Sebuah Dialog

“Eh, ngomong-ngomong helm biru bobrok ini sebenernya saksi bisu satu rangkai hidupmu tau.”

“Hah? Kok bisa?”

“Bisa dong, jaman SMA. Jelas dia ini yang kamu pake terus dari kelas satu sampe lulus kan?”

“Iyasih ya. Eh iya gak sih? Iya kali ya.”

“Haha jangan pura-pura lupa deh. Coba, jaman SMA dulu, gila, udah apa aja tuh yang kau lewati?”

“Hem, nggak pede sama diri sendiri, patah hati hebat, nilai anjlok, ya biasalah semua anak SMA  juga ngalamin gituan. Kau juga pasti ngalamin. Tapi ya dia tetap helm biru bobrok yang cuma nungguin diatas spion motor sampe waktunya dateng buat dibawa pulang, ga ngeliat apa yang aku alamin.”

“Iya emang aku juga ngalamin, tapi helm biru ini jangan dibuang ya walaupun udah gak layak pakai dan gak berstandar SNI, inget kan kepala siapa aja yang pernah pakai helm ini?”

Terdiam.

Benar juga, helm biru bobrok itu pernah menutup wajahku saat menangis diam-diam di tengah perjalanan, pernah menahan segala amarah untuk terbang kemana-mana, pernah menampung seluruh pikiran-pikiran mulai dari yang penting hingga yang sampah sekalipun, dan helm itu pernah dipakai oleh kepala yang empunya telah diubah oleh waktu.


Kepalaku usai berdialog dan membuat tanganku tak jadi melontarkan helm biru bobrok ini ke tempat sampah, ia kembali berakhir dan berdebu dalam gudang, sebagai saksi bisu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar