Fania

Medan, Februari 1977.

Sepuluh bulan setelah Ekaprasatya Prakarsa, dimana Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila. Dimana penghayatan sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” seakan terkoyak. Fania Rachman berlari tunggang langgang dengan kaki telanjang dan tubuh penuh bekas cakaran di jalan yang dikelilingi deretan ruko-ruko sepi kota Medan. Tangan kanannya memegang sebuah kotak susu dan tangan kirinya menggengam sebuah plat nama kecil. Wajahnya ketakutan, penuh dengan keringat dan memar, sama sekali tidak terlihat seperti gadis berumur tujuh belas tahun yang kehilangan masa remajanya. Ia menoleh ke belakang, lelaki itu tidak mengejar lagi, pikirnya. Namun ia tetap tidak memperlambat laju larinya. Mulutnya tak henti mengucap doa agar ia diberi kekuatan untuk berlari lebih lama lagi menuju rumah. Dalam doanya, ia juga berharap agar ibu tirinya, Radisa, mengizinkannya mengambil air bersih yang akhir-akhir ini sangat sulit didapatkan oleh setiap keluarga di daerah rumahnya yang kumuh, untuk dipanaskan dan membersihkan tubuhnya yang kotor- untuk membersihkan noda yang dibuat oleh lelaki itu. Sedikit saja, dan mungkin rentetan makian Radisa pun hanya akan terdengar bagai gesekan biola yang memainkan alunan klasik Beethoven di telinganya.

Fania sampai di depan rumahnya. Rumah bobrok, dinding-dindingnya seperti hanya dibuat dari kayu direkatkan oleh lem. Ia melihat ke pos di seberang. Sekarang pos itu menjadi tempat tongkrongan para pengangguran untuk minum kopi hingga larut malam, membicarakan (atau hanya berguyon sesukanya) tentang pemerintahan. Tentang stabilitas ekonomi Indonesia yang selalu dikumandangkan pemerintah, dwifungsi ABRI, dan pembangunan nasional. Orde baru memberikan harapan bagi mereka kalau-kalau suatu saat bisa mendapatkan pekerjaan bermodalkan ijazah SMA. Di pos tersebut masih terlihat jelas tulisan PKI yang disertai dengan silang warna merah, serta sebuah jam diding yang masih berfungsi. Waktu menunjukkan pukul satu malam. Fania mempererat genggaman susu dan plat nama di kedua tangannya. Susu murahan untuk wanita hamil yang dibawanya sebagai buah tangan untuk ibu tiri yang dibencinya. Reinald, tertera sebuah nama pada plat yang ia genggam. Fania tahu itu akan menjadi bukti dan menunjukkan pada polisi, menuju lelaki yang telah menganiayanya. Ia berharap ibu tiri dan ayahnya sudah tidur, ia mendorong pintu, pintu rapuh itu berderit, hingga terdengar teriakan yang hampir merobohkan seisi rumah.

“Ya Tuhan!” ibu tirinya berteriak, sambil berusaha bangkit dari duduknya di sofa yang tidak layak untuk digunakan lagi, tempat biasa Fania dibiarkan tidur. Perutnya yang sedang mengandung tujuh bulan dan badannya yang gemuk membuatnya kesulitan untuk berdiri. “Hah! Bajumu koyak-koyak macam berandalan, kenapa mukamu, ceker ayam lagi kau. Siapa yang buat?!”

Fania langsung terduduk lemas, ia menangis sekeras-kerasnya. Kedua tangannya masih menggenggam erat, ibu tirinya tak mampu berbicara lagi. Radisa hanya melihat anak tirinya itu dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

“Pasti preman-preman itu! Sialan!” pekik Ferdi, ayah Fania, mukanya merah padam. “Siapa yang buat kau begini? Bilang! Biar kugantung mereka!”

Tangis Fania terhenti, ia jatuh tertidur karena kehabisan tenaga.

“Angkat dulu anakmu itu ke tempat tidur. Panggil perawat di puskemas. Baru kau gantung preman itu.” Perintah ibu tirinya. Sayup-sayup Fania mendengar suara ibu tirinya itu, dan  menyadari tubuhnya telah diangkat ke tempat tidur. Tangan kanannya masih menggenggam erat sebuah plat nama, sedangkan sekotak susu itu tergeletak di dekat pintu. Saat akan menuju ke kamar, ibu tirinya melihat kotak susu tersebut, mengambilnya lalu berjalan ke tempat Fania dibaringkan,  satu-satunya ruang tidur di rumah kumuh itu.

Ibu tirinya duduk disamping tempat tidur. Fania mulai menangis lagi, dengan napas yang memburu. “Tolong,” ia berbisik. “Badanku...”

“Ferdi sebentar. Rebus air di tong, semuanya. Sekarang, untuk anakmu.” Perintah Radisa pada suaminya. Ferdi baru akan pergi memanggil perawat, ia memandang bingung istrinya dengan wajah yang masih dipenuhi amarah.

Radisa mengusap-usap dahi Fania dengan lembut. “Kalau saja  ibumu melihat keadaanmu begini. Kasihan.”
Fania ingin segera meninju bibir wanita gempal itu. Berani sekali ia membawa-bawa nama ibunya di saat begini. Namun ia terlalu lemah sekarang. Ia teringat bagaimana dulu, ayahnya tanpa segan membawa wanita itu kerumahnya dan mengatakan akan menikahinya. Ibunya yang menderita asma akut langsung pingsan dan tak dapat tertolong saat dibawa ke rumah sakit. Sejak itu Fania begitu dendam pada mereka berdua, ia ingin lari dari rumah. Tapi ia tidak memiliki siapapu yang memiliki hubungan darah dengannya, satu-satunya yang ia miliki hanya ayah yang bejat itu, yang kerjanya hanya bisa menghabiskan uang hasil memalak di kedai kopi. Sedangkan ibunya yang mencari nafkah dengan bekerja pada salah satu hotel murahan di tengah kota. Ibunya mengurusi kebersihan dan keindahan hotel, setiap pulang bekerja Fania selalu dibawakan setangkai dua tangkai bunga, sisa dari menyusun bunga pada vas-vas hotel. Fania senang mengumpulkannya dan meletakkannya pada botol bekas yang telah diisi air agar bunga itu tetap hidup. Ibunya adalah wanita yang sangat lembut,  bagi Fania, ibunya lah berkah ditengah kekejaman hidup yang diterimanya. Sangat berbeda dengan wanita itu, yang keras dan tak mempunyai belas kasih terhadapnya. Fania putus sekolah dan dipekerjakan di sebuah bar, tempat segala bentuk prostitusi berlangsung, sebagai cleaning service menggantikannya. Bar itulah yang mempertemukan wanita itu dengan ayahnya.  

“Buka tanganmu!” Ibu tirinya melihat kepalan tangan kanannya yang sedari tadi digenggamnya erat-erat.  “Apalagi itu? Apa lebih berguna lagi dari susu yang kau bawa untukku?” Dari matanya terlihat jelas bahwa ibu tirinya berharap yang berada di kepalan tangannya adalah uang, wanita itu kelaparan.

Fania meringis menahan memar-memar pada wajahnya. Segera dibukanya kepalannya. Berharap ibu tirinya mengenali nama yang ada pada plat tersebut. Ayahnya masuk membawa tempat berisi air panas. “Tidak ada perawat yang berjaga,” serunya.

“Keluar kau. Aku yang akan mengurusnya.” ibu tirinya mengambil tempat air panas itu dan mengambil sebuah handuk untuk membersihkan tubuh Fania.

“Ya. Kau sudah tau siapa yang buat begini?”

“Ini. Kau carilah sampai dapat, aku tidak kenal.” Radisa memberikan plat nama itu kepada suaminya. “Sekarang keluar kau.”

*

Perlakuan ibu tirinya membuat Fania heran. Bagaimana wanita gempal yang kasar ini bisa begitu lembut merawatnya. Ya, mereka sama seperti perempuan pada umumnya; takut diperkosa. Mungkin hanya itulah satu-satunya alasan ibu tirinya seperti ini. Fania merasa tubuhnya sudah sedikit membaik, memar-memar pada wajahnya tidak terlalu mendenyut lagi, tenaganya pun telah pulih. Tapi dia membiarkan saja tubuhnya tetap terlihat lemah dan ibu tirinya tetap menjaganya, menyuapi nasi dengan lauk seadanya. Hati dan pikirannya terasa pedih mengingat peristiwa memalukan yang terjadi beberapa jam yang lalu...


* BERSAMBUNG *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar