Cuma Fiksi

Aku selalu menulis sajak untuk dia dan aku tahu betul sajak-sajak itu tak pernah terbaca olehnya. Bahkan untuk terlintas di matanya saja rasanya mustahil. Aku sudah menyampaikan padanya bahwa ada sajak baru untuknya, tapi entahlah, memang karena dia menyebalkan atau karena aku yang terlalu takut untuk bertanya yang sebenarnya dia sudah membacanya atau belum. Sudahlah, dia lah sumber inspirasiku, biarlah tulisan-tulisan ini terpajang rapi dalam catatan kecilku ini saja. Sungguh. Aku mencintainya. Aku tak bisa marah padanya.
Aku menemukan sepenggal paragraf di atas di atas paragraf-paragraf dalam buku catatan kecilnya. Iya, kecil. Fisik dan mentalnya kekanak-kanakan. Aku membacanya. Dan aku tidak begitu mengerti. Bagaimana bisa ia begitu rajin menjadikanku tokoh utama dalam cerita-ceritanya. Yah, aku mencintanya. Aku tak bisa mengatakannya.


Aku mencintainya. Sering ku katakan padanya tanpa ia bertanya. Aku kurang baik apa.
Aku mencintainya makanya aku diam. Aku, senyamanku saja.


Aku selalu merasa berada di peringkat dua(setelah kekasihnya)
Aku selalu merasa terlalu didewakan.


Aku pernah jatuh cinta sebelumnya. Aku bisa merasakan wajahku panas dan jantungku berdebar. Tapi dengannya semua jadi lebih berbeda. Aku tak bisa merasakan detak jantungku. Apa kaku. Dia tak pernah tau jika aku begitu gugup. Jarang aku berbicara sambil menatap matanya. Jarang sekali. Aku takut terlalu mengharapkannya. Aku mencintainya. Aku bilang rindu padanya.
Aku menemukan paragraf lain. Hmmm, aku juga pernah jatuh cinta sebelumnya, sekarang juga.

Dengan seseorang yang jauh lebih cantik darinya. Aku minta maaf. Aku hanya tak mau terlihat tak berguna. Aku hanya menunjukkan. Aku hargai betul perasaanmu. Aku mencintaimu. Aku hanya tak berani bilang rindu padamu.

Aku mencintaimu. Tak ada kabar darimu. Aku seperti dibaikan.
Aku mencintaimu. Aku sengaja membuatmu khawatir. Aku suka wajah jelekmu haha.

Aku menunggu saat di mana kamu bisa bersemangat dalam bercerita. Entahlah, kadang tak ku perhatikan isinya. Aku hanya ingin merekam dengan jelas tiap lekuk bibir yang kau bentuk saat bercerita. Isyarat wajah seorang yang ku cinta. Aku tertawa jika ekspresimu agak aneh. Aku menikmati itu. Aku mengingatnya ketika kamu memilih diam saat bertemu. Aku akan memandang ke arah lain dan berfikir. Iya, berfikir. Apa yang bisa ku ceritakan atau ku tanyakan agar bisa mendengar suaramu. Aku mecintaimu. Aku ingin selalu mendengar suaramu. Mungkin suatu saat nanti, kamu akan mengumandangkan adzhan, di rumah kita.
Aku, kau dan cerita tentang ku. Aku mencintai tidak dengan kata-kata. Kamu terlalu naif jika percaya aku tidak mencintaimu lantaran aku sering mengacuhkanmu. Aku tau apa yang terjadi padamu,  aku tahu kemana saja kau pergi, aku ingat setiap detil tentang kita. Aku tau betapa kau bersungut denganku. Kau lucu. Terlalu menganggap hidup ini kompetisi. Bahkan untuk memenangkan hatiku. Aku mencintaimu. Tapi kamu terlalu cerewet.


Aku menjadikanmu tokoh utama dalam tulisan-tulisanku. Kamu buat aku jatuh cinta dan patah hati disaat yang bersamaan. Benar-benar mengujiku yang masih seperti anak kecil ini menjadi begitu bijak bersikap menghadapimu yang jauh lebih keras kepala dari anak kecil manapun. Aku belajar ekstra sabar khusus untuk mencintaimu. Aku sering menangis (untukmu) untuk keberanianku menitipkan rasa cinta untukmu. Aku mencintaimu. Aku tak pernah berhenti mendoakanmu dengan apapun yang kamu pendam dalam hatimu. Dengan segala kekurangan yang kau sendiri yang paling tau apa kekurangan mu itu. Aku mencintaimu. Titik.
Aku tersentuh membaca semua isi hatimu. Tubuh yang kecil dengan keberanian yang besar. Aku berjanji untuk sebisa mungkin mengurangi air matamu (aku tau, karena kau kesal padaku). Kalau ada air mata, biarkan aku yang mengusapnya. Aku tak akan banyak berucap. Aku mencintaimu. Tapi jangan paksa aku terlalu menjadi yang serba pengertian, kau tahu aku sudah tak bisa lagi, akan ada waktu untuk itu, seperti dulu lagi. Aku bukan pangeran. Aku ya aku. Mencintaimu. Dicintai olehmu. Titik.


Semoga kita dipertemukan untuk saling menyempurnakan ibadah kita.
Semua indah pada waktunya.

Amin Ya Rabb.
Amin Ya Rabb.


#Dan kita kembali menengok ke belakang sebelum wajah kita menghilang di balik tikungan. Kita berpisah di persimpangan jalan. Setelah sibuk menghabiskan malam. Entah apa yang masing-masing kita pikirkan. Dan bagaimana kita mengahadapi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar