Garadit II

Medan,  31 Agustus 2009.
“Selamat ulang tahun bang. Baik-baik ya, jangan jadi tua dan menyebalkan. Kadonya mana?” ucap Disa sambil mengecup pipi Gara di meja makan saat sarapan. Hari ini ulang tahun Gara yang ke 18.
“Yang ulang tahun siapa sekarang? Hehe makasih dek, nanti malem abang traktir makan mi aceh ya.” balas Gara yang sedang melahap sarapannya.
“Oke. Papa nggak diajak?”
“Nggak tau dek, lihat aja apa ada di rumah malam ini. Kalo ada ya ikut, kalo gaada ya kita berdua aja. Memang kapan sih terakhir kita kumpul bertiga?” Gara tersenyum masam.
“Yaelah, baru kemaren. Nyebar uang ke kita, 5 menit aja sih.” jawab Disa dengan wajah sedikit murung. Baru dua hari yang lalu mereka duduk bersama di meja makan, tetapi hanya untuk membicarakan tentang biaya-biaya sekolah dan memberikan kepercayaan kepada mereka untuk memegang seluruh biaya yang telah diberikan dan membayar sendiri. Disa sekarang duduk di kelas 1 SMP, Gara tahun ini lulus dari bangku SMA dan akan menjadi seorang mahasiswa.
“Ha,ha,ha.” tawa Gara sedikit dipaksakan. “Kadang abang capek dek, kita kaya nggak punya papa. Mau cerita apa-apa abang sama adek, kadang agak nggak nyambung. Abang ini laki, cocoknya ya sharing sama laki juga. Kadang kalo rindu mama, yang abang pengen itu bilang ke papa.”
“Lelah juga jadi anak manis? Aku ngerti bang, oke maaf kalo yang urusan kelaki-lakian aku jarang bisa kasih solusi, tapi kalo masalah ‘wanita’ aku pasti bisa bantu, bisa banget, ya emang sih abang belum pernah ngurusin yang namanya ‘wanita’ tapi kan satu saat nanti ada masanya. Oiya, Adit masih belum bisa di stop bang?” terang Disa.
Disa memang masih berumur 12 tahun, tetapi sifatnya sangat dewasa dan caranya berbicara begitu intelektual.
“Pertanyaan aneh itu yang masih belum bisa adek stop ya? Buat apa si Adit abang stop? Emang dia taksi pake di stop segala? Eh kemana dia? Katanya baru punya pacar tuh.”  Gara tertawa.
“Bang..” Disa menatap Gara penuh prihatin.

“Abang berangkat dulu ya.” Gara langsung pergi keluar rumah dan meninggalkan Disa yang murung.

Selama 9 tahun ini Pak Alvin dan Bu Leni mencoba membantu keanehan yang terjadi pada Gara. Saat menginjak 14 tahun, Bu Leni menceritakan semuanya pada Pak Alvin, ia tidak percaya dan membawa Gara ke psikolog.

Gara mengalami pemecahan kepribadian atau sering disebut alter ego. Suatu keadaan di mana kepribadiannya terpecah sehingga muncul kepribadian lain, Adit. Kepribadian itu biasanya merupakan ekspresi dari kepribadian utama yang muncul karena pribadi utama tidak dapat mewujudkan hal yang ingin dilakukannya. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa ada satu orang yang memiliki pribadi lebih dari satu atau memiliki dua pribadi sekaligus. Kadang si penderita tidak tau bahwa ia memiliki kepribadian ganda, dua pribadi yang ada dalam satu tubuh ini juga tidak saling mengenal dan lebih parah lagi kadang-kadang dua pribadi ini saling bertolak belakang sifatnya.

Gara adalah seorang yang dingin, penyayang, dan serius dalam apapun yang ia lakukan. Ia juga seorang yang optimis, persis Pak Alvin. Kadang muncul Adit, dalam sekejap seorang Gara dengan mata yang teduh hilang digantikan wajah dengan senyum sinis, sikap yang urak-urakan, dan terlalu santai, tidak peduli dengan  keadaan, dan menganggap dirinya sebagai saudara kembar Gara, anak Pak Alvin. Begitu kontras dengan Gara. Gara mengenal dan menganggap sosok Adit ada, begitu sebaliknya. Terapi telah dilakukan, tetapi sampai sekarang Adit masih menyatu dengan Gara.

Terdengar suara pintu kamar terbuka, Pak Alvin keluar dari kamar tidurnya menuju meja makan. “Udah makan dek? Kok belum berangkat?” tanyanya sambil mengacak rambut Disa.

“Udah. Masuk siang hari ini, ujian pa. Mau rasa apa?”

“Oh udah ujian? Semangat ya dek, jangan kecewain papa. Pake srikaya aja.”

Disa hanya tersenyum, dan langsung mengoleskan srikaya pada sepotong roti tawar. Lebih tepatnya ia ingin menangis, ini sudah yang ke entah berapa kalinya Pak Alvin melupakan saat anak-anaknya menghadapi ujian. Dan entah mengapa, meski hanya sedikit semangat dan kepedulian yang diberikan Pak Alvin, Disa dan Gara mampu mempertahankan prestasi dan menjadi anak baik-baik.

“Tadi malem abangmu dari mana? Untung nggak papa maki dia.” wajah Pak Alvin berubah serius.

“Adit apa Gara?” tanya Disa.

“Adit.”

“Punya pacar baru. Ya kerumah pacarnya.” jawab Disa.

“Semalam papa makan malam sama kawan kerja papa. Dia punya temen psikolog yang udah pernah nyembuhin kasus kaya abang dek, malam ini kita kesana ya.”

“Psikolog yang gimana lagi pa? Capek loo. Abang itu butuhnya perhatian, dari pe a pe a, PAPA, bukan dari psikolog ini itu. Ngertinya kapan sih?” Disa hampir meneteskan airmata.

Pak Alvin terdiam, raut wajahnya semakin serius.

“Apa yang kurang papa kasih dek? Adek sama abang lagi pengen apa lagi sekarang? Bilang, nanti papa beli.”

“Papa.” Disa memanggil papanya dengan tegas.

“Ya?”

“Hari ini tanggal berapa?”

“31 agustus? Kenapa dek?”

“Ada apa hari ini?” Disa bertanya dengan suara tinggi.

“Nggak ada apa-apa dek, papa nggak kerja hari ini. Mau ajak pergi? Ayo kemana?”

“Bahkan yang barusan aku kasih tau papa nggak inget. Hari ini Disa ujian pa, nggak mungkin Disa ajak jalan-jalan.”

“Yaampun maap dek. Jangan marah ya.” Pak Alvin menepuk dahinya dan merayu Disa.

“Nggak papa kok. Pa, Disa ke kamar dulu ya, mau belajar sebentar sebelum berangkat.” Disa berdiri dan bergegas ke kamarnya. Baru beberapa langkah, ia menoleh ke arah papanya, “31 Agustus 18 tahun yang lalu, mama ngelahirin bang Gara, Pa.”  Disa berbalik lagi menuju ke kamar.

Pak Alvin terbelalak dan duduk terdiam dengan tatapan kosong melihat punggung Disa menjauh.

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar