Tuhan

Teruntuk,
Tuhan.

Aku pernah bertanya bagaimana Engkau saat menciptakan seorang aku? Aku melihat rupa dan hidup orang-orang di sekelilingku, aku menyimpulkan saat itu Engkau sedang tersenyum, mood Tuhan sedang baik. Mereka yang kulihat hidupnya bahagia selalu, yang nampaknya semua berjalan sesuai apa yang diinginkannya, mereka yang memiliki apa yang tidak aku miliki. Aku melihat dan terus melihat mereka. Nampaknya Engkau menciptakan semua makhluk-Mu saat sedang tersenyum, kecuali aku.

Aku kecewa, ingin marah, namun kepada siapa? Saat itu akhirnya aku hanya bisa merenung. Ternyata selama ini kepalaku selalu terangkat ke atas, mendongak tanpa lelah dan tak punya keinginan untuk sejenak menunduk. Melihat di bawah sana ternyata masih lebih banyak lagi kepala yang mendongak ke atas, memandang nanar kearahku dan makhluk-Mu lainnya. Aku sadar bahwa jika aku cukup pintar menggunakan nurani dan pikiran yang dianugrahi oleh Engkau, aku akan dengan bijak menentukan kapan aku harus mendongak dan menunduk. Dalam waktu seperti apa sehingga hidupku tak hanya dipenuhi oleh tatapan nanar ke atas sana yang tak akan ada habisnya. Nyatanya aku orang bodoh yang lupa bahwa pada dasarnya manusia (ya makhluk-Mu macam aku ini) mengingini dan tertarik dengan apa yang tidak dimilikinya.

Tuhan, aku tahu Engkau sedang tersenyum saat sedang menciptakan bumi dan seisinya. Engkau menciptakannya berputar sebab disanalah Kau letakkan keadilan, sebuah frasa yang nampaknya klise, “Hidup itu... Kadang diatas, kadang di bawah”, kan ya?

Tuhan, surat ini aku tulis pada satu sore sesaat setelah satu adegan dalam skenario hidupku yang telah Engkau tulis terjadi, adegan dimana aku dan adikku sedang membeli burger dan roti bakar. Kami duduk menunggu pesanan tiba-tiba seorang bapak datang menghampiri mbak penjual tersebut, ia menggandeng kedua anak lelakinya yang masih kecil, pakaian mereka lusuh, wajah bapak itu lelah sekali, kedua anak lelaki itu digandengnya dengan erat.

*

“Kak, roti bakar seribu lah.”

“Nggak ada yang seribu lagi, dua ribu sekarang.”

Bapak itu merogoh kantongnya dan melihat wajah kedua anaknya yang penuh harap sejenak.

“Ya bikininlah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar