nyaman sekali, jika ingin masuk kedalam harus menunduk sedikit karna pintunya rendah. Ada dua buah sofa kecil empuk dengan meja kecil pula di tengah-tengah. Di dinding belakang sofa terdapat perapian dengan kayu bakar yang apinya menyala karna cuaca sedang dingin. Di atas meja ada sup hangat yang baru selesai ku masak dan coklat panas. Di salah satu sofa seorang pria sedang duduk sambil membaca buku. 

(Gambar dan sajak kecil yang sedikit absurd, digambar dan ditulis saat materi yang disampaikan dosen sosiologi terdengar bagai dongeng. Ada nggak ya yang mau diajak tinggal ditengah hutan begitu? -_-)
9 Oktober 2012

Di Kota Ini

Di kota ini ada taman bunga, yang bisa kukunjungi untuk sekedar berjalan-jalan menenangkan diri dari segala riuh aktivitas.

Di kota ini ada udara yang menyejukkan tubuh sekaligus hati.

Di kota ini ada puluhan tempat berpetualang dan rekreasi. Ada berbagai air terjun dengan nama masing-masing. Ada bianglala yang menyuguhkan keindahan alam ciptaan Tuhan saat berada di putaran paling atas.

Di kota ini ada kebun yang buah-buahnya bisa kupetik sesuka hati. Ada kebun teh yang tak kalah dengan Puncak. Ada bakso yang kelezatannya nomor satu.

Di kota ini ada orang-orang baik hati yang merangsang senyumku setiap hari. Ada orang-orang hebat yang kujatuhi rasa kagum.

Di kota ini ada mimpi yang kujalani.

Tapi di kota ini tidak ada kamu, yang mampu kujatuhi hati. Atau belum?

Aku Bertahan

Beginilah rasanya. Saat yang mampu aku lakukan hanya menunggu. Menunggu untuk pulang dan merebah. Dan membiarkan semua yang telah kusimpan setiap hari keluar begitu saja, dengan bulir yang mengalir hangat di pipi. Perasaan campur aduk antara senang dan sedih.

Tidak ada yang salah memang. Tapi yang benar pun tak ada.

Dan aku lelah. Lelah untuk menunggu. Aku ingin seseorang ada disampingku, menenangkanku, menguatkanku. Tapi tak ada seorang pun yang ada.

Aku semestinya tahu aku harus kuat, untuk diriku sendiri, karna tak ada seorangpun yang menguatkanku.

Namun aku lelah menunggu. Lelah berjuang untuk diriku sendiri, dan untuk orang lain pula. Lelah untuk tetap kuat. Untuk sejenak saja, aku ingin semuanya menjadi mudah.

Namun aku tahu itu tak akan terjadi.

Walau begitu aku tetap berharap. Aku tetap ingin. Aku tetap kuat. Aku tetap berjuang.

Dengan airmata di pipiku.

Aku bertahan.

25 November 2012

Haii. Sudah lama ya nggak curhat-curhat lagi disini. Kuliah benar-benar menguras waktu, pikiran, dan tenaga. RINDU RUMAH! Aaaa serius, kalau kangen itu kena pajak mungkin Feby udah jadi orang paling miskin dan nggak punya apa-apa lagi di dunia. Menjalani kehidupan sebagai anak rantau itu berat Jendral, dulu tiap bangun tidur tinggal ke dapur, ambil makan, terus selonjoran di depan TV. Lah sekarang, bangun tidur gigit jari kagak ada makanan, musti nyari lagi, mau selonjoran depan TV juga tergantung kosan punya TV apa nggak, alhamdulillah kosan Feby sih ada, nah kalo yang gak ada? Selonjoran di kolong kasur gitu? 

Intermezzo aja. Jadi anak rantau bikin saklar otak Feby pindah jadi 'on', hidup, lebih mikir dan jadi sadar sama hal-hal kecil yang dulu rasanya sepele banget pas tinggal sama orangtua. Feby harus bisa ngatur waktu lebih efisien lagi, dulu Feby makan aja musti dikomandoin sekarang musti tau waktu dimana perut harus diisi dan nggak boleh telat, karna Feby sadar kalau sakit bisa ribet jadinya, nggak bisa ngaduh-ngaduh sama Mama kaya dulu lagi, kegiatan juga pasti terhambat, dan ini yang paling ngenes, sendirian, iya, nggak punya siapa-siapa yang bisa diminta tolong beliin makan dan obat. Kemudian Feby jadi tau betapa susahnya mencuci baju itu, sebagai orang yang idealis, selama masih bisa nyuci baju sendiri Feby g`pernah mau pake jasa laundry. Ya mau nggak mau harus mencuci celana JEANS, BEDCOVER, dan JAKET SENDIRI. Kenapa di kapitalin? Sumpah nyuci ketiganya itu ribetnya ampun-ampun, apalagi waktu adegan peras-memeras yang memang nggak pernah bisa Feby kuasain dari dulu, wong meras kain pel aja masih minta tolong orang, tapi dulu ya, sekarang lagi-lagi harus bisa sendiri. Sesungguhnya memeras celana jeans dan kawan-kawannya itu adalah olahraga tersendiri bagi makhluk anti jasa laundry. Sadar betapa berartinya satu keping uang koin lima ratus rupiah sebab kalau rajin mengais-ngais di selipan dompet dan tas hasilnya lumayan, sadar untuk lebih peka sama lingkungan, dan sadar-sadar lainnya.

Sekian lama nggak nulis jurnal, udah banyak banget yang dijalanin, Malang memberi semangat yang misterius. Kadang Feby berapi-api buat ngejalanin hari-hari, tapi bisa dengan tiba-tiba malas tingkat tinggi untuk bergerak. 


Bersama stand up comedian
Kemal Pahlevi & Setiawan Yogy.

Surabaya & nonton DBL untuk pertama kalinya.



Kosan baru & bercandi ria sampai pelosok-pelosok.












Idul Adha di Desa Ampeldento & Bromo, we love you..




Bersama editor Gagas Media & Bukune dan salah satu penulis buku Menuju(h)
Aan Syafrani.

Sebagai mahasiswa ilmu komunikasi yang mengidolakan sosok Karni Ilyas dan nantinya ingin mengambil peminatan di komunikasi massa, Feby ikut pers mahasiswa di kampus. Dan mulai dari sekarang berlatih untuk membuat artikel dan berita yang bermanfaat, sehingga Feby membuat rumah baru bernama Ladang Mimpi yang beralamat di ladang-mimpi.blogspot.com , semacam zine-zine an online yang terbit setiap hari Sabtu. Isinya? Buka saja dulu :) yang pasti saya berharap bermanfaat buat semua yang membaca.



By the way, Selamat Hari Guru... Salam rindu dan tiup doa untuk seluruh guru terhebat yang pernah ada di Indonesia.

Salam senyuuum :)
Feby.

Aku Ingin Bebas

Di antara ombak yang sedang bergulung-gulung 
Ada riak kecil yang sampai ke pesisir pantai dan menyentuh telapak kaki-kaki yang berlari bebas
Telapak yang penuh lekat pasir
Sekawanan burung terbang melesat di atas permukaan laut
Mereka punya tujuan kemana arah terbangnya

Aku ingin berdiri tegak menghadap gulungan laut dan merentangkan tangan selebar-lebarnya
Seakan menantang ombak dan mengajak mereka menenggelamkanku
Aku ingin berteriak sekencang yang aku bisa
Melepaskan semua sesak, penat, beban, derita, dan apapun didalam dada

Aku ingin bebas, hanya ingin bebas

(28 Oktober 2012)

Dari Ujung Sana

“Pesen lagi? Yang itu aja belum habis!”

“Kurang enak.” Jawabku setelah berterima kasih kepada pelayan yang mengantar kopi keduaku ke atas sudut meja di kafe ini, tempat sedari tadi kami mengobrol, meja yang terletak tepat di pinggir jendela. Gerimis masih turun malu-malu, udara semakin dingin, dan malam semakin larut.

“Yee katanya pecinta kopi, mustinya udah tau mana yang enak dan enggak.” Dia membuat wajah sarkastik, menaikkan alis sebelah kirinya dan berbicara seolah mengetahui segalanya. Menggemaskan, aku ingin sekali memeluknya.

Aku mengusap-ngusap kedua telapak tangan di cangkir mocchacinoku, dingin sudah menembus jaket rajut yang kupakai, menghirup aroma dari dalam cangkir dalam-dalam, dan meminumnya perlahan. Dari semua aroma dalam berbagai jenis kopi, aroma mocchacino adalah yang paling menenangkan. “Aku lebih cinta kamu kok.”  Jawabku kemudian meletakkan cangkir ke atas meja.

“...”  

Dia menunduk lalu menatapku lekat, aku tenggelam di mata itu. Lelaki di hadapanku satu ini membuatku gila, aku sangat merindukannya.

“Kok diem sih?”

“Nggak papa. ”

“Rindu.”

“Kan aku disini.”

“Peluk dulu.”

“Hem.” Dia hanya bergumam kecil dan terseyum.

“Lagi ramai orang disini bukan berarti mereka ngeliatin kita kali. Ngapain malu.” Aku tersenyum miris.

“Ya bukan gitu...”

“Tangan kamu aja. Sini aku genggam, dingin nih.”

“Maaf banget.”

“Liat deh gerimis udah berhenti.” Aku mengalihkan kesesakan ini. “Tapi aku nggak mau pulang.”

“Kenapa?”

“Lebih enak di tempat ini, sama kamu, kamu lebih kerasa ada.” Aku memangku dagu dengan tangan dan mendekatkan wajah ke hadapannya.

“Nanti liburan yaa. Sekarang pulang oke?”

“Aku kedinginan.”

Tangannya menyentuh layar laptopnya, tanganku menyentuh layar laptopku. Kemudian saling membuat genggaman, dia menghangatkanku dari ujung sana, dari kota yang tak sama.

“Aku sayang kamu. Hati-hati ya.” Dia tersenyum dan menarik tangannya.

“Aku juga.”

“Klik.” Akhiri panggilan, offline Skype, turn off computer. Tugas makalahku sudah selesai di kafe ini namun rinduku belum. Segera kuhabiskan sisa mocchacino dan meninggalkan kafe. Berharap waktu bernama liburan itu datang secepat kilat.

(Terinspirasi dari kisah skype-skype annya bunda @deasafierra dan @dwikiprima dengan sedikit perubahan :) )