3 Bab Puisi Kehidupan

Dari Mata Sang Nelayan

Dalam laut aku melihat gemuruh
Riak-riak air dari jauh
Tertatap dari teratak kapal bertali sauh
Dengan tubuh bertetes peluh

Dalam jaring aku melihat jerih
Yang dicipta badanku yang perih
Untuk menanam benih
Teruntuk aku, keluarga, sanak dan hidupku yang pedih

Dalam aku, aku melihat langit
Lapang, bergemuruh dengan sengit
Teringat akan nasihat tak berbelit
“Kita harus lebih, lebih dan lebih. Dari hidup yang sulit.”


Yang Seorang Pemahat

“Belajarlah dari aku.”
Kata suara diantara denting palu
Tidak, tidak, aku sedang tidak berimajinasi
Batu itu tak bisu

Kutanya ia sebuah maksud
Rupanya ia hendak berpetuah
Lantas aku pasang lekat-lekat
Telinga, mata, hati, jiwa.

Katanya:

Dalam diam, dalam sakit
Aku tahu aku tak dapat berkelit
Memang lagi-lagi sakit
Dan lagi aku juga tak mampu berkelit

Dalam hening, dalam denting
Palu-palu memukulku saling bersaing
Kau tak benci aku yang hina kering
Namun tetap, tanpa belas kasih, kau hantam aku tanpa seling?

Kataku:

Diantara diam, di kubangan sakit
Di tengah hening, di lumbung denting
Kan kutemani kau memahat sabar dan tabah, sedikit
Ah, ini tak sedikit, yang akhirnya di matamu keluar air bening

Pecatur Itu

Aku ingin melihat kemenangan
Dari mata sendiri
Tak mau terjebak hasut
Yang terlihat telinga, apa terdengar?

Skak mat!
Aku ingin menepis si pion arogan itu
Dari tangan sendiri
Tak sudi tertindas tatapan maut
Yang terlihat batin, apa terasa?

Dalam aku, aku melihat kutub
Teguh, tak pernah redup
Teringat bijak dari arah yang ku pijak
“Hidup ini keras, tapi kita harus lebih keras dari hidup.”

10 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar