Hidup

“Sial! Mau kabur aja musti ribet gini.” Gumam Raisa dalam hati saat berjalan dalam suasana gelap pekat di jalan Nibung Raya. Dimana jalan itu adalah tempat para pelacur ‘dinas’, menunggu pelanggan yang akan menyambung hidup mereka dengan menjejalkan uang-uang haram. Waktu menunjukan pukul setengah satu pagi. Waktu yang sangat tepat untuk dengan mudah mmelihat para pelacur beserta pelanggannya berkeliaran. Mulai dari anak ingusan belasan tahun, hingga yang sudah berkepala empat. Sambil menenteng tas besar berisi beberapa pakaiannya, Raisa terus melangkah menuju jalan besar untuk menunggu ankot yang akan membawanya menuju terminal. Ia sedang dalam misi melarikan diri dari rumah. Setiap hari yang didengarnya adalah teriakan saling memaki yang keluar dari mulut Papa dan Mamanya, kakaknya yang selalu pulang larut malam dengan keadaan mabuk, membuatnya tertekan. Keluarganya jauh dari harmonis. Sudah lama ia berencana kabur dari rumah dan menerima tawaran Dina, temannya, untuk mengambil satu kamar dikos-kosan dekat rumah Dina. Tapi baru hari ini ia merasa mantap, setelah mendapat pekerjaan di sebuah optik, ia memenuhi persyaratan karena telah lulus SMA dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan pembeli, setidaknya ia memilki biaya untuk makan. Selanjutnya, ah, nantilah ia pikirkan. Toh dengan tidak terjebak di rumah neraka itu ia dapat hidup tenang untuk sementara.
“Ih makin rame aja. Uhuk.” Lagi-lagi Raisa bergumam lalu terbatuk.  Ia merapatkan jaketnya, flu sedang menjalar tubuhnya. Ia sedikit demam saat ini. Dari jauh ia melihat pelacur-pelacur itu sedang tertawa-tertawa dengan ‘pundi-pundi uang’ mereka. Ada yang baru saja pergi menuju suatu tempat, ada yang baru tiba dari suatu tempat pula. Ia risih dengan pandangan-pandangan aneh dari para pelacur itu. “Ah cuek aja, Sa. Sedikit lagi sampai, ayo!” Raisa menyemangati diri sendiri. Jujur saja ia pun merasa takut, ada perasaan tidak enak yang memenuhi dadanya. Ia mempercepat langkahnya.
Deg. Jantung Raisa mendentum seketika. Saat menoleh kebelakang, ia melihat seorang pria bertubuh besar berjalan mengikutinya. Langkah pria itu samakin cepat, ingin Raisa berlari tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Jangan sampai ia terlihat lemah dan ketakutan. Tapi dia memang benar-benar ketakutan sekarang! Pada siapa ia akan meminta pertolongan? Para pelacur itu sibuk dengan tugas dinas mereka masing-masing.
“Hai adik.” Tiba-tiba saja seorang  pria tinggi besar berkepala hampir botak sudah berjalan di sisi kanannya. Pria itu tersenyum nakal padanya. Tak salah lagi itu adalah pria yang mengikutinya dari tadi. Raisa tidak menoleh, ia panik, ini waktunya lari sekarang. Hap. Sebuah tangan telah berhasil menahannya di bahu, setelah itu satu tangan lagi telah mencengkram tangan kirinya. Raisa tidak bisa berkutik, “Aaah. Tolong! Tolong!” Ia berteriak, mengejang, dan menendang-nendang. Berharap ada sedikit saja belas kasih dari mereka yang diam saja melihat hidupnya terancam ini. Tubuhnya diangkat, dan pria itu menuju sebuah mobil yang sedari tadi telah terparkir di seberang jalan. Raisa terus mengejang-ngejangkan tubuhnya, tapi tenaganya tidak sebanding dengan pria kekar ini, ia kelelahan, dalam hati dengan penuh pengharapan ia hanya bisa berdoa dan menyebut dua nama, “Ma, Pa..” Tubuhnya yang demam kehabisan tenaga, ia pucat, setelah itu pandangannya meremang, pitam.
Dari jauh terlihat seorang perempuan cantik berambut panjang tergerai, mengenakan pakaian merah minim berlari kearah mobil.  Pria itu telah memasukkan Raisa ke dalam mobil, ia sudah tidak sadarkan diri. Perempuan itu segera merangkul pundak pria yang sedang menuju ke kursi depan untuk melajukan mobil tersebut. Pria itu terkejut.
“I’m Evelyn. Tukar berapapun malam yang kamu mau dengan anak ini. Okay?” Perempuan bernama Evelyn itu mengedipkan sebelah matanya. Ia membelai pipi pria itu.
“Dia lebih untung.”
“Ayolah..” Evelyn semakin merapatkan tubuhnya dengan pria itu. “Aku tau kamu juga nggak tega. Bilang aja nggak dapet sama bos kamu. Beres, dan kita senang-senang malam ini. Free.”
Pria itu berpikir sejenak. Nampaknya Evelyn membikinnya berubah pikiran. “Oke. Ya, kasihan, badannya panas.”
“Euuh.. Kasihan..” Evelyn memasang wajah mengasihani Raisa, ditolehkannya kepala ke bangku belakang.  “Kerumah sakit dulu ya, titip nih anak.”
Evelyn dan pria itu langsung masuk ke dalam mobil. Ia menitipkan nomor teleponnya pada suster, dan berpesan saat Raisa bangun nanti untuk segera menghubunginya
“Kamu kotor. Kenapa nggak mau anak itu juga kaya kamu?” Setelah meninggalkan rumah sakit, dalam mobil pria itu tiba-tiba bertanya pada Evelyn.
Evelyn memandang ke luar kaca mobil, melihat lampu-lampu jalan yang menerangi malam.
“Just us, woman, who know. Cuma kami, para perempuanlah yang tahu.” Ia tersenyum, bukan senyum bahagia melainkan senyum kepedihan, kepedihan menjalani hidup.
*
Raisa merasa kepalanya ditimpa beban puluhan kilogram, berat sekali. Kejadian tadi malam masih berkelebat dikepalanya, ia masih sedikit takut. Namun tubuhnya sudah tidak demam lagi. Matanya terbuka perlahan, lalu memicing melihat sekeliling. Barulah ia sadar ia sedang berada di rumah sakit. Waktu menunjukkan pukul 11 pagi.  Ia telah disuntikkan obat tidur.
“Kenapa bisa disini?” Ia bingung. Tak lama seorang suster masuk ke kamar kecil itu.
“Eh udah bangun dek. Bentar ya.”
“Mau ngapain sus?”
“Telpon kakak adek. Sebentar ya.” Suster itu beranjak keluar.
Kakak? Apa kakaknya yang membawanya kesini? Kenapa tidak kerumah saja, dan bagaimana mungkin kakaknya bisa menyelamatkannya dari pria itu. Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar dikepalanya. “Gimanapun. Syukurlah aku selamat.” Pikirnya, tapi apa pelariannya tetap berlanjut? Raisa memejam, ia akan menunggu kakaknya, setidaknya untuk berterimakasih dan memberitahu tentang pelariannya. Kakaknya pasti bisa diajak berkompromi.
“Hai.” Raisa bangun dari tidur ayamnya. Evelyn tersenyum ramah. Hanya sepuluh menit setelah ditelpon oleh suster, ia sampai di rumah sakit.
“Aku Evelyn. Kamu?” Evelyn menjulurkan tangannya. Raisa menggenggam tangan Evelyn sambil tersenyum canggung.
“Raisa.”
“Udah enakan? Tadi malem kamu demam tinggi.”
“Iya emang lagi flu. Jadi kakak yang bawa aku kesini?”
“Hem iya. Kalo kamu mau bilang makasih sekarang aku bakal jawab sama-sama.”
“Eh iya. Makasih kak, makasih banget. Tapi..” Raisa ragu meneruskan pertanyaan yang jawabannya terus mengganggu dipikiran.
“Tenang aja, kamu nggak diapa-apain kok. Orang itu, Ben namanya. Anak buah germo baru. Kompromi dikit, kamu nyampe sini deh.” Evelyn menepuk tangan Raisa.
“Hah! Jadi, aku mau.. Yaampun syukurlah, sumpah aku nggak tau lagi musti gimana. Maaf aku nggak bisa ngasih apa-apa ke kakak.” Raisa mengelus dada.
“Nggak papa lagi. Aku kasihan sama kamu, nggak tega. Aku juga punya adik seumuran kamu.”
Raisa memperhatikan Evelyn sejenak. “ Ehm, maaf. Kakak.. Pelacur?” Raisa bertanya hati-hati.
“Iya. Nggak papa kok.” Evelyn tersenyum, ia terlihat sangat cantik. “Ohya kamu ngapain malem-malem jalan disana bawa-bawa tas gede. Nggak tahu bahaya apa.”
“Yagitu deh kak, pengen kabur. Rumah kaya neraka.”
“Maksudnya?”
Raisa ragu ingin bercerita, tapi Evelyn telah menyelamatkan hidupnya. Tak apalah mengakrabkan diri.
“Mama papa tiap hari maki-makian. Punya kakak amburadul, pemabok, nggak bisa diharepin. Nyesek disana.”
“Terus kamu yakin bisa tahan hidup sendiri nggak punya siapa-siapa? Bersyukurlah dek. Keluarga kamu masih lengkap, masih ada uang ngehidupin kamu. Hidup ini keras, banyak bahaya diluar sana. Bisa-bisa kamu jadi sesat.. Kaya aku..” Evelyn terdiam, ia menarik nafas panjang. Raisa tak bisa berkata-kata.
“Dulu aku tinggal di Langkat. Mama kecelakaan dan meninggal waktu aku kelas dua SMA. Papa jadi nggak karuan, judi, mabuk, sering bawa perempuan kerumah. Hidup kami susah makin susah dibuatnya. Jadi aku dan adek nekat kabur ke Medan. Cuma modal iming-iming dari adik papa dapet kerjaan di sini. Memang aku dapet kerjaan, tapi ya begini. Terpaksa, aku masih punya mimpi, banyak banget sebenernya. Ginigini aku ranking loh disekolah, hehe. Tapi jaring sesat Om sialan itu udah kuat ngiket aku. Syukurlah, seenggaknya cuma aku, adekku aman.” Mata Evelyn berkaca-kaca, bulir airmata perlahan mengalir setetes di pipinya yang putih. “Seenggaknya kamu lebih beruntung dek.”
“Maaf kak. Maaf.” Raisa menyadari bahwa ia hampir salah langkah, apa yang akan terjadi nanti kalau dia meneruskan pelariannya? Bahkan mungkin ia akan lebih parah dari Evelyn. Evelyn benar, hidup ini keras. Ia harus bersyukur dengan hidupnya, setidaknya keluarganya masih lengkap dan berkecukupan.
“Pulang dari rumah sakit aku balik ke rumah kak.” Raisa tersenyum. Ya, ia akan memeluk mama dan papanya, mencoba memperbaiki segalanya, ia harus berjuang.
“Gitu dong. Salam buat mama papa kamu ya. Ohya, aku mau urus administrasi dulu ya.”
Raisa menarik tangan Evelyn, “Jangan kak, aku aja.” Lalu Raisa mengisyaratkan agar Evelyn duduk kembali.
“Makasih banyak ya kak. Aku gatau kalo aku nggak ketemu kakak bakal gimana hidupku nanti.”
“Lebay deh, hehe. Iya, kakak juga seneng bisa nolong kamu. Kita sama-sama perempuan dek.”
Raisa terdiam. Ya, mereka sama-sama perempuan. Bagai dilecut listrik bertekanan kecil, hati Raisa sedikit berdenyut. Itulah alasan Evelyn, seperti magnet berbeda kutub, saling menarik kuat. Bagaimanapun, mereka sama-sama perempuan, mempunyai ketakutan yang sama, takut kesuciannya terenggut. Apalagi direnggut kekejaman dunia, bernama kehidupan.

(Untuk Project #BlackCover @Loveisneverflat oleh Febiola Aditya Yusuf. Bismillahirahmanirrahim :) )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar