Pesan Tak Terkirim Buat Fach II


Tuhan tidak akan memberikan cobaan diatas kemampuan hambanya...

Kamis...

08.10
“Selamat pagi Kamis, jadilah hari yang manis. Heei, selamat hari ibu :) “
Aku meminjam telepon genggam mama untuk mengetik kicauan singkat ini di twitter ku, dengan penuh harapan hari ini aku dapat bertemu kamu, walaupun hanya melihat dari jauh dan kamu tak mengacuhkanku, tak apa, aku hanya rindu, Fach. Sungguh, terkadang aku masih mengutuki dirku sendiri yang masih berani-beraninya menyimpan semua rindu ini, padahal ini begitu sakit, sakit sekali. Padahal kamu telah memberikan rasa sakit yang teramat sangat pada semua indraku, mata, telinga, dan hatiku. Entahlah, kala subuh pun aku berdoa agar hari ini menjadi hari yang indah.
Aku baru saja mencium, memeluk dan mengucapkan selamat hari ibu pada mama. Bagaimana dengan kamu disana, Fach?

12.00
Hatiku berdegup kencang. Demi apapun, kakiku melemah. Aku melihat kamu disana, kamu ingat waktu dulu saat tanpa sengaja kita memakai warna pakaian yang serasi? Seakan hari itu terulang lagi sekarang. Tapi saat ini aku teringat waktu kita di taman itu, memakai pakaian ini juga.
Di dekatmu, berbincang sebentar, sungguh aku begitu bahagia. Sudah lama aku tidak mendengar suara itu lagi berbicara padaku, dan memandangmu dari dekat lagi. Jantungku rasanya mau copot saja, kakiku masih bergetar, dadaku tak henti-henti bergemuruh.
Fach, perasaan ini tak pernah berubah, selalu seperti ini saat di hadapanmu. Aku tak tahu apakah aku lihai menyembunyikan semuanya.
Apa kabar?

13.12
- Mushola
Ini terdengar aneh, tapi ini yang kukatakan dalam hati sekarang, Fach.
“Seandainya suatu saat nanti kamu yang sedang bersujud disana dapat menjadi imamku.”
Maaf, Fach. Aku cuma bercanda, kamu pun juga tak akan bersedia, aku tahu.

13.25
Kamu lucu sekali. Aku rindu makan bersama denganmu di meja makan rumah, Fach.

14.26
Bisakah detik ini kuhentikan? Hanya untuk melihat tawamu ini dari dekat, lagi-dan lagi.

14.57
Bolehkah aku di dekatnya lagi? Menanyakan kabar saja. Tidak, tidak boleh. Sudah tidak boleh lagi.

15.40
Angkutan kota.
Fach, aku pulang ya. Daripada aku membuat masalah lagi, daripada menangis di sana, daripada harus menahan sesak dan sakit lagi. Semoga kalian bersenang-senang.
Tuhan, ternyata ini hari yang indah itu. Ternyata indah itu seperti ini yang Engkau berikan. Cobaan lagi, ternyata sampai detik ini juga cobaan tak henti, Tuhan.

16.34
Aku ke taman ini lagi, Fach. Saat aku sedih, aku suka berkunjung ke sini, sendirian.
Aku memakai kacamata, untung aku membawanya. Sekedar menutupi tangis yang tak henti-hentinya tumpah sedari tadi, sambil melihat ke lapangan voli. Kalau dadaku tak sesak aku pasti sudah ikut dengan mereka bermain, tapi mungkin lain kali, tidak sekarang, aku masih terasa begitu hancur, lagi, yang entah keberapa kali, karenamu.

17.50
Aku tahu ini terdengar bodoh, tapi aku duduk hampir dua jam sendiri di sini. Dan di pikiranku berandai-andai. Andai saja kamu menepuk pundakku dari belakang di sini. Andai saja kamu menghapus airmata ini. Andai saja.

18.11
Aku pulang. Fach, besok hasil dari perjuangan yang kita janjikan dulu untuk 6 bulan ini akan keluar. Kamu bagaimana ya, aku bagaimana ya. Apa aku bisa tahu hasilmu nanti, apa kamu bisa tahu hasilku nanti. Mungkin kamu tidak akan tahu dan tidak mau tahu. Aku hanya berharap semoga kita mendapatkan yang terbaik.

Jumat...

11.40
Aku ini mau jadi apa?
Hah!
Bodoh, aku orang paling bodoh di dunia
Mati saja sudah
Hanya bisa menyusahkan, membuat kecewa, menghabiskan uang, sakit-sakitan
Tuhan
Cobaan ini masih terus berlanjut
Padahal aku sudah mati-matian berjuang
Tawakal bukan pasrah
Tapi
Adakah bahagia?
Sedikit saja, untukku, Tuhan
(Mama, papa, maafkan aku...)

12.10
Aku ingin lenyap saja dari dunia ini, aku begitu terpuruk, tapi aku masih ingin berjuang, Fach. Bagaimana kamu sekarang disana?

19.13
Hanya empat kata pesanmu membuatku tak lepas memandangi layar telepon genggam semalaman. Semudah ini kamu muncul lagi? Lalu apa? Setelah aku membalasnya, kamu pasti akan meninggalkanku lagi. Lalu aku mengambil secarik kertas. Kutulisi, mungkin ini adalah segala yang tak mampu kuungkapkan saat ini, Fach. Untuk kamu yang sangat kubutuhkan.
Aku membencimu...
Aku ingin melangkah mundur sambil memberimu tepuk tangan. Kamu hebat. Ini panggungmu, tempatmu lihai bersandiwara. Aku membencimu.

Terima kasih, sekarang aku harus bagaimana? Kenyataannya ternyata, kamu hanya berpura-pura peduli. Lalu apa, setelah nanti aku bercerita denganmu lagi, kamu menghilang lagi, seperti biasa, yang selalu membuat luka baru di hatiku. Aku membencimu.

Kemana saja kamu selama ini? Selama cobaan tak henti-hentinya datang padaku, bahkan hingga detik ini pun juga. Aku membutuhkanmu, setidaknya membagi semua beban seperti dulu. Sekarang aku tak mengenalmu lagi seakan kamu adalah orang yang kutakuti, asing, jauh. Aku merindukan sederhananya kamu. Aku membencimu.

Aku sangat merindukanmu. Tapi aku membencimu.
Aku mencintaimu. Tapi aku membencimu.

Aku membencimu. Tapi aku mencintaimu.

21.35
Aku ingin tidur cepat malam ini, untuk mengakhiri hari ini. Entahlah, saat ini rasanya aku adalah orang paling hancur di dunia.

***

Desember ini benar-benar memberikanku kehancuran yang bertubi-tubi, Fach. Hujan selalu mengguyur kota yang kita pijak ini setiap hari. Andai masih ada kamu yang dulu, ingin sekali rasanya aku melewati libur panjang ini denganmu, sehari saja pun tak apa, aku ingin bercerita, banyak sekali yang ingin kuceritakan. Tapi tidak mungkin, tidak boleh, dan sudahlah. Aku akan rindu kamu. Fach, selamat liburan, bersama siapapun kamu. Semoga kamu bersenang-senang. Aku merindukanmu, selalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar