Reamapu

[ Aku ]
Ada sesuatu yang hilang. Di sini, di dalam relung hatiku ada satu ruang kosong tak berpenghuni. Sepi, berdebu, bahkan sang lelaba kecil pun takkan mau bersarang pada sudut-sudutnya.
Aku tahu apa yang hilang dari diriku. Aku mengenalnya lebih dari siapapun.
Kamu.
Yang hilang itu kamu. Kamu yang mulai memudar di dalam pikiranku, tapi kembali muncul sebagai serangan kenangan membabi buta tiap kali aku merasakan rindu yang brengsek.
Kamu.
Kamu yang selalu berhasil membuat hatiku mengejang tiap malam. Kamu yang berhasil membuatku meringkuk menahan sakit yang lebih sakit daripada kematian yang dekat. Kamu seseorang yang pergi, yang telah berhasil mencabik lalu merampas sisa-sisa rasa dan asaku yang pernah ada lalu membuangnya entah di mana.
Kamu.
Kamu adalah ‘kamu’ yang paling sering aku mohonkan kebahagiaanya pada Tuhan. Kamu adalah kata yang selalu terselip dengan indah tiap kali aku melafalkan doa-doa yang khusyuk. Kamu yang takkan pernah tahu betapa seringnya aku memohon agar kelak bisa kembali berputar.
Kamu adalah yang aku mau dengan teramat sangat. Kamu adalah yang mengerak sampai ke saraf otakku dan menyebar virus mematikan di sana. Kamu adalah penyakit yang menggerogotiku dengan cara yang indah, yang membuatku merelakan hidupku kapan saja Tuhan ingin mengambilnya kembali.
Kamu adalah pencipta rindu yang sangat ingin aku bunuh. Kamu adalah pencetus cinta yang rapuh, tanpa daya dan harapan. Kamu adalah satu- satunya yang mampu membuatku ingin menyerah dan berjuang di saat yang sama. Kamu adalah pengendali atas hati dan pikiranku yang sudah tinggal serpihan dan penuh luka sayat. Kamu, adalah dia. Dan dia, adalah orang yang sangat aku cintai. —
Hari ini adalah pengumuman kelulusan. Beberapa jam lagi aku akan mengetahui apakah perjuanganku menempuh ujian selama beberapa hari itu berhasil, atau tidak. Hatiku berdegup keras saat aku tiba di tempat acara, sebuah gedung yang amat sangat megah yang telah disewa oleh pihak panitia untuk menyelenggarakan acara ini.
Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Dan kini aku sadar, degup jantungku semakin cepat. Kali ini bukan karena gugup menanti pengumuman, tapi karena beberapa detik yang lalu aku baru saja menangkap sosokmu yang lewat dengan santainya tepat di depan wajahku. Jantungku tidak lagi berdetak. Jantungku sudah berhenti berdegup. Aku menahan napasku sementara dari sudut mataku aku diam-diam mengamati tiap langkah kakimu menuju sudut ruangan itu. Hari ini kamu terlihat tampan— sama seperti biasanya—tapi kali ini lebih memikat. Kamu memakai jas hitam dengan kemeja putih gading sebagai lapisan dalamnya. Sepatu converse hitam dan kacamata khas dirimu.
Kamu terlihat sedang berbincang-bincang dengan teman-temanmu saat aku perlahan-lahan berjalan mendekat ke arahmu, sedikit berharap bisa menarik perhatianmu. Aku sudah semakin dekat dengan tempatmu. Aku juga merasa kalau dari sudut matamu kamu sedikit-sedikit mencuri pandang ke arahku. Ah, tidak mungkin, ini pasti cuma khayalanku saja. Tapi kemudian, saat aku hanya tinggal berjarak beberapa senti lagi, seseorang memanggilku. Temanku memanggilku dan mengajakku untuk segera masuk ke dalam ruangan.
Aku menurut, dan beringsut masuk ke dalam. Aku tahu aku bodoh. Buat apa aku mendekatimu? Apa yang akan aku bicarakan saat kita sudah bertatap muka? Kata-kata perpisahan? Tapi bukankah kita memang sudah berpisah sejak setahun yang lalu? Aku berpikir getir sambil memaki diriku sendiri. Ini hari terakhir aku bisa melihat dan mendengar suaramu. Besok aku sudah mulai sibuk mempersiapkan kepindahanku ke luar kota. Apa yang harus aku lakukan? Aku masih mencintaimu. Aku ingin mengutarakan perasaanku ini padamu. Perasaan yang sudah membusuk di dalam dadaku selama setahun bahkan setelah kita tidak lagi bersama- sama. Ah, mungkin sebaiknya tidak usah. Aku tidak mau menganggumu. Lagipula bukankah kau sudah mempunyai kekasih? Bodohnya aku masih saja berharap kalau nantinya kamu bisa kembali lagi padaku.
Tentunya itu tidak mungkin kan? Aku cuma sepotong debu masa lalu yang tidak ada artinya lagi buatmu. Aku tersenyum getir. Rasanya air mataku sudah mau tumpah. — ‘Aku lulus!’ Aku berteriak dalam hati. Ah, betapa senangnya. Rasanya perjuanganku selama tiga tahun ini tidaklah sia-sia. Dalam keramaian dan hiruk pikuk semua orang aku mencari-cari sosok dirimu. Kamu di sana, bersama teman- temanmu. Kamu tertawa bahagia juga disana. Kamu juga berhasil, sama sepertiku. Aku turut senang melihat kebahagiaanmu. Aku tersenyum saat melihatmu memeluk-meluk salah satu temanmu yang bertubuh gemuk saking gemasnya karena berhasil. Kamu lucu sekali, aku suka melihat caramu tertawa. Ah, sungguh, aku begitu jatuh cinta padamu.
DEG!
Aku tertegun saat tiba-tiba kamu menoleh ke arahku dan pandangan kita berdua secara tidak sengaja bertemu. Senyum yang sebelumnya terpahat di wajahku tiba-tiba menghilang. Sudah sepuluh detik, dan kita bahkan belum saling membuang muka. Pandangan kita masih saling tertuju satu sama lain. Ini satu-satunya kesempatan. Pikirku getir. Aku harus berbicara denganmu, empat mata. Aku merogoh tasku dan meraih secarik kertas yang sudah aku tulisi dari sejak semalam. Ini surat terakhirku untukmu, yang terakhir sebelum aku pergi. Aku membuka mulutku, kemudian menggerakannya tanpa suara. Dengan bantuan tanganku aku memberimu isyarat untuk memintamu keluar dari ruangan yang besar ini.
Kamu mengangguk sekali, kemudian melangkah menuju keluar. Ekspresi wajahmu mengeras, aku tidak tahu kenapa. “Sekarang, atau tidak sama sekali.” –

[ Dia ]
Aku merasa hampa. Selama setahun ini hidupku selalu terasa biasa dan tidak berwarna sama sekali. Rasanya seperti aku sudah kehilangan sesuatu yang sangat penting. Dan aku begitu menginginkannya kembali, entah bagaimana caranya walau aku tahu itu tidak mungkin.
Kamu.
Aku sudah kehilangan kamu. Kamu yang selalu hadir dalam tiap mimpi-mimpiku. Kamu yang selalu aku inginkan dengan sangat untuk menjadi bagian dari masa depanku kelak. Kamuyang aku cintai dengan teramat sangat.
Kamu.
Kamu yang selalu berhasil membuatku terlihat seperti pembuat dosa paling besar yang seakan sudah tidak diperbolehkan lagi memohon ampun. Kamu yang selalu membuatku terlihat seperti orang dungu karena selalu langsung membuang wajahku jauh-jauh tiap kali pandangan kita beradu. Kamu. Kamu yang berhasil membuatku kesepian setiap malam datang menerjang, menyerang.
Demi Tuhan aku masih mencintaimu. Aku selalu mengutuki kebodohanku kenapa waktu itu aku meninggalkanmu padahal aku yakin kita masih sanggup melalui semuanya bersama- sama, seperti yang pernah aku janjikan padamu. Maaf aku terlihat seperti tidak menepati janjiku, maafkan aku.
Aku benci mengatakannya, tapi aku selalu cemburu padamu. Aku cemburu padamu yang terlihat senang seperti tidak terpengaruh dengan apa pun. Kamu terlihat bahagia, sementara aku? Dalam hatiku aku sangatlah remuk. Kamu membuatku percaya pada mimpi-mimpi dan buaian khayalan yang selalu terdengar indah. Aku tahu ini bukan salahmu. Akulah yang kelewat brengsek sudah membiarkanmu terluka saat aku mengeluarkan keputusan bodoh itu, malam itu.
Demi Tuhan, sekali lagi, seandainya aku sanggup mengatakan ini langsung padamu, aku masih terus mencintaimu. Maafkan aku dan caraku mencintaimu yang bodoh.
Aku tertegun saat melihat dirimu datang dengan anggunnya. Hari ini kamu begitu cantik. Hari ini kamu sangatlah indah di mataku, lebih dari yang biasanya.
Tubuhku bergetar. Aku tidak mau berada terlalu dekat denganmu. Aku takut hatiku tidak akan kuat. Dengan setengah geram aku melangkahkan kakiku untuk menuju ke sudut ruangan. Bodoh sekali aku masih bisa merasakan perasaan bodoh ini. Untuk apa aku masih mempertahankan rasa ini? Untuk menyakitimu lagi di lain hari? Pikiranku makin tidak karuan. Untung saja di sudut ruangan sana ada banyak teman- temanku yang sedang berkumpul.  Aku yakin aku akan bisa lebih rileks jika aku ikut bergabung dengan mereka.
Aku tertegun saat ternyata kamu juga berjalan menuju ke tempat di mana kakiku akan melangkah. Kita akan berpapasan, aku tahu itu. Aku ingin sekali menjauh, tapi tidak mungkin. Itu akan membuatku terlihat seperti menolak kehadiranmu. Aku tidak mau kamu berpikir seperti itu. Jadi dengan terpaksa, aku tetap meneruskan derap langkahku.
Kamu berhenti melangkah, saat aku lewat di hadapanmu. Aku menggeram tertahan. Aroma tubuhmu sungguh sangat menggoda imanku. Jika saja aku tidak bisa menahan diri, pastilah aku sudah dari tadi menarik tubuhmu mungilmu ke dalam rengkuhanku.
Aku tidak berani menoleh ke arahmu dan menatapmu. Aku takut aku akan segera luluh saat menatap kedua bola matamu. Jadilah aku berwajah tegang seperti ini. Aku yakin pasti di matamu aku terlihat menyeramkan dan aku yakin kamu tidak menyukainya. Maafkan aku, aku hanya bisa berjuang sejauh ini untuk tidak menyakiti hatimu lagi.
Aku masih tetap tidak berani menoleh ke arahmu bahkan setelah aku sudah berkumpul dengan teman-temanku. Aku takut. Sekali lagi, aku takut melihat wajahmu yang selama setahun ini masih terus merasuk dan memperindah mimpi- mimpiku.
Tak berapa lama aku menyadari kalau kamu mendekat ke arahku. Aku tidak sengaja melihatmu dari sudut mataku. Apa yang sedang kamu lakukan? Jangan. Jangan mendekat ke sini. Aku takut akan melukaimu. Aku tidak ingin melihatmu menangis lagi seperti pada waktu hari itu.
Kemudian kamu pun berhenti. Sepertinya kamu sudah mengurungkan niatmu —apa pun yang tadi kamu sempat pikir akan kamu lakukan. Aku pun menghela napas lega. Maafkan aku yang pengecut ini. Maafkan aku tidak berani mengakui yang sebenarnya dan malah melarikan diri dengan perasaan baru yang aku coba bangun bersama perempuan lain. Maafkan aku.
 Aku masih mencintaimu. Sangat mencintaimu. Cuma kamu, hanya kamu, satu-satunya. — ‘Yeah! Lulus!’ Aku berteriak kencang sekali dalam hatiku. Rasanya menyenang kan sekali. Dengan segera aku memeluk gemas salah satu temanku yang bertubuh gemuk saking senangnya. Perjuanganku selama tiga tahun ini tidak sia-sia! Hahaha! Euforia kesenangan semua orang tiba-tiba me ledak dalam satu ruangan. Semuanya menjadi ramai. Kebahagiaan melanda semua orang selain diriku. Sambil masih terus memeluk salah satu temanku, aku tiba-tiba teringat akan sesuatu. Kamu. Aku teringat kamu, wanitaku yang masih terus kucintai hingga sekarang. Dengan segera aku menolehkan kepalaku kesana dan kemari untuk mencarimu. Aku ingin sekali melihatmu tertawa. Aku ingin melihat senyum bahagiamu.
DEG!
Jantungku rasanya seperti berhenti berdetak saking terkejutnya. Ternyata kamu sudah sedari tadi menolehkan wajahmu ke arahku. Kamu menatapku sambil tersenyum, setidaknya untuk beberapa detik. Karena begitu aku menolehkan pandanganku ke arahmu, senyum dari bibirmu tiba-tiba saja menghilang. Kenapa kamu tidak lagi tersenyum ke arahu? Apa salahku? Apa kamu membenciku?
Sekarang sudah sepuluh detik dan kamu bahkan belum menoleh ke arah lain. Kamu masih terpaku menatapku sampai tiba-tiba sebuah isyarat- isyarat meluncur keluar begitu saja dari mulutmu. Kamu ingin berbicara denganku, empat mata. Aku mengangguk, mengiyakan permintaanmu itu lalu segera melangkah keluar ruangan. Aku harap aku tidak melukai hatimu lagi. Aku harap aku bisa menahan diriku untuk tidak berusaha membuat diriku kembali padamu lagi. Karena bila itu terjadi, mungkin nantinya aku akan kembali melukai hatimu lagi. Aku tidak mau itu terjadi.
Aku mencintaimu.



[ Takdir ]
 -sepucuk surat jutaan rindu, untuk lelakiku yang sedang berbahagia.
Apa kabarmu? Apa kabarnya? Kalian baik saja? Semoga tidak (aku harap). Aku jahat? Tidak, kamu yang melebihi jahatku, jangan melebih-lebihkan apa yang kukatakan. Sudah lama sekali sejak kita terakhir kali saling bertegur sapa dan melempar senyum. Ah, dulu itu dunia sedang indah-indahnya karena kamu masih bersedia mencintaiku. Tapi kini, sudah ada wanita itu yang (demi Tuhan aku tidak pernah cemburu padanya) sekarang telah tertambat di hatimu (semoga hanya untuk waktu yang singkat).
Aku mencintaimu, lelakiku. Aku mencintai guratan-guratan senyum sumringah pada bibir merah merekahmu tiap kali kamu mendengar suatu lawakan lucu. Aku mencintai bagaimana kumis tebal itu menutupi bagian atas bibirmu yang membuatmu jadi terlihat lebih gagah dan jantan dari pria manapun seumuranmu. Aku suka semuanya. Aku mencintaimu, tanpa tapi atau kenapa. Jangan pernah tanyakan itu padaku karena aku pasti hanya akan tersenyum dalam sunyi sebagai balasannya. Aku mencintaimu, lelakiku yang sempurna. Aku mencintai bagaimana saat kedua bola mata cokelat itu beradu pandang denganku (semoga kau juga mencintaiku saat bola mataku bertemu dengan jiwamu, pandanganmu) tiap kali kita sedang asyik berbincang kala itu.
Kita sering sekali tertawa dan membicarakan topik-topik menyenangkan untuk diperdebatkan. Aku tahu aku tak mahir dalam berdebat, aku pasti mudah kamu kalahkan.Tapi kalau itu bisa membuatmu senang, kalah puluhan ribu kali pun aku tetap jalani.
Kamu, laki-laki yang (masih) selalu aku rindukan tiap malam. Dulu kamu sering sekali menemaniku sampai larut malam tiba, bahkan pagi. Saat itu biasanya aku terbangun dari tidurku dan tak mampu kembali tertidur. Saat itu kamu dengan senang hati menemaniku dengan menelepon atau hanya sekedar berbincang lewat kata-kata menggunakan telepon genggam. Bahkan terkadang, kamu tidak tidur sama sekali demi menunggu aku terbangun dari tidurku. Aku sering sekali setengah kesal padamu karena mengabaikan kesehatanmu seperti itu. Tapi di sisi lain, aku juga senang saat kamu menungguiku dengan setia.
Aku merindukan bagaimana lucunya wajahmu saat aku mengajarimu bagaimana caranya bermain gitar, (sesuatu hal yang kebetulan aku kuasai) bagaimana gemasnya raut wajahmu saat kamu sedang berpikir keras mau dibawa kemana lagi jari jemari jenjangmu untuk pindah ke kunci yang selanjutnya.
Betapa juga aku sangat mengingat dan menyukai senyum lebar yang ikut muncul bersamaan dengan kata-kata “Kita jadian.” Dari mulutmu sebagai jawaban dari pertanyaanku yang menanyakan padamu, “Jadi maunya apa?” Saat kita berdua berada di depan terminal kala itu. Betapa romantisnya kita dulu.
Aku merindukan bagaimana dulu aku begitu terbiasa memotret sosokmu dengan kamera telepon genggamku. Aku juga rindu melihatmu bergaya saat aku sedang mengambil rekaman video tentangmu.
Apa kau ingat satu video spesial yang waktu itu sempat kau buatkan khusus untukku? Ya, saat kamu mengatakan bahwa kamu sayang padaku sementara aku merekam semua momen itu dengan sangat sempurna. Terkadang bila aku merindukamu, aku suka melihat ulang rekaman tersebut sebelum  akhirnya wajahku terasa memanas lalu kemudian reflek tersenyum lebar saking bahagianya.
Ah, jodohku yang sedang bersama perempuan baru (yang sumpah demi Tuhan tidak pernah aku cemburui keberadaannya) yang tidak mampu mencintaiku sama seperti caraku mencintaimu.
Kapan kamu kembali? Aku merindukanmu, selalu.
P.S: aku (masih) (dan selalu) cinta padamu (selamanya) :)
Secarik kertas lusuh bernoda merah di tangannya bergetar. Tetes demii tetes cairan hangat juga tak hentinya tumpah ruah membanjir keluar dari kedua bola matanya. ‘Kenapa semuanya jadi begini?’ Suaranya dalam hati.
Ricuh suara dari dalam ruang UGD membuat hatinya semakin hancur dan remuk. Terdengar suara rendah sang dokteryang meminta banyak hal pada suster di dalam sana.
Entahlah apa itu, persetan dengan apa yang dokter itu tengah lakukan. Dia hanya ingin wanita yang tergeletak lemah di dalam sana sadarkan diri, hanya itu harapannya.
Kemudian dia mencengkram lututnya geram. Kejadian tadi siang masih terus berputar-putar di dalam kepalanya. Rasanya pusing, dunia berubah menjadi tempat yang sama sekali asing baginya. Dia ketakutan.
“Aran? Bagaimana kondisinya?” Seru seseorang sambil lari tergopoh-gopoh ke arahnya.
Dia menoleh ke sumber suara. Itu Disa, sahabat baik perempuan yang tengah berjuang melawan maut di dalam sana.
“Keadaannya kritis. Aku... Aku nggak tau kenapa kejadiannya bisa kayak gini. Aku...” Aran tergagap. Tangisnya kembali tumpah.
Tak jauh darinya seorang wanita berumur sekitar 40-an yang baru saja datang bersama Disa juga ikut menangis. Tangisannya terdengar sangat memilukan, membuat hati Aran seperti tersayat-sayat. Perempuan itu sedang menangisi satu-satunya putri yang ia miliki.
Sebelum senja turun tadi, Aran bertemu dengannya, wanita yang selama setahun ini masih terus dicintainya. Gadis manis itu meminta Aran untuk menemuinya. Katanya ini untuk terakhir kalinya, karena besok ia sudah harus bersiap mengurusi kepindahannya keluar kota. Gadis manis itu akan melanjutkan kuliahnya keluar pulau sana, ke sebuah tempat yang jauh.
Aran mengiyakan ajakannya. Aran juga sangat ingin bertemu dengannya. Aran masih sangat mencintainya. Aran telah begitu sering menyakitinya, ia ingin sekali meminta maaf atas semua perlakuannya pada gadis itu selama ini. Aran begitu ingin meminta si gadis untuk kembali kepadanya lagi.
Tapi saat melihat sosoknya yang indah itu, Aran berubah kembali menjadi sesosok laki-laki brengsek. Dia begitu malu pada dirinya sendiri hingga semua kalimat yang terlontar dari mulutnya adalah kata-kata sampah. Aran mengutuk dirinya sendiri atas kebodohannya tadi.
Jadi bukannya ajakan untuk kembali yang keluar dari mulutnya, Aran malah semakin mendorong gadis itu menjauh. Aran bersikap acuh dan dan dingin padanya. Aran membentaknya. Aran membuatnya menangis di depan wajahnya saat sebenarnya yang paling ingin ia lakukan adalah memeluk gadis itu erat-erat dan tak membiarkannya pergi lagi.
‘Kenapa aku begitu bodoh?!’ Begitu pikir Aran getir. Aran mencengkeram kepalanya kuat-kuat dengan kedua tangannya sementara secarik surat bernoda darah yang ia genggam sedari tadi terjatuh ke lantai. Aran masih berusaha menghilangkan imaji dari kejadian mengerikan yang terus saja berputar-putar di kepalanya sejak ia sampai di rumah sakit ini, kejadian memuakkan yang membuat kepalanya terasa penuh.
Saat gadis itu mulai menangis, Aran segera menyuruhnya pulang. Aran menyuruhnya untuk segera pergi jauh dari dirinya. Bukannya Aran tak ingin melihatnya lagi, melainkan karena Aran tak sanggup melihat gadis itu terus menangis.
Tapi gadis itu malah semakin tersedu. Gadis itu berkata pada Aran bahwa dia sangat mencintainya. Gadis itu ingin sekali Aran kembali padanya. Sebenarnya Aran ingin sekali membalas kata-kata cinta dan sayang dari gadis itu. Tapi Aran tidak bisa dan tidak boleh. Aran tidak boleh memberikan kesempatan lagi pada dirinya sendiri untuk kembali menyakiti hati gadis itu di kemudian hari nanti. Aran hanya berpura-pura kuat.
Kemudian, gadis itu hendak memberikan Aran secarik kertas terlipat yang sebelumnya sudah gadis itu genggam sedari tadi. Dia bilang itu surat untuk Aran, surat perpisahan. Aran menolaknya. Aran bilang ia tidak mau benda sampah itu. Padahal yang sebenarnya adalah dia ingin sekali membaca surat tersebut untuk kemudian dia simpan baik-baik. Kemudian gadis itu pun menangis semakin keras. Dia berteriak pada Aran bahwa Aran jahat dan hal lain-lainnya. Aran masih tetap berusaha acuh padahal sebenarnya hatinya sangatlah hancur melihat gadis itu seperti itu. Setelah puas memaki Aran gadis itu pun berbalik dan mulai berlari menjauh. Berlari menyeberangi jalan raya yang ramai dan padat. Terus berlari sampai-sampai gadis itu tak sadar kalau ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya.
Dan segalanya setelah kejadian itu terasa begitu cepat. Tubuh mungil dan rapuh itu tertabrak kemudian terpental cukup jauh hingga ke pinggir jalan. Semua kendaraan berhenti melaju. Orang-orang mulai berkerumun. Dan Aran? Ia berteriak histeris sambil berusaha menerobos kerumunan tersebut.
“Aku sayang kamu….. Aku sayang kamu….. Aku sayang kamu.....” Kalimat itu terus mengalir keluar seperti mantra. Pancaran keputusasaan tersirat dari kedua bola matanya.
Pintu ruang UGD kemudian terbuka perlahan. Dokter keluar dari dalemakin menggerogoti semua orang.
“Kami sudah berusaha semampunya... Kami minta maaf.” Kata dokter itu pada mereka bertiga – Aran, Disa, dan Ibu- yang mengerubungi dokter tersebut.
“Apa? Apa? Nggak mungkin. Ngaaaakk! Ini nggak boleh terjadi!” Aran bergegas masuk ke dalam dan mendapati sosok wanita cantik terbaring tanpa nyawa di atas salah satu tempat tidur. Wajahnya pucat, tidak akan ada lagi senyuman dari wajah indah itu. Tidak lagi. Aran meraung sejadi-jadinya. Mengutuki dirinya sendiri. Aku bodoh. Aku bodoh. Aku bodoh. Begitu pikirnya getir.
“Aku laki-laki yang sangat bodoh dan juga sangat mencintaimu.”-
Aku kembali kehilanganmu. Kali ini untuk waktu yang sangat lama, lebih dari selamanya. Sekali lagi, Aran kembali berteriak pilu dari dalam hatinya. —

Tidak ada komentar:

Posting Komentar