Unperfectness

Asrama Kasih Sejati, suatu siang.
Aku berjalan melewati koridor asrama. Siang ini mendung. Aku mengenakan seragam ajarku. Sebab waktu masih menunjukkan pukul 1 siang, jam ajar habis hingga pukul 2 dan setelah itu seluruh guru ajar pulang. Aku Fahmi, seorang guru ajar di asrama ini, asrama Kasih Sejati sejak 4 bulan lalu. Selesai wisuda dan menjadi sarjana psikologi aku melamar di asrama ini menjadi guru alfabet terkadang aku juga mengisi pengajaran motivasi. Asrama ini adalah asrama bagi tunanetra. Disini mereka akan tinggal selama 2 tahun dan belajar banyak hal. Yang paling utama diajarkan disini ialah huruf Brailee, kombinasi titik-titik timbul yang terdiri dari 6 titik dasar utama, yang dapat membentuk ke 26 abjad juga angka 1 sampai 10, huruf ini ditemukan oleh seorang Prancis yang juga seorang tunanetra sebagai cara mereka untuk berkomunikasi lewat tulisan. Namun, tujuan asrama ini bukan hanya mengajarkan tentang huruf Brailee saja, disini mereka juga diajarkan menulis alfabet seperti layaknya orang normal pada kertas dan sedikit pengetahuan tentang keyboard, para tunanetra harus bisa mengetik. Asrama juga memompa semangat mereka dengan kegiatan dan pengajaran motivasi. Disini aku temukan tujuan mulia, di asrama Kasih Sejati, bahwa sekalipun tak sempurna, bukan  mustahil kita berguna. Asrama ini berada di sudut kota Bogor yang tenang, didirikan oleh seorang pengusaha sukses yang tunanetra bernama Pak Jaya. Itulah tujuannya mendirikan Kasih Sejati.
Aku tiba di taman asrama dan mendapati seorang perempuan sedang duduk disana. Rambut kecoklatannya bergerak perlahan ditiup angin, ia menatap lurus kearah air mancur di kolam.
Aku menghembuskan nafas dan mendekat perlahan ke tempat ia duduk. “Semangat.” Batinku dalam hati. Aku duduk disampingnya, ia langsung menyadari keberadaanku.
“Hai.” sapaku.
“Hai.”
“Gimana taman disini menurutmu? Bagus?”
“Biasa aja. Lagian aku nggak bisa ngeliatnya.”
“Heihei, jangan  gitu. Maksud aku suasananya.”
“Tenang. Dan aku suka.”
“Baguslah kalo kamu suka. Aku Fandi, guru alfabet disini. Mungkin kita bakal cepet akrab, usia kita kayaknya nggak jauh. Aku dua tiga, baru empat bulan jadi guru ajar disini.”
“Linda. ”
Linda, ia akan menjadi penghuni baru disini selama 2 tahun kedepan. Dan siang ini aku ditugaskan kepala asrama untuk menyambut dan mengajaknya berkenalan. Semacam masa orientasi kecil-kecilan.
“Dianter siapa tadi?”
“Papa, mama, adik.” Wajah Linda seketika berubah.
“Eh kenapa?”
Linda hanya diam.
“Hem gini Linda, jadi sekarang ini kamu udah resmi jadi penghuni di asrama ini. Aku ditugasin buat istilahnya nge MOS kamu kalo di sekolah-sekolah gitu, hehe. Jadi...” Aku berdehem sebentar, “Bisa cerita sedikit tentang kamu?” Entah kenapa tiba-tiba ada suatu perasaan aneh dalam dadaku.
Linda tersenyum, senyum pertamanya, tapi bukan kearahku. “Fahmi, kamu baik ya. Aku mau ketawa tapi kurang lucu sih. Aku delapan belas. Nggak ada yang menarik tentang hidup aku, orangtuaku sederhana dan aku sangat bersyukur mereka masih sanggup ngurusin anak setidak berguna aku. Aku punya adik perempuan, dia udah SMA kelas satu.”
“Hehe makasih udah mau cerita. Tapi...”
“Kelas dua SMA. Waktu itu aku akan pulang dari bandara mengantar sahabatku, Rio, hah entahlah aku harus menyebutnya apa. Aku mencintainya dia mencintaiku. Ia pindah keluar negri sama kedua orangtuanya. Ia janji akan kembali menemuiku suatu saat nanti. Di jalan pulang dari bandara ada mobil melaju kencang dan menabrakku, kepalaku terbentur trotoar. Kata dokter kerusakan syaraf mata, nggak bisa operasi kornea lagi. Ya gitudeh, ibu sama ayah sedih banget padahal aku eksis banget di sekolah haha, aku putus sekolah, nggak bisa jadi cewek sukses deh. Waktu tau aku buta, Rio menghilang, putus kontak. Yah, lelaki.”
“Nggak gitu ya heh.” Dengan cepat aku menyangkalnya. “Ehm, maaf. Makasih yang kedua kalinya kamu udah mau terbuka, rata-rata orang baru kaya kamu nggak pernah langsung mau cerita gini lo, tapi kamu beda. Dan, maaf kalau saat cerita tadi buat kamu sedih, tapi itu yang asrama ini butuhin buat ngedongkrak semangat Linda, si calon cewek sukses sebentar lagi.”
“Nggak papa kok. Haha kamu ini. Ya, aku harap asrama ini bawa perubahan ke aku. Bosan juga di rumah aja, mau jadi apa aku ini. Dan, ohiya kamu nyenengin, pasti deh aku makin semangat disini. Salam kenal ya, Pak Fahmi.”
“Jangan manggil kaya gitu, disini ada murid ajar yang usianya lebih tua dari aku lo. Jadi nggak boleh pake Pak Buk Pak Buk segala. Just Fahmi, okey? Aku mau ke ruang Buk Rahma dulu, dia kepala asrama.”
“Okey.” Linda tersenyum ke arahku. Senyum keduanya, dan kali ini untukku. Dengan matanya yang bening namun kosong. Detik itu aku merasakan ada angin yang mendesir perlahan di pelupuk mataku, dan dadaku tiba-tiba berdegup dengan keras. Aku membalas senyumnya, meski ia tak tahu.
*
Hari ini hari pertama Linda belajar alfabet, di asrama ada 15 guru ajar alfabet dan suatu kebetulan akulah yang menjadi guru ajar untuk pelajaran pertamanya ini. Dalam 2 tahun, setiap murid ajar akan mendapat kelas alfabet privat sekali seminggu, dan sekali pula kelas bersama murid lain. Dalam satu ruang kelas ada 4 guru alfabet masing-masing beserta satu murid saat kelas privat.
“Selamat pagi Linda. Hari pertama, semangat!” Aku langsung menyapanya dengan ceria, entah kenapa aku yang biasanya begitu datar saat mengajar berubah saat pertama kali mengajar Linda. Ada yang aneh pada diriku.
“Baiklah Pak, eh Fahmi. Hehe.” Linda menolehkan kepalanya sedikit untuk mencari dimana tepatnya sosokku, dan setelah menemukannya ia tersenyum, senyum ketiganya. Entah kenapa, saat melihat senyumnya aku seperti kambali pada satu masa lalu. Ah, apa-apaan aku ini. Kelas pertama Linda berjalan lancar, menurutku Linda adalah perempuan cerdas, ia dengan mudah mengikuti keseluruhan pelajaran hari ini. Kalimat pertama yang ia tulis hari ini saat aku menyuruhnya menuliskan sesuatu untuk mempelajari tarikan garis tulisannya, ‘Akan ada hari sempurna untuk kesabaran sempurna’. Bagaimana aku mengomentarinya? Sebuah tarikan garis yang tegas namun aku dapat menangkap jiwa yang rapuh dari gadis ini. Hatiku terasa perih.
*
Aku juga pernah jatuh cinta sebelumnya, dengan perempuan paling tegar yang pernah kukenal seumur hidupku. Rani, aku mengenalnya saat semester pertama kuliah, ia jurusan sastra Indonesia. Aku jatuh cinta pada setiap puisi yang ia tulis, pada tiap kata yang ia kirimkan lewat sebuah pesan singkat untuk menyemangati hari-hariku. Rani bukan gadis dari keluarga berada, sementara aku, keluargaku teramat berkecukupan tak perlu bagiku untuk bekerja, hidupku sedah terjamin, tapi aku tidak menghendaki itu, aku tidak mau menjadi pria tak berguna. Setiap hari Rani harus bekerja paruh waktu pada sebuah restoran untuk membiayai kuliahnya. Tak masalah bagiku, aku hanya mencintainya. Takdir tak dapat ditolak, menjelang kelulusan dan aku berencana untuk melamarnya, Rani meninggal dunia, sebuah kecelakaan mobil. Sedih berlarut-larut aku seperti orang gila. Dan itu yang membuatku menjadi pria paling datar menjalani hidup ini.
*
Sudah dua bulan Linda berada di Kasih Sejati. Linda menjadi salah satu murid ajar yang sangat cemerlang. Dan hari-hariku diisi oleh tawanya, cerita-ceritanya, senyumnya. Aku yang biasanya langsung pergi dari asrama saat jam kerja telah selesai, sejak sebulan terakhir ini sering pulang saat senja tiba.
“Aku suka duduk dibawah pohon,” Katanya pada suatu sore saat kami duduk di bawah pohon taman asrama untuk melihat matahari terbenam.
Aku terdiam, Rani juga pernah mengatakan itu padaku.
“Rasanya aku dilindungi, dijaga gitu.” Linda melanjutkan.
Aku masih diam. Dan perasaan aneh selama ini, saat ini, baru aku sadari ternyata Linda begitu mirip dengan Rani. Apa aku mencintai Linda dibalik bayangan Rani?
“Hei Fahmi, kok diem?”
“Eh, nggak kok nggak papa. Linda..”
“Ya?” Ia menatap kearahku, tak tepat, seperti biasa.
 “Maukah kamu menjadi kekasihku?” Apa ini? Aku menembaknya? Bahasaku? Baku sekali.
Kali ini Linda yang terdiam. Lalu ia mengeluarkan sebuah pena dari kantung roknya. Perlahan ia mencari tanganku, menggenggamnya. Jantungku hampir tak berdetak lagi. Lalu menuliskan sesuatu pada punggung tanganku.  ‘Ya, jaga aku ya :)’
Lalu aku mengecup matanya, matanya yang tak dapat melihat dunia seluruhnya, Lindaku, ia buta. Matahari terbenam seluruhnya, hari itu berakhir dengan sempurna.
*
3 tahun kemudian.
‘Linda sayang Fahmi :)’
Dalam beberapa detik telapak tanganku sudah tercoret sebuah goresan yang membuatku tersenyum tipis. Hanya karna dia. Linda, wanita yang dikedalaman matanya aku jatuh cinta, yang dari mata hatinya aku melihat dunia, yang dari segala celotehnya aku melihat ketulusan. Ia indra keenam dalam hidupku, hari kedelapan dalam seminggu, hanya Tuhan yang tahu. Saat Linda selesai menjadi murid ajar di Kasih Sejati, aku melamarnya. Aku tak ingin kehilangan wanita yang kucintai untuk kedua kalinya. Seluruh teman memandang Linda dengan sedikit merendahkan. Namun disampingnya ada aku, biar, aku tak peduli.
Matanya kosong menerawang kearah keramaian. Hari ini adalah hari bahagia, hari tersempurna yang kumiliki dalam hidupku. Aku telah resmi menjadi imam dalam hidup Linda, hari ini hari pernikahan kami. Dan aku heran betapa ia sempat membawa pena di selipan gaun putihnya yang indah hari ini. Dulu, saat di asrama, ia juga pernah melakukan hal itu padaku. Tapi dengan tulisan yang berbeda. Waktu itu ia menuliskan ‘Ya, jaga aku ya :)’ pada punggung tanganku setelah aku bertanya  “Maukah kamu menjadi kekasihku?” padanya. Lalu aku mengecup matanya lagi seperti saat di bawah pohon, kali ini di atas pelaminan.

Mencintai bukan ada di kesempurnaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar