Pada Satu Senja yang Tak Lagi Memerah


Pada satu senja yang tak lagi memerah. Pada hari dimana lelah tertiup angin. Seolah tak pernah surut datang mengetuk pintu yang terekat erat dan rapat. Aku menopang dagu menahan segala letih. Kubayangkan pantai, pada pinggiran bangku-bangku kecil, duduk dan menggantungkan kaki. Membiarkannya bergoyang dibawa angin. 

Seperti kau yang semakin dingin. Kau begitu fasih menggores luka pada kedua genggam tanganku. Tanpa pernah berpikir bahwa tangan ini masih tangan yang sama saat menggenggam tanganmu untuk menghadapi dunia. Pada satu senja yang tak lagi memerah, kering dan menguning. Sebab bayangmu menjelma menjadi biru yang menyamarkannya. Satu senja yang meniupkan segala rasa rindu yang masih sanggup kudekap dalam hati. Hati yang ringan kau lemparkan tanpa beban sambil memunggungiku. Hati yang kau kembalikan saat pendarahan hebat, tanpa pernah mengingat bahwa hati ini masih hati yang sama saat kau sentuh dengan cintamu.  

Pada satu senja yang tak lagi memerah, karna kau ingin pergi sementara aku tetap disini. Sementara luka masih menganga dan darah belum mengering. Sementara kenangan telah menguning. 

(Kartika, 21 Maret 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar