Tiga Teka-teki

Teka-teki Si Penjual Putu Bambu
Kami memakai jaket kami, menahan dingin yang tak kami izinkan menusuk tulang yang telah rapuh tapi begitu sial kami, pasalnya dingin itu begitu halus. Ia mampu masuk menembus pori-pori kain yang bersimpul jaket ini. Ah, dingin sudah menjadi teman kami. Belum lagi gemuruh kendaraan beroda di atas aspal, yang tak letih-letihnya memunafikkan diri sendiri dibalik keindahan mewahnya sambil melenggang menciptakan polusi setiap hari. Dibalik semua yang kami gerutukan kami tetap asyik bercinta pada setiap senyum yang datang, yang menyanyikan senandung indah berlirik, “Satu berapa bang? Beli sekian ya...”, asyik sendiri kami bermain-main dengan bambu, kelapa, dan bunyi dari kompor yang memanaskan bambu itu, bunyi khas dari gerobak kami ini yang setia menemani kami, yang hanya untuk menyambung nafas, mengasyikkan diri sendiri berteman bambu dan kelapa. Ahya, ada yang manis, gula merah. Kami bisa tersenyum.

Teka-teki Si Tukang Reparasi Jam
Tik tok tik tok, akulah pengatur detik, kalau aku bersedih hari ini jam segini, aku tak mau merasakannya, enak saja aku harus bersedih, kuputar detik itu, kumajukan hingga detik yang kuinginkan. Aku hebat bukan? Kalau aku bahagia, kucabut saja baterai yang ada di dalam sini, dan voila, berhentilah detik itu, detik saat aku bahagia, agar terasa abadi. Tapi tertawaku ini palsu, sebenarnya aku benar-benar muak dengan semua ini. Tapi menyenangkan bukan bermimpi? Aku bayangan angka-angka dinamis, yang kau lihat saat bergeliat, mati di mata cemas sang pemalas tukang terlambat keras.

Teka-teki Si Penyair Yang Benci Menulis
Apa yang dapat diberikan seorang penyair ?
Saat tak ada sesuatu yang dapat mengilhami
Ketika realita tak cukup untuk menginspirasi
Matikah ia…. bersama syair-syair lama yang telah lapuk
dan tak bermakna lagi
Saat sendiri juga tak cukup berikan ruang untuk kehadiran satu puisi
Tak pantas lagikah ia… tetap disebut penyair walaupun tak lagi mampu
untuk tetap bersyair ?
Bahkan tak bisa membuat hati pembacanya tak tersentuh
Sang penyair hanya bisa di copy setiap karya nya
Bahkan tak pernah di anggap lagi
Untuk dunia kejam ini.....tapi sang penyair
Hanya ingin menyair untuk isi hati nya
Tak apa-apa dia di campakan tetapi percayalah semua nya ada di hati sang penyair
Aku ingin mati dibunuh kata-kata. Tahu caranya? Dengar, di ruangan yang mencekam ini ada tiga, aku, pisau dan kata-kata. Pisau bukanlah pisau jika belum terlumur darah, maka akan kuciptakan darah itu. Aku menusuk tepat di sebelah kiri dadaku, kurobek dengan pisau itu, lalu kurampas sendiri hatiku, jantungku, lalu paru-paru kiriku. Aku belum mati, kutusukkan lagi pisau ke dada kanan ku, ku renggut paru-paru kanan ku, setiap inci rusukku. Kubebel sendiri perutku dan ususku akan kujadikan tempat tidur terakhirku. Darahku berceceran, dan pisau telah menjadi pisau seutuhnya. Ia telah terlumur darah. Lalu kutusukkan sekuat-kuatnya kepalaku agar bayangmu yang ada di dalam sana mati bersamaku, tak apa, temanilah aku mati walau dengan bayang mu yang terenyum akan kematianku. Belum cukup aku menderita? Baiklah akan kusayat-sayat setiap arteri di kakiku, agar aku tak bisa lagi mengejarmu yang terus-terusan memunggungiku, dan tak pernah sedikitpun menoleh padaku. Aku mati dibunuh kata-kata. Sadis? Belum, belum sesadis aku yang mati di tanganmu, yang kau buang aku sejauh-jauhnya dari hatimu. Agar kau mudah menebak, aku benci pekerjaan tebakanmu.

(25 Oktober 2011, 20.16. Tercipta sesaat sebelum malam indah di dunia semalam bermula.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar