11 April 2012

Selamat malam :) hai, aku sedikit ingin bercerita.
Pagi ini disambut dengan sesuatu yang mengganggu langkahku ke dalam sekolah, saat berjalan ada sesuatu yang terasa mengekang dan menimbulkan bunyi plak, plak, plak. Sepatu sebelah kanan ini sudah lekang, tepat kurang lebih seminggu lagi masa putih abu-abu akan berakhir. Seluruh warga dalam lambungku belum enggan juga menyelesaikan demonstrasi besar-besaran didalam sana selama berminggu-minggu ini. Belakangan hidupku menyisakan kekosongan besar yang semakin lama semakin hampa. Aku mengira takkan berhasil melewati segalanya dengan selamat. Aku sudah yakin, haqqul yakin— yakin yang sebenar-benarnya, bahwa umurku tidak lama lagi. Alhamdulillah aku berhasil melewati segalanya, asam lambung dan infeksi saluran uretra tinggal masa lalu yang telah memberi pelajaran berharga dalam hidupku untuk menjadi manusia yang lebih peduli terhadap kesehatan diri sendiri, aku sudah mulai memasang alarm di handphone untuk mengingatkan diri sendiri makan siang, juga menghentikan dengan takjim meminum kopi lebih tepatnya capuccino yang dulu, setiap hari kukonsumsi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kebersihan hidup. Sekali lagi, semua ini memberiku pelajaran berarti bahwa semua orang yang pernah bersinggungan dengan maut pasti akan berubah. Aku sendiri merasa terkesan, bahkan aku menyadari betapa sudah dekat maut denganku. Ya, Allah menegurku—hambaNya yang sangat kecil ini dengan maut, aku yang sebelumnya menyombongkan umur yang masih muda untuk seenaknya menyiksa apa yang ada dalam tubuh ini, aku merasa “Toh masih umur segini.” saat membiarkan angin menggerogoti tubuhku tanpa jaket, saat menegak kopi setiap hari, saat terlalu malas untuk rajin meminum air putih.
Ketakutan terbesarku saat berurusan dengan rumah sakit adalah jarum suntik. Betapa aku paling tidak suka berurusan dengan benda itu. Syukurlah akupun terbebas dari ancaman paling kutakuti saat mengira semua kesakitan yang kurasakan adalah usus buntu (usus buntuku bersih, Alhamdulillah)—infus, ya, opname yang memuncak pada operasi. Bagaimana aku tidak kalut, padahal ujian nasional kurang lebih seminggu lagi, dan penyakit-penyakit nakal itu membumbui hari-hari perjuanganku menghadapi ujian nasional. Aku hanya harus berurusan dengan si tajam itu saat melakukan tes darah. Aku teringat kata-kata Miss Sri Hidayati saat aku merengek mengadu sakit gigi bertepatan dengan ujian semester yang berat dulu, hhh, aku sangat merindukannya, ibu kedua untukku. “Bersyukur, masih dikasih sakit gigi, belum kanker yang bisa buat is dead.” Ya, aku harus lebih, dan lebih banyak bersyukur lagi, masih diberikan penyakit ringan ini dalam hidupku.
Dengan kondisi masa pemulihan ini, aku kembali ke sekolah seperti biasa dengan semangat menggebu-gebu. Untuk menjalani masa SMK yang tinggal seujung kuku ini, setiap mengingat hal ini aku selalu termenung sendiri, betapa tidak terasanya waktu berjalan, time flies.
Ujian nasional tinggal menghitung hari, dan pagi ini aku menarik napas dalam-dalam. Proses belajar telah kujalani hingga saat ini, aku tidak boleh lemah dengan kondisi apapun, bagaimanapun besarnya kekosongan yang ada dalam hati ini. Dalam tiap sujud selalu terpanjat kepasrahan yang kuserahkan padaNya untuk tujuan nomor satu dalam hidupku, membahagiakan orangtua.
“Allahumma iftah alainia hikmatan. Rabbi zidni ilman warzuqni fahman. Ya Allah, hamba datang mengadu kepadaMu dengan hati lemah dan pasrah. Perjuangan hamba belum usai, hambaMu ini datang meminta kelapangan pikiran dan kemudahan dalam pemahaman dan hidayahMu dalam tiap langkah yang hamba ambil. Ringankan hamba untuk menyempurnakan usaha dan doa kepadaMu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui Ya Allah. Amin.”
Aku merasa damai dan tentram sekarang.
Tinggalkan tentang penyakit. Hari ini banyak hal yang ingin kuceritakan. Bukan masalah tas putih yang belakangan ini kubawa ke sekolah, yang selalu jadi bahan ejekan Brema yang bilang kalau aku seperti mau ke pesta. Dan membuat Intan hampir muntah.  Bukan. Sekali-sekali aku ingin jadi feminim, tidak ada salahnya kan? Tas biru itu lagi dicuci, Bremzy!  Bukan juga ekspresi bingung wajah Runi, Rini, dan Nisa saat melihat aku membawa segelas teh manis hangat dengan sebuah roti, bukan capuccino seperti biasa. Bukan tentang Rini yang mengatakan akhir-akhir ini wajahku semakin putih (kedip-kedip nakal.) – atau pucat? Bukan juga tentang kekonyolan-kekonyolan yang terjadi akhir-akhir ini yang selalu berhasil membuatku tergelak, bukan tentang modem yang sudah bisa kugunakan lagi, bukan tentang study tour yang sudah terbayang di kepala betapa serunya nanti. Ini tentang konspirasi semesta. Tadi di sekolah, saat Sir Reinaldi keluar dari kelas dan kami menunggu pelajaran berikutnya, aku tahu yang masuk berikitnya adalah Pak BS, tapi syaitonnirazzim seperti mengembus-hembuskan sesuatu ke mataku yang membuat aku sangat, sangat ngantuk, aku sedikit malas untuk menghadapi matematika tadi siang. Belum lagi perut yang makin menjadi-jadi sakitnya (saya lupa bawa obat, sesuatu sekali.) Dalam hati aku memanjatkan harapan nakal, untuk semoga terjadi apa saja, atau ada apa saja yang membuat kelas tercinta ini bebas belajar matematika hari ini. Untuk kali ini saja. Dan benar saja, semesta berkonspirasi, Malaikat mengaminkan harapan asal-asalan itu. Seluruh TKJ disuruh menuju aula untuk mengikuti seminar Politeknik Telkom. “Allah itu dekatnya seurat nadi leher kita. Perkataan adalah doa, apa yang kita pikirkan itu yang terjadi. Semacam mindset.” Saat seminar aku mencari-cari seseorang, barangkali aku bisa melihatnya barang semenit dua menit. Ternyata dia tidak ada, tidak kutemukan sama sekali. Kemana dia?
Minggu lalu aku pergi ke Gramedia—seperti kesukaanku, sendirian. Dengan uang terbatas untuk dapat membeli satu buku saja, aku bingung akan membeli Sunshine Becomes You karangan Ilana Tan yang selama ini aku idam-idamkan atau Negeri 5 Menara karangan Ahmad Fuadi yang kurasa bisa memotivasi. Sambil menimbang-nimbang aku pergi ke bagian buku lain, buku-buku tentang Tour Guide. Bagaimana indahnya kastil-kastil di Paris, romantisnya menara Eiffel saat malam hari, sampai bagaimana hebatnya Belanda yang bisa membangun negri diatas laut. Aku selami lembar demi lembar dengan panduan berbahasa Inggris. Gramedia adalah tempat pelarian kedua saat malas pulang kerumah, sudah beribu kali rasanya aku kesini, tapi baru kali ini aku membaca buku-buku tepatnya menemukan bagian buku-buku Tourism ini. Ditelingaku mendesir-desir pelan gesekan biola yang membawakan melodi klasik Beethoven—Fur Elise. Suatu hari nanti aku harus dapat beasiswa, belajar di Perancis, Universite de Paris, Sorbonne! Aku berbisik dalam hati. “Tuhan, mungkinkah aku bisa menginjakkan kaki di negara hebat itu nanti?” Mimpi ini memang terlalu tinggi, bahkan aku berani bertaruh tidak sedikit yang menertawai aku jika memberi tahu mimpi terpendam yang gila ini. Tapi tekad sudah di kepalaku, tanpa mimpi orang seperti aku akan mati, segera aku tanam dalam hati. Mungkin tidak untuk Strata 1, aku masih ingin di negri ini, masih ingin merasakan sensasi untuk pertama kalinya,keluar dari tanah Sumatra yang menyimpan segala kenangan selama tujuh belas tahun, dan sebentar lagi, dalam hitungan bulan, menginjak tanah Jawa.Bismillah, aku tahu Tuhan Maha Mendengar.
Kembali ke minggu lalu saat aku masih bingung akan membawa masterpiecenya Ilana Tan atau Ahmad Fuadi ke kasir. Aku meninggalkan keindahan kota-kota di benua sana dalam buku-buku Tour Guide, aku beralih ke bagian Sastra Indonesia, masih sama seperti empat hari lalu, tidak ada buku baru, wajah Chairil Anwar tetap terpajang disana haha. Tapi bolehlah membuka-buka lagi, dari sekian banyak puisi yang dilahirkan sang Binatang Jalang ini, aku paling suka dengan puisi terakhir yang ia buat pada tahun 1943, tahun meninggal dirinya dalam usia yang sangat muda, kurang lebih 26, salah satu sastrawan terbaik yang pernah Indonesia miliki (Chairil Anwar lahir di Medan). Derai-derai Cemara.
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

“Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan. Sebelum pada akhirnya kita menyerah...” Aku paling suka bagian akhirnya.
“Suka Chairil Anwar?” Sebuah suara perempuan mengejutkanku. Aku menoleh, langsung tersenyum. “Iya hehe.” Speechless. Aku kira siapa, aku kembali ke bacaanku. “Eh kenalan dulu, kakak kak Ratna.” Dia mengulurkan tangan padaku. Dengan spontan aku menyambut tangannya, bingung, ini aneh, aku tidak pernah berkenalan dengan orang asing seperti ini. “Yola, siapa tadi?” Namanya tidak begitu jelas terdengar tadi. “Ratna.” Ulangnya. Perempuan itu kelihatannya tidak seumuran denganku. Melihat aku yang berseragam, dia bertanya sekolah, dan hal-hal lain. Pertanyaan standar orang yang baru saling mengenal. Kak Ratna salah satu mahasiswa USU jurusan Manajemen. Dia tinggal di Langkat, dan kos di dekat Thamrin Plaza. Aku langsung meletakkan buku tadi ke rak lagi, dan fokus berbicara dengan Kak Ratna, suasana mencair. Kami seperti teman, bukan orang yang baru saling mengenal lagi. Lagi-lagi semesta seakan berkonspirasi. Aku juga ingin mengambil Manajemen nanti, mungkin saja aku bisa bertanya-tanya sedikit banyak tentang bagaimana prospek kedepan jika mengambil jurusan ini. Kebetulan Kak Ratna sudah tingkat akhir, lagi nyusun skripsi, aku tanya berapa lama ia akan menyelesaikan kuliah. Katanya kalau lancar skripsinya, pas 4 tahun. Sekarang umurnya 21. Dia pernah bekerja di perusahaan entah apa namanya, aku sudah lupa, sambil kuliah, katanya prospek ke depan untuk mahasiswa lulusan manajemen bagus, karna setiap perusahaan pasti kan ada bagian manajerialnya. Saat aku dengan polos bertanya, “Bisa jadi manajer bank kan kak?” Kak Ratna cuma tertawa dan menjawab, “Ya bisalah.” Mungkin di pikirannya bagaimana semua orang sekarang  berlomba-lomba membuka manajerial sendiri, menjadi wirausahawan, seperti cita-citanya, aku malah cuma ingin jadi manajer bank. Sebenarnya itu bukan tujuan utamaku, hanya basa-basi saja. Aku sendiri juga masih bingung, akan jadi apa aku setelah dapat gelar SE?
Dia bertanya aku ingin kuliah dimana, aku bilang ingin sekali masuk UI, menjadi pasukan The Yellow Jacket dan menceritakan kekagumanku pada UI yang masuk dalam 50 Universitas Terbaik se-Asia. Jurusan Manajemen atau Ilmu Komunikasi. Ya, impian lainku juga bekerja pada pertelevisian dan pers. Mungkin aja kan bisa jadi penerus Bang One? Alias Bung Karni, yang tiap malam jadi pembawa acara Jakarta Lawyers Club. Aku juga bercerita pertimbangan lain yang juga ada dikepalaku, Universitas Brawijaya, Malang. Kak Ratna cuma mengangguk-angguk, dia langsung menyela tentang betapa asiknya suasana Bandung, pengalamannya ke Trans Studio, aku cuma tersenyum dan mengatakan bahwa Bandung sudah siap menampungku kalau-kalau tidak tersedia satu kursi di UI dan UnBraw untukku. Dia langsung berkata, “Baguslah, enak di Bandung lo.” Aku langsung mengambil kesimpulan, Kak Ratna—penggila Bandung yang terjebak di sesak dan panas Medan. Akhirnya aku izin untuk pulang, aku sudah tau akan membawa buku apa ke meja kasir, kami bertukar nomor handphone. Senang berbicara dengannya, Kak Ratna sangat baik, sopan, tapi sekaligus masih terasa aneh buatku. Kuambil Negeri 5 Menara nya Ahmad Fuadi, yang kemudian dengan penuh kesungguhan “Ini buku terbaik yang pernah aku baca. Bacalah :) ” dan saat ini pelan-pelan aku coba menyerap semua pelajaran berharga dari buku ini. Energi positif dan semangat untuk ikhlas dalam hidup masuk dari mata hingga ke hatiku, sampai nangis aku membca buku ini. Aku juga jadi tertarik belajar bahasa Arab dan sedikit-sedikit menambah kosakata bahasa Arab yang selama ini hanya aku dapat dari Umi, itupun sangat sedikit. Alhamdulillah aku tidak salah pilih.
Dari dulu di layar depan handphone ku aku selalu mengetik satu kata untuk memotivasi diri, “LULUS :)” yang kemudian sebentar-sebentar berganti dengan tulisan “Jangan lupa ya: ................... :)” di titik-titiknya aku tulis sesuatu yang harus kukerjakan dan kubawa beserta hari sesuatu itu diperlukan. Kalau sudah lewat waktunya, aku menggantinya lagi ke semula. Dan sekarang, setelah Negeri 5 Menara, karya luar biasa Ahmad Fuadi yang tebalnya 400 halaman itu habis terbaca dalam sehari, mantra sakti dalam buku itu meracuni otakku, catatan itu bertambah menjadi: “Man Jadda Wajada: siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses! Man Shabara Zhafira: siapa yang sabar akan memetik hasilnya! LULUS :)”
Kesabaran adalah satu-satunya jalan untuk aku tetap bertahan selama ini, masalah apapun yang kuhadapi. Sebenarnya ada lagi dua ungkapan bahasa arab tentang kesabaran yang selalu kukumandangkan dalam hati: “Innallaha ma ashobirin.” Allah amat dekat dengan orang-orang yang sabar. Dan ini favoritku “Salamun ‘alaikum bima shabartum.” Keselamatan bagimu atas kesabaranmu.
Dulu pernah tertera bergani-gantian di layar depan itu: “<3August :)” saat bulan Agustus, bulan ulang tahunku. “Fach :)”, dan pernah juga aku memasang autotext yang sering pengguna BlackBerry pakai, autotext bergambar sebuah senyum dengan tangan kiri mengepal, tanda memberi semangat. Kenikmatan luar biasa bisa memotivasi diri sendiri sejauh ini.
Dan hari ini di jalan pulang kerumah aku tiba-tiba teringat dengan Kak Ratna, apa kabarnya ya?  Kami cuma sekali smsan setelah bertemu. Tiba-tiba pula handphone bergetar, tertera nomor tidak dikenal disana. Panjang umur, Kak Ratna meneleponku. Aneh? Benar aku juga merasa aneh. Lagi-lagi semesta berkonspirasi. Aku terheran-heran. Kak Ratna mengajak aku bertemu di KFC Gajahmada, depan Gramedia. Kebetulan ankot yang kunaiki masih menuju Medan Plaza, jadi aku tidak turun di sana, tapi terus ke KFC. Aku terheran-heran, bagaimana semesta berkonspirasi mengatur semua kebetulan ini? Wallahualam.
Kak Ratna sudah ada disana rupanya, tapi yang membuat aku lemas ada laki-laki didepannya. Mungkin teman kuliah, mungkin pacarnya, atau abangnya. Aku coba berpikir positif. Aku tertawa sendiri saat mengambil duduk di samping Kak Ratna, menghadap langsung laki-laki itu. Walah, guanteng, mirip Morgan Smash. Beneran ini serius. Aku mengutuki kebodohan sendiri bisa-bisanya baru duduk langsung ketawa, bisa dikira autis. Kak Ratna menanyakan aku mau makan dan minum apa, aku segan menolak, aku minta dibelikan Mocha Float saja. Laki-laki tadi langsung pergi membeli. “Siapa kak?” Tanyaku penasaran dengan si Morgan itu. “Kawan kampusnya.” Nya kata nya itu terlihat seperti aku sudah menjudge kalau si Morgan itu pacarnya Kak Ratna. “Ohehe.” Aku tertawa lagi, sepertinya ada gas tertawa yang merasuki pikiran ini. Di telepon Kak Ratna sudah bilang kalau dia cuma mau ngomong soal peluang usaha. Manatau bermanfaat, katanya. Jadilah kami bicara nggak jelas sampai jam 3, aku cukup menikmati karena akupun suka diajak bercerita, aku jadi teringat suasana kantin kalau aku, Rini, Runi, Nisa, Kak Bayu, Anggak, Rifqi, Kirbi duduk-duduk untuk nunggu les, kadang-kadang yang lain juga ikut gabung. Waktu sejam terasa semenit kalau sudah berkumpul begitu, kantin serasa milik kami. Kantin Pakde adalah markas untuk mengisi perut dan semangat sebelum les bersama kubu masing-masing. Kami terbagi jadi 3 kubu, kubu Medica, aku Rini Runi Tori dan Cipit, kubu SPC (Stan Pro College) calon gayus sejati Anggak Nisa Kak Bayu dan Adam, kubu ProIHT(Pro InHouse Training) asuhan Sir Yoffi tercinta sang motivator haha ada Rifqi Kirbi Rizki ujum Irfun Juwin Rabilal dan 3 cekak girls. Kami semua sama-sama masuk jam 3, jadi pergi meninggalkan kantin pun bareng-bareng. Hhh sayang sebentar lagi masa-masa itu harus berakhir. Hehe intermezzo, kembali lagi, tahulah aku kalau si Morgan ini namanya Bang Reza, orangnya lumayan humoris, dia juga menanyaiku tentang kuliah. Cuma sejam saja aku pamit pulang. Entah kenapa perasaan ini terasa tidak enak. Aku sering kedatangan suasana hati seperti ini, kalau sudah begini, aku tidak tenang, rasanya ada yang mengganjal, dan sudah berapa kali kejadian, peristiwa buruk sudah menanti. Kak Ratna yang sejak awal menanyakan kenapa wajahku pucat, mengira perutku sakit lagi. Aku sudah cerita ke Kak Ratna tentang penyakit ini. Sebelum pulang Kak Ratna ada bertanya satu hal padaku, “Siapa pacar yol?” Bang Reja tertawa. Jantungku berdegup, nggak mungkin aku diam, lalu aku ketawa lagi dan menjawab, “Kalo ada kakak pun nggak kenalnya haha.” Tawaku dibuat, palsu. Hatiku makin menjadi tak karuan, sekarang disesaki rindu, rindu yang teramat dalam.
Aku pulang. Semesta berkonspirasi lagi, ankot 25 yang biasanya lamanya naujubillah sekarang langsung melintas. Aku mengambil handphone, dan membuka folder gambar. Muncul dua orang disana, si pria dan seorang perempuan, duduk di sofa coklat, dua-duanya tersenyum melihat ke kamera tampak jelas kebahagiaan disana, kebahagiaan masa lalu yang diabadikan sebuah gambar digital, perempuan itu memegang sebuah replika menara eiffel. Perempuan itu, aku. Aku next kan ke gambar selanjutnya, gambar sesosok pria. Dengan rambutnya yang rapi, berseragam putih sama denganku tertangkap kamera sedang tidak melihat ke arah kamera, tanpa ekspresi, yang ada hanya muka bodohnya di kantin sekolah. Kuusap-usap layar yang tidak kotor. "Lagi apa yang disana? Sehat? Bentar lagi kita UN, study tour seneng-seneng, wisuda rapi-rapi, lulus pasti lulus! Kita jadi anak kuliahan. Mahasiswa!" Kutarik nafas perlahan menguatkan hati, mataku mendung, lalu gerimis. Seperti langit sore ini.
Gempa berkekuatan 8,5 skalarichter mengguncang Pulau Sumatra jam setengah 4. Aku sudah didepan Sari Mutiara. Pasien-pasien keluar beserta infus, suster dan perawat pun kalang kabut. Cepat-cepat kulangkahkan kaki menuju rumah. Seisi Gang Dana sudah diluar semua, termasuk Mama, Alda dan Bu Uci, guru yang tiga kali seminggu datang kerumah mengajar les privat Alda. Barulah aku tahu, inilah kejadian yang menyebabkan perasaan tidak enak sedari tadi. Sahih, perasaan ini sudah sangat sahih. Sampai saat ini aku masih ingat kejadian apa saja yang menimpaku setelah aku merasakan perasaan semacam gamang itu, pernah siku dan lututku luka parah terseret dari kereta sepulang acara buka bersama sekaligus reuni SD Ikal. Pernah juga menimpa keluargaku, dan banyak lagi yang tidak dapat aku ceritakan. Sahih, sangat sahih.
Listrik mati. Sinyal komunikasi sekarat. Ori, teman masa kecilku mengirim sms menanyakan keadaanku, saat ingin membalasnya, jaringan kritis. Alhamdulillah Papa menelepon sebentar, baik-baik saja, malah tidak ngerasa gempanya. Dasar. Listrik hidup lagi, berita sudah ada di seluruh channel. Aceh berpotensi tsunami, dan bahkan kalau tidak salah di Simeleu sudah terjadi tsunami kecil. Sirine tsunami di Banda Aceh meraung-raung. Aku mendapat kabar Kak Widya saudaraku sedang kuliah, dia kuliah di Unsyiah. Dia kalut, trauma pasti, sebab dulu dia juga pernah kena amukan gelombang ini. Sabang, ah, pulau indah yang dulu saat awal tahun kukunjungi tanpa diduga-duga. Masih terasa saat pertama tiba disana kami disambut hujan lebat. Mungkin disana pun sedang kalang kabut, bagaimana tidak. Sekelilingnya laut terhampar, sama seperti Banda. Sempat terjadi gempa susulan untunglah peringatan tsunami sudah dihapus sekitar jam 8 tadi kalau aku tidak salah.
Inilah teguranMu yang kesekian Ya Allah...

Selamat malam, selamat menempuh peperangan akhir kita semua. Semoga sukses Ujian Nasional :)
Senyuum, Feby.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar