Selama 120 Menit Aku Berpikir Tentang Pikiran Kamu



Di dalam kelas, di kursi banjar kedua saf ketiga, aku mengikat diri, membekukan pikiran memantulkan keluar semua penjelasan yang terucap dari guru pengganti ini. Ini pelajaran dari gerak ke gerak, berbagai macam gerak lurus, parabola, melingkar melewati udara panas penghujung Oktober yang tak mengerti pada jiwanya sendiri. Aku tak mampu menerima fisik renta fisika ini lagi, tenggorokanku sakit, mataku panas, kakiku gemetar, badanku meriang, sepertinya sakit akan mengunjungiku sebentar lagi. Selama 120 menit aku cuma mampu berpikir tentang pikiran kamu.


Pikiran kamu seperti udara, tak terlihat tapi terasa. Aku cuma satu wajah, dari tiga puluh enam wajah di kelas ini yang melekuk ke bawah, yang menopang wajah dan dagu, bergumul dengan jarum jam yang dengki, yang takut tak lulus Ujian Nasional tapi mengabaikan pelajaran, ohya aku ingat, fisika tak masuk didalamnya jadi tak masalah, kan begitu.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang kamu gunakan
bertanya
apakah aku sebaiknya dipertahankan atau dilepaskan, terganti lebih lama atau dibiarkan bertahan dalam ruang antara sudah selesai atau masih andai.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang terlampau dingin, selalu ada rasa tak acuh untuk cerita, puisi, sajak dan pemberontakan-pemberontakan yang kusembunyikan untuk menyakiti diri sendiri. Pikiran yang bagi perempuan lemah seperti aku tertantang untuk berani memikirkannya meski kesakitan. Kemudian berpikir, pikiranmu itu adalah tempat dimana aku pernah ditunggalkan lalu ditinggalkan dan ditanggalkan pemiliknya sendiri.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang barangkali enggan mengecupkan selamat pagi dengan kalimat yang sama setiap hari ketika aku begitu mengharapkannya sekedar untuk dapat tersenyum setiap membacanya.


Pikiran yang kadang hutan hujan, kadang tropis, kadang cuma hutan gersang.


Pikiran yang pernah mengabaikan siapapun kecuali aku. Pikiran yang pernah melindungiku saat sakit dan takut. Pikiran yang mencintaiku.


Aku berpikir tentang pikiran kamu, pikiran setidakterlihatnya udara, yang cerdik menyembunyikan warna. Pikiran yang bertatap muka dengan hujan, yang selalu siaga menumpahkan sesuatu yang basah seperti kesedihan, padaku.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang dilintasi riuh suara bahagia tiga puluh enam wajah dalam kelas yang di dalamnya ada seorang duduk di banjar kedua saf ketiga yang melewati udara panas penghujung Oktober yang tak mengerti pada jiwanya sendiri, seorang yang takut tak lulus Ujian Nasional tetapi mengabaikan pelajaran.


Aku berpikir tentang pikiran kamu. Pikiran yang sibuk mengerutkan alis, bingung akan apa maksud puisi yang ditulis perempuan yang akan dikunjungi sakit ini, yang sibuk berpikir tentang pikiran seseorang untuk membaca puisinya.




(Kelas 3TKJ1, 29 Oktober 2011. Tertulis pada bagian belakang modul fisika dengan kesehatan yang memburuk, sesekali menoleh pada Pak Aris, sang guru fisika pengganti.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar